Lompat ke isi

GPIB Sion Jakarta

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
GPIB Jemaat Sion DKI Jakarta
Portugese Buitenkerk, Jassen Kerk, Gereja Sion
Interior Gereja Sion, tahun 2011
PetaKoordinat: 6°8′17.880″S 106°49′4.080″E / 6.13830000°S 106.81780000°E / -6.13830000; 106.81780000
LokasiJakarta Barat, DKI Jakarta
NegaraIndonesia
DenominasiProtestan
Tanggal konsekrasi23 Oktober 1695
Arsitektur
Status fungsionalAktif
ArsitekEwout Verhagen dari Rotterdam
Tipe arsitekturGereja
GayaKolonial Belanda awal/Hindia lama
Peletakan batu pertama19 Oktober 1693
Selesai1695

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat Jemaat Sion DKI Jakarta, sering disingkat GPIB Jemaat Sion DKI Jakarta atau Gereja Sion, adalah sebuah gereja Kristen Protestan di Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat dengan bangunan yang telah berdiri sejak abad ke-17 M. Gereja Sion merupakan gedung tertua di Jakarta yang masih dipakai sesuai dengan fungsi awal saat didirikan dan boleh jadi merupakan gedung gereja protestan tertua di Asia yang masih aktif hingga kini.[1]

Cikal bakal gereja bermula dari 1676, sebagai gereja sederhana dengan liturgi berbahasa Portugis untuk kaum Mardijker dan Kristen pribumi-campuran Batavia. Gereja ini kerap dirujuk sebagai Portugese Buitenkerk "Gereja Portugis Luar Kota". Karena tumbuhnya jumlah jemaat, Buitenkerk kemudian dibangun ulang dengan andil VOC menjadi gedung permanen antara 1693 hingga 1695, dengan bentuk yang relatif tidak banyak berubah hingga kini. Setelah kemerdekaan Indonesia, Buitenkerk resmi berganti nama menjadi GPIB Jemaat Sion atau Gereja Sion pada tahun 1957. Selain bangunan keseluruhan, berbagai peninggalan kolonial masih bisa ditemukan di gereja ini, termasuk mebel, nisan, dan prasasti.

Nama dan jemaat

[sunting | sunting sumber]
Gambaran Mardijker dari sekitar 1700-an, salah satu kaum yang menjadi jemaat utama Portugese Buitenkerk.

Gereja yang kini dikenal sebagai Gereja Sion memiliki sejumlah nama dan julukan sepanjang sejarahnya. Sebagian besar catatan sejarah dari masa pra-kemerdekaan mengenal gereja ini dengan nama Portugese Buitenkerk (Gereja Portugis Luar).[a] Istilah buiten- (luar) dalam nama tersebut merujuk pada lokasinya di luar tembok kota Batavia serta pembeda dari gereja lain bernama Portugese Binnenkerk (Gereja Portugis Dalam). Karena Binnenkerk dibangun lebih dulu, identitas Buitenkerk dalam beberapa sumber juga lebih diperjelas dengan nama Nieuwe Portuguese Buitenkerk (Gereja Portugis Baru Luar).[1][2]

Kata Portugese yang disandang gereja Binnenkerk dan Buitenkerk tidak bermaksud harfiah bangsa Portugis melainkan merujuk pada kaum Mardijker serta Kristen bekas budak berdarah pribumi-campuran di Batavia yang berbahasa Portugis dalam kesehariannya.[3] Karena penggunaan bahasa Portugis yang sudah mengakar,[4][5] administrasi VOC (tepatnya Majelis Gereja atau Kerkenraad)[6] menggangap lebih praktis untuk mengurus gereja terpisah berbahasa Portugis dibanding memaksa jemaat Mardijker menggunakan bahasa Belanda dalam gereja tunggal. Hal ini juga menjadi bentuk pengendalian dan segregasi etnis; jemaat Belanda menggunakan Gereja Belanda,[b] sementara jemaat Mardijker dan pribumi Kristen menggunakan gereja Portugis. Binnenkerk melayani jemaat Mardijker kelas atas dan Buitenkerk melayani jemaat kelas bawah.[1][7][c]

Selain "Buitenkerk", beberapa peta Batavia dari akhir 1700an juga menjuluki gereja ini sebagai Jassen Kerk dan Jassenkerkhof "Gereja Jassen".[d] Nama ini berasal dari sebuah jembatan di dekatnya, Jassenbrug, yang tercantum di sejumlah peta tua Batavia.[e] Lambat laun, jembatan, wilayah di sekitarnya, dan sebuah makam di kuburan gereja Buitenkerk dikaitkan dengan seorang "Kapiten Jass" yang dianggap sebagai sumber nama dari wilayah tersebut. Namun, kemungkinan besar ia hanyalah tokoh rekaan rakyat karena keberadaan Kapiten Jass tidak memiliki bukti sejarah.[8][f]

Pada tahun 1806, Gubernur Jendral Herman Willem Daendels memerintahkan tembok dan benteng pertahanan kota Batavia untuk dibongkar,[10] sehingga unsur nama "Buitenkerk" tidak lagi relevan. Pada 1808, Gereja Portugis Binnenkerk ludes terbakar sehingga Buitenkerk menjadi satu-satunya gereja yang menyandang nama "Portugese" di Batavia.[g] Namun, kebanyakan jemaat Mardijker pada masa itu sudah terasimilasi dengan masyarakat lokal dan tidak lagi fasih berbahasa Portugis. Bahasa liturgi Buitenkerk bertransisi ke bahasa Melayu dan pendeta terakhir Buitenkerk yang fasih berbahasa Portugis, Abraham Anthonij Engelbrecht, meninggal pada tahun 1808.[12][13][14] Nama Portugese Buitenkerk menjadi tidak lagi deskriptif karena tidak menggunakan liturgi berbahasa Portugis dan tidak terletak di luar tembok kota. Namun begitu, gereja tetap umum dikenal sebagai Portugese Buitenkerk hingga kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, kepengurusan Buitenkerk beralih ke bawah naungan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (disingkat GPIB), dan pada 1957 gereja Buitenkerk resmi berganti nama menjadi GPIB Jemaat Sion atau Gereja Sion.[15]

Pendirian

[sunting | sunting sumber]

Setidaknya sejak 1655, tapak yang menjadi lokasi Gereja Sion telah berfungsi sebagai wilayah kuburan. Pada tahun 1676, tercatat sebuah gereja sederhana berbahan bambu telah berdiri di tapak tersebut untuk melayani kaum Mardijker serta Kristen pribumi-campuran yang tinggal di luar tembok kota Batavia.[16][17] Dikarenakan jumlah jemaat yang meningkat, administrasi VOC merencanakan pembesaran gereja tersebut. Tanggung jawab perancangan gereja baru jatuh pada Ewout Verhagen dari Rotterdam, kepala ambachtskwartier (daerah bengkel dan kriya) Batavia,[h] yang rancangannya kemudian disetujui VOC pada 11 Juli 1692. Pembangunan gereja sebagian dibiayai oleh dana yang awalnya diperuntukkan untuk Diakonia Belanda di Formosa (Taiwan), namun teralihkan ke Batavia semenjak Pengepungan Benteng Zeelandia oleh Koxinga pada 1662 dan pengusiran Belanda dari Taiwan.[12][19] Upaya pembangunan juga didukung sumbangan dari keluarga Mardijker kaya dan tokoh pemerintahan VOC seperti Gubernur Jenderal Johannes Camphuys (menjabat 1684-1691).[20][i] Batu pertama diletakkan pada 19 Oktober 1693 oleh seorang bernama Pieter van Hoorn, kemungkinan kerabat Gubernur Jendral Willem van Outhoorn (menjabat 1691-1704) dan Joan van Hoorn (nantinya menjabat sebagai gubernur jendral pada 1704-1709).[23]

Gereja selesai dibangun dan dikonsekrasi pada hari Minggu, 23 Oktober 1695. Konsekrasi dilakukan dua kali; pada pagi hari oleh Pendeta Theodorus Zas dengan bahasa Belanda dan pada sore hari oleh Pendeta Jacobus op den Acker dengan bahasa Portugis.[12][19][24] Acara konsekrasi dihadiri oleh Gubernur Jendral Willem van Outhoorn[2] dan diperingati dengan sebuah plakat kayu yang hingga kini masih bergantung di tembok gereja Sion. Sebagian isinya berbunyi (dengan terjemahan kasar):[23][25]

Semenjak selesai didirikan pada 1695, Gereja Sion mengalami renovasi dan pemugaran signifikan pada tahun 1725, 1920, 1976, dan 2002. Namun keseluruhan bangunan relatif tidak banyak berubah dari rupa petamanya. Gereja memiliki denah hampir-persegi dengan luas 27 × 34 meter. Keseluruhan bangunan didirikan di atas 10.000 tiang pancang [en] dengan dinding bata-plester tipikal Belanda berketebalan 45 cm yang dipuncaki pelipit/entablatur [en] sederhana. Pintu akses terletak di tengah dinding barat dan utara dengan aksen kolom doria serta pedimen segitiga. Terdapat lima jendela pada masing-masing dinding timur-barat, tiga jendela pada dinding utara, dan dua jendela pada dinding selatan. Jendela yang berada di atas pintu memiliki ujung lengkung sementara jendela lain memiliki ujung yang sedikit melancip. Pada awalnya, hanya bagian lengkung atas jendela yang memiliki kaca. Sementara itu, bagian lain jendela ditutup dengan anyaman rotan. Kaca yang kini terlihat di seluruh bagian jendela merupakan tambahan abad ke-19.[26][27] Keseluruhan atap gereja terdiri dari tiga atap pelana yang dikelilingi oleh setengah atap perisai [en] bertritis panjang. Pada pemugaran tahun 1921, struktur ini diganti dengan atap perisai tunggal.[28]

Interior dan mebel

[sunting | sunting sumber]

Interior Gereja Sion terdiri dari satu ruang panjang dengan tiga lorong panti umat (nave) dengan langit-langit kubah tong berlapis kayu. Susunan ruang semacam ini juga umum ditemukan di Belanda. Berdasarkan tinggi langit-langit lorong yang setara, Gereja Sion dapat digolongkan sebagai gereja bangsal [en].[25] Langit-langit disangga dua baris tiga kolom bergaya doria. Kolom doria yang kini terlihat kemungkinan awalnya berbahan kayu dan diganti menjadi batu pada renovasi 1725. Lantai tertutupi oleh tegel batu yang kemungkinan didatangkan dari India.[28]

Altar dan mimbar terletak pada sisi selatan gereja. Mimbar memiliki bentuk seperti cawan dengan tangga akses di sisi selatan, berbahan kayu, dan dihias dengan ukiran barok rumit bersepuh emas. Tercatat bahwa mimbar ini dibuat tukang kayu Hendrik Bruyn pada tahun 1695 dan dibangun dengan biaya 260 rupee. Coen Temminck Groll menduga bahwa Bruyn dibantu tukang-tukang Jawa dalam pembuatan mimbar karena gaya ukiran baroknya tampak memiliki sedikit campuran Jawa,[28] tetapi bantuan mereka mungkin terbatas pada eksekusi pahatan-pahatan tertentu karena tukang Jawa cenderung kurang dipercaya sebagai pengrajin mebel oleh masyarakat Eropa di Batavia abad 17-18. Masyarakat Jawa (dan kebanyakan masyarakat pribumi Indonesia) masa itu tidak menggunakan mebel konstruksional seperti kursi dan meja dalam kehidupan sehari-hari sehingga mebel buatan tukang kayu lokal seringkali dinilai terlalu ringkih oleh klien Eropa.[29] Namun begitu, pengrajin Jawa kadang diperkerjakan untuk tahap mengukir dan finishing mebel mewah dalam bengkel yang dimandori pengrajin Eropa atau Tionghoa.[30]

Keseluruhan altar dan mimbar dinaungi kanopi kayu berkubah bawang yang disangga dua kolom kayu berulir. Kanopi ini ditambah tahun 1808. Namun berdasarkan langgamnya, Groll menduga bahwa kolom ulir kanopi dibuat jauh lebih dulu untuk fungsi yang tidak lagi diketahui, kemudian dialih-fungsikan sebagai penyangga kanopi.[28] Menurut Adolf Heuken, kanopi ini berasal dari Gereja Belanda dan dipindahkan ke Buitenkerk ketika Gereja Belanda dibongkar pada tahun 1808.[31]

Sebuah pipa organ atau orgel yang masih berfungsi terpasang di balkon sisi utara gereja. Balkon orgel awalnya melintang dari tembok timur ke barat tetapi dipangkas di kemudian hari hingga menyisakan bagian tengah saja. Sebagaimana mimbar di sisi selatan, orgel Sion dihiasi dengan pahatan barok rumit dengan sedikit campuran gaya Jawa. Pada tahun 1782, tercatat adanya sumbangan orgel dari Johanna Mauritia Mohr, putri pengkhotbah dan astronom Johan Maurits Mohr, tetapi orgel ini belum siap dipakai hingga delapan tahun kemudian dan bisa jadi tidak pernah terpasang. Orgel yang kini terpasang berasal dari Portugese Binnenkerk; ketika Binnenkerk ditutup sementara pada tahun 1804, orgel mereka dipindahkan ke Buitenkerk. Konsol orgel merupakan tambahan abad 19. Keseluruhan orgel direstorasi pada tahun 1921 oleh firma Bekker Lefeber bersamaan dengan pemugaran keseluruhan gedung gereja.[32]

Plakat dan nisan

[sunting | sunting sumber]

Tapak sekitar Gereja Sion awalnya adalah kuburan luas. Banyak kaum Mardijker dari berbagai kelas sosial dimakamkan di kuburan tersebut, begitu pula pegawai VOC terutama yang berpangkat rendah.[8] Kini hanya tersisa 11 kuno makam di pekarangan barat dan sejumlah plakat tameng heraldrik atau wapenbord di bagian interior.[33][34][35]

Salah satu makam yang masih tersisa di pekarangan barat gedung adalah makam Gubernur Jendral Hendrick Zwaardecroon, dengan nisan berbahan batu Coromandel dan berplakat tembaga mewah. Secara status sosial, tidak lazim bagi gubernur jenderal untuk dimakamkan di kuburan umum sekelas Buitenkerk, tetapi ini berdasarkan wasiatnya sendiri untuk dimakamkan bersama "rakyat biasa."[23] Makam Zwaardecroon adalah salah satu dari tiga makam gubernur jenderal masa VOC yang tidak pernah dipindahkan dari tempat aslinya.[9] Bertetanggaan dengan makam Zwaardecroon terdapat makam pasangan Mardijker kaya Ragel Titise dan suaminya Titis Anthonijse yang berasal dari Bengal. Menurut Groll, menarik bahwa pasangan tersebut mampu menggunakan nisan dengan ukuran dan kemewahan yang setara dengan nisan Zwaardecroon.[36][37]

Di dalam gedung, terdapat nisan Gubernur Jendral Carel Reyniersz dan istrinya Judith Barra van Amstel. Mereka berdua menyumbangkan tanah yang menjadi cikal bakal Binnenkerk tetapi meninggal sebelum gereja tersebut selesai dibangun. Mereka sebenarnya tidak dikubur di Buitenkerk, tetapi nisannya ditemukan kembali di Surabaya pada tahun 1922 kemudian disimpan di Buitenkerk.[34] Di dinding, tergantung sejumlah plakat tameng heraldrik berbahan kayu. Plakat ini berfungsi seperti nisan, sebagai peringatan dari individu yang dikubur di Buitenkerk. Salah satu plakat misal merupakan milik Barent Ketel tot Hacfort, komandan VOC yang pernah ditugaskan di kawasan Coromandel.[33][34]

  • Karena belum memiliki gereja sendiri, komunitas Kristen di Depok sepanjang abad 18 beribadah di Gereja Sion, meski pada masa itu liturgi Gereja Sion masih berbahasa Portugis dan umat Kristen Depok tidak berbahasa Portugis.[38]
  • Penginjil Sadrach (nama lahir Radin) dibaptis di Gereja Sion pada 14 April 1867.[39]
  • Pada tahun 1943, tentara Jepang berwacana mengubah gedung Gereja Sion menjadi tempat penyimpanan abu jenazah serdadu, namun hal ini dibatalkan.[40]
  • Pada tahun 1953, sinode hampir menjual gedung Gereja Sion untuk dijadikan pabrik karena kekurangan uang, namun hal ini dicegah Mohammad Yamin selaku Menteri Pendidikan dan Budaya waktu itu.[40]
  1. ^ Dengan berbagai ejaan seperti Portugese/Portugeesche/Portugeeſche, Buitenkerk/Buiten Kerk/Buytenkerk/Buÿtenkerk.
  2. ^ Tapaknya kini ditempati Museum Wayang.
  3. ^ Satu lagi gereja di sekitar Batavia yang melayani jemaat berbahasa Portugis adalah gereja Kampung Tugu yang sekarang menjadi GPIB Tugu Jakarta.[6]
  4. ^ Misal van Krevelt, Abraham (1780) Plan Der Stad En ’t Kasteel Batavia dan Tency, P.J. (1797) Plattegrond van het kasteel en de stad Batavia
  5. ^ Misal van Krevelt, Abraham (1780) Plan Der Stad En ’t Kasteel Batavia
  6. ^ Ketika sebagian besar makam di kuburan gereja dipindahkan ke Tanah Abang pada 1800an, makam yang konon merupakan milik Kapiten Jass juga dipindahkan.[9]
  7. ^ Gereja di Kampung Tugu sebenarnya masih menggunakan liturgi berbahasa Portugis Kreol hingga 1816,[11] tetapi Kampung Tugu pada masa itu tidak termasuk dalam wilayah kota Batavia.
  8. ^ Di sekitar masa yang sama, Ewout Verhagen juga tercatat bekerja sebagai juru ukur tanah di College van Heemraden.[18]
  9. ^ Karena banyaknya sumbangan barang berharga (misal piring-pring perak perjamuan suci sumbangan Camphuys) yang disimpan di gereja Buitenkerk dan lokasinya yang berada di luar tembok pertahanan kota, pos jaga pernah perlu ditempatkan di depan gereja untuk keamanan terutama saat malam hari.[21] Namun menurut Adolf Heuken tidak ada lagi dari khazanah tersebut yang masih disimpan di Gereja Sion.[22]
  10. ^ Pieter yang disebut di plakat ini bukan bermaksud Pieter van Hoorn [nl] (1619-1682), ayah dari Joan van Hoorn, yang sudah meninggal saat gereja mulai dibangun. Kemungkinan ada seorang kerabat muda Hoorn yang juga bernama Pieter.
  11. ^ Pada konsekrasi kedua yang berbahasa Portugis, Pendeta Acker membacakan Kitab Mazmur 84:2–4.[24]
  1. ^ a b c Groll 1993, hlm. 51.
  2. ^ a b Kwisthout 2018, hlm. 31.
  3. ^ Heuken 2003, hlm. 55-56.
  4. ^ Bosma, Raben, & Wendie 2008, hlm. 46-47.
  5. ^ Spicer 2016, hlm. 325-326.
  6. ^ a b Kortlang, D. Diederick J. (2007). Arsip-arsip Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) Dan Lembaga-lembaga Pemerintahan Kota Batavia (Jakarta). Brill. hlm. 76. ISBN 9789004163652. 
  7. ^ Taylor 2009, hlm. 18, 47-48.
  8. ^ a b Groll 1993, hlm. 57.
  9. ^ a b Heuken 2003, hlm. 64.
  10. ^ Perdana, Abdulhadi, & Simatupang 2023, hlm. 306.
  11. ^ Tan, Raan-Hann (2016). Por-Tugu-Ese? The Protestant Tugu Community of Jakarta, Indonesia (Tesis Doktor Antropologi). Instituto Universitário de Lisboa. p. 84. ISBN 978-989-732-887-9. http://hdl.handle.net/10071/11540. 
  12. ^ a b c Groll 1993, hlm. 52-53.
  13. ^ Heuken 2003, hlm. 55.
  14. ^ Oktorino 2015, hlm. 47.
  15. ^ Oktorino 2015, hlm. 51.
  16. ^ Groll 1993, hlm. 52.
  17. ^ Spicer 2016, hlm. 336.
  18. ^ Xu, Guanmian (2022). "The "Perfect Map" of Widow Hiamtse: A Micro-Spatial History of Sugar Plantations in Early Modern Southeast Asia, 1685–1710" (PDF). 67 (1): 109. doi:10.1017/S002085902100050X. 
  19. ^ a b Heuken 2003, hlm. 57.
  20. ^ Kwisthout 2021, hlm. 30-31.
  21. ^ Spicer 2016, hlm. 338.
  22. ^ Heuken 2002, hlm. 62.
  23. ^ a b c Groll 1993, hlm. 53.
  24. ^ a b Spicer 2016, hlm. 321.
  25. ^ a b Heuken 2003, hlm. 58.
  26. ^ Groll 1993, hlm. 54-55.
  27. ^ Heuken 2003, hlm. 57-59.
  28. ^ a b c d Groll 1993, hlm. 55.
  29. ^ Perdana, Abdulhadi, & Simatupang 2023, hlm. 311.
  30. ^ van Gompel, Hoving, & Klusener 2013, hlm. 63.
  31. ^ Heuken 2003, hlm. 59.
  32. ^ Groll 1993, hlm. 55-56.
  33. ^ a b Groll 1993, hlm. 56.
  34. ^ a b c Heuken 2003, hlm. 61.
  35. ^ Oktorino 2015, hlm. 78.
  36. ^ Groll 1993, hlm. 57-58.
  37. ^ Kwisthout 2021, hlm. 32.
  38. ^ Kwisthout 2021, hlm. 75, 77, 85.
  39. ^ Singgih, Emanuel Gerrit (2015). "A Postcolonial Biography of Sadrach: the Tragic Story of an Indigenous Missionary". Al-Jāmi‘ah: Journal of Islamic Studies. 53 (2): 371. doi:10.14421/ajis.2015.532.367-386. 
  40. ^ a b Heuken 2003, hlm. 62.

Daftar Pustaka

[sunting | sunting sumber]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]