Reformasi Inggris
Reformasi Inggris adalah serangkaian peristiwa di Inggris pada abad ke-16 ketika Gereja Inggris memisahkan diri dari pemerintahan Paus dan Gereja Katolik Roma. Peristiwa ini terkait dengan Reformasi Protestan yang menyebar luas di seluruh Eropa, menjadi gerakan keagamaan dan politik yang memengaruhi praktik Kekristenan di sebagian besar Eropa selama periode ini. Faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa ini di antaranya adalah kemerosotan feodalisme dan kebangkitan nasionalisme, diciptakannya hukum umum, penemuan mesin cetak yang meningkatkan oplah Alkitab, serta tersebarnya ide dan pengetahuan baru di kalangan ilmuwan dan kelas menengah ke atas. Namun, berbagai tahapan Reformasi Inggris, yang juga berlangsung di Wales dan Irlandia, sebagian besarnya dipicu oleh kebijakan pemerintah, dan opini publik ikut menyesuaikan diri secara bertahap.
Berawal dari kekesalan Henry VIII terhadap Gereja Katolik Roma karena tidak bersedia membatalkan pernikahannya, Reformasi Inggris pada awalnya lebih berupa masalah politik ketimbang masalah teologi. Fakta bahwa adanya perbedaan pandangan politik antara Inggris dan Roma memicu munculnya perselisihan ideologis di kemudian hari.[1] Sebelum Inggris memisahkan diri dari Roma, kewenangan untuk memutuskan doktrin berada di tangan Paus dan dewan umum gereja. Tindakan gereja diatur oleh kode hukum kanon, dan kekuasaan mengadili dipegang oleh Roma.
Pajak Gereja dibayar langsung pada Roma, dan Paus memiliki hak untuk memutuskan pengangkatan uskup. Setelah putus hubungan dengan Roma, monarki Inggris ditetapkan sebagai Gubernur Tertinggi Gereja Inggris melalui Supremasi Kerajaan, menjadikan Gereja Inggris sebagai agama resmi negara. Doktrin dan putusan hukum berada di tangan raja, dan hak Paus untuk mengangkat uskup dan memungut pajak turut diambil alih oleh Gereja Inggris.
Struktur dan teologi gereja di Inggris telah menjadi sumber sengketa selama beberapa generasi. Perselisihan tersebut berakhir dengan pecahnya Revolusi Agung pada tahun 1688. Setelah revolusi, muncul pemerintahan gereja yang beranggotakan sejumlah gereja nonkonformis yang didiskriminasi oleh kaum mayoritas, misalnya pemusnahan minoritas Katolik Roma yang dilegalkan oleh organisasi gereja hingga abad ke-19.
Latar belakang[sunting | sunting sumber]


Henry VIII naik takhta sebagai raja Inggris pada tahun 1509 saat berusia 17 tahun. Ia menikah dengan Catharina dari Aragon, janda kakaknya, Arthur, pada bulan Juni 1509, tepat sebelum upacara penobatannya. Tidak seperti ayahnya yang penuh rahasia dan berpandangan konservatif, Henry muda memiliki sifat yang sopan dan penuh keramahan. Sebagai Katolik yang taat, ia mengikuti hampir lima Misa dalam sehari (kecuali pada musim berburu); dari yang sebelumnya "berpikiran kuat dan lugu", ia membiarkan dirinya dipengaruhi oleh penasihatnya pada malam atau siang hari. Henry juga menghargai siapapun yang mau mendengarnya.[2]
Pada tahun 1522, seorang gadis Prancis bernama Anne Boleyn dikirim untuk menjadi dayang Ratu Catharina. Pembawaan Anne yang cerdas dan memesona berhasil memikat Henry.[3] Pada akhir 1520-an, Henry ingin pernikahannya dengan Catharina dibatalkan. Pernikahannya dengan Catharina tidak menghasilkan keturunan lelaki, sedangkan Henry menginginkan seorang putra sebagai ahli waris Dinasti Tudor.
Sebelum ayah Henry (Henry VII) naik takhta, Inggris telah dilanda oleh perang saudara dalam memperebutkan mahkota Inggris. Henry bertekad ingin menghindari hal-hal tersebut dengan cara memiliki ahli waris yang sah.[4] Satu-satunya anak Catharina yang hidup sampai dewasa hanyalah Putri Mary.

Henry beranggapan bahwa ia tidak memiliki keturunan laki-laki karena pernikahannya "suram di mata Tuhan."[5] Catharina adalah seorang janda yang pernah dinikahi oleh kakak Henry, Arthur. Dengan menikahi Catharina, berarti Henry telah menentang ajaran Alkitab (Imamat 20:21).[6] Henry menganggap bahwa yang dilakukannya ini adalah tindakan yang salah dan pernikahannya tidak pernah sah di mata Tuhan. Pada tahun 1527, Henry meminta Paus Klemens VII untuk membatalkan pernikahannya, tetapi Paus menolak. Menurut Hukum Kanon, Paus tidak memiliki hak untuk membatalkan pernikahan atas alasan tersebut. Paus Klemens juga takut akan adanya ancaman dari keponakan Catharina, Kaisar Romawi Suci Karl V.[7]
Henry yang semakin tergoda oleh kecantikan Anne Boleyn semakin bertekad untuk berpisah dengan Catharina.[8] Pada tahun 1529, Penasihatnya, Kardinal Thomas Wolsey, menuduhnya telah mengkhianati gereja dengan mendahulukan kepentingan kerajaan daripada kepentingan Kepausan.[9] Henry kemudian mulai mengumpulkan dukungan untuk memisahkan diri dari Roma.
Debat parlemen[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1529, raja memanggil Parlemen sehubungan dengan masalah pembatalan pernikahan. Parlemen sendiri menyetujui keinginan Henry untuk melakukan reformasi, tetapi tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai tindakan apa yang harus diambil; parlemen ini selanjutnya dikenal dengan nama Parlemen Reformasi. Beberapa AP membenci para pendeta yang memiliki hak istimewa untuk ikut campur dalam pengadilan.[10] Penasihat Henry yang baru, Thomas More, menginginkan pengesahan undang-undang baru yang mengatur mengenai ajaran sesat.[11]
Thomas Cromwell, seorang anggota parlemen yang beragama Protestan, berpendapat bahwa Parlemen bisa dimanfaatkan untuk mendukung Supremasi Kerajaan sebagaimana yang diinginkan Henry. Ia juga mendorong Henry untuk memilih Protestan sebagai agama negara.[10] Thomas Cranmer, anggota Parlemen lainnya yang beragama Protestan, diangkat sebagai Uskup Agung setelah reformasi. Sedangkan mengenai masalah pembatalan pernikahan, kesepakatan masih belum tercapai. Paus sepertinya lebih takut pada Karl V ketimbang Henry. Anne Boleyn dan Cromwell bersikeras bahwa mereka bisa mengabaikan wewenang Paus, tetapi pada Oktober 1530, para rohaniwan berunding dan sepakat bahwa Parlemen tidak berhak untuk menentang wewenang Paus. Henry kemudian memutuskan untuk mengintimidasi para pendeta yang menolak keputusannya.[12]
Keputusan raja[sunting | sunting sumber]
Henry yang geram memutuskan untuk menghukum para pendeta atas tuduhan melanggar praemunire. Undang-Undang Praemunire, yang melarang ketaatan kepada Paus dan penguasa asing dan telah diberlakukan sejak tahun 1392, telah diterapkan terhadap individu dalam sejumlah proses pengadilan. Henry juga menjatuhi hukuman terhadap para pendukung Ratu Catharina, termasuk Uskup John Fisher, Nicholas West dan Henry Standish, serta diakon Adam Travers, atas tuduhan yang sama.[13] Henry menuntut denda sebesar £100.000 sebagai syarat pembebasan mereka, yang akhirnya diberikan oleh Konvokasi pada 24 Januari 1531. Para pendeta menuntut pembayaran tersebut dilakukan selama lima tahun. Henry setuju dan mengeluarkan lima keputusan yang menyatakan bahwa:
- Para rohaniwan mengakui Henry sebagai "pelindung tunggal dan Pemimpin Agung Gereja dan rohaniwan di Inggris."[14]
- Raja memiliki kekuasaan mengadili dalam bidang kerohanian
- Hak istimewa Gereja bisa ditegakkan hanya jika tidak bertentangan dengan hukum kerajaan
- Raja mengampuni para rohaniwan meskipun telah melanggar undang-undang praemunire
- Para biarawan juga diampuni
Lihat juga[sunting | sunting sumber]
- Agama di Inggris
- Sejarah Inggris
- Reformasi Skotlandia
- Reformasi di Swiss
- Reformasi Gereja
- Cestui que
- Piagam Kebebasan
- Undang-Undang Mortmain
- Plot Bubuk Mesiu
Catatan[sunting | sunting sumber]
- ^ Cf. "The Reformation must not be confused with the changes introduced into the Church of England during the 'Reformation Parliament' of 1529-36, which were of a political rather than a religious nature, designed to unite the secular and religious sources of authority within a single sovereign power: the Anglican Church did not until later make any substantial change in doctrine." Roger Scruton, A Dictionary of Political Thought (Macmillan, 1996), hlm. 470.
- ^ Susan Brigden, New Worlds, Lost Worlds (Allen Lane 2000) hlm. u109f. He "...believed he that he could keep his own secrets... but he was often deceived and he deceived himself." (p. 103)
- ^ Brigden, hlm. 111. Her music book contained an illustration of a falcon pecking at a pomegranate: the falcon was her badge, the pomegranate, that of Granada, Catherine's badge.
- ^ Robert Lacey, The Life and Times of Henry VIII, (Book Club Associates, 1972), hlm. 70
- ^ Roderick Phillips, Untying the Knot: A Short History of Divorce (Cambridge University Press, 1991), hlm. 20
- ^ John Fisher mischievously pointed out that, according to Deuteronomy, a man should marry his deceased brother's widow, rather than be prohibited from doing so; see also St. Mark 12:18 ff.
- ^ T. A. Morris, Europe and England in the Sixteenth Century, (Routledge 1998), p166
- ^ Brigden, hlm. 114
- ^ Christopher Haigh, hlm. 92f
- ^ a b MacCulloch, hlm. 200
- ^ Brigden, hlm. 116
- ^ Haigh, hlm. 106
- ^ T. A. Morris, Europe and England in the Sixteenth century, (Routledge, 1998), hlm. 172.
- ^ Tanner Tudor Constitutional Documents (CUP) hlm. 17 gives this as "their singular protector, only and supreme lord, and, as far as the law of Christ allows, even Supreme Head"
Referensi[sunting | sunting sumber]
- Susan Brigden New Worlds, Lost Worlds (Allen Lane 2000)
- Patrick Collinson and John Craig The Reformation in English Towns 1500-1640 (Macmillan 1998)
- A. G. Dickens, The English Reformation (London) (2nd Ed. 1989)
- Eamon Duffy, The Stripping of the Altars: Traditional Religion in England 1400-1580 (Yale, 1992).
- Eamon Duffy, Voices from Morebath (Yale 2001)
- G. R. Elton, England Under the Tudors: Third Edition (Routledge, 1991).
- G. R. Elton, The Tudor Constitution: Second Edition (Cambridge University Press, 1982).
- Christopher Haigh, English Reformations: Religion, Politics, and Society under the Tudors (Oxford, 1993). online edition
- Felicity Heal; Reformation in Britain and Ireland (Oxford UP, 2005) online edition
- Stanford Lehmberg, The Reformation Parliament, 1529 - 1536 (Cambridge University Press, 1970).
- Diarmaid MacCulloch Reformation (Allen Lane 2003)
- Diarmaid MacCulloch Thomas Cranmer (Yale 1996)
- Judith Maltby, Prayer book and People in Elizabethan and Early Stuart England (Cambridge 1998)
- Ridley, Jasper (1962), Thomas Cranmer, Oxford: Clarendon Press, OCLC 398369.* Richard Wilkinson; "Thomas Cranmer: The Yes-Man Who Said No: Richard Wilkinson Elucidates the Paradoxical Career of One of the Key Figures of English Protestantism," History Review, 2010 online edition
Historiografi[sunting | sunting sumber]
- Haigh, Christopher. "The Recent Historiography of the English Reformation," Historical Journal Vol. 25, No. 4 (Dec., 1982), pp. 995–1007 in JSTOR
- Marshall, Peter. "(Re)defining the English Reformation," Journal of British Studies, July 2009, Vol. 48#3 pp 564–586
Pranala luar[sunting | sunting sumber]
- The History of the Reformation of the Church of England by Gilbert Burnet (Oxford University Press, 1829): Volume I,Volume I, Part II, Volume II, Volume II, Part II, Volume III Volume III, Part II
- Ecclesiastical Memorials, Relating Chiefly to Religion, and the Reformation of It, and the Emergencies of the Church of England, Under King Henry VIII, King Edward VI, and Queen Mary I by John Strype (Clarendon Press, 1822): Vol. I, Pt. I, Vol. I, Pt. II, Vol. II, Pt. I, Vol. II, Pt. II, Vol. III, Pt. I, Vol. III, Pt. II
- Annals of the Reformation and Establishment of Religion, and Other Various Occurrences in the Church of England, During Queen Elizabeth's Happy Reign by John Strype (1824 ed.): Vol. I, Pt. I, Vol. I, Pt. II, Vol. II, Pt. I, Vol. II., Pt. II, Vol. III, Pt. I, Vol. III, Pt. II, Vol. IV
- Hanover College Historical Texts Collection: The English Reformation - links to primary sources.
- Hanover College Historical Texts Collection: The Protestant Reformation - links to primary sources.