Filsafat abad pertengahan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Filsafat berada di antara ketujuh ilmu humaniora – Gambar diambil dari Hortus deliciarum dari Herrad von Landsberg (abad ke-12).

Filsafat abad pertengahan adalah filsafat pada era yang dikenal sebagai abad pertengahan, periode sejarah yang membentang dari jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5 masehi hingga periode Renaissance pada abad ke-16. Filsafat abad pertengahan, dipahami sebagai sebuah proyek penyelidikan filosofis yang independen, yang dimulai di Baghdad, di tengah-tengah abad ke-8, dan di Prancis, dalam masa pemerintahan Charlemagne, pada kuartal terakhir abad ke-8. Periode ini juga didefinisikan sebagai proses menemukan kembali budaya kuno yang pernah berkembang pada masa Yunani dan Roma pada periode klasik, dan juga kebutuhan untuk mengatasi masalah teologis dan untuk mengintegrasikan ajaran suci dengan pembelajaran sekuler.

Sejarah filsafat abad pertengahan lazimnya dibagi menjadi dua periode: periode di Barat Latin mengikuti Awal Abad Pertengahan sampai abad ke-12, ketika karya-karya dari Aristoteles dan Plato dilestarikan dan dibudidayakan, serta pada masa keemasan di sekitar abad ke-12, ke-13 dan abad ke-14 di Barat Latin, yang merupakan puncak dari pengembalian filsafat kuno, yang diperoleh kembali dari para pemikir di dunia berbahasa arab, dan perkembangan yang signifikan di bidang Filsafat agama, Logika dan Metafisika.

Era abad pertengahan umumnya dipandang remeh oleh para humanis pada zaman Renaissance, lantaran mereka melihat filsafat pada Abad Pertengahan sebagai periode barbar "yang menengahi" filsafat pada periode klasik dari kebudayaan Yunani dan Romawi, dan 'kelahiran kembali' budaya pagan-klasik tersebut pada zaman renaissance. Sejarawan Modern menganggap era abad pertengahan merupakan periode dalam kronologi perkembangan filsafat, yang bagaimanapun sangat dipengaruhi oleh teologi Kristianitas. Salah satu yang paling terkenal dalam periode ini adalah Thomas Aquinas, yang tidak pernah menganggap dirinya seorang filsuf, dan mengkritik para filsuf kerap "tidak bisa menangkap kebenaran kebijaksanaan yang memadai sebagaimana yang dapat diungkapkan oleh kebenaran Kristianitas".

Masalah yang dibahas sepanjang periode ini adalah hubungan iman dengan akal budi, eksistensi dan kemudahan dari Allah, tujuan dari teologi dan metafisika, dan masalah-masalah pengetahuan, universalisme, dan individuasi.