Penyembahan berhala

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Moses Indignant at the Golden Calf, lukisan oleh William Blake, 1799–1800

Penyembahan berhala adalah istilah mengagungkan untuk pemujaan berhala, benda fisik seperti gambar kultus, sebagai dewa,[1] atau praktik diyakini hampir pada ibadah, seperti memberikan kehormatan yang tidak semestinya dan memperhatikan bentuk membuat selain Tuhan.[2] Dalam agama Abrahamik semua penyembahan berhala adalah sangat dilarang, meskipun dilihat sebagai apa yang merupakan penyembahan berhala mungkin berbeda di dalam dan di antara mereka. Dalam agama-agama lain penggunaan gambar kultus diterima, meskipun istilah "penyembahan berhala" tidak mungkin digunakan dalam agama, yang pada dasarnya tidak setuju. Gambar, ide, dan objek merupakan penyembahan berhala sering kali menjadi masalah perdebatan yang cukup besar, dan di dalam semua agama Abrahamik istilah ini dapat digunakan dalam pengertian yang sangat luas, dengan tidak ada implikasi bahwa perilaku menentang untuk benar-benar merupakan dari penyembahan religius dari objek fisik.

Larangan menyembah berhala menurut agama[sunting | sunting sumber]

Yahudi[sunting | sunting sumber]

Larangan menyembah berhala di dalam agama Yahudi disebutkan dalam kitab keluaran pasal 20 ayat 4–5 dan termasuk sepuluh perintah Allah

20:4 Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.

20:5 Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Allah, tuhanmu, adalah tuhan yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku.

— Keluaran 20:4–5

Kristen[sunting | sunting sumber]

Gagasan-gagasan di dalam agama Kristen berkenaan dengan larangan menyembah berhala dilandaskan pada perintah pertama Dasatitah yang berbunyi:

Jangan ada padamu ilah lain di hadapan-Ku.[3]

Perintah ini dijabarkan di dalam Alkitab, yakni di dalam Keluaran 20:3 ayat ke-3 dari bab 20 Kitab Keluaran, Matius 4:10 ayat ke-10 dari bab 4 Injil Matius, Lukas 4:8 ayat ke-8 dari bab 4 Injil Lukas, dan banyak lagi ayat lain, misalnya:[3]

Janganlah kamu membuat berhala bagimu, dan patung atau tugu berhala janganlah kamu dirikan bagimu; juga batu berukir janganlah kamu tempatkan di negerimu untuk sujud menyembah kepadanya, sebab Akulah TUHAN, Allahmu. Kamu harus memelihara hari-hari Sabat-Ku dan menghormati tempat kudus-Ku, Akulah TUHAN.

Alkitab memberikan konsepsi bahwa penyembahan berhala merupakan perbuatan yang pelakunya harus diberi hukuman mati. Kitab Ulangan 17:2–7 membahas tentang hukuman mati untuk penyembah berhala.[5] Pandangan Kristen mengenai larangan menyembah berhala secara umum dapat dibedakan menjadi dua kategori besar, yakni pandangan Kristen Katolik dan Kristen Ortodoks yang menghalalkan citra-citra religius,[6] dan pandangan banyak jemaat Kristen Protestan yang mengharamkannya. Meskipun demikian, banyak umat Kristen Protestan yang memanfaatkan citra salib sebagai lambang.[7][8]

Kristen Katolik[sunting | sunting sumber]

Penghormatan terhadap Santa Perawan Maria, Yesus Kristus, dan Madonna Hitam adalah amalan-amalan yang lumrah di dalam Gereja Katolik.

Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks dari generasi ke generasi membela pemanfaatan ikon. Perdebatan mengenai apa yang disiratkan citra-citra dan apakah penghormatan dengan bantuan ikon-ikon di dalam gereja setara dengan dilarang menyembah berhala sudah berlangsung berabad-abad lamanya, teristimewa sejak abad ke-7 sampai dengan Reformasi Protestan pada abad ke-16.[9] Perdebatan-perdebatan ini mendukung penyertaan ikon-ikon Yesus Kristus, Santa Perawan Maria, dan para Rasul, yakni ikonografi yang diungkapkan dalam bentuk karya seni kaca patri, santo-santa daerah, dan berbagai macam lambang iman Kristen lainnya. Perdebatan-perdebatan tersebut juga mendukung amalan-amalan seperti misa Katolik, penyalaan lilin di depan gambar-gambar, hiasan-hiasan dan perayaan-perayaan Natal, serta pawai-pawai sukaria maupun pawai-pawai peringatan dengan mengusung patung tokoh-tokoh penting dalam agama Kristen.[9][10][11]

Di dalam makalahnya, Ihwal Citra Suci, Santo Yuhana Addimasyqi membela pemanfaatan ikon-ikon dan citra-citra untuk menanggapi gerakan ikonoklasme Bizantium yang memprakarsai penghancuran citra-citra religius secara besar-besaran pada abad ke-8 dengan dukungan dari Kaisar Leo III maupun penggantinya, Kaisar Konstantinus V, saat berlangsungnya perang agama melawan Khilafah Bani Umayyah.[12] "Saya berani menggambar citra Allah yang tidak kasatmata, bukan dalam keadaan-Nya yang tidak kasatmata, melainkan dalam keadaan-Nya sesudah menjadi kasatmata demi kita melalui daging dan darah," ungkap Santo Yuhana Addimasyqi dalam tulisannya. Ia menambahkan pula bahwa citra-citra adalah ungkapan-ungkapan "kenangan akan mukjizat, kehormatan, kenistaan, kebajikan, maupun kejahatan", dan bahwasanya buku juga merupakan citra yang tersurat dalam bentuk lain.[13][14] Ia membela pemanfaatan citra-citra dalam kegiatan-kegiatan religius atas dasar doktrin Kristen tentang Yesus sebagai inkarnasi Firman Allah.[15]

Pernyataan Santo Yohanes Penginjil bahwa "Firman itu telah menjadi manusia" (Yohanes 1:14) mengisyaratkan bahwa Allah yang tidak kasatmata menjadi kasatmata, bahwasanya kemuliaan Allah mengejawantah dalam diri Putra Tunggal-Nya, Yesus Kristus, dan oleh karena itu Allah memilih untuk membuat yang tidak kasat mata menjadi wujud yang kasatmata, yang rohani berinkarnasi menjadi wujud jasmani.[16][17]

Paus Pius V berdoa menggunakan krusifiks, lukisan karya August Kraus

Pembelaan terdahulu terhadap pemanfaatan citra-citra mencakup eksegesis Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Bukti pemanfaatan citra-citra religius didapati di dalam seni rupa dan peninggalan-peninggalan tertulis Kristen purba. Sebagai contoh, penghormatan terhadap makam-makam dan patung-patung para martir adalah perbuatan yang jamak dilakukan komunitas-komunitas Kristen purba. Pada tahun 397, Santo Agustinus dari Hipo, di dalam Confessiones bagian 6.2.2, bercerita tentang kebiasaan ibunya menyiapkan persembahan untuk patung-patung dan makam-makam para martir.[18]

Citra-citra berfungsi sebagai Alkitab bagi tunaaksara,
serta menggugah orang untuk beramal saleh dan berbuat kebajikan.

Paus Gregorius I, abad ke-7[19]

Pembelaan Kristen Katolik mengungkit bukti-bukti tekstual dari laku penghormatan lahiriah terhadap ikon-ikon, dengan berargumen bahwa ada "bermacam-macam bentuk ibadat" dan bahwasanya penghormatan yang ditunjukkan terhadap ikon-ikon sama sekali berbeda dari pemujaan terhadap Allah. Sembari mengutip ayat-ayat Perjanjian Lama, argumen-argumen ini menyajikan contoh bentuk-bentuk "penghormatan" seperti dalam Kejadian 33:3 ayat ke-3 dari bab 33 Kitab Kejadian, dengan alasan bahwa "pemujaan adalah satu hal tersendiri, lain halnya dengan pemujaan yang dilakukan demi menghormati sesuatu yang luar biasa". Argumen-argumen ini menegaskan bahwa "penghormatan yang diberikan kepada citra tertentu sesungguhnya teralihkan kepada purwarupanya", dan bahwasanya tindakan menghormati sebuah citra Kristus tidak terhenti pada citra itu sendiri – materi citra itu sendiri bukanlah objek penyembahan – tetapi melampaui citra tersebut, sampai kepada purwarupanya.[20][19][21]

Menurut Katekismus Gereja Katolik, "menyembah berhala tidak sekadar mengacu kepada ibadat pagan yang batil. Orang menyembah berhala kapan saja ia menghormati dan memuliakan sesuatu yang lain sebagai ganti Allah, baik berupa dewa-dewi maupun roh-roh jahat (misalnya setanisme), kekuasaan, kesenangan, ras, nenek moyang, negara, uang, dsb."[22] Pembuatan citra-citra Yesus Kristus, Santa Perawan Maria, dan para aulia Kristen bersama dengan doa-doa yang ditujukan kepada mereka sudah menyebar luas di kalangan umat Kristen Katolik.[23]

Kristen Ortodoks[sunting | sunting sumber]

Gereja Ortodoks Timur membedakan latria dari dulia. Latria adalah menyembah Allah, dan latria terhadap segala sesuatu selain Allah diharamkan dalam ajaran Gereja Ortodoks. Di lain pihak, dulia, yang didefinisikan sebagai penghormatan terhadap citra-citra, patung-patung atau ikon-ikon religius, tidak saja diperbolehkan tetapi juga diwajibkan.[24] Perbedaan antara latria dan dulia dijabarkan Tomas Aquinas di dalam Summa Theologiae bagian 3.25.[25]

Penghormatan terhadap citra-citra Maria, yang disebut devosi kepada Bunda Maria, adalah amalan yang dipermasalahkan sebagian besar umat Kristen Protestan.[26][27]

Di dalam kesusastraan apologetis ortodoks, pemanfaatan maupun penyalahgunaan citra-citra dibahas secara panjang lebar. Kesusastraan eksegesis Ortodoks merujuk kepada ikon-ikon dan patung ular tembaga yang dibuat Musa (atas perintah Allah) di dalam Bilangan 21:9 ayat ke-9 dari bab 21 Kitab Bilangan, yakni patung yang mengandung rahmat dan kuasa Allah untuk menyembuhkan orang-orang yang digigit ular-ular sungguhan. Demikian pula Tabut Perjanjian dikedepankan sebagai bukti dari benda ritual yang di atasnya Yahweh hadir.[28][29]

Penghormatan terhadap ikon-ikon melalui laku proskinesis diundangkan pada tahun 787 Masehi oleh Konsili Ekumene yang ke-7.[30][31] Keputusan tersebut dipicu oleh kontroversi ikonoklasme Bizantium yang mencuat sesudah meletusnya perang-perang Kristen-Muslim dan munculnya gerakan ikonoklasme di Asia Barat.[30][32] Pembelaan terhadap citra-citra maupun sumbangsih sarjana Kristen asal Suriah, Yuhana Addimasyqi, benar-benar penting pada zaman itu. Gereja Ortodoks Timur sejak saat itu memuliakan penggunaan ikon-ikon dan citra-citra. Gereja-Gereja Katolik Timur juga menerima kehadiran ikon-ikon di dalam perayaan Liturgi Suci mereka.[33]

Kristen Protestan[sunting | sunting sumber]

Perdebatan seputar menyembah berhala sudah menjadi salah satu faktor pembeda ajaran Kristen Katolik yang pro paus dari ajaran Kristen Protestan yang anti terhadap paus.[34] Penulis-penulis yang menolak paus mempertanyakan amalan-amalan peribadatan dan citra-citra yang didukung umat Kristen Katolik. Banyak sarjana Protestan menggolongkan amalan-amalan peribadatan dan citra-citra Katolik sebagai "kekeliruan yang lebih besar daripada semua kekeliruan lain dalam kehidupan beragama." Amalan-amalan Kristen Katolik yang dinilai keliru oleh umat Kristen Protestan mencakup penghormatan terhadap Santa Perawan Maria, misa Katolik, meminta syafaat orang-orang kudus, serta penghormatan yang diharapkan maupun yang ditunjukkan terhadap Sri Paus.[34] Tudingan penyembahan berhala terhadap umat Kristen Katolik dilontarkan oleh berbagai macam golongan umat Kristen Protestan, mulai dari Gereja Inggris sampai Yohanes Kalvin di Jenewa.[34][35]

Alkitab dan krusifiks di atas altar sebuah gereja Protestan yang berhaluan Lutheran

Umat Kristen Protestan tidak meninggalkan semua ikon dan lambang agama Kristen. Dalam segala macam konteks penghormatan, mereka biasanya menghindari pemanfaatan citra-citra, kecuali citra salib. Salib tetap menjadi ikon utama mereka.[7][8] Menurut Carlos Eire, seorang profesor kajian dan sejarah agama, secara teknis, cabang-cabang utama agama Kristen memiliki ikon mereka masing-masing, tetapi maknanya berbeda-beda dari satu cabang ke cabang lain, dan "apa yang dianggap devosi oleh yang satu merupakan penyembahan berhala bagi yang lain".[36] Carlos Eire menegaskan bahwa hal ini tidak saja terbukti dalam debat antar-Kristen, tetapi juga dalam tindakan para prajurit raja-raja Katolik menggantikan "berhala-berhala Aztek yang menyeramkan" di daerah-daerah jajahan mereka di Benua Amerika dengan "salib-salib dan citra-citra Maria serta orang-orang kudus yang indah-indah".[36]

Umat Kristen Protestan kerap menuduh umat Kristen Katolik menyembah berhala, menyembah ikon, bahkan menganut kepercayaan pagan. Tuduhan semacam ini sudah lumrah diwacanakan semua golongan Kristen Protestan pada zaman Reformasi Protestan. Dalam kasus-kasus tertentu, misalnya kasus Kaum Puritan di Inggris, segala macam benda religius diharamkan, baik yang berwujud tiga dimensi maupun yang berwujud dua dimensi, termasuk salib.[37]

Citra tubuh Kristus pada salib adalah lambang kuno yang digunakan di gereja-gereja Katolik, Ortodoks, Anglikan, dan Lutheran, berbeda dari sejumlah jemaat Kristen Protestan yang hanya menggunakan salib polos. Dalam agama Yahudi, penghormatan terhadap ikon Kristus dalam bentuk salib dipandang sebagai menyembah berhala.[38] Meskipun demikian, sejumlah sarjana Yahudi tidak berpandangan demikian. Menurut mereka, agama Kristen berdiri di atas landasan keyakinan agama Yahudi, dan sesungguhnya bukan penyembahan berhala.[39]

Islam[sunting | sunting sumber]

Di dalam agama Islam menyembah berhala adalah salah satu perbuatan syirik yang membatalkan tauhid uluhiyah

Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang.

— Al-'A`raf 7:191

...dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang.

— An-Nahl 16:20

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-14. Diakses tanggal 2011-06-07. 
  2. ^ Catechism of The Catholic Church, passage 2113, pp.460, Geoffrey Chapman, 1999
  3. ^ a b T. J. Wray (2011). What the Bible Really Tells Us: The Essential Guide to Biblical Literacy. Rowman & Littlefield Publishers. hlm. 164–165. ISBN 978-1-4422-1293-0. 
  4. ^ Terrance Shaw (2010). The Shaw's Revised King James Holy Bible. Penerbit Trafford. hlm. 74. ISBN 978-1-4251-1667-5. 
  5. ^ Husaini, Adian (2005). Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler Liberal. Jakarta: Gema Insani. hlm. 46. ISBN 978-602-250-517-4. 
  6. ^ Frank K. Flinn (2007). Encyclopedia of Catholicism. Penerbit Infobase. hlm. 358–359. ISBN 978-0-8160-7565-2. 
  7. ^ a b Leora Batnitzky (2009). Idolatry and Representation: The Philosophy of Franz Rosenzweig Reconsidered. Lembaga Pers Universitas Princeton. hlm. 147–156. ISBN 978-1-4008-2358-1. 
  8. ^ a b Ryan K. Smith (2011). Gothic Arches, Latin Crosses: Anti-Catholicism and American Church Designs in the Nineteenth Century. Lembaga Pers Universitas Carolina Utara. hlm. 79–81. ISBN 978-0-8078-7728-9. 
  9. ^ a b Moshe Halbertal; Avishai Margalit; Naomi Goldblum (1992). IdolatryPerlu mendaftar (gratis). Lembaga Pers Universitas Harvard. hlm. 39–40, 102–103, 116–119. ISBN 978-0-674-44313-6. 
  10. ^ L. A. Craighen (1914). The Practice of Idolatry. Taylor & Taylor. hlm. 21–26, 30–31. 
  11. ^ William L. Vance (1989). America's Rome: Catholic and contemporary RomePerlu mendaftar (gratis). Lembaga Pers Universitas Yale. hlm. 5–8, 12, 17–18. ISBN 978-0-300-04453-9. 
  12. ^ Stephen Gero (1973). Byzantine Iconoclasm During the Reign of Leo III: With Particular Attention to the Oriental Sources. Corpus scriptorum Christianorum Orientalium: Subsidia. hlm. 1–7, 44–45. 
  13. ^ Saint John (of Damascus) (1898). St. John Damascene on Holy Images: (pros Tous Diaballontas Tas Agias Eikonas). T. Baker. hlm. 5–6, 12–17. 
  14. ^ Hans J. Hillerbrand (2012). A New History of Christianity. Abingdon. hlm. 131–133, 367. ISBN 978-1-4267-1914-1. 
  15. ^ Benedict Groschel (2010). I Am with You Always: A Study of the History and Meaning of Personal Devotion to Jesus Christ for Catholic, Orthodox, and Protestant Christians. Ignatius. hlm. 58–60. ISBN 978-1-58617-257-2. 
  16. ^ Jeffrey F. Hamburger (2002). St. John the Divine: The Deified Evangelist in Medieval Art and Theology. Lembaga Pers Universitas California. hlm. 3, 18–24, 30–31. ISBN 978-0-520-22877-1. 
  17. ^ Ronald P. Byars (2002). The Future of Protestant Worship: Beyond the Worship Wars. Westminster John Knox Press. hlm. 43–44. ISBN 978-0-664-22572-8. 
  18. ^ Kenelm Henry Digby (1841). Mores Catholici : Or Ages of Faith. Catholic Society. hlm. 408–410. 
  19. ^ a b Natasha T. Seaman; Hendrik Terbrugghen (2012). The Religious Paintings of Hendrick Ter Brugghen: Reinventing Christian Painting After the Reformation in Utrecht. Ashgate. hlm. 23–29. ISBN 978-1-4094-3495-5. 
  20. ^ Horst Woldemar Janson; Anthony F. Janson (2003). History of Art: The Western Tradition. Prentice Hall. hlm. 386. ISBN 978-0-13-182895-7. 
  21. ^ Henry Ede Eze (2011). Images in Catholicism ...idolatry?: Discourse on the First Commandment With Biblical Citations. St. Paul Press. hlm. 11–14. ISBN 978-0-9827966-9-6. 
  22. ^ Catechism of The Catholic Church, passage 2113, hlm. 460, Geoffrey Chapman, 1999
  23. ^ Thomas W. L. Jones (1898). The Queen of Heaven: Màmma Schiavona (the Black Mother), the Madonna of the Pignasecea: a Delineation of the Great Idolatry. hlm. 1–2. 
  24. ^ Kathleen M. Ashley; Robert L. A. Clark (2001). Medieval Conduct. University of Minnesota Press. hlm. 211–212. ISBN 978-0-8166-3576-4. 
  25. ^ Bernard Lonergan (2016). The Incarnate Word: The Collected Works of Bernard Lonergan, Volume 8. University of Toronto Press. hlm. 310–314. ISBN 978-1-4426-3111-3. 
  26. ^ Rev. Robert William Dibdin (1851). England warned and counselled; 4 lectures on popery and tractarianism. James Nisbet. hlm. 20. 
  27. ^ Gary Waller (2013). Walsingham and the English Imagination. Ashgate. hlm. 153. ISBN 978-1-4094-7860-7. 
  28. ^ Sebastian Dabovich (1898). The Holy Orthodox Church: Or, The Ritual, Services and Sacraments of the Eastern Apostolic (Greek-Russian) Church. American Review of Eastern Orthodoxy. hlm. 21–22. 
  29. ^ Ulrich Broich; Theo Stemmler; Gerd Stratmann (1984). Functions of Literature. Niemeyer. hlm. 120–121. ISBN 978-3-484-40106-8. 
  30. ^ a b Ambrosios Giakalis (2005). Images of the Divine: The Theology of Icons at the Seventh Ecumenical Council. Brill Academic. hlm. viii–ix, 1–3. ISBN 978-90-04-14328-9. 
  31. ^ Gabriel Balima (2008). Satanic Christianity and the Creation of the Seventh Day. Dorrance. hlm. 72–73. ISBN 978-1-4349-9280-2. 
  32. ^ Patricia Crone (1980), Islam, Judeo-Christianity and Byzantine Iconoclasm, Jerusalem Studies in Arabic and Islam, Jld. 2, Hlmn. 59–95
  33. ^ James Leslie Houlden (2003). Jesus in History, Thought, and Culture: An Encyclopedia. ABC-CLIO. hlm. 369–370. ISBN 978-1-57607-856-3. 
  34. ^ a b c Anthony Milton (2002). Catholic and Reformed: The Roman and Protestant Churches in English Protestant Thought. Cambridge University Press. hlm. 186–195. ISBN 978-0-521-89329-9. 
  35. ^ James Noyes (2013). The Politics of Iconoclasm: Religion, Violence and the Culture of Image-Breaking in Christianity and Islam. Tauris. hlm. 31–37. ISBN 978-0-85772-288-1. 
  36. ^ a b Carlos M. N. Eire (1989). War Against the Idols: The Reformation of Worship from Erasmus to Calvin. Cambridge University Press. hlm. 5–7. ISBN 978-0-521-37984-7. 
  37. ^ Richardson, R. C. (1972). Puritanism in north-west England: a regional study of the diocese of Chester to 1642Perlu mendaftar (gratis). Manchester, England: Manchester University Press. hlm. 26. ISBN 978-0-7190-0477-3. 
  38. ^ Leora Faye Batnitzky (2000). Idolatry and Representation: The Philosophy of Franz Rosenzweig Reconsidered. Princeton University Press. hlm. 145. ISBN 978-0-691-04850-5. 
  39. ^ Steinsaltz, Rabbi Adin. "Introduction - Masechet Avodah Zarah". The Coming Week's Daf Yomi. Diakses tanggal 31 Mei 2013. , Quote: "Over time, however, new religions developed whose basis is in Jewish belief – such as Christianity and Islam – which are based on belief in the Creator and whose adherents follow commandments that are similar to some Torah laws (see the uncensored Rambam in his Mishneh Torah, Hilkhot Melakhim 11:4). All of the rishonim agree that adherents of these religions are not idol worshippers and should not be treated as the pagans described in the Torah."