Bahasa Melayu Palu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bahasa Melayu Palu
Melayu Tawaeli (Tavaeli), Melayu Teluk Palu,[1] Melayu Sulawesi Tengah[2]
Dituturkan diIndonesia
Wilayah
EtnisKaili[2]
Penutur
400.000[a] (2023)
Alfabet Latin
Abjad Jawi
Status resmi
Diakui sebagai
bahasa minoritas di
Diatur olehBadan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kode bahasa
ISO 639-3
GlottologTidak ada
Status konservasi
Terancam

CRSingkatan dari Critically endangered (Terancam Kritis)
SESingkatan dari Severely endangered (Terancam berat)
DESingkatan dari Devinitely endangered (Terancam)
VUSingkatan dari Vulnerable (Rentan)
Aman

NESingkatan dari Not Endangered (Tidak terancam)
Melayu Palu belum diklasifikasikan dalam tingkatan manapun pada Atlas Bahasa-Bahasa di Dunia yang Terancam Kepunahan
Referensi: [3][4]
Lokasi penuturan
Peta distribusi bahasa Melayu Palu di wilayah sekitar Teluk Palu dengan legenda:
Bahasa Melayu Palu dituturkan secara signifikan
Bahasa Melayu Palu kemungkinan dituturkan
Artikel ini mengandung simbol fonetik IPA. Tanpa bantuan render yang baik, Anda akan melihat tanda tanya, kotak, atau simbol lain, bukan karakter Unicode. Untuk pengenalan mengenai simbol IPA, lihat Bantuan:IPA.
 Portal Bahasa
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B • PW
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Bahasa Melayu Palu adalah varietas lokal bahasa Melayu yang dituturkan oleh masyarakat beretnis Kaili di Kota Palu dan beberapa wilayah sekitarnya (meliputi seluruh pesisir Teluk Palu). Jika ditinjau dari aspek kebahasaan serta sejarah awal penyebaran dan penggunaannya, bahasa ini bukan termasuk kedalam ragam bahasa kreol berbasis Melayu yang umum digunakan di Indonesia bagian timur.[5] Unsur non-Melayu yang paling dominan dalam bahasa Melayu Palu adalah bahasa Kaili.[1] Penggunaan bahasa Melayu di kawasan sekitar Teluk Palu ini sangat erat kaitannya dengan sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Tengah.[5]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Penggunaan bahasa Melayu di Kota Palu pada awalnya bermula dari kawasan Tawaeli setelah diperkenalkan oleh seorang ulama yang bernama Yodo Radjalangi hingga kemudian menyebar ke seluruh pesisir Teluk Palu. Namun, sebelumnya ada juga seorang ulama bernama Pue Bulangisi yang telah juga mengenalkan tulisan Arab-Melayu kepada masyarakat Palu. Kedua tokoh ulama ini sama-sama berasal dari tanah Mandar. Keturunan orang Mandar inilah yang mengenalkan tulisan Arab-Melayu dan bahasa Melayu kepada masyarakat di Tawaeli. Pue Bulangisi menjadi peletak dasar bacaan Al-Quran dan kitab-kitab tulisan Arab-Melayu di Tawaeli pada masa pemerintahan Raja Daesalemba (1605–1667). Sementara Yodo Radjalangi adalah peletak dasar penggunaan bahasa Melayu dan alfabet Latin di Tawaeli pada masa pemerintahan Raja Yangge Bodu (1800–1900).[5]

Naskah-naskah kuno berupa Al-Quran, kitab Falakiyah, kitab Shalat, serta kitab Maulid merupakan bukti peninggalan tentang adanya pembelajaran tulisan Arab-Melayu dan bahasa Melayu bahkan dicampur dengan bahasa Bugis dan Mandar.[5] Demikian juga kesaksian David Woodard pada tahun 1793–1795 yang ditahan di Kerajaan Banawa telah membuktikan bahwa bahasa Melayu sudah berkembang di wilayah Banawa dan Tawaeli pada saat itu.[1][5]

Sistem penulisan[sunting | sunting sumber]

Tulisan Arab-Melayu (Jawi)[sunting | sunting sumber]

Menurut H.J. de Graaf, setelah melalui jalur perdagangan, dakwah Islam selanjutnya dilakukan oleh para da'i dan 'orang suci'. Demikian halnya di Tawaeli, dakwah Islam selanjutnya dilakukan oleh ulama yang memang bertugas untuk hal itu. Adapun ulama yang dikenal sebagai penyiar Islam pertama di Tawaeli adalah Daeng Konda yang lebih dikenal dengan nama Pue Bulangisi. Darmawan Mas'ud menyatakan bahwa penyiar Islam di tanah Kaili adalah Dato Karama (nama lain dari Daeng Konda) yang berasal dari Mandar.[5]

Selanjutnya, Aswin Saehana menyatakan bahwa "Ketika Pue Bulangisi mengajar murid-muridnya untuk berwudhu dan melaksanakan sholat. Pada saat itu di Kerajaan Tawaeli tidak ada air. Olehnya itu, Pue Bulangisi menancapkan Tongkatnya ke tanah. Dalam sekejap mata air kemudian tersembur ke atas". Mata air tersebut diberi nama Uwe Langga oleh masyarakat Kaili yang berarti 'air yang dihormati'. Air tersebut diperuntukkan khusus untuk berwudhu, lalu air yang memancar kemudian ditembok. Pue Bulangisi Kemudian mendirikan tempat ibadah yang disebut Langga di dekat sumber air tersebut. Pue Bulangisi mengajar murid-muridnya sholat dan belajar membaca Al-Quran di Langga tersebut. Pue Bulangisi kemudian dihormati dan dianggap orang keramat. Oleh karena itu, Pue Bulangisi disebut Darmawan Mas'ud sebagai Dato Karama dari Mandar. Daeng Konda adalah bangsawan dari Kerajaan Sendana di tanah Mandar. Kedatangannya ke Tawaeli adalah untuk mengislamkan Raja Daesalembah (Magau III Tawaeli). Kewibawaan yang dimiliki Daeng Konda sebagai seorang bangsawan memudahkannya untuk mengislamkan Raja Daesalembah. Hal tersebut dilakukan oleh Daeng Konda karena Magau Tawaeli merupakan keturunan dari Raja Sendana. Setelah satu tahun berada di Tawaeli, kemudian ia kembali ke tanah kelahirannya di Sendana. Ketika Daeng Konda meninggalkan Tawaeli, banyak muridnya yang kembali kepada aliran kepercayaan dan kembali memakan daging babi. Melihat keadaan ini, salah satu murid kepercayaannya yang bernama Lovengau berangkat ke Sendana dan menyampaikan kejadian itu kepada Pue Bulangisi. Mendengar hal itu, Pue Bulangisi kemudian kembali ke Tawaeli untuk menemui murid-muridnya.[5]

Raja Daesalembah atau Madika Baka Tolu sebagai Magau III Tawaeli memerintah pada tahun 1605–1667. Pada masa pemerintahannya, Raja Daesalembah merupakan Magau pertama yang memeluk agama Islam, sehingga keputusan-keputusan adat istiadat banyak dikaitkan dengan ajaran Islam, bahkan adat istiadat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dihilangkan. Misalnya, apabila ada sekelompok orang atau individu yang membuat onar di lingkungan kerajaan, maka sekelompok atau individu tersebut ditenggelamkan ditengah laut. Pue Bulangisi kemudian menikah dengan seorang putri dari Raja Tawaeli dan memiliki tiga orang anak. Karena pernikahan Pue Bulangisi dengan putri raja, ia pun memutuskan untuk tinggal di Tawaeli sampai wafatnya. Ia dimakamkan di Lambara, kurang lebih 300 meter di depan Masjid Jami Panau.[5]

Dalam catatan Tudjimah (2005), Daeng Konda adalah murid dari Yusuf Al-Makassari, seorang ulama terkemuka asal Makassar yang digelari Syekh. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa kedatangan Pue Bulangisi ke Tawaeli adalah dengan tujuan mengislamkan Raja Daesalembah, karena apabila raja resmi memeluk agama Islam, maka Islam dijadikan sebagai agama kerajaan. Oleh karena itu, para ulama mempunyai kebebasan untuk menyebarkan Islam dikalangan masyarakat luas. Pada awalnya, yang memeluk ajaran Islam hanyalah raja dan keluarganya yang disebut Madika (bangsawan). Setelah raja dan keluarganya memeluk Islam barulah kemudian Islam disebarkan kepada masyarakat umum. Pada masa pemerintahan Raja Daesalembah, Daeng Konda mengajarkan murid-muridnya membaca huruf Al-Quran dengan menggunakan ejaan Arab dan Bugis. Jika dikaitkan dengan sejarah perluasan wilayah Kesultanan Gowa pada abad ke-17, hal ini mungkin dibantu oleh tokoh-tokoh penyebar Islam dari tanah Bugis dan Makassar.[2] Sehingga dapat dibuktikan hingga saat ini, masyarakat di Sulawesi Tengah membaca Al-Quran menggunakan ejaan bahasa Bugis.[5]

Alfabet Latin (Melayu)[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan silsilahnya, Yodo Radjalangi dapat dinyatakan bahwa ia merupakan keturunan campuran Mandar dan Tawaeli. Radjalangi (ayah Yodo Radjalangi) menikahi anak dari Datumpedagi yang berasal dari Vatutela. Hasil perkawinan tersebut melahirkan seorang anak yang bernama Yodo Radjalangi yang merupakan anak tunggal. Ketika itu, ia datang ke Tawaeli untuk tinggal lalu kemudian menikah di Nupa yang merupakan kerajaan tertua sebelum adanya kerajaan yang disebut sebagai Kerajaan Patanggota yang berarti 'kerajaan empat kota'. Kerajaan itu diantaranya adalah Kerajaan Panau, Labambara, Baiya, dan Nupa Bomba. Dimana Nupa Bomba merupakan tempat ia tinggal bersama istrinya.[5]

Yodo Radjalangi dikenal sebagai seorang pembaharu yang pertama kali memperkenalkan alfabet Latin di Tawaeli. Ia juga menjadi seorang imam di Masjid Jami Tawaeli yang dianggap keramat. Yodo Radjalangi diangkat menjadi penasihat pada masa pemerintahan Mangge Bodu (Magau Punggu), seorang Magau VII Tawaeli yang berkuasa antara tahun 1800–1900. Pada masa ini, Magau Punggu ditunjuk oleh tetua adat untuk menjadi Raja Tawaeli pada umur 12 tahun sehingga tugas-tugas kerajaan saat itu dipegang oleh pamannya yang bernama Datumpedagi yang dikenal sebagai Pue Oge Nganga sebagai Wali Magau, yakni pelaksana harian di Kerajaan Tawaeli.[5]

Mula-mula kedatangannya ke Tawaeli bertujuan untuk berbaur dengan masyarakat di sekitar Tawaeli yang masih begitu kental dengan adat istiadatnya, dan masih hidup secara sistem kerajaan. Saat itu, keadaan masyarakatnya masih buta huruf. Karena hal itu, Yodo Radjalangi mencoba mengajarkan dan memperkenalkan kepada masyarakat Tawaeli tentang huruf Latin. Yodo Radjalangi dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Mangge Sule, namun ada juga yang menyebutnya Radjulaeni. Menurut Hasyarudin Ladanu, seorang imam masjid di desa Nupa Bomba, bahwa Radjulaeni ini hanyalah nama pemberian atau panggilan dari masyarakat Kaili di sekitaran desa tersebut.[5]

Seorang murid Yodo Radjalangi yang terkenal, Pue Lasadindi kemudian mengembangkan ajaran Mangaji Tonji. Terdapat asumsi bahwa munculnya lagu Bura Sendana di Mandar juga terjadi pada saat Yodo Radjalangi berada di Tawaeli. Bukti penggunaan alfabet Latin untuk menulis dalam bahasa Melayu dapat dibuktikan dengan seni pantun, termasuk nyanyian yang disebut rano. Hal ini disinyalir oleh Jarudin Abdullah bahwa "Mendengar isi nyanyian ini, ternyata hubungan raja-raja dahulu mulai dari Sigi, Palu, Parigi, dan Banawa termasuk Raja Tawaeli mempunyai pertalian kekeluargaan mereka. Dan dapat dikatakan keluarga besar Daerah Tingkat II Donggala yang tersebar di segala penjuru daerah ini". Demikian juga beberapa syair-syair tradisional Kaili yang digunakan sebagai bukti penggunaan bahasa Melayu di Sulawesi Tengah.[5]

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Catatan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Perkiraan jumlah penduduk dari wilayah dituturkannya bahasa Melayu Palu.[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e Nuraedah (2015). J. Surjo, ed. Sejarah Dan Tradisi Lokal Masyarakat Kaili Di Sigi. books.google.com. Sleman, Indonesia: CV Budi Utama. hlm. 299. ISBN 978-602-280-720-9. Diakses tanggal 16 Februari 2024. 
  2. ^ a b c Collins, James T. (2006). Sejarah bahasa Melayu: Sulawesi Tengah, 1793–1795. books.google.com. Makassar, Indonesia: Universitas Negeri Makassar. hlm. 120. Diakses tanggal 16 Februari 2024. 
  3. ^ "UNESCO Interactive Atlas of the World's Languages in Danger" (dalam bahasa bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Rusia, and Tionghoa). UNESCO. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 April 2022. Diakses tanggal 26 Juni 2011. 
  4. ^ "UNESCO Atlas of the World's Languages in Danger" (PDF) (dalam bahasa Inggris). UNESCO. 2010. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 Mei 2022. Diakses tanggal 31 Mei 2022. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m Haliadi (2020). "Yodo Rajalangi dan Perkembangan Bahasa Melayu di Tavaeli Palu". www.neliti.com. Palu, Indonesia: Kamboti (Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora): 66. Diakses tanggal 16 Februari 2024. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]