Kekaisaran Romawi Suci

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kekaisaran Romawi Suci
Sacrum Imperium Romanum  (Latin)
Heiliges Römisches Reich  (Jerman)

Kekaisaran Romawi Suci
Bangsa Jerman
Sacrum Imperium Romanum Nationis Germanicae  (Latin)
Heiliges Römisches Reich Deutscher Nation  (Jerman)

Tahun 800/962[a]–1806
Bendera Kekaisaran Romawi Suci
Bendera Negara
(sekitar tahun 1430–1806)
{{{coat_alt}}}
Lambang Negara
(desain abad ke-15)
Rajawali Kuaternion (tahun 1510)
Keseluruhan bekas wilayah kedaulatan Kekaisaran Romawi Suci pada peta modern, sekitar tahun 1200–1250
Keseluruhan bekas wilayah kedaulatan Kekaisaran Romawi Suci pada peta modern, sekitar tahun 1200–1250
StatusKekaisaran
Ibu kotaLebih dari satu[3]
Aachen (tahun 800–1562)
  • Tahun 800–888 (sebagai ibu kota), tahun 800–1562 (tempat penobatan Raja Jerman)
Palermo (de facto) (tahun 1194–1254)
Innsbruck (tahun 1508–1519)
  • Markas Hofkammer dan Kepaniteraan Istana [7][8]
Wina (dasawarsa 1550-an–1583, tahun 1612–1806)
Frankfurt (tahun 1562–1806)
Praha (tahun 1583–1612)
Regensburg (tahun 1594–1806)
Wetzlar (tahun 1689–1806)
Bahasa yang umum digunakanBahasa Jerman, bahasa Latin Abad Pertengahan (sebagai bahasa administratif/liturgis/seremonial)
Aneka bahasa[c]
Agama
Lebih dari satu agama resmi:
Kristen Katolik Roma (tahun 1054–1806)
Kristen Protestan mazhab Lutheran (tahun 1555–1806)
Kristen Protestan mazhab Kalvinis (tahun 1648–1806)
PemerintahanMonarki elektif
Monarki campuran (sesudah pembaharuan negara)[17]
Kaisar 
• tahun 800–814
Karel Agung[a] (pertama)
• tahun 962–973
Otto Agung
• tahun 1519–1556
Karel V
• tahun 1792–1806
Franz II (terakhir)
LegislatifSidang Permusyawaratan Negara
Era SejarahAbad Pertengahan sampai awal zaman modern
Tanggal 25 Desember 800
• Otto Agung dinobatkan menjadi Kaisar Bangsa Romawi
Tanggal 2 Februari 962
Tanggal 2 Februari 1033
Tanggal 25 September 1555
Tanggal 24 Oktober 1648
Tahun 1648–1789
Tanggal 2 Desember 1805
Tanggal 6 Agustus 1806
Luas
Tahun 1150[d]1.100.000 km2 (420.000 sq mi)
Populasi
• Tahun 1700[18]
23.000.000 jiwa
• Tahun 1800[18]
29.000.000 jiwa
Mata uangLebih dari satu mata uang: thaler, guilder, groschen, Reichsthaler
Didahului oleh
Digantikan oleh
Francia Timur
krjKerajaan
Italia (Kekaisaran Romawi Suci)
ksrKekaisaran
Karoling
Konfederasi Rhein
ksrKekaisaran
Austria
krjKerajaan
Prusia
Konfederasi Swiss Lama
krjKerajaan
Sardinia (1720–1861)
Kadipaten Savoia
Republik Belanda
krjKerajaan
Prancis
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kekaisaran Romawi Suci,[e] yang juga dikenal dengan nama Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman selepas tahun 1512, adalah negara dengan wilayah yang membentang dari Eropa Tengah ke Eropa Barat dan lazimnya dikepalai oleh Kaisar Romawi Suci.[19] Negara ini terbentuk pada Awal Abad Pertengahan dan berdiri selama hampir 1.000 tahun, sampai akhirnya dibubarkan pada tahun 1806 di tengah hiruk-pikuk perang-perang Napoleon.[20]

Pada tanggal 25 Desember 800, Paus Leo III menobatkan Karel Agung menjadi kaisar, dan dengan demikian menghidupkan kembali gelar itu di Eropa Barat selang tiga abad lebih sesudah Kekaisaran Romawi Barat tumbang pada tahun 476.[21] Meskipun sudah ditanggalkan pada tahun 924, gelar itu kembali disandang Otto Agung saat dinobatkan menjadi kaisar oleh Paus Yohanes XII pada tahun 962, dengan maksud untuk mencitrakan dirinya sebagai penerus Karel Agung dan raja-raja kulawangsa Karling.[22] Penobatan Otto Agung menjadi tonggak sejarah yang mengawali kurun waktu tegaknya kedaulatan Kekaisaran Romawi Suci secara berkesinambungan selama delapan abad lebih.[23][24][f] Dari tahun 962 hingga abad ke-12, Kekaisaran Romawi Suci tampil sebagai negara monarki terkuat di bumi Eropa.[25] Kelancaran penyelenggaraan negara bergantung kepada kerjasama yang rukun di antara kaisar dan para pangreh praja.[26] Kerukunan tersebut sempat terusik pada zaman kulawangsa Sali.[27] Ketangguhan negara dan keluasan wilayah Kekaisaran Romawi Suci mencapai puncaknya di bawah pemerintahan kulawangsa Hohenstaufen pada pertengahan abad ke-13, tetapi bentang wilayah yang kelewat luas justru kemudian hari mengeroposkan kedaulatannya.[28][29]

Para sarjana pada umumnya menjabarkan evolusi lembaga-lembaga dan asas-asas yang membentuk negara ini, serta perkembangan berangsur dari peran kaisar.[30][31] Jabatan kaisar sudah lama terbentuk sebelum negara ini dinamakan "Kekaisaran Romawi Suci" pada abad ke-13,[32] walaupun keabsahan kaisar sejak semula ditumpukan pada konsep translatio imperii, yaitu kaisar mengampu kedaulatan tertinggi yang merupakan warisan peninggalan kaisar-kaisar Roma tempo dulu.[30] Terlepas dari semua itu, di Kekaisaran Romawi Suci, sudah menjadi adat bahwa seseorang menjadi kaisar karena dipilih oleh para pangreh praja pemilih yang berkebangsaan Jerman. Secara teori dan diplomasi, Kaisar Romawi Suci dipandang sebagai tokoh yang dituakan di antara seluruh kepala negara monarki Katolik Eropa.[33]

Ikhtiar pembaharuan negara pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 mengubah wajah Kekaisaran Romawi Suci. Ikhtiar tersebut melahirkan berbagai lembaga pemerintahan yang terus bertahan sampai negara ini bubar pada abad ke-19.[34][35] Menurut sejarawan Thomas Brady Jr., Kekaisaran Romawi Suci selepas pembaharuan negara merupakan badan politik dengan keberlanjutan dan kemapanan yang luar biasa, serta "dalam beberapa segi mencerminkan pemerintahan-pemerintahan monarki di kawasan barat Eropa, dan dalam beberapa segi yang lain mencerminkan pemerintahan-pemerintahan elektif dengan persatuan yang renggang di kawasan tengah Eropa." Di negara bangsa Jerman yang sudah diperbaharui itu, alih-alih patuh begitu saja kepada kaisar, orang justru berunding dengan kaisar.[36][37] Pada tanggal 6 Agustus 1806, Kaisar Franz II meletakkan jabatan dan secara resmi membubarkan Kekaisaran Romawi Suci, menyusul pembentukan Konfederasi Rhein oleh Napoleon sebulan sebelumnya, yakni perserikatan negara-negara Jerman yang berkhidmat kepada Prancis, alih-alih bertuan kepada Kaisar Romawi Suci.

Nama negara[sunting | sunting sumber]

Rajawali dwimuka dengan lambang-lambang praja tersemat pada sayapnya, lambang negara Kekaisaran Romawi Suci, gambar dari tahun 1510

Dari zaman Karel Agung, negara ini hanya disebut Kekaisaran Romawi.[38] Embel-embel Suci (dalam arti "dikuduskan") mulai dipakai pada tahun 1157, masa pemerintahan Kaisar Friedrich Si Janggut Merah, sehingga negara ini mulai dikenal dengan nama Kekaisaran Suci, nama yang mencerminkan hasrat Friedrich untuk menguasai Italia dan lembaga kepausan.[39] Nama "Kekaisaran Romawi Suci" dapat dipastikan sudah dipakai sejak tahun 1254.[40]

Sebelum dinamakan "Kekaisaran Romawi Suci" pada abad ke-13, negara ini dikenal dengan beragam sebutan, antara lain universum regnum (kerajaan sejagat, kebalikan dari kerajaan kedaerahan), imperium christianum (kekaisaran Kristen), dan Romanum imperium (kekaisaran Romawi),[32] tetapi keabsahan kaisar senantiasa ditumpukan pada konsep translatio imperii,[g] yaitu kaisar mengampu kedaulatan tertinggi yang merupakan warisan peninggalan kaisar-kaisar Roma tempo dulu.[30]

Di dalam lembaran maklumat yang terbit menyusul Sidang Permusyawaratan Negara di Koln pada tahun 1512, nama negara ini berubah menjadi "Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman" (Jerman: Heiliges Römisches Reich Deutscher Nation, Latin: Sacrum Imperium Romanum Nationis Germanicae),[38] yakni nama yang pertama kali dipakai pada tahun 1474 di dalam sebuah dokumen.[39] Nama baru ini diadopsi bertepatan dengan hilangnya kedaulatan atas Italia dan Burgundia,[41] tetapi juga dimaksudkan untuk menonjolkan peran penting dalam penyelenggaraan negara yang baru diberikan kepada praja-praja kekaisaran di Jerman selepas pembaharuan negara.[42] Istilah "Kekaisaran Romawi Jerman" (Hongaria: Német-római Birodalom) yang lazim digunakan di Hungaria adalah bentuk ringkas dari nama baru tersebut.[43]

Pada akhir abad ke-18, nama "Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman" tidak lagi dipakai secara resmi. Bertolak belakang dengan pandangan-pandangan tradisional terkait nama tersebut, Hermann Weisert memaparkan di dalam sebuah hasil penelitian khazanah titulatur kekaisaran bahwa, meskipun digembar-gemborkan sebagai nama resmi negara di dalam banyak buku pelajaran, nama "Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman" tidak pernah diberi status resmi. Ia bahkan menunjukkan bahwa dokumen-dokumen yang memuat nama "Kekaisaran Romawi Suci" tanpa menyertakan embel-embel "Bangsa Jerman" berjumlah tiga puluh kali lipat lebih banyak daripada dokumen-dokumen yang menyertakannya.[44]

Di dalam sebuah pembahasan terkenal mengenai nama negara ini, filsuf politis Voltaire berseloroh bahwa "negara yang dulu disebut dan masih saja menyebut dirinya Kekaisaran Romawi Suci itu sama sekali tidak ada suci-sucinya, tidak ada romawi-romawinya, malah bukan sebuah kekaisaran."[45]

Pada zaman modern, negara ini secara tidak resmi kerap disebut Kekaisaran Jerman (Jerman: Deutsches Reich) atau Kekaisaran Jerman-Romawi (Jerman: Römisch-Deutsches Reich).[46] Sejak dibubarkan sampai dengan tamatnya riwayat Kekaisaran Jerman, negara ini kerap disebut "kekaisaran lawas" (Jerman: das alte Reich). Mulai dari tahun 1923, kaum nasionalis Jerman awal abad ke-20 dan propaganda partai Nazi menyebut Kekaisaran Romawi Suci sebagai sebagai Reich "Pertama" (Erstes Reich, Reich berarti kekaisaran), disejajarkan dengan Kekaisaran Jerman sebagai Reich "Kedua", dan negara Jerman di bawah pemerintahan partai Nazi sebagai Reich "Ketiga".[47]

David S. Bachrach berpendapat bahwa raja-raja kulawangsa Otto sesungguhnya membangun kemaharajaan mereka lewat pemanfaatan perangkat militer dan birokrasi maupun kekayaan budaya yang mereka warisi dari kulawangsa Karling, yang juga diwarisi kulawangsa Karling dari Kekaisaran Romawi menjelang keruntuhannya. Menurut David S. Bachrach, kemaharajaan kulawangsa Otto bukanlah suatu kerajaan purba binaan bangsa Jerman primitif, yang semata-mata dilanggengkan oleh ikatan-ikatan hubungan pribadi dan dijalankan oleh nafsu serakah orang-orang besar untuk menjarah lalu membagi-bagi hasil jarahan di antara mereka sendiri, melainkan sebuah negara yang tampil mengemuka berkat kemampuannya untuk menimbun sumber-sumber daya ekonomi, administratif, dan kebudayaan yang maju, yang selanjutnya dimanfaatkan untuk menggerakkan mesin perangnya yang sangat besar.[48][49]

Sampai dengan akhir abad ke-15, negara ini pada teorinya terdiri atas tiga kubu utama, yaitu Italia, Jerman, dan Burgundia. Kemudian hari yang tersisa hanyalah praja-praja Kerajaan Jerman dan Bohemia, karena praja-praja di Burgundia sudah jatuh ke tangan Prancis. Meskipun secara resmi merupakan bagian dari Kekaisaran Romawi Suci, Italia diabaikan dalam ikhtiar pembaharuan negara dan terpecah-belah menjadi banyak praja kedaerahan yang secara de facto merdeka.[50][30][37][51] Status Italia pada khususnya berubah-ubah dalam rentang waktu abad ke-16 sampai abad ke-18. Beberapa praja semisal Piemonte-Savoye kian lama kian merdeka, sementara praja-praja lain kian lama kian pudar kemerdekaannya akibat kepunahan garis keturunan pangreh prajanya, sehingga sering kali bertuan kepada kulawangsa Habsburg dan cabang-cabangnya. Selain lepasnya praja Franche-Comté pada tahun 1678, batas-batas wilayah Kekaisaran Romawi Suci tidak banyak berubah sejak Perjanjian Damai Westfalen ditandatangani (mengakui lepasnya Swiss dan Belanda Utara, serta perlindungan Prancis atas Elzas) sampai negara ini dibubarkan. Sesudah perang-perang Napoleon berakhir pada tahun 1815, hampir semua praja Kekaisaran Romawi Suci menjadi anggota Konfederasi Jerman, kecuali praja-praja di Italia.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Awal Abad Pertengahan[sunting | sunting sumber]

Kemaharajaan kulawangsa Karling[sunting | sunting sumber]

Wilayah kemaharajaan kulawangsa Karling di peta Eropa, sekitar tahun 814 tarikh Masehi

Surutnya kekuasaan Romawi di Galia pada abad ke-5 dimanfaatkan oleh suku-suku Jermani setempat untuk mengambil alih kendali pemerintahan.[52] Pada akhir abad ke-5 dan awal abad ke-6, kulawangsa Merowing di bawah pimpinan Klovis I dan para penggantinya, mempersatukan suku-suku Franka dan menundukkan suku-suku lain demi menguasai kawasan utara Galia dan kawasan tengah daerah lembah sungai Rhein.[53][54] Meskipun demikian, pada pertengahan abad ke-8, raja-raja Merowing hanya memerintah sebagai raja-raja boneka, karena kendali pemerintahan sesungguhnya berada dalam cengkeraman kulawangsa Karling di bawah pimpinan Karel Martel.[55] Pada tahun 751, anak Karel Martel yang bernama Pipin naik takhta menjadi Raja orang Franka, bahkan kemudian hari berhasil mendapatkan restu Sri Paus.[56][57] Sejak saat itu kulawangsa Karling menjalin persekutuan yang erat dengan lembaga kepausan.[58]

Pada tahun 768, anak Pipin yang bernama Karel Agung naik takhta menjadi Raja orang Franka. Ia memprakarsai usaha perluasan wilayah, dan pada akhirnya berhasil mendaulat wilayah luas yang dewasa ini menjadi wilayah negara Prancis, wilayah negara Jerman, kawasan utara wilayah Italia, wilayah Negeri-Negeri Tanah Rendah, malah lebih luas lagi, sampai wilayah kedaulatan orang Franka berdempet dengan wilayah kedaulatan Sri Paus.[59][60]

Meskipun masyarakat Italia sudah lama mendongkol lantaran merasa kurang sejahtera hidup di bawah kekuasaan Romawi Timur, gejolak politik baru timbul pada tahun 726, dipicu oleh kebijakan ikonoklasme Kaisar Leo orang Isauria, yang dipandang Paus Gregorius II sebagai penyimpangan akidah termutakhir dari rentetan penyimpangan akidah yang dilakukan oleh kepala negara Kekaisaran Romawi.[61] Pada tahun 797, Ibu Suri Irene memakzulkan Kaisar Konstantinus VI, kemudian menyatakan diri sebagai penguasa tunggal. Lantaran hanya kepala negara berjenis kelamin laki-laki yang diakui Gereja Latin sebagai pemimpin Dunia Kristen, Paus Leo III pun berikhtiar mencari orang lain yang layak menyandang kehormatan itu tanpa bertukar pikiran lebih dulu dengan Batrik Konstantinopel.[62][63]

Jasa Karel Agung bagi Gereja, karena membela kedaulatan Sri Paus dari rongrongan orang Lombardi, menjadikannya calon yang ideal. Pada hari Natal tahun 800, Paus Leo III menobatkan Karel Agung menjadi kaisar, dan dengan demikian menghidupkan kembali gelar itu di Dunia Barat sesudah lebih dari tiga abad lamanya menghilang.[62][63] Langkah Sri Paus ini dapat dianggap sebagai perpalingan simbolis lembaga kepausan dari Kekaisaran Romawi Timur yang sedang terpuruk kepada kekuatan baru, yakni kerajaan bangsa Franka di bawah pemerintahan kulawangsa Karling. Karel Agung mengadopsi semboyan Renovatio imperii Romanorum (pembaharuan Kekaisaran Romawi). Pada tahun 802, Irene digulingkan dan diasingkan oleh Kaisar Nikeforos I. Sejak saat itulah ada dua kepala negara yang sama-sama bergelar Kaisar Bangsa Romawi.

Sesudah Karel Agung mangkat pada tahun 814, mahkota kekaisaran turun kepada anaknya, Ludwig Warak. Sesudah Ludwig Warak mangkat pada tahun 840, mahkota kerajaan turun kepada anaknya, Lothar. Pada waktu itulah seantero wilayah yang pernah dikuasai mendiang Karel Agung dibagi-bagi menjadi beberapa wilayah kedaulatan (bdk. Perjanjian Verdun, Perjanjian Prüm, Perjanjian Meerssen, dan Perjanjian Ribemont), dan sepanjang sisa abad ke-9 gelar kaisar diperebutkan oleh para kepala negara Kerajaan Franka Barat (Francia Barat) dan Kerajaan Franka Timur (Francia Timur) yang sama-sama berasal dari kulawangsa Karling. Mula-mula gelar itu jatuh ke pundak Raja Franka Barat (Karel Gundul), tetapi kemudian beralih ke pundak Raja Franka Timur (Karel Gemuk), tokoh yang berhasil mempersatukan kembali kemaharajaan bangsa Franka, kendati tidak bertahan lama.[64] Pada abad ke-9, Karel Agung dan para penggantinya berikhtiar memajukan taraf pendidikan dan kebudayaan di negaranya, ikhtiar yang dikenal dengan sebutan Renainsans Karling. Beberapa sarjana, misalnya Mortimer Chambers,[65] berpandangan bahwa Renaisans Karling dapat terwujud berkat adanya renaisans-renainsans susulan (kendati pada awal abad ke-10, tidak ada lagi ikhtiar semacam itu).[66]

Sesudah Karel Gemuk mangkat pada tahun 888, kemaharajaan wangsa Karling terpecah-belah dan tidak kunjung dapat dipersatukan kembali. Petawarikh Regino dari Prüm meriwayatkan bahwa bagian-bagian dari kemaharajaan itu "memuntahkan empat orang raja kecil", dan masing-masing bagian memilih seorang raja kecil "dari isi perutnya sendiri".[64] Salah seorang kaisar semacam itu adalah Berengarius, Kaisar di Italia, yang mangkat pada tahun 924.

Kerajaan Franka Timur pasca-Karling[sunting | sunting sumber]

Sekitar tahun 900, praja-praja kadipaten kesukuan swatantra di Kerajaan Franka Timur (Franken, Bayern, Schwaben, Saksen, dan Lotharingen) kembali tampil mengemuka. Sesudah Raja Ludwig Bocah dari kulawangsa Karling mangkat tanpa meninggalkan keturunan pada tahun 911, Kerajaan Franka Timur tidak diam saja menunggu negaranya didaulat Raja Franka Barat yang juga berasal dari kulawangsa Karling, tetapi memilih salah seorang pangreh praja Franka Timur, yakni Adipati Konrad, pangreh praja Franken, menjadi Rex Francorum Orientalium.[67] Menjelang tutup usia, Konrad merelakan mahkota kerajaan diambil alih saingan utamanya, Adipati Heinrich Penjerat Burung, pangreh praja Saksen yang terpilih menjadi raja dalam Sidang Permusyarawatan Negara di Fritzlar pada tahun 919.[68] Heinrich berhasil menyepakati gencatan senjata dengan bangsa Magyar yang merongrong wilayah Franka Timur, dan untuk pertama kalinya berhasil mengalahkan mereka pada tahun 933 dalam Pertempuran Riade.[69]

Heinrich mangkat pada tahun 936, tetapi anak cucunya, yakni kulawangsa Liudolfing atau kulawangsa Otto, terus memerintah Kerajaan Franka Timur atau Kerajaan Jerman selama kurang lebih satu abad. Sepeninggal Heinrich Penjerat Burung, Otto, anak yang ia tetapkan menjadi penggantinya,[70] terpilih menjadi raja di Aachen pada tahun 936.[71] Otto harus berjuang menghadapi serangkaian pemberontakan yang dikobarkan adiknya sendiri dan beberapa orang adipati. Sesudah berhasil memadamkan pemberontakan, Otto mampu mengendalikan pengangkatan adipati dan kerap mempekerjakan para uskup untuk menangani urusan-urusan pemerintahan.[72] Ia mengganti hampir semua pangreh praja terkemuka di Franka Timur dengan sanak saudaranya, tetapi juga menutup peluang bagi sanak saudara untuk merongrong kedaulatannya.[73][74]

Pembentukan Kekaisaran Romawi Suci[sunting | sunting sumber]

Paus Leo VIII, Kepala Gereja Roma yang Kudus
Kekaisaran Romawi Suci pada zaman kulawangsa Otto
Kekaisaran Romawi Suci antara tahun 972 sampai 1032

Pada tahun 951, Otto maju berperang membela Putri Adelheid di Italia, mengalahkan musuh-musuhnya, kemudian menikahinya, dan mengambil alih kekuasaan atas Italia.[75] Pada tahun 955, Otto dengan telak mengalahkan bangsa Magyar dalam Pertempuran Lechfeld.[76] Pada tahun 962, Otto dinobatkan menjadi kaisar oleh Paus Yohanes XII,[76] sehingga urusan-urusan pemerintahan Kerajaan Jerman pun tersangkutpautkan dengan urusan-urusan pemerintahan Italia dan lembaga kepausan. Penobatan Otto menjadi kaisar membuat raja-raja Jerman tercitrakan sebagai ahli-ahli waris kemaharajaan Karel Agung, dan karena keabsahan kaisar ditumpukan pada konsep translatio imperii, raja-jara Jerman pun memandang diri mereka sebagai para penerus kepemimpinan negara Roma Kuno. Perkembangan seni budaya yang bermula pada masa pemerintahan Otto dikenal dengan sebutan Renaisans Otto. Perkembangan ini berpusat di Jerman, tetapi juga melanda Italia Utara dan Prancis.[77][78]

Otto menciptakan sistem jemaat kekaisaran, yang kerap disebut "sistem Reich jemaat Otto". Sistem ini mengikat jemaat-jemaat Gereja yang besar berikut wakil-wakilnya kepada tugas-tugas kenegaraan, sehingga terwujudlah "suatu pranata yang kukuh dan langgeng bagi negeri Jerman".[79][80] Pada zaman kulawangsa Otto, kaum wanita memainkan peran penting di bidang politik dan keagamaan, seringkali dengan memadukan peran mereka selaku tokoh agama dengan peran selaku penasihat raja, wali raja, atau kepala pemerintahan bersama raja. Tokoh-tokoh perempuan yang terkemuka adalah Permaisuri Mathilde, Permaisuri Edgitha, Permaisuri Adelheid, Permaisuri Teofanu, dan Putri Pemangku Mathilde.[81][82][83][84]

Pada tahun 963, Otto memakzulkan Paus Yohanes XII dan menetapkan Leo VIII sebagai paus yang baru (kendati Paus Yohanes XII dan Paus Leo VIII sama-sama mendaku sebagai paus yang sah sampai Paus Yohanes XII wafat pada tahun 964). Tindakan tersebut membuka kembali sengketa lama dengan Kaisar Romawi Timur, lebih-lebih sesudah anak Otto, yakni Kaisar Otto II (memerintah tahun 967-983), memakai gelar imperator Romanorum (kaisar bangsa Romawi). Meskipun demikian, Otto II menjalin hubungan kekerabatan dengan kaum ningrat Romawi Timur dengan memperistri Putri Teofanu.[85] Anak mereka, yakni Kaisar Otto III, naik takhta ketika baru berumur tiga tahun, sehingga tidak berdaya mengatasi persaingan kaum ningrat yang haus kekuasaan, dan harus pasrah diwakili oleh para pemangku yang silih berganti menjalankan pemerintahan sampai dia cukup umur untuk memerintah sendiri pada tahun 994. Sampai dengan saat itu, Otto III hanya bermastautin di Jerman, sementara Kresensius II, seorang pecatan adipati, bersimaharajalela memerintah Roma dan sebagian wilayah Italia, mungkin dengan mencatut namanya.

Pada tahun 996, Otto III menetapkan saudara sepupunya menjadi paus pertama yang berkebangsaan Jerman, yakni Paus Gregorius V.[86] Paus dari bangsa asing dan para petinggi kepausan dari bangsa asing dilirik dengan penuh kecurigaan oleh kaum ningrat Roma, yang akhirnya memberontak di bawah pimpinan Kresensius II. Mantan guru pembimbing Otto III, Antipaus Yohanes XVI, sempat menguasai Roma sampai kota itu direbut Kaisar Romawi Suci.[87]

Otto III mangkat dalam usia yang masih terbilang muda pada tahun 1002. Ia digantikan oleh saudara sepupunya, Kaisar Heinrich II, yang lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada negeri Jerman.[88] Usaha-usaha diplomatik Otto III (dan guru pembimbingnya, Paus Silvester) dilancarkan bertepatan dengan, dan mempermulus jalan bagi, usaha kristenisasi dan penyebarluasan budaya Latin di berbagai pelosok Eropa.[89][90] Otto III dan Paus Silvester berhasil menggiring masuk serumpun bangsa baru (bangsa Slav) ke dalam lingkup pranata Eropa, dan menjadikan Kekaisaran Romawi Suci, sebagaimana dikemukakan oleh beberapa sarjana, sebagai "ketua himpunan kekeluargaan bangsa-bangsa menyerupai Kekaisaran Romawi Timur, yang berpusat pada paus dan kaisar di Roma". Langkah ini terbukti merupakan capaian yang berumur panjang.[91][92][93][94] Kemangkatan Otto III saat masih muda membuat masa pemerintahannya menjadi "kisah tentang sekian banyak daya berkarya yang tidak sempat mewujud nyata".[95][96]

Heinrich II mangkat pada tahun 1024, dan digantikan oleh Konrad II, penguasa pertama dari kulawangsa Sali. Konrad II terpilih menjadi raja sesudah melewati perdebatan para adipati dan kaum ningrat. Kalangan adipati dan kaum ningrat tersebut kemudian hari menjadi majelis pangreh praja pemilih.

Kekaisaran Romawi Suci pada akhirnya menjadi sebuah negara besar yang terdiri atas empat kerajaan, yaitu:

Puncak Abad Pertengahan[sunting | sunting sumber]

Sengketa investitur[sunting | sunting sumber]

Heinrich memohon-mohon kepada Bupatni Matilda dan Abas Hugo di Puri Kanosa (miniatur di dalam sebuah naskah beriluminasi dari tahun 1115, koleksi Perpustakaan Vatikan)

Raja-raja acap kali mempekerjakan para uskup untuk menangani urusan-urusan kenegaraan, dan kerap menentukan orang-orang yang akan diangkat menjadi petinggi Gereja.[97] Selepas pembaharuan Kluni, campur tangan raja dalam urusan pengangkatan petinggi Gereja dinilai tidak patut oleh lembaga kepausan. Paus Gregorius VII yang berwawasan pembaharuan bertekad untuk melawan amalan-amalan semacam itu, sehingga menimbulkan sengketa investitur dengan Raja Heinrich IV (memerintah tahun 1056-1106, dinobatkan menjadi kaisar tahun 1084).[97]

Heinrich IV menjegal langkah Sri Paus, dan membujuk para uskup untuk mengekskomunikasi Sri Paus, yang suka ia sebut dengan nama lahirnya saja, yaitu Hildebrand, alih-alih dengan nama kepausannya, Gregorius.[98] Sri Paus membalas dengan mengekskomunikasi Heinrich, menafikan keabsahan jabatannya, dan membatalkan semua sumpah prasetia yang diikrarkan orang kepadanya.[23][98] Ketika sadar sudah kehilangan hampir semua dukungan politik, Heinrich pun merendahkan dirinya dengan menanggung malu berjalan kaki ke Kanosa pada tahun 1077,[99] dan berhasil meluluhkan hati Sri Paus untuk mencabut hukuman ekskomunikasi yang ditimpakan kepada dirinya. Sementara itu, para pangreh praja di Jeman sudah memilih Adipati Rudolf, pangreh praja Schwaben, menjadi raja menggantikan Heinrich.[100]

Heinrich berhasil mengalahkan Rudolf, tetapi sebagai konsekwensinya harus menghadapi lebih banyak lagi pemberontakan, hukuman ekskomunikasi yang sekali lagi ditimpakan kepada dirinya, bahkan harus menghadapi pemberontakan anak-anaknya sendiri. Sesudah Heinrich mangkat, anaknya, Heinrich V, berhasil mencapai kata mufakat dengan Sri Paus dan para uskup yang dituangkan ke dalam Konkordat Worms tahun 1122.[101] Kuasa politik Kekaisaran Romawi Suci dapat dipertahankan, tetapi sengketa investitur telah menyingkap batas-batas kedaulatan raja, teristimewa dalam kaitannya dengan Gereja, dan telah melucuti status keramat yang sebelumnya melekat pada diri raja. Sri Paus dan para pangreh praja Jerman pun tampil mengemuka sebagai pemain-pemain utama di dalam tatanan politik Kekaisaran Romawi Suci.

Ostsiedlung[sunting | sunting sumber]

Sebagai akibat dari Ostsiedlung, daerah-daerah jarang penduduk di Eropa Tengah (daerah-daerah perbatasan yang jarang penduduk, dewasa ini termasuk wilayah negara Polandia dan Ceko) dimasuki pendatang penutur bahasa Jerman dalam jumlah yang cukup signifikan. Daerah Silesia menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi Suci sebagai akibat dari usaha para adipati kulawangsa Piast untuk berswatantra, lepas dari campur tangan pemerintah Kerajaan Polandia.[102] Sejak abad ke-12, praja kadipaten Pomerania bernaung di bawah nama besar Kekaisaran Romawi Suci,[103] dan aksi penaklukan yang dilancarkan Tarekat Kesatria Teuton mengubah praja itu menjadi daerah penutur bahasa Jerman.[104]

Zaman kulawangsa Hohenstaufen[sunting | sunting sumber]

Friedrich Si Janggut Merah, Kaisar Romawi Suci
Wilayah kedaulatan kulawangsa Hohenstaufen meliputi wilayah Kekaisaran Romawi Suci dan wilayah Kerajaan Sisilia. Daerah-daerah berwarna kuning cerah adalah tanah perdikan keluarga ningrat Hohenstaufen yang diperintah secara langsung oleh para kaisar dari kulawangsa Hohenstaufen.

Kemangkatan Heinrich V pada tahun 1125 mengakhiri zaman kulawangsa Sali, karena para pangreh praja tidak lagi memilih kepala negara dari kaum keluarga Heinrich, tetapi memilih Lothar III, Adipati Saksen pemilik kekuatan tempur yang lumayan besar tetapi sudah lanjut usia. Sepeninggal Lothar III pada tahun 1137, para pangreh praja sekali lagi berusaha mengimbangi kekuasaan kepala negara, sehingga alih-alih memilih ahli waris kesayangan Lothar, yaitu menantunya, Heinrich Jumawa dari keluarga ningrat Welf, mereka memilih Konrad III dari keluarga ningrat Hohenstaufen yang masih terhitung cucu Kaisar Heinrich IV dan kemenakan Kaisar Heinrich V. Keputusan ini menimbulkan sengketa selama satu abad di antara dua keluarga ningrat itu. Konrad mengusir keluarga Welfs dari tanah-tanah perdikan mereka, tetapi sesudah ia mangkat pada tahun 1152, kemenakannya, Friedrich Si Janggut Merah, naik takhta menggantikannya dan berdamai dengan keluarga Welfs dengan mengangkat Heinrich Singa, yang masih terhitung saudara sepupunya, menjadi pangreh praja atas tanah-tanah perdikan peninggalan keluarga Welf, meskipun tidak lagi seluas dulu.

Para penguasa dari kulawangsa Hohenstaufen kian lama kian sering menganugerahkan tanah perdikan kepada para ministerialis, yakni para mantan hamba sahaya, yang diharapkan Friedrich dapat menjadi orang-orang yang lebih dapat diandalkan daripada para adipati. Golongan yang mula-mula diberdayakan untuk berperang inilah yang merupakan cikal-bakal dari kaum kesatria negara, salah satu basis kekuatan Kekaisaran Romawi Suci. Langkah konstitusional penting berikutnya adalah penciptaan mekanisme perdamaian baru di Roncaglia bagi seantero Kekaisaran Romawi Suci, yaitu Landfrieden, yang pertama kali dipermaklumkan oleh Kaisar Heinrich IV di Mainz pada tahun 1103.[105][106]

Landfrieden merupakan ikhtiar untuk menghapus perseteruan pribadi di antara para adipadi maupun pihak-pihak lain, dan untuk mengikat segenap kawula kaisar kepada suatu sistem yurisdiksi hukum dan kejaksaan agung bagi penegakan hukum pidana, salah satu pendahulu dari konsep modern "kedaulatan hukum". Konsep baru lain yang muncul pada masa itu adalah pendirian kota-kota baru secara sistematis oleh kaisar maupun oleh adipati-adipati setempat. Selain untuk menanggulangi masalah ledakan populasi, pendirian kota-kota baru juga memusatkan kekuatan ekonomi di lokasi-lokasi yang strategis. Sebelumnya, kota-kota hanya wujud dalam bentuk kota-kota tua peninggalan bangsa Romawi atau kota-kota keuskupan yang lebih tua lagi. Kota-kota yang didirikan pada abad ke-12 antara lain adalah kota Freiburg, yang mungkin sekali menjadi percontohan bagi banyak kota baru berikutnya, dan kota München.

Friedrich Si Janggut Merah dinobatkan menjadi kaisar pada tahun 1155. Ia menitikberakan sifat "keromawian" negaranya, dengan maksud antara lain untuk dijadikan pembenaran bagi kemandirian kedaulatan kaisar dari Sri Paus yang ketika itu sudah sangat berkuasa. Sidang negara yang digelar di padang Roncaglia pada tahun 1158 menyerukan penegakan kembali hak-hak kaisar dengan merujuk kepada Corpus Iuris Civilis peninggalan Kaisar Yustinianus I. Hak-hak kaisar sudah diwacanakan sebagai tanda kebesaran raja saat terjadinya sengketa investitur, tetapi baru diperinci satu demi satu untuk pertama kalinya di Roncaglia. Daftar lengkapnya mencakup hak atas jalan-jalan raya umum, hak mengutip cukai, hak mencetak uang, hak mengutip denda, dan hak menaikturunkan pejabat negara. Dengan jelas diungkapkan bahwa hak-hak itu berakar pada peraturan perundang-undangan Romawi. Langkah tersebut merupakan tindakan konstitusional yang berdampak panjang.

Friedrich lebih banyak mengeluarkan kebijakan untuk kepentingan pemerintahan di Italia, tempat ia bersengketa dengan kota-kota Italia Utara yang berwawasan merdeka, khususnya praja kadipaten Milan. Ia juga membuat gusar lembaga kepausan dengan mendukung paus tandingan, yang dipilih oleh sekelompok kecil kardinal, melawan Paus Aleksander III (menjabat tahun 1159–1181). Friedrich bahkan mendukung suksesi paus-paus tandingan sebelum akhirnya berdamai dengan Paus Aleksander pada tahun 1177. Di negeri Jerman, Friedrich berulang kali membela Adipati Heinrich Singa dari berbagai kecaman yang dilontarkan para pangreh praja maupun pemerintah kota praja (terutama dalam kasus kota München dan kota Lübeck) yang menjadi saingannya. Heinrich sebaliknya tidak sepenuh hati mendukung kebijakan-kebijakan Friedrich, malah menolak mengirim bala bantuan di saat-saat Friedrich sedang kewalahan berperang di Italia. Sepulangnya ke Jerman, Friedrich yang sudah kepalang sakit hati pun menggelar sidang untuk mengadili Heinrich Singa. Sang adipati akhirnya diharamkan menunjukkan batang hidungnya di muka umum, dan seluruh tanah miliknya disita negara. Pada tahun 1190, Friedrich ikut maju ke palagan Perang Salib ke-3, dan mangkat di Kerajaan Kilikia bangsa Armenia.[107]

Pada zaman kulawangsa Hohenstaufen, para pangreh praja Jerman memprakarsai usaha pembukaan permukiman-permukiman baru dengan jalan damai ke sebelah timur wilayah Jerman, yakni di daerah-daerah tak berpenghuni atau yang hanya dihuni segelintir masyarakat Slav Barat. Kaum tani, pedagang, dan pengrajin penutur bahasa Jerman, baik yang beragama Kristen maupun yang beragama Yahudi, berpindah dari kawasan barat Kekaisaran Romawi Suci ke daerah-daerah tersebut. Jermanisasi berangsur atas daerah-daerah itu merupakan suatu fenomena rumit yang tidak boleh ditafsirkan dengan menggunakan sudut pandang nasionalisme abad ke-19 yang cenderung menganakemaskan satu pihak dan menganaktirikan pihak lain. Pembukaan permukiman-permukiman baru ke arah timur ini memperlebar mandala pengaruh Kekaisaran Romawi Suci sampai ke Pomerania dan Silesia, demikian pula ikatan perkawinan yang dijalin para penguasa setempat, yang rata-rata berkebangsaan Slav, dengan pasangan-pasangan mereka yang berkebangsaan Jerman. Pada tahun 1226, Adipadi Konrad, pangreh praja Masovia, mengundang Tarekat Kesatria Teuton ke Prusia untuk mengkristenkan penduduk daerah itu. Praja Tarekat Teuton (Jerman: Deutschordensstaat), yang kemudian hari berubah menjadi praja Kadipaten Prusia, tidak pernah menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi Suci.

Pada masa pemerintahan anak sekaligus pengganti Friedrich Si Janggut Merah, yakni Kaisar Heinrich VI, kulawangsa Hohenstaufen mencapai puncak kegemilangannya, dengan masuknya Kerajaan Sisilia ke dalam daftar praja yang dikuasainya melalui perkawinan Heinrich VI dengan Konstanze, Ratu Sisilia. Bohemia dan Polandia menjadi negara-negara pengabdi Kekaisaran Romawi Suci, bahkan Siprus dan Armenia Kecil turut mengaturkan sembah bakti ke hadapan kaisar. Khalifah berkebangsaan Maroko yang berkuasa di Jazirah Iberia ketika itu pun tidak berdaya membantah kewenangan Heinrich untuk menuntut pembayaran upeti dari Tunis dan Tripolitania, malah mempersembahkan upeti kepadanya. Lantaran takut melihat besarnya kekuasaan Heinrich, pemimpin terkuat di Eropa sejak kemangkatan Karel Agung, raja-raja lain di Eropa pun sepakat menjalin persekutuan. Heinrich membuyarkan upaya mereka dengan cara mengirimkan surat ancaman kepada Raja Inggris, Richard Si Hati Singa. Kaisar Romawi Timur khawatir negaranya akan menjadi bulan-bulanan dalam Perang Salib yang sedang direncanakan Heinrich, sehingga mulai menjalankan pemungutan alamanikon (pajak Jerman) sebagai langkah penanggulangan bahaya invasi. Heinrich juga berencana mengubah bentuk pemerintahan Kekaisaran Romawi Suci dari monarki elektif menjadi monarki turun-temurun, tetapi ditentang keras oleh Sri Paus dan beberapa pangreh praja. Kemangkatan Heinrich yang tidak disangka-sangka pada tahun 1197 mengguncang keutuhan Kekaisaran Romawi Suci.[108][109][110] Sekalipun sudah terpilih menjadi raja, Frederick II, anak Heinrich, masih kanak-kanak dan bermastautin di Sisilia, sehingga para pangreh praja Jerman memutuskan untuk memilih seorang raja yang sudah dewasa. Sidang pangreh praja pemilih terbelah, sebagian memilih Philipp, putra bungsu Friedrich Si Janggut Merah, dan sebagian lagi memilih Otto, putra ketiga Adipati Heinrich Singa. Sesudah Philipp mangkat terbunuh dalam suatu pertengkaran terkait urusan pribadi pada tahun 1208, Otto pun tampil sebagai pemimpin yang disegani, sampai ia mulai berusaha mendaulat Sisilia.[butuh klarifikasi]

Friedrich II, Kaisar Romawi Suci

Lantaran khawatir terhadap ancaman bahaya yang mungkin timbul akibat bersatunya Kekaisaran Romawi Suci dengan Kerajaan Sisilia, Paus Inosensius III berbalik memihak Friedrich II. Friedrich bersama angkatan perangnya berkirab ke Jerman dan mengalahkan Otto. Sesudah berhasil mengalahkan Otto, Friedrich malah mengkhianati janjinya untuk melanggengkan keterpisahan Kerajaan Sisilia dari Kekaisaran Romawi Suci. Meskipun sudah mengangkat anaknya, Heinrich, menjadi Raja Sisilia sebelum berkirab ke Jerman, kendali pemerintahan Sisilia sesungguhnya masih berada di dalam genggamannya. Situasi ini berlanjut sesudah Friedrich dinobatkan menjadi kaisar pada tahun 1220. Lantaran khawatir melihat pemusatan kekuasaan pada diri Friedrich, Sri Paus mengekskomunikasinya. Perkara lain yang juga menggusarkan hati Sri Paus adalah sikap Friedrich yang berulang kali menangguhkan janjinya untuk melancarkan Perang Salib. Friedrich akhirnya melancarkan Perang Salib ke-6 pada tahun 1228, sekalipun sudah telanjur diekskomunikasi. Perang Salib ke-6 bermuara pada perundingan-perundingan, dan berhasil menegakkan kembali kedaulatan Kerajaan Yerusalem, meskipun tidak bertahan lama.

Di luar dari sepak terjangnya selaku kaisar, masa pemerintahan Friedrich II merupakan titik balik menuju ambruknya tatanan pemerintahan terpusat di Kekaisaran Romawi Suci. Lantaran sibuk membentuk pemerintahan yang lebih terpusat di Sisilia, Friedrich jarang sekali melawat ke Jerman, dan menganugerahkan hak-hak istimewa yang terlampau besar kepada para pangreh praja maupun petinggi Gereja di Jerman. Di dalam piagam Confoederatio cum principibus ecclesiasticis tahun 1220, Friederich merelakan sejumlah tanda kebesaran raja demi kepentingan para uskup, antara lain hak mengutip cukai, hak mencetak uang, dan hak mendirikan benteng. Piagam Statutum in favorem principum tahun 1232 menganugerahkan pula hak-hak tersebut kepada para pangreh praja. Meskipun sebelumnya banyak dari hak-hak istimewa itu sudah pernah dianugerahkan kepada pangreh praja tertentu, piagam tersebut menganugerahkannya kepada semua pangreh praja, sekali untuk selamanya, demi memampukan mereka untuk memelihara keamanan dan ketertiban wilayah di sebelah utara pegunungan Alpen selagi Friedrich berkutat dengan kesibukannya di Italia. Piagam tahun 1232 itu merupakan dokumen pertama yang menyifatkan para adipati di negeri Jerman dengan sebutan domini terræ (tuan tanah), yaitu pemilik tanah perdikan mereka masing-masing. Pemakaian sebutan domini terræ juga menunjukkan adanya perubahan besar di bidang peristilahan.

Kerajaan Bohemia[sunting | sunting sumber]

Kerajaan Bohemia adalah negara kedaerahan yang cukup disegani pada Abad Pertengahan. Pada tahun 1212, Raja Ottokar I (menyandang gelar "raja" mulai tahun 1198) berhasil mendapatkan Bula Kencana Sisilia (semacam surat keputusan resmi) dari Kaisar Friedrich II, yang mengesahkan hak Ottokar dan keturunannya untuk menyandang gelar "raja", sekaligus meningkatkan status praja Bohemia dari kadipaten menjadi kerajaan.[111] Kewajiban-kewajiban politik dan keuangan Bohemia terhadap Kekaisaran Romawi Suci sedikit demi sedikit dikurangi.[112] Kaisar Karel IV bahkan menjadikan kota Praha sebagai pusat pemerintahannya.

Masa interregnum[sunting | sunting sumber]

Paus Klemens V, Kepala Gereja Roma yang Kudus

Sesudah Kaisar Friedrich II mangkat pada tahun 1250, wilayah Kerajaan Jerman pecah menjadi wilayah kekuasaan anaknya, Raja Konrad IV (mangkat tahun 1254), dan wilayah kekuasaan si raja tandingan, Willem, Adipati Holland (mangkat tahun 1256). Sepeninggal Konrad IV, negeri Jerman memasuki masa interregnum, karena tidak ada calon raja yang mampu mendapatkan persetujuan dari semua pihak. Lantaran tidak ada raja, para pangreh praja pun lebih banyak mencurahkan pikiran dan tenaga untuk memperkuat prajanya masing-masing, bahkan mampu tampil sebagai sosok-sosok pemimpin yang mandiri. Selepas tahun 1257, ada dua orang bangsawan yang digadang-gadangkan menjadi Raja Jerman, yakni Richard, bangsawan Cornwall yang didukung golongan Guelfi, dan Alfonso, Raja Kastila yang mendapatkan pengakuan dari golongan pendukung kulawangsa Hohenstaufen tetapi tidak pernah menjejakkan kakinya di bumi Jerman. Sesudah Richard mangkat pada tahun 1273, Rudolf, seorang bupati pendukung kulawangsa Hohenstaufen, terpilih menjadi raja. Rudolf adalah bangsawan pertama dari keluarga Habsburg yang bergelar raja, tetapi ia tidak pernah dinobatkan menjadi kaisar. Sesudah Rudolf mangkat pada tahun 1291, Adolf dan Albert berturut-turut menduduki singgasana Kerajaan Jerman dengan gelar "Raja bangsa Romawi". Sama seperti Rudolf, Adolf dan Albert adalah raja-raja lemah yang tidak pernah dinobatkan menjadi kaisar.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

Keterangan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c Beberapa sejawaran menetapkan tahun 800 sebagai tahun pendirian, yakni tahun penobatan Karel Agung.[1] Sejawaran lainnya menetapkan tahun 962 sebagai tahun pendirian, yakni tahun penobatan Otto Agung.[2]
  2. ^ Regensburg, tempat penyelenggaraan 'Sidang Permusyawaratan Abadi' selepas tahun 1663, akhirnya dianggap sebagai ibu kota tidak resmi Kekaisaran Romawi Suci oleh beberapa negara Eropa yang berkepentingan terhadap kekaisaran itu, yakni Prancis, Inggris, Belanda, Rusia, Swedia, dan Denmark. Negara-negara itu menempatkan duta-duta yang kurang lebih bersifat permanen di Regensburg, karena Regensburg adalah satu-satunya kota di Kekaisaran Romawi Suci yang menjadi tempat berkumpulnya utusan-utusan dari semua praja besar dan menengah di Jerman sehingga dapat dijumpai untuk dilobi dll. Kaisar-kaisar dari kulawangsa Habsburg sendiri pun memanfaatkan Regensburg untuk kepentingan yang sama. (Härter 2011, hlm. 122–123, 132)
  3. ^ Bahasa Jerman, bahasa Jerman Hilir, bahasa Italia, bahasa Ceko, bahasa Polandia, bahasa Belanda, bahasa Prancis, bahasa Frisia, bahasa Rumanstch, bahasa Slovenia, bahasa Sorbia, Bahasa Yidi, dll. Menurut Bula Kencana tahun 1356, anak-anak para pangreh praja pemilih dianjurkan untuk menguasai bahasa Jerman, bahasa Latin, bahasa Italia, dan bahasa Ceko.[16]
  4. ^ Kekaisaran "Romawi" Jerman: Akibat penatalaksanaan feodal, wilayah kedaulatan kaisar sukar untuk dipastikan, apalagi diukur. Luasnya diperkirakan mencapai puncaknya sekitar tahun 1050, yakni kurang lebih 1.0 Mm2. (Taagepera 1997, hlm. 494)
  5. ^ (Latin: Sacrum Romanum Imperium; Jerman: Heiliges Römisches Reich, pelafalan [ˈhaɪlɪɡəs ˈʁøːmɪʃəs ˈʁaɪç] )
  6. ^ Sekalipun Karel Agung dan para penggantinya memakai gelar kaisar dengan berbagai variannya, tidak seorang pun dari antara mereka yang menyebut diri Kaisar Romawi. Sebutan itu baru dipakai oleh Otto II pada tahun 983. "Nature of the empire". Encyclopædia Britannica Online. Diakses tanggal 15 Februari 2014. 
  7. ^ "pemindahan kekuasaan"

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "GoldenBull" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "prince" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Avakov" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Milan" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Translation" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Kutipan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Charlemagne | Holy Roman emperor". Encyclopædia Britannica Online. Diakses tanggal 16 Oktober 2023. 
  2. ^ Kleinhenz 2004, hlm. 810; "Otto dapat dipandang sebagai pemimpin pertama Kekaisaran Romawi Suci, sekalipun istilah itu baru dipakai pada abad ke-12.".
  3. ^ von Aretin, Karl Otmar Freiherr (31 December 1983). Schieder, Theodor; Brunn, Gerhard, ed. "Das Reich ohne Hauptstadt? Die Multizentralitat der Hauptstadtfunktionen im Reich bis 1806". Hauptstädte in europäischen Nationalstaaten: 5–14. doi:10.1515/9783486992878-003. ISBN 978-3-4869-9287-8. 
  4. ^ "UNIO REGNI AD IMPERIUM in "Federiciana"". Treccani.it. Diakses tanggal 04 Mei 2022. 
  5. ^ "Enrico Vi, Re Di Sicilia E Imperatore In "Federiciana"". Treccani.it. Diakses tanggal 04 Mei 2022. 
  6. ^ Kamp, Norbert. "Federico Ii Di Svevia, Imperatore, Re Di Sicilia E Di Gerusalemme, Re Dei Romani In "Federiciana"". Treccani.it. Diakses tanggal 04 Mei 2022. 
  7. ^ Brady 2009, hlm. 211.
  8. ^ Pavlac & Lott 2019, hlm. 249.
  9. ^ Wissenschaften, Neuhausener Akademie der (14 July 2021). Beiträge zur bayerischen Geschichte, Sprache und Kultur (dalam bahasa Jerman). BoD – Books on Demand. hlm. 106. ISBN 978-3-0006-9644-2. 
  10. ^ Schmitt, Oliver Jens (5 July 2021). Herrschaft und Politik in Südosteuropa von 1300 bis 1800 (dalam bahasa Jerman). Walter de Gruyter GmbH & Co KG. hlm. 659. ISBN 978-3-1107-4443-9. 
  11. ^ Buchmann, Bertrand Michael (2002). Hof, Regierung, Stadtverwaltung: Wien als Sitz der österreichischen Zentralverwaltung von den Anfängen bis zum Untergang der Monarchie (dalam bahasa Jerman). Verlag für Geschichte und Politik. hlm. 37. ISBN 978-3-4865-6541-6. 
  12. ^ Klopstock, Friedrich Gottlieb (1974). Werke und Briefe: historisch-kritische Ausgabe (dalam bahasa Jerman). W. de Gruyter. hlm. 999. Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  13. ^ Pihlajamäki, Heikki; Dubber, Markus D.; Godfrey, Mark (4 July 2018). The Oxford Handbook of European Legal History (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 762. ISBN 978-0-1910-8838-4. Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  14. ^ Johnston, William M. (23 March 1983). The Austrian Mind: An Intellectual and Social History, 1848–1938 (dalam bahasa Inggris). University of California Press. hlm. 13. ISBN 978-0-5200-4955-0. 
  15. ^ Pavlac & Lott 2019, hlm. 278.
  16. ^ Žůrek 2014.
  17. ^ Wilson 2016, hlm. v–xxvi.
  18. ^ a b Wilson 2016, hlm. 496.
  19. ^ Coy, Jason Philip; Marschke, Benjamin; Sabean, David Warren (1 October 2010). The Holy Roman Empire, Reconsidered (dalam bahasa Inggris). Berghahn Books. hlm. 2. ISBN 978-1-8454-5992-5. 
  20. ^ "Holy Roman Empire". Encyclopædia Britannica Online. Diakses tanggal 15 Februari 2014. 
  21. ^ "Charlemagne". History. 9 November 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 September 2022. Diakses tanggal 19 September 2022. 
  22. ^ Cantor 1993, hlm. 212–215.
  23. ^ a b Gascoigne, Bamber. "History of the Holy Roman Empire". HistoryWorld. 
  24. ^ Davies 1996, hlm. 316–317.
  25. ^ Peters, Edward (1977). Europe: the World of the Middle Ages (dalam bahasa Inggris). Prentice-Hall. hlm. 418. ISBN 978-0-1329-1898-5. Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  26. ^ Weiler, Björn K. U.; MacLean, Simon (2006). Representations of Power in Medieval Germany 800–1500 (dalam bahasa Inggris). Isd. hlm. 126. ISBN 978-2-5035-1815-2. Diakses tanggal 9 Maret 2022. 
  27. ^ Loud, Graham A.; Schenk, Jochen (6 July 2017). The Origins of the German Principalities, 1100–1350: Essays by German Historians (dalam bahasa Inggris). Taylor & Francis. hlm. 49. ISBN 978-1-3170-2200-8. 
  28. ^ Streissguth, Tom (24 June 2009). The Middle Ages (dalam bahasa Inggris). Greenhaven Publishing. hlm. 154. ISBN 978-0-7377-4636-5. 
  29. ^ Wilson 1999, hlm. 18.
  30. ^ a b c d Whaley 2012a, hlm. 17–21.
  31. ^ Bryce 1890, hlm. 2–3.
  32. ^ a b Garipzanov 2008.
  33. ^ Breverton 2014, hlm. 104.
  34. ^ Wilson 2016b, hlm. 79.
  35. ^ Brady 2009, hlm. 104–106.
  36. ^ Brady 2009, hlm. 128, 129.
  37. ^ a b Johnson 1996, hlm. 23.
  38. ^ a b Wilson 1999, hlm. 2.
  39. ^ a b Whaley 2011, hlm. 17.
  40. ^ Moraw 1999, col. 2025–2028.
  41. ^ Whaley 2011, hlm. 19–20.
  42. ^ Schulze 1998, hlm. 52–55.
  43. ^ "német-római birodalom – Magyar Katolikus Lexikon". lexikon.katolikus.hu. Diakses tanggal 03 Agustus 2022. 
  44. ^ Wilson 2006, hlm. 719.
  45. ^ Voltaire 1773, hlm. 338.
  46. ^ Jorio & Braun 2016.
  47. ^ Lauryssens 1999, hlm. 102.
  48. ^ Bachrach, David S. (2014). Warfare in Tenth-Century Germany (dalam bahasa Inggris). Boydell & Brewer Ltd. hlm. 3,5,12,60,73,103,180,254. ISBN 978-1-8438-3927-9. Diakses tanggal 31 Juli 2022. 
  49. ^ Brown, Warren (February 2015). "Warfare in Tenth-Century Germany [Book Review]". Early Medieval Europe. 23 (1): 117–120. doi:10.1111/emed.12090. Diarsipkan dari versi asli tanggal 31 Juli 2022. Diakses tanggal 31 Juli 2022. 
  50. ^ Bryce 1890, hlm. 183.
  51. ^ "Italy in the 14th and 15th centuries". Encyclopædia Britannica Online. Diakses tanggal 18 Desember 2020. 
  52. ^ Innes 2000, hlm. 167–170.
  53. ^ Bryce 1890, hlm. 35.
  54. ^ Davies 1996, hlm. 232, 234.
  55. ^ Bryce 1890, hlm. 35–38.
  56. ^ McKitterick 2018, hlm. 48–50.
  57. ^ "France: History, Map, Flag, Capital, & Facts". Encyclopædia Britannica Online. 16 May 2023. 
  58. ^ Bryce 1890, hlm. 38–42.
  59. ^ Johnson 1996, hlm. 22.
  60. ^ Kohn 2006, hlm. 113–114.
  61. ^ Duffy 1997, hlm. 62–63.
  62. ^ a b Bryce, hlm. 44, 50–52
  63. ^ a b McKitterick 2018, hlm. 70.
  64. ^ a b Collins 2014, hlm. 131.
  65. ^ Chambers, Mortimer (1974). The Western Experience (dalam bahasa Inggris). Knopf. hlm. 204. ISBN 978-0-3943-1806-6. Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  66. ^ Witt, Ronald G. (19 March 2012). The Two Latin Cultures and the Foundation of Renaissance Humanism in Medieval Italy (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 27. ISBN 978-0-5217-6474-2. Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  67. ^ Taylor & Hansen-Taylor 1894, hlm. 117.
  68. ^ Taylor & Hansen-Taylor 1894, hlm. 118.
  69. ^ Taylor & Hansen-Taylor 1894, hlm. 121.
  70. ^ Hoyt & Chodorow 1976, hlm. 197.
  71. ^ Magill 1998, hlm. 706.
  72. ^ Cantor 1993, hlm. 212–213.
  73. ^ Bernhardt, John W. (22 August 2002). Itinerant Kingship and Royal Monasteries in Early Medieval Germany, C.936–1075 (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 23. ISBN 978-0-5215-2183-3. Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  74. ^ Wickham, Chris (15 October 2016). Medieval Europe (dalam bahasa Inggris). Yale University Press. hlm. 131. ISBN 978-0-3002-2221-0. Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  75. ^ Cantor 1993, hlm. 214–215.
  76. ^ a b Magill 1998, hlm. 707.
  77. ^ Tucker, Spencer C. (23 December 2009). A Global Chronology of Conflict: From the Ancient World to the Modern Middle East [6 volumes]: From the Ancient World to the Modern Middle East (dalam bahasa Inggris). ABC-CLIO. hlm. 412. ISBN 978-1-8510-9672-5. Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  78. ^ Geanakoplos, Deno John (1979). Medieval Western Civilization and the Byzantine and Islamic Worlds: Interaction of Three Cultures (dalam bahasa Inggris). D. C. Heath. hlm. 207. ISBN 978-0-6690-0868-5. Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  79. ^ "Otto I - Legacy Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2 Maret 2022. 
  80. ^ Biographie, Deutsche. "Otto I. - Deutsche Biographie". www.deutsche-biographie.de (dalam bahasa Jerman). Diakses tanggal 5 Maret 2022. 
  81. ^ Davids, Adelbert (15 August 2002). The Empress Theophano: Byzantium and the West at the Turn of the First Millennium (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 188. ISBN 978-0-5215-2467-4. Diakses tanggal 9 Maret 2022. 
  82. ^ Jansen, S. (17 October 2002). The Monstrous Regiment of Women: Female Rulers in Early Modern Europe (dalam bahasa Inggris). Springer. hlm. 153. ISBN 978-0-2306-0211-3. Diakses tanggal 9 Maret 2022. 
  83. ^ MacLean, Simon (2017). Ottonian Queenship (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 169. ISBN 978-0-1988-0010-1. Diakses tanggal 9 Maret 2022. 
  84. ^ Digby, Kenelm Henry (1891). Mores Catholici: Books VII-IX (dalam bahasa Inggris). P. O'Shea. hlm. 939. Diakses tanggal 9 Maret 2022. 
  85. ^ Magill 1998, hlm. 708.
  86. ^ McBrien 2000, hlm. 138.
  87. ^ Sladen 1914.
  88. ^ Cantor 1993, hlm. 215–217.
  89. ^ Bideleux, Robert; Jeffries, Ian (10 April 2006). A History of Eastern Europe: Crisis and Change (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 119. ISBN 978-1-1347-1985-3. Diakses tanggal 30 Mei 2022. 
  90. ^ Lewis, Archibald Ross (1988). Nomads and Crusaders, A.D. 1000-1368 (dalam bahasa Inggris). Georgetown University Press. hlm. 83. ISBN 978-0-2533-4787-9. Diakses tanggal 30 Mei 2022. 
  91. ^ Fried, Johannes (13 January 2015). The Middle Ages (dalam bahasa Inggris). Harvard University Press. hlm. 138. ISBN 978-0-6747-4467-7. Diakses tanggal 30 Mei 2022. 
  92. ^ Rowland, Christopher; Barton, John (2002). Apocalyptic in History and Tradition (dalam bahasa Inggris). Bloomsbury Academic. hlm. 173. ISBN 978-0-8264-6208-4. Diakses tanggal 30 Mei 2022. 
  93. ^ Arnason, Johann P.; Wittrock, Björn (1 January 2005). Eurasian Transformations, Tenth to Thirteenth Centuries: Crystallizations, Divergences, Renaissances (dalam bahasa Inggris). BRILL. hlm. 100. ISBN 978-9-0474-1467-4. Diakses tanggal 30 Mei 2022. 
  94. ^ German Polish Dialogue: Letters of the Polish and German Bishops and International Statements (dalam bahasa Inggris). Ed. Atlantic-Forum. 1966. hlm. 9. Diakses tanggal 30 Mei 2022. 
  95. ^ Emmerson, Richard K. (18 October 2013). Key Figures in Medieval Europe: An Encyclopedia (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 497. ISBN 978-1-1367-7518-5. Diakses tanggal 30 Mei 2022. 
  96. ^ Muldoon, J. (19 August 1999). Empire and Order: The Concept of Empire, 800–1800 (dalam bahasa Inggris). Springer. hlm. 35. ISBN 978-0-2305-1223-8. Diakses tanggal 30 Mei 2022. 
  97. ^ a b Barraclough 1984, hlm. 101–134.
  98. ^ a b Barraclough 1984, hlm. 109.
  99. ^ Barraclough 1984, hlm. 122–124.
  100. ^ Barraclough 1984, hlm. 123.
  101. ^ Barraclough 1984, hlm. 123–134.
  102. ^  Chisholm, Hugh, ed. (1911). "Silesia". Encyclopædia Britannica. 25 (edisi ke-11). Cambridge University Press. 
  103. ^ Herrmann 1970, hlm. 530.
  104. ^ Haffner 2019, hlm. 6–10.
  105. ^ Smail & Gibson 2009.
  106. ^ Arnold 1995, hlm. 398.
  107. ^ Hunyadi & Laszlovszky 2001, hlm. 129.
  108. ^ Boettcher, Carl-Heinz (2005). Europas Weg in die Neuzeit: vom Weltstaat zur Staatenwelt (dalam bahasa Jerman). Röhrig Universitätsverlag. hlm. 342. ISBN 978-3-8611-0390-5. Diakses tanggal 15 Oktober 2022. 
  109. ^ Ehlers, Joachim (2003). "Heinrich VI.". Dalam Schneidmüller, Bernd; Weinfurter, Stefan. Die deutschen Herrscher des Mittelalters: historische Portraits von Heinrich I. bis Maximilian I. (919-1519) (dalam bahasa Jerman). C.H.Beck. hlm. 258–271. ISBN 978-3-4065-0958-2. Diakses tanggal 15 Oktober 2022. 
  110. ^ Koenigsberger, H. G. (14 January 2014). Medieval Europe 400 - 1500 (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 105. ISBN 978-1-3178-7088-3. Diakses tanggal 15 Oktober 2022. 
  111. ^ Pavlac & Lott 2019, hlm. 17.
  112. ^ Grant, Jeanne (23 October 2014). For the Common Good: The Bohemian Land Law and the Beginning of the Hussite Revolution (dalam bahasa Inggris). BRILL. hlm. 8. ISBN 978-9-0042-8326-8. Diakses tanggal 2 November 2022. 

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "isites" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "reichskammergericht.de" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "Thelocalgermancapitals" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Sumber[sunting | sunting sumber]

Bahan bacaan lanjutan[sunting | sunting sumber]

  • Arnold, Benjamin (1991). Princes and Territories in Medieval Germany. Cambridge University Press. ISBN 978-0-5215-2148-2. OL 7744146M. 
  • Bryce, James (1864). The Holy Roman Empire. Macmillan. OCLC 1347435. OL 17729330M. 
  • Coy, Jason Philip; Marschke, Benjamin; Sabean, David Warren, ed. (2010). The Holy Roman Empire, Reconsidered. Berghahn Books. ISBN 978-1-8454-5992-5. OL 38653949M. 
  • Donaldson, George. Germany: A Complete History (Gotham Books, New York, 1985)
  • Hahn, Hans Joachim. German thought and culture: From the Holy Roman Empire to the present day (Manchester University Press, 1995).
  • Scribner, Bob. Germany: A New Social and Economic History, Jld. 1: 1450–1630 (1995)
  • Stollberg-Rilinger, Barbara. The Holy Roman Empire: A Short History. Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 2018.
  • Treasure, Geoffrey. The Making of Modern Europe, 1648–1780 (edisi ke-3, tahun 2003). hlmn. 374–426.
  • Zophy, Jonathan W., (penyunting) The Holy Roman Empire: A Dictionary Handbook (Greenwood Press, 1980)

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Peta[sunting | sunting sumber]