Lompat ke isi

Hedonisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Diagram dengan teks "kesenangan", "motivasi", "nilai", dan "moralitas", beserta panah
Berbagai bentuk hedonisme membahas peran kesenangan dalam motivasi, nilai, dan moralitas.[1]

Hedonisme adalah sekumpulan pandangan filosofis yang menempatkan kesenangan sebagai prioritas utama. Hedonisme psikologis adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh perilaku manusia didorong oleh keinginan untuk memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan rasa sakit. Sebagai bentuk egoisme, pandangan ini mengisyaratkan bahwa orang hanya menolong sesama jika mereka mengharapkan keuntungan pribadi.

Hedonisme aksiologis memandang kesenangan sebagai satu-satunya sumber nilai intrinsik. Pandangan ini menegaskan bahwa hal-hal lain, seperti pengetahuan atau harta, hanya memiliki nilai sejauh mereka menimbulkan kesenangan dan mengurangi penderitaan. Perspektif ini terbagi menjadi hedonisme kuantitatif, yang menitikberatkan pada intensitas dan durasi kesenangan, serta hedonisme kualitatif, yang menambahkan kualitas sebagai faktor relevan lainnya. Posisi yang terkait erat, yaitu hedonisme prudensial, menyatakan bahwa kesenangan dan rasa sakit merupakan satu-satunya faktor yang menentukan kesejahteraan.

Hedonisme etis menerapkan hedonisme aksiologis dalam ranah moral, berargumen bahwa setiap individu memiliki kewajiban moral untuk mengejar kesenangan dan menghindari rasa sakit. Versi utilitarian menekankan tujuan untuk meningkatkan kebahagiaan secara menyeluruh bagi semua orang, sedangkan versi egoistik menegaskan bahwa setiap individu seharusnya hanya mengejar kesenangan pribadinya. Di luar konteks akademis, istilah hedonisme kadang digunakan secara peyoratif untuk merujuk pada gaya hidup egoistik yang mengejar kepuasan jangka pendek.

Para hedonis biasanya memahami kesenangan dan rasa sakit secara luas, mencakup segala pengalaman positif maupun negatif. Meskipun secara tradisional dianggap sebagai sensasi tubuh, beberapa filsuf kontemporer menafsirkannya sebagai sikap ketertarikan atau penolakan terhadap objek atau isi pengalaman tertentu. Hedonis kerap menggunakan istilah "kebahagiaan" untuk menggambarkan keseimbangan antara kesenangan dan rasa sakit. Sifat subjektif dari fenomena ini membuat pengukuran keseimbangan tersebut dan perbandingannya antarindividu menjadi sulit. Paradoks hedonisme dan treadmill hedonik dikemukakan sebagai hambatan psikologis terhadap pencapaian kebahagiaan jangka panjang.

Sebagai salah satu teori filosofis tertua, hedonisme telah dibahas oleh Kyrenaik dan Epikurean di Yunani kuno, ajaran Charvaka di India kuno, serta Yangisme di Tiongkok kuno. Pandangan ini kurang mendapat perhatian pada Abad Pertengahan, tetapi menjadi topik sentral di Era Modern seiring munculnya utilitarianisme. Berbagai kritik terhadap hedonisme muncul pada abad ke-20, mendorong para pendukungnya mengembangkan versi baru untuk menghadapi tantangan tersebut. Konsep hedonisme tetap relevan dalam berbagai bidang, mulai dari Psikologi dan Ekonomi hingga Etika hewan.

Istilah hedonisme merujuk pada sekumpulan pandangan mengenai peran kesenangan. Pandangan ini sering dikategorikan menjadi hedonisme psikologis, aksiologis, dan etis tergantung pada apakah fokusnya adalah hubungan antara kesenangan dan motivasi, nilai, atau tindakan yang benar, masing-masing.[2] Meskipun pembagian ini umum dalam filsafat kontemporer, para filsuf terdahulu tidak selalu membedakannya dengan jelas dan terkadang menggabungkan beberapa pandangan dalam teori mereka.[3]

Kata hedonisme berasal dari kata Bahasa Yunani Kuno ἡδονή (hēdonē), yang berarti 'kesenangan'.[4]

Hedonisme psikologis

[sunting | sunting sumber]
Lukisan minyak seorang pria berjanggut dengan rambut abu-abu tipis
Thomas Hobbes adalah salah satu pendukung utama hedonisme psikologis.[5]

Hedonisme psikologis atau hedonisme motivasional adalah pandangan bahwa seluruh tindakan manusia bertujuan untuk meningkatkan kesenangan dan menghindari rasa sakit. Ini merupakan pandangan empiris mengenai apa yang memotivasi manusia, baik pada tingkat sadar maupun tidak sadar.[6] Hedonisme psikologis biasanya dipahami sebagai bentuk egoisme, yang berarti bahwa manusia berupaya meningkatkan kebahagiaannya sendiri. Ini menyiratkan bahwa seseorang hanya termotivasi untuk menolong orang lain jika hal itu sesuai dengan kepentingannya sendiri karena mereka mengharapkan keuntungan pribadi.[7] Sebagai teori motivasi manusia, hedonisme psikologis tidak mengklaim bahwa semua perilaku selalu menghasilkan kesenangan. Misalnya, jika seseorang memiliki keyakinan yang salah atau kekurangan keterampilan yang diperlukan, mereka mungkin berusaha menghasilkan kesenangan tetapi gagal mencapai hasil yang diinginkan.[8]

Bentuk standar hedonisme psikologis menegaskan bahwa pengejaran kesenangan dan penghindaran rasa sakit adalah satu-satunya sumber semua motivasi. Beberapa hedonis psikologis mengusulkan formulasi yang lebih terbatas, menyatakan bahwa pertimbangan kesenangan dan rasa sakit bukan satu-satunya sumber motivasi, tidak memengaruhi semua tindakan, atau dibatasi oleh kondisi tertentu.[9] Misalnya, hedonisme reflektif atau rasionalisasi menyatakan bahwa motivasi manusia hanya didorong oleh kesenangan dan rasa sakit ketika orang secara aktif merenungkan konsekuensi keseluruhan.[10] Versi lain adalah hedonisme genetik, yang mengakui bahwa manusia menginginkan berbagai hal selain kesenangan tetapi menyatakan bahwa setiap keinginan berakar pada keinginan untuk kesenangan.[11] Hedonisme Darwinian menjelaskan kecenderungan mencari kesenangan dari perspektif evolusi, dengan berargumen bahwa dorongan hedonistik berevolusi sebagai strategi adaptif untuk mendukung kelangsungan hidup dan keberhasilan reproduksi.[12]

Para pendukung hedonisme psikologis sering menyoroti daya tarik intuitif dan kekuatan penjelasannya. Mereka berargumen bahwa banyak keinginan berfokus langsung pada kesenangan, sementara yang lain berupaya pada kesenangan secara tidak langsung dengan mendorong penyebabnya.[13] Argumen serupa dari psikologi perilaku menyatakan bahwa perilaku altruistik dipelajari melalui pengondisian, yang memperkuat perilaku yang menghasilkan imbalan positif. Pandangan ini menegaskan bahwa semua motivasi primer berasal dari dorongan hasrat egois yang menjadi dasar bagi seluruh motivasi sekunder, termasuk altruisme.[14]

Para pengkritik hedonisme psikologis sering menunjukkan contoh-contoh yang tampak bertentangan, di mana orang bertindak karena alasan selain kesenangan pribadi. Contoh yang diajukan termasuk tindakan altruistik sejati, seperti seorang prajurit yang mengorbankan diri di medan perang untuk menyelamatkan rekan-rekannya atau orang tua yang ingin anak-anaknya bahagia. Para kritikus juga menyebut kasus non-altruistik, seperti keinginan untuk memperoleh ketenaran pasca kematian. Pertanyaan terbuka adalah sejauh mana kasus-kasus ini dapat dijelaskan sebagai bentuk perilaku mencari kesenangan.[15] Kritik lain dari biologi evolusi berargumen bahwa motivasi altruistik bersifat mendukung kelangsungan hidup dan reproduksi. Argumen ini menyatakan bahwa motivasi altruistik menghasilkan perilaku penting, seperti perawatan orang tua, lebih dapat diandalkan karena tidak tergantung pada mekanisme tambahan, seperti keyakinan individu bahwa perawatan orang tua akan membawa kesenangan pribadi.[16]

Hedonisme aksiologis

[sunting | sunting sumber]
Diagram menampilkan panah dari teks "intensity" dan "duration" menuju teks "value of pleasure"
Menurut hedonisme kuantitatif, nilai suatu pengalaman kesenangan hanya bergantung pada intensitas dan durasinya.[17]

Hedonisme aksiologis, atau hedonisme evaluatif, adalah pandangan yang menyatakan bahwa kesenangan merupakan sumber utama dari segala nilai. Pandangan ini berpendapat bahwa hal-hal selain kesenangan hanya bernilai sejauh ia menghasilkan kesenangan atau mengurangi penderitaan. Pemahaman ini umumnya dijelaskan melalui pembedaan antara nilai intrinsik dan nilai instrumental. Suatu entitas memiliki nilai intrinsik apabila kebaikannya ada pada dirinya sendiri, atau nilainya tidak bergantung pada faktor eksternal. Sebaliknya, sesuatu dikatakan memiliki nilai instrumental jika ia membawa kepada hal-hal lain yang baik. Menurut hedonisme aksiologis, hanya kesenanganlah yang memiliki nilai intrinsik, sebab ia tetap baik meskipun tidak mendatangkan manfaat luar apa pun. Uang, misalnya, hanya bernilai secara instrumental karena dapat digunakan untuk memperoleh hal-hal baik lainnya, tetapi tidak memiliki nilai tersendiri di luar fungsi tersebut.[18] Nilai keseluruhan suatu hal ditentukan oleh gabungan antara nilai intrinsik dan nilai instrumentalnya. Dalam beberapa kasus, bahkan pengalaman yang tidak menyenangkan, seperti operasi yang menyakitkan, dapat dianggap baik secara keseluruhan apabila konsekuensi positifnya, seperti pencegahan rasa sakit di masa depan, melebihi ketidaknyamanan saat ini.[19]

Menurut hedonisme kuantitatif, nilai intrinsik dari kesenangan hanya bergantung pada intensitas dan durasinya. Para hedonis kualitatif menambahkan bahwa mutu kesenangan juga merupakan faktor penting. Mereka berpendapat, misalnya, bahwa kesenangan halus dari kegiatan intelektual, seperti mengapresiasi seni rupa atau filsafat, dapat memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan kesenangan jasmaniah sederhana seperti menikmati makanan dan minuman, meskipun intensitasnya lebih rendah.[17]

Foto hitam-putih seorang pria tersenyum mengenakan kaus putih
Robert Nozick mengkritik hedonisme karena gagal membedakan antara kesenangan yang autentik dan yang tidak autentik.[20]

Hedonisme prudensial berkaitan erat dengan hedonisme aksiologis, tetapi berfokus secara khusus pada kehidupan yang baik atau apa yang baik bagi individu. Ia menyatakan bahwa kesenangan dan penderitaan merupakan satu-satunya faktor penentu kesejahteraan; artinya, baik buruknya kehidupan seseorang bergantung sepenuhnya pada keseimbangan antara kesenangan dan penderitaan yang ia alami. Namun, hedonisme prudensial tetap membuka kemungkinan bahwa hal-hal selain kesejahteraan dapat memiliki nilai intrinsik, seperti keindahan atau kebebasan.[21]

Beragam argumen telah diajukan baik untuk mendukung maupun menentang hedonisme aksiologis. Para pendukungnya sering menekankan intuisi bahwa kesenangan memang bernilai, serta kenyataan bahwa manusia secara alami menginginkan kesenangan demi dirinya sendiri.[19] Pendekatan lain mengakui bahwa manusia juga menghargai hal-hal di luar kesenangan, seperti kebenaran dan keindahan, tetapi berupaya menunjukkan bahwa semua nilai lain pada akhirnya bersumber dari nilai kesenangan itu sendiri. Argumen lain berasumsi bahwa kata baik dan menyenangkan memiliki makna yang sama, sehingga mengejar kesenangan berarti secara inheren mengejar kebaikan.[22]

Gagasan bahwa sebagian besar kesenangan memiliki nilai dalam bentuk tertentu relatif tidak kontroversial. Kritik biasanya diarahkan pada klaim yang lebih kuat, yakni bahwa semua kesenangan bernilai atau bahwa kesenangan adalah satu-satunya sumber nilai intrinsik.[23] Sebagian pengkritik berpendapat bahwa ada jenis kesenangan yang tidak bernilai, bahkan buruk, seperti kesenangan yang hina atau sadistis.[24][a] Kritik lain datang dari kalangan pluralis nilai, yang berpendapat bahwa hal-hal lain di luar kesenangan juga memiliki nilai. Untuk mendukung gagasan bahwa keindahan merupakan sumber nilai tambahan, G. E. Moore mengemukakan sebuah eksperimen pemikiran tentang dua dunia: satu dipenuhi keindahan luar biasa, dan satu lagi hanyalah tumpukan kotoran. Ia berargumen bahwa dunia yang indah tetap lebih baik, bahkan jika tidak ada siapa pun yang menikmatinya.[26] Eksperimen pemikiran lain yang berpengaruh diajukan oleh Robert Nozick, melalui konsep mesin pengalaman yang dapat menciptakan kesenangan buatan. Berdasarkan anggapannya bahwa kebanyakan orang tidak ingin menghabiskan hidup mereka dalam ilusi menyenangkan semacam itu, ia berpendapat bahwa hedonisme gagal menjelaskan nilai keaslian dan pengalaman yang sejati.[20][b]

Hedonisme etis

[sunting | sunting sumber]
Foto patung pria berjanggut
Epikuros mengembangkan bentuk hedonisme etis yang halus dan bernuansa. Ia berpendapat bahwa keadaan batin yang tenteram (ataraksia), yang tumbuh dari sikap hidup penuh kesederhanaan, merupakan jalan menuju kebahagiaan tertinggi manusia.[28]

Hedonisme etis, atau hedonisme normatif, adalah gagasan bahwa pencarian kenikmatan dan penghindaran penderitaan merupakan prinsip moral tertinggi dalam perilaku manusia.[c] Pandangan ini menyiratkan bahwa pertimbangan moral lain, seperti kewajiban, keadilan, atau kebajikan, hanya bernilai sejauh mereka memengaruhi kenikmatan dan penderitaan manusia.[30]

Teori-teori hedonisme etis umumnya terbagi menjadi dua: versi utilitarian dan versi egoistik. Hedonisme utilitarian, yang juga dikenal sebagai utilitarianisme klasik, menegaskan bahwa kebahagiaan setiap orang memiliki bobot yang sama. Menurut pandangan ini, seseorang seharusnya berupaya memaksimalkan jumlah keseluruhan kebahagiaan semua pihak yang terpengaruh oleh tindakannya. Kebahagiaan pribadi termasuk di dalamnya, tetapi bukan satu-satunya tujuan dan tidak memiliki hak istimewa dibanding kebahagiaan orang lain.[31] Karena itu, hedonisme utilitarian terkadang menuntut seseorang untuk mengorbankan kesenangannya demi kesejahteraan orang lain. Sebagai contoh, filsuf Peter Singer berpendapat bahwa mereka yang berpenghasilan baik seharusnya menyumbangkan sebagian besar pendapatannya kepada lembaga amal, sebab uang tersebut dapat menciptakan kebahagiaan yang lebih besar bagi mereka yang membutuhkan.[32]

Sementara itu, hedonisme egoistik menyatakan bahwa setiap orang hanya perlu mengejar kenikmatannya sendiri. Dalam pandangan yang cukup kontroversial ini, seseorang hanya memiliki alasan moral untuk peduli pada kebahagiaan orang lain jika hal itu berdampak pada kesejahteraannya sendiri. Misalnya, bila seseorang merasa tidak nyaman atau bersalah setelah menyakiti orang lain, maka ia memiliki alasan untuk menghindari tindakan itu. Namun, di bawah pandangan ini, seseorang dianggap secara moral dibenarkan, bahkan diharuskan, untuk menyakiti orang lain jika hal tersebut meningkatkan kenikmatan pribadinya secara keseluruhan.[33]

Hedonisme etis kerap dipadukan dengan konsekuensialisme, yakni pandangan bahwa suatu tindakan dianggap benar apabila menghasilkan konsekuensi terbaik. Biasanya ia juga sejalan dengan hedonisme aksiologis, yang mengaitkan nilai intrinsik dari konsekuensi pada kenikmatan dan penderitaan. Karena itu, banyak argumen yang mendukung atau menentang hedonisme aksiologis juga berlaku bagi hedonisme etis.[34]

Pendukung hedonisme utilitarian sering menyoroti sifatnya yang tidak memihak, metodenya yang sederhana dan objektif dalam menilai tindakan moral, serta kelenturannya untuk diterapkan dalam berbagai situasi. Namun, para pengkritik berargumen bahwa pendekatan ini menuntut terlalu banyak dari manusia (demandingness objection) dan dapat berujung pada ketidakadilan ketika hak individu dikorbankan demi kebaikan bersama. Mereka juga menyoroti kesulitan praktis dalam menilai seluruh akibat yang berkaitan dengan kenikmatan dari setiap tindakan manusia.[35]

Lain-lain

[sunting | sunting sumber]
Lukisan cat minyak tentang bintang-bintang di langit malam dalam pola berpusar
Hedonisme estetis menyatakan bahwa suatu karya, seperti lukisan Malam Berbintang oleh Vincent van Gogh, disebut indah apabila ia menimbulkan kenikmatan estetis.[36]

Hedonisme estetis adalah sebuah teori mengenai hakikat dari nilai estetika atau keindahan itu sendiri. Teori ini berpendapat bahwa suatu hal, seperti pemandangan alam, lukisan, atau lagu, memiliki nilai estetika sejauh ia menimbulkan rasa senang atau kenikmatan estetis bagi manusia. Pandangan ini bersifat subjektif karena berpusat pada cara manusia menanggapi hal-hal yang menggugah keindahan. Pandangan ini berseberangan dengan teori objektif, yang menilai bahwa nilai estetika bergantung semata pada sifat-sifat obyektif atau bebas dari pikiran, seperti simetri atau harmoni komposisi.

Sebagian penganut hedonisme estetis meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan, tanpa kecuali, berkontribusi pada nilai estetika suatu objek. Namun sebagian lain memberikan penjelasan yang lebih halus dan mendalam: bahwa nilai estetika hanya bergantung pada tanggapan mereka yang memiliki selera estetika yang terasah dan matang.[36]

Di luar ranah akademis filsafat dan psikologi, istilah hedonisme kerap digunakan dalam makna yang lebih sempit dan bernada negatif. Dalam konteks ini, yang sering disebut sebagai hedonisme rakyat, istilah tersebut menggambarkan gaya hidup yang berpusat pada pencarian kenikmatan sesaat secara egoistik. Misalnya, seseorang yang menuruti hasratnya dalam seks dan narkoba tanpa memedulikan akibat jangka panjang dari perilakunya, disebut bersikap hedonistik dalam pengertian ini.

Konotasi negatif tersebut muncul karena hedonisme jenis ini sering kali disertai dengan ketidakpedulian terhadap bahaya atau pertimbangan moral yang mungkin timbul dari tindakan semacam itu. Dampak buruknya dapat menimpa tidak hanya individu pelaku, tetapi juga orang-orang di sekitarnya, mengganggu kesehatan, kestabilan finansial, hubungan sosial, hingga tanggung jawab terhadap masyarakat.

Sebagian besar filsuf hedonis menolak pandangan bahwa gaya hidup yang didasari hedonisme rakyat akan membawa kebahagiaan sejati atau kepuasan jangka panjang.[37]

Konsep-konsep utama

[sunting | sunting sumber]

Kenikmatan dan penderitaan

[sunting | sunting sumber]

Kenikmatan dan penderitaan merupakan dua pengalaman dasar yang menentukan apa yang manusia anggap menarik dan menjauhkan diri dari apa yang dianggap menjijikkan atau menyakitkan. Keduanya membentuk bagaimana manusia merasa, berpikir, dan bertindak.[38] Dua pengalaman ini menempati posisi sentral dalam seluruh bentuk hedonisme.[39] Baik kenikmatan maupun penderitaan hadir dalam berbagai tingkatan, bergantung pada intensitasnya. Biasanya keduanya dipahami sebagai sebuah kontinum—suatu rentang yang bergerak dari derajat positif, melewati titik netral, hingga ke derajat negatif.[40] Namun, sebagian penganut hedonisme menolak gagasan bahwa kenikmatan dan penderitaan adalah pasangan yang simetris. Mereka berpendapat bahwa menghindari penderitaan jauh lebih penting daripada mengejar kenikmatan.[41]

Hakikat dari kenikmatan dan penderitaan sendiri masih menjadi perdebatan panjang, dan pemahamannya berpengaruh besar terhadap daya terima berbagai versi hedonisme. Dalam bahasa sehari-hari, kedua istilah ini sering dipahami secara sempit, terbatas pada pengalaman-pengalaman tertentu, seperti nikmatnya makanan atau seks, dan sakitnya luka fisik.[42] Namun bagi para hedonis, maknanya jauh lebih luas: kenikmatan dan penderitaan mencakup segala pengalaman yang terasa positif atau negatif dalam hidup. Dalam pengertian ini, apa pun yang menimbulkan rasa baik disebut kenikmatan, seperti kegembiraan menyaksikan matahari terbenam—sedangkan apa pun yang menimbulkan rasa buruk disebut penderitaan, seperti kesedihan kehilangan seseorang yang dicintai.[43]

Pandangan tradisional yang berpengaruh lama mengatakan bahwa kenikmatan dan penderitaan adalah sensasi-sensasi jasmaniah tertentu—mirip dengan perasaan panas dan dingin. Namun, dalam filsafat modern, pandangan yang lebih umum menyatakan bahwa kenikmatan dan penderitaan bukan sekadar sensasi tubuh, melainkan bentuk sikap batin: kenikmatan adalah tarikan batin (sikap menyukai), sedangkan penderitaan adalah dorongan menjauh (sikap menolak) terhadap suatu objek atau isi pengalaman.[d] Pandangan ini menyiratkan bahwa kenikmatan dan penderitaan tidak memiliki lokasi tertentu di tubuh dan tidak pernah muncul dalam kekosongan, sebab keduanya selalu diarahkan pada sesuatu—pada objek yang membuat manusia bersuka atau menderita karenanya.[45]

Pengukuran

[sunting | sunting sumber]

Baik para filsuf maupun psikolog sama-sama tertarik untuk menemukan cara mengukur kenikmatan dan penderitaan, demi memahami sebab-musababnya serta peran keduanya dalam proses pengambilan keputusan. Salah satu pendekatan yang umum digunakan adalah melalui kuesioner laporan diri, di mana seseorang diminta menilai seberapa menyenangkan atau tidak menyenangkannya suatu pengalaman. Misalnya, beberapa kuesioner menggunakan skala sembilan poin, dari -4 untuk pengalaman paling tidak menyenangkan hingga +4 untuk yang paling menyenangkan. Beberapa metode mengandalkan ingatan, meminta seseorang menilai kembali pengalaman masa lalunya secara retrospektif. Pendekatan lain dilakukan secara langsung, yakni dengan meminta individu menilai pengalaman mereka saat perasaan itu sedang berlangsung, untuk menghindari bias dan ketidakakuratan yang mungkin timbul dari ingatan.[46]

Namun, dalam bentuk apa pun, upaya mengukur kenikmatan dan penderitaan tetap menyimpan berbagai tantangan. Sebagai fenomena yang amat subjektif, sulit bagi manusia untuk menetapkan ukuran baku yang universal. Selain itu, meminta seseorang memberi nilai terhadap pengalamannya melalui skala buatan sering kali tidak sepenuhnya mencerminkan nuansa batin yang sesungguhnya mereka rasakan. Masalah lain yang erat kaitannya adalah perbandingan antarindividu: dua orang bisa saja menggunakan skala yang sama dengan cara yang berbeda, sehingga menghasilkan nilai yang tak sepadan, meski pengalaman mereka serupa.[46]

Para ahli neurosains berupaya mengatasi sebagian kesulitan ini dengan memanfaatkan teknik pencitraan saraf seperti PET scan dan fMRI. Namun, pendekatan ini pun menimbulkan tantangan baru, sebab dasar neurologis dari kebahagiaan manusia belum sepenuhnya dipahami.[47]

Bertolak dari gagasan bahwa pengalaman kenikmatan dan penderitaan dapat diukur secara kuantitatif, Jeremy Bentham memperkenalkan konsep kalkulus hedonistik, sebuah metode untuk menggabungkan berbagai pengalaman menjadi satu kesimpulan tentang sejauh mana pengalaman-pengalaman itu menyumbang terhadap kebahagiaan keseluruhan. Menurut Bentham, seseorang dapat menemukan tindakan terbaik dengan membandingkan secara kuantitatif kenikmatan dan penderitaan yang dihasilkan oleh setiap pilihan tindakan. Ia mempertimbangkan sejumlah faktor untuk setiap pengalaman menyenangkan: intensitas dan durasinya, kemungkinan terjadinya, jarak waktunya, potensi untuk menimbulkan pengalaman menyenangkan atau menyakitkan lainnya, serta jumlah orang yang terpengaruh olehnya.

Beberapa versi sederhana dari kalkulus hedonistik hanya menekankan pada apa yang secara intrinsik bernilai bagi seseorang, dengan mempertimbangkan dua faktor utama: intensitas dan durasi.[48]

Kebahagiaan, kesejahteraan hidup, dan eudaimonia

[sunting | sunting sumber]

Sebagian pemikir merumuskan hedonisme bukan dalam istilah kenikmatan dan penderitaan, melainkan dalam istilah kebahagiaan. Menurut salah satu tafsir yang umum, kebahagiaan adalah keseimbangan antara kenikmatan dan penderitaan. Artinya, seseorang disebut bahagia apabila kenikmatan yang ia rasakan lebih banyak daripada penderitaan, dan sebaliknya, ia dianggap tidak bahagia bila penderitaan lebih besar dari kenikmatan.[49]

Namun, ada pula cara lain memahami kebahagiaan yang tidak sepenuhnya sejalan dengan pandangan hedonistik klasik. Salah satunya mendefinisikan kebahagiaan sebagai kepuasan hidup. Dalam pandangan ini, seseorang dianggap bahagia apabila ia memiliki sikap yang positif terhadap hidupnya, misalnya merasa puas terhadap keseluruhan hidupnya atau menilai bahwa kehidupannya, secara umum, berjalan baik. Sikap ini dapat dipengaruhi oleh keseimbangan antara kenikmatan dan penderitaan, tetapi juga bisa dibentuk oleh faktor-faktor lain di luar keduanya.[50]

Kesejahteraan hidup (well-being) memiliki keterkaitan yang erat dengan kebahagiaan, sebab keduanya sama-sama mengukur apa yang pada akhirnya baik bagi seseorang.[51] Menurut pandangan yang lazim, kenikmatan merupakan salah satu unsur dari kesejahteraan. Namun, masih menjadi perdebatan apakah kenikmatan adalah satu-satunya faktor, ataukah ada unsur lain yang turut membentuk kesejahteraan, seperti kesehatan, pengetahuan, dan persahabatan. Pendekatan lain menekankan pada keinginan: bahwa kesejahteraan sejati muncul ketika keinginan seseorang terpenuhi.[52] Pandangan yang menyatakan bahwa keseimbangan kenikmatan atas penderitaan merupakan satu-satunya sumber kesejahteraan disebut hedonisme prudensial.[53]

Eudaimonia adalah bentuk kesejahteraan yang berakar dari filsafat Yunani kuno, dan menjadi fondasi bagi banyak sistem etika moral pada masa itu. Aristoteles memahami eudaimonia sebagai keadaan "mekarnya kehidupan", di mana seseorang mencapai kebahagiaan dengan menjalani hidup yang bermakna dan mewujudkan potensi alaminya. Teori-teori etika yang berlandaskan eudaimonia sering kali beririsan dengan hedonisme dalam hal pencarian kebahagiaan jangka panjang. Namun, keduanya berbeda dalam penekanan: eudaimonia menitikberatkan pada kebajikan, mengajak manusia untuk hidup aktif, berkeutamaan, dan berorientasi pada realisasi diri.[54]

Paradoks hedonisme dan roda putar kenikmatan

[sunting | sunting sumber]
Diagram yang menunjukkan dampak berbagai peristiwa terhadap kepuasan hidup dari waktu ke waktu
Kajian mengenai dampak jangka panjang dari peristiwa positif dan negatif terhadap kepuasan hidup, menunjukkan bentuk lemah dari roda berputar kenikmatan, karena kepuasan hidup perlahan kembali normal beberapa tahun setelah peristiwa terjadi.[55]

Paradoks hedonisme adalah gagasan bahwa pencarian kenikmatan secara langsung justru berbalik arah dan menjadi bumerang bagi kebahagiaan itu sendiri. Pandangan ini menyatakan bahwa upaya sadar untuk menjadi bahagia sering kali gagal, bahkan menjadi penghalang bagi kebahagiaan pribadi. Menurut salah satu tafsirnya, cara terbaik untuk menumbuhkan kenikmatan adalah dengan mengejar hal-hal lain, membiarkan kenikmatan hadir sebagai hasil sampingan, bukan sebagai tujuan utama. Sebagai contoh, seorang pemain tenis yang berfokus untuk memenangkan pertandingan mungkin akan lebih menikmati permainannya dibandingkan dengan pemain yang sekadar berusaha "menikmati" setiap pukulan demi kesenangan itu sendiri. Namun demikian, masih diperdebatkan sejauh mana paradoks hedonisme benar adanya, sebab dalam beberapa kasus, pencarian kenikmatan justru berhasil membuahkan hasil.[56]

Fenomena lain yang berkaitan dengannya adalah apa yang disebut sebagai roda putar kenikmatan (hedonic treadmill). Teori ini berpendapat bahwa manusia cenderung kembali ke tingkat kebahagiaan yang stabil setelah mengalami perubahan besar, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan, dalam hidup mereka. Dengan kata lain, peristiwa baik atau buruk memang memengaruhi kebahagiaan seseorang untuk sementara waktu, namun tidak dalam jangka panjangkarena kebahagiaan itu perlahan akan kembali ke titik dasarnya seiring seseorang terbiasa dengan keadaan baru. Sebagai ilustrasi, penelitian terhadap para pemenang lotre menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka meningkat pesat pada awalnya, ketika kekayaan baru itu memperbaiki taraf hidup mereka. Namun, setelah sekitar satu tahun, tingkat kebahagiaan mereka umumnya kembali ke keadaan semula.

Apabila benar, efek ini dapat mengguncang berbagai upaya untuk meningkatkan kebahagiaan jangka panjang, baik melalui usaha pribadi untuk hidup sehat dan seimbang, maupun melalui upaya sosial dalam membangun masyarakat yang bebas, adil, dan makmur. Meskipun terdapat dukungan empiris bagi teori ini, masih menjadi perdebatan seberapa kuat kecenderungan tersebut, dan apakah ia berlaku bagi seluruh aspek kehidupan atau hanya pada bidang-bidang tertentu saja.[57]

Non-hedonisme dan asketisme

[sunting | sunting sumber]

Teori-teori non-hedonis menolak beberapa aspek dari hedonisme. Salah satu bentuk non-hedonisme berpendapat bahwa kenikmatan memang merupakan hal penting dalam hidup, tetapi bukanlah satu-satunya hal yang bernilai. Bentuk lainnya menegaskan bahwa tidak semua kenikmatan itu baik, sebagian membawa kebaikan, sementara sebagian lain justru menuntun pada keburukan. Penolakan paling keras terhadap hedonisme, yang kadang disebut sebagai anti-hedonisme, berpandangan bahwa seluruh bentuk kenikmatan adalah buruk. Dorongan untuk menganut pandangan ini biasanya bersumber dari keyakinan bahwa kenikmatan merupakan emosi yang tidak rasional, dan bahwa mengejar kenikmatan justru menjadi penghalang bagi manusia untuk menjalani kehidupan yang baik dan bermakna.[58]

Asketisme adalah gaya hidup yang berlandaskan pada disiplin diri yang ketat, disertai penolakan terhadap kenikmatan duniawi. Ia dapat mengambil berbagai bentuk, seperti pantang terhadap hubungan seksual dan penggunaan zat terlarang, puasa, pengasingan diri dari masyarakat, hingga praktik-praktik rohani seperti doa dan meditasi. Gaya hidup ini sering kali didorong oleh tujuan religius: untuk mendekatkan diri kepada yang ilahi, mencapai tingkat spiritual yang lebih tinggi, atau memurnikan jiwa dari hasrat-hasrat rendah duniawi.[59]

Sebagian besar bentuk asketisme berdiri berlawanan dengan hedonisme dan pencarian kenikmatan yang menjadi pusatnya. Namun, terdapat pula bentuk asketisme hedonis yang berusaha memadukan kedua pandangan tersebut. Misalnya, dengan menyatakan bahwa praktik asketis yang dijalankan dengan benar dapat menuntun pada kebahagiaan yang lebih tinggi, dengan menggantikan kenikmatan-kenikmatan indrawi yang dangkal dengan kenikmatan rohani yang lebih dalam dan sarat makna.[60]

Zaman kuno

[sunting | sunting sumber]
Engraving showing the head of a bearded man from the side
Aristippus dari Cyrene sering dipandang sebagai perintis pertama hedonisme filosofis.[61]

Hedonisme adalah salah satu teori filsafat tertua dalam sejarah, dan sebagian penafsir menelusuri jejak awalnya hingga ke Wiracarita Gilgamesh, yang ditulis sekitar tahun 2100–2000 SM.[62] Gagasan ini menjadi tema sentral dalam pemikiran Yunani Kuno, di mana Aristippus dari Cyrene (435–356 SM) umumnya dianggap sebagai tokoh pertama yang merumuskannya secara filosofis. Ia mengembangkan hedonisme egoistik, dengan keyakinan bahwa kenikmatan pribadi merupakan kebaikan tertinggi dalam hidup. Aristippus dan mazhab Cyrenaics yang ia ilhami menekankan pencapaian kepuasan indrawi yang segera, tanpa banyak memikirkan akibat jangka panjang.[61]

Plato (ca428–347 SM)[63] mengkritik pandangan ini dan mengusulkan pencarian kenikmatan yang seimbang, yang selaras dengan kebajikan dan rasionalitas.[64] Mengikuti pendekatan serupa, Aristoteles (384–322 SM)[65] memandang kenikmatan sebagai bagian dari eudaimonia, yaitu kebahagiaan yang muncul dari perwujudan kemampuan kodrati manusia, terutama akal budi.[66]

Epikuros (341–271 SM) kemudian mengembangkan bentuk hedonisme yang lebih halus dan reflektif, berbeda dari pemuasan instan yang diajarkan kaum Cyrenaic. Aliran filsafat yang ia dirikan berpendapat bahwa keinginan yang berlebihan hanya menimbulkan kecemasan dan penderitaan. Karena itu, ia menganjurkan manusia untuk hidup dengan kesederhanaan, menumbuhkan ketenangan batin, dan menjauhi rasa sakit.[28] Mengikuti jejak Antisthenes (ca446—366 SM), para Cynic memperingatkan bahaya mengejar kenikmatan, sebab hal itu dianggap menghalangi kebebasan sejati manusia.[67] Kaum Stoik pun menolak gaya hidup hedonistik, dengan menekankan bahwa kebajikan dan keteguhan moral lebih utama daripada mencari kenikmatan atau menghindari rasa sakit.[68] Sementara itu, Lucretius (ca99–55 SM) memperluas ajaran Epikureanisme dengan menekankan pentingnya menaklukkan ketakutan yang menghalangi kebahagiaan manusia—terutama ketakutan akan kematian.[69]

Di India kuno, sekitar abad ke-6 hingga ke-5 SM, mazhab Charvaka mengembangkan bentuk hedonisme egoistik. Dilandasi keyakinan akan ketiadaan Tuhan dan kehidupan setelah mati, mazhab ini menganjurkan manusia untuk menikmati hidup sepenuhnya di masa kini. Namun, banyak tradisi filsafat India lainnya menolak pandangan ini dan justru mendorong gaya hidup yang lebih asketis—sebuah kecenderungan yang umum di kalangan pemikiran Hindu, Buddha, dan Jain.[70]

Di Tiongkok kuno, Yang Zhu (ca440–360 SM)[e] berpendapat bahwa sifat dasar manusia adalah mengikuti kepentingan diri dan memenuhi hasrat pribadinya. Hedonisme egoistik yang dia ajarkan kemudian menginspirasi lahirnya aliran Yangisme.[72]

Abad pertengahan

[sunting | sunting sumber]

Filsafat hedonisme mendapat perhatian yang jauh lebih sedikit dalam pemikiran abad pertengahan.[73] Filsuf Kristen awal, Agustinus dari Hippo (354–430 M),[74] menentang hedonisme yang berkembang dalam filsafat Yunani kuno. Ia memperingatkan bahwa kenikmatan duniawi dapat menjadi jerat halus yang menjauhkan jiwa dari kehidupan rohani yang seharusnya dipersembahkan bagi Tuhan.[75]

Thomas Aquinas (1225–1274 M) menawarkan pandangan yang lebih halus dan bernuansa, yang oleh sebagian penafsir disebut sebagai "hedonisme spiritual." Ia berpendapat bahwa manusia secara kodrati terdorong untuk mencari kebahagiaan; tetapi, kebahagiaan sejati hanya dapat tercapai melalui visi beatifik—penyaksian langsung akan keagungan Tuhan.[76]

Dalam filsafat Islam, persoalan tentang kenikmatan memegang peranan penting dalam pemikiran al-Razi (ca864—925 atau 932 M). Serupa dengan pandangan Epikurean, ia menganjurkan kehidupan yang penuh keseimbangan, menjauhi segala bentuk berlebihan maupun asketisisme.[77][f]

Baik al-Farabi (ca878–950 M)[78] maupun Ibnu Sina (980–1037 M)[79] menegaskan bahwa bentuk kebahagiaan tertinggi bersifat intelektual, dan hanya dapat dicapai setelah kehidupan dunia berakhir.[80]

Zaman modern dan kontemporer

[sunting | sunting sumber]

Pada masa peralihan menuju periode modern awal, Lorenzo Valla (ca1406–1457) memadukan hedonisme Epikurean dengan etika Kristen, dengan gagasan bahwa kenikmatan duniawi yang bersumber dari indra adalah tangga menuju kenikmatan surgawi yang berakar pada kebajikan Kristiani.[81] Hedonisme kembali memperoleh sorotan penting pada masa Zaman Pencerahan.[82] Menurut Thomas Hobbes (1588–1679),[83] segala dorongan manusia berpangkal pada kepentingan diri untuk mengejar apa yang menyenangkan; suatu bentuk hedonisme psikologis yang menegaskan bahwa pencarian kenikmatan adalah akar dari setiap motivasi manusia.[5] John Locke (1632–1704) berpendapat bahwa kesenangan dan penderitaan adalah dua sumber tunggal bagi kebaikan dan kejahatan.[84] Sementara itu, Joseph Butler (1692–1752) mengajukan sanggahan terhadap hedonisme psikologis. Ia berargumen bahwa sebagian besar hasrat manusia, seperti keinginan akan makanan atau ambisi, tidak diarahkan kepada kenikmatan itu sendiri, melainkan kepada objek-objek eksternal yang menjadi tujuannya.[85]

Bagi David Hume (1711–1776),[86] kesenangan dan penderitaan bukan hanya ukuran nilai moral, tetapi juga denyut utama dalam kehidupan emosional manusia.[87] Sementara dalam dunia sastra, novel-novel libertine karya Marquis de Sade (1740–1814) menggambarkan bentuk hedonisme yang ekstrem, di mana kenikmatan dikejar tanpa batas moral maupun pembatasan seksual.[88]

Lukisan minyak seorang pria berambut abu-abu panjang dalam pakaian formal
Jeremy Bentham merumuskan bentuk hedonisme universal yang mempertimbangkan kebahagiaan semua orang.[89]

Jeremy Bentham (1748–1832)[90] mengembangkan bentuk hedonisme yang amat berpengaruh, dikenal sebagai utilitarianisme klasik. Inovasinya yang paling penting adalah penolakan terhadap hedonisme egoistik; ia menegaskan bahwa manusia semestinya berusaha mencapai "kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak." Ia memperkenalkan gagasan kalkulus hedonistik, suatu metode untuk menilai nilai moral suatu tindakan berdasarkan kadar kenikmatan dan penderitaan yang dihasilkannya, dengan mempertimbangkan intensitas dan durasinya.[89]

Muridnya, John Stuart Mill (1806–1873),[91] mengkhawatirkan bahwa fokus Bentham yang terlalu kuantitatif akan mengarah pada penilaian berlebihan terhadap kenikmatan indrawi yang sederhana. Untuk menyeimbangkannya, ia menambahkan dimensi kualitas, dengan menyatakan bahwa kenikmatan pikiran dan moral jauh lebih tinggi nilainya dibanding kenikmatan jasmani yang dangkal.[92] Henry Sidgwick (1838–1900) kemudian memperhalus teori utilitarianisme dan memperjelas banyak pembedaan penting di dalamnya—termasuk perbedaan antara hedonisme etis dan psikologis, serta antara hedonisme egoistik dan utilitarian.[93]

Friedrich Nietzsche (1844–1900)[94] menolak hedonisme etis dan justru menekankan pentingnya keunggulan serta kemampuan manusia untuk melampaui dirinya sendiri. Baginya, penderitaan bukanlah sesuatu yang mesti dihindari, melainkan prasyarat mutlak bagi tercapainya keagungan dan kedalaman hidup.[95] Pandangan yang berpengaruh mengenai hakikat kenikmatan dikembangkan oleh Franz Brentano (1838–1917),[96] yang menolak anggapan bahwa kenikmatan adalah sensasi yang berlokasi di bagian tertentu dari tubuh. Ia berpendapat bahwa kenikmatan adalah suatu sikap positif yang dapat diarahkan manusia terhadap beragam objek[g]sebuah posisi yang kemudian juga dibela oleh Roderick Chisholm (1916–1999).[98]

Sigmund Freud (1856–1939) mengembangkan bentuk hedonisme psikologis dalam tahap awal teori psikoanalitiknya. Ia menyatakan bahwa prinsip kenikmatan menggambarkan kecenderungan manusia untuk mencari kesenangan dan menghindari penderitaan seketika, sedangkan prinsip realitas adalah kemampuan untuk menunda pemuasan sesaat demi menghindari akibat jangka panjang yang menyakitkan.[99]

Abad ke-20 menandai munculnya berbagai kritik terhadap hedonisme.[100] G. E. Moore (1873–1958)[101] menolak gagasan hedonistik bahwa kesenangan adalah satu-satunya sumber nilai intrinsik. Dalam kerangka pluralisme aksiologis yang ia ajukan, keindahan dan pengetahuan juga memiliki nilai intrinsik yang tak kalah penting.[102] Kritik serupa juga dikemukakan oleh W. D. Ross (1877–1971),[103] yang berpendapat bahwa nilai moral tidak dapat direduksi menjadi kenikmatan semata.

C. D. Broad (1887–1971) dan Richard Brandt (1910–1997) menegaskan bahwa kenikmatan yang bersifat jahat, seperti menikmati penderitaan orang lain, tidak memiliki nilai intrinsik apa pun.[104] Sementara itu, Robert Nozick (1938–2002) menantang hedonisme tradisional melalui eksperimen pemikirannya tentang mesin pengalaman, sebuah alat yang mampu meniru kesenangan sempurna. Ia berargumen bahwa hedonisme gagal memperhitungkan satu hal mendasar: apakah kenikmatan yang dirasakan itu sungguh berakar pada realitas, atau hanya sekadar ilusi yang terputus dari kebenaran eksistensial manusia.[20]

Menanggapi berbagai kritik terhadap hedonisme klasik, Fred Feldman (1941–kini) mengembangkan bentuk hedonisme yang dimodifikasi. Terinspirasi oleh teori sikap-positif terhadap kenikmatan dari Franz Brentano, Feldman mempertahankan gagasan bahwa kenikmatan memang merupakan satu-satunya sumber kebaikan intrinsik, tetapi nilainya harus disesuaikan menurut kelayakan dan kepantasannya. Dengan kata lain, tidak semua kenikmatan memiliki bobot moral yang sama; hanya kenikmatan yang pantas atau layaklah yang benar-benar bernilai baik.[105]

Peter Singer (1946–kini) memperluas cakupan hedonisme klasik dengan memasukkan kepedulian terhadap kesejahteraan hewan.[h] Ia mempromosikan gagasan altruisme efektif, suatu etika tindakan yang berpijak pada bukti empiris dan penalaran rasional, untuk menilai tindakan mana yang memberikan dampak positif paling besar bagi kehidupan makhluk hidup secara keseluruhan.[107]

Terinspirasi oleh filsafat Albert Camus (1913–1960), Michel Onfray (1959–kini) berupaya menghidupkan kembali hedonisme Epikurean dalam wujud yang modern, sebuah hedonisme yang tidak jatuh pada keborosan, melainkan menekankan kebijaksanaan dalam menikmati kehidupan dan keberanian untuk menerima absurditas dunia tanpa kehilangan rasa syukur.[108]

David Pearce (1959–kini) mengembangkan versi hedonisme transhumanis, dengan keyakinan bahwa penderitaan dapat dikurangi, bahkan mungkin dihapuskan sama sekali, melalui pemanfaatan teknologi modern seperti rekayasa genetika dan nanoteknologi. Ia membayangkan masa depan di mana kesejahteraan makhluk hidup tidak lagi terbatas oleh biologi penderitaan yang diwariskan alam.[109]

Munculnya bidang psikologi positif pada pergantian abad ke-21 turut memunculkan kembali minat yang besar terhadap eksplorasi empiris mengenai berbagai tema hedonisme, mulai dari kebahagiaan, makna hidup, hingga keseimbangan antara kenikmatan dan kebajikan manusia.[110]

Dalam berbagai bidang

[sunting | sunting sumber]

Psikologi positif mempelajari cara menumbuhkan kebahagiaan dan mendorong potensi terbaik dalam diri manusia. Berbeda dari psikologi tradisional yang kerap berfokus pada psikopatologi dan penderitaan mental, psikologi positif menegaskan bahwa kesejahteraan sejati bukanlah sekadar ketiadaan penyakit jiwa, melainkan keadaan di mana manusia berfungsi secara optimal—secara emosional, moral, dan sosial. Pada tingkat individu, disiplin ini meneliti pengalaman kenikmatan dan penderitaan serta peran sifat karakter dalam membentuknya; sementara pada tingkat sosial, ia menelaah bagaimana lembaga sosial memengaruhi kesejahteraan manusia.[111]

Psikologi hedonik atau hedonik[i] merupakan salah satu pilar utama psikologi positif yang berfokus pada pengalaman menyenangkan dan tidak menyenangkan. Bidang ini menyelidiki serta membandingkan beragam keadaan kesadaran yang berkaitan dengan kenikmatan dan penderitaan—mulai dari rasa gembira dan puas hingga kebosanan dan duka.

Psikologi hedonik juga meneliti fungsi biologis dari keadaan-keadaan tersebut: bagaimana rasa nikmat atau sakit bertindak sebagai isyarat bagi manusia tentang apa yang layak didekati atau dijauhi, serta bagaimana keduanya berfungsi sebagai mekanisme penguatan—memberi ganjaran atau hukuman—untuk membentuk kebiasaan perilaku. Lebih jauh lagi, bidang ini mengeksplorasi kondisi-kondisi yang membangkitkan pengalaman tersebut, baik dari segi biologis maupun sosial.[113]

Disiplin ini juga menyoroti berbagai hambatan psikologis terhadap kenikmatan, seperti anhedonia, ketidakmampuan untuk merasakan kenikmatan, dan hedonofobia, yakni ketakutan atau penolakan terhadap pengalaman yang menyenangkan.[114]

Secara keseluruhan, psikologi positif, dan secara khusus psikologi hedonik, memperdalam hubungan antara ilmu pengetahuan dan hedonisme dengan menyediakan pemahaman ilmiah tentang pengalaman kenikmatan dan penderitaan, serta proses-proses psikologis dan biologis yang melandasinya.[115]

Foto seorang pria berambut abu-abu berbicara dengan headset
Peter Singer menerapkan utilitarianisme pada persoalan etika hewan.[116]

Dalam bidang ekonomi, cabang ekonomi kesejahteraan menelaah bagaimana kegiatan ekonomi memengaruhi kesejahteraan sosial. Bidang ini kerap dipahami sebagai bagian dari ekonomi normatif, yang tidak hanya menggambarkan proses ekonomi, tetapi juga menilai dan menimbangnya secara etis. Pendekatan hedonistik dalam ekonomi kesejahteraan berpendapat bahwa kenikmatan merupakan tolok ukur utama dalam penilaian tersebut—bahwa kegiatan ekonomi sejatinya harus diarahkan untuk menumbuhkan kebahagiaan masyarakat.[117]

Bidang yang berdekatan dengan ini adalah Ekonomi kebahagiaan, yang mempelajari hubungan antara fenomena ekonomi, seperti kekayaan, dan kebahagiaan individu.[118] Para ekonom juga menggunakan metode regresi hedonik, yakni pendekatan statistik untuk memperkirakan nilai suatu komoditas berdasarkan utilitas atau sejauh mana ia memberikan kenikmatan bagi pemiliknya.[119]

Etika hewan merupakan cabang dari etika yang menelaah perilaku manusia terhadap hewan lain. Dalam ranah ini, hedonisme memiliki pengaruh yang besar sebagai teori tentang kesejahteraan hewan. Ia menegaskan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk mempertimbangkan dampak tindakannya terhadap perasaan hewan, dan berupaya mengurangi penderitaan yang mereka alami.[120]

Beberapa penganut hedonisme kuantitatif berpendapat bahwa tidak ada perbedaan hakiki antara kenikmatan dan penderitaan yang dialami manusia dengan yang dialami hewan. Berdasarkan pandangan ini, pertimbangan moral mengenai kebahagiaan tidak seharusnya dibatasi pada manusia, melainkan berlaku bagi semua makhluk berperasaan (sentience). Namun, para hedonis kualitatif menyesuaikan pandangan ini dengan berargumen bahwa pengalaman manusia memiliki bobot lebih besar, karena melibatkan bentuk kenikmatan dan penderitaan yang lebih tinggi dan kompleks.[121]

Walau banyak tradisi keagamaan bersikap kritis terhadap hedonisme, sebagian justru menerima atau mengadaptasi beberapa aspeknya, seperti dalam gagasan Hedonisme Kristen.[122] Unsur-unsur hedonisme juga menjalar ke berbagai bentuk budaya populer, seperti konsumerisme, industri hiburan, dan pengaruh abadi dari revolusi seksual.[123]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. Keberatan yang lebih ekstrem bahkan menyatakan bahwa semua bentuk kesenangan itu sendiri bersifat buruk.[25]
  2. Argumen berpengaruh lain, yang pertama kali dikemukakan oleh Socrates, menunjukkan bahwa kehidupan yang menyenangkan tetapi tanpa proses kognitif yang lebih tinggi, seperti kehidupan seekor tiram yang bahagia, bukanlah bentuk kehidupan terbaik.[27]
  3. Beberapa definisi tidak membedakan antara hedonisme etis dan hedonisme aksiologis, dan mendefinisikan hedonisme etis berdasarkan nilai intrinsik, bukan pada tindakan yang benar.[29]
  4. Dalam konteks ini, istilah "pro-attitude" juga digunakan.[44]
  5. Beberapa penafsir meragukan apakah Yang Zhu merupakan tokoh sejarah nyata atau figur mitologis.[71]
  6. Masih diperdebatkan apakah pandangan al-Razi benar-benar dapat digolongkan sebagai bentuk hedonisme.[77]
  7. Menurut pandangan ini, misalnya, kenikmatan membaca sebuah novel bukanlah rasa yang terletak di tubuh, melainkan sikap apresiatif terhadap novel itu sendiri.[97]
  8. Singer pada awalnya merupakan pendukung utilitarianisme preferensi, tetapi kemudian berpindah ke arah utilitarianisme hedonistik.[106]
  9. Dalam makna lain, istilah hedonik juga digunakan dalam etika untuk merujuk pada kajian hubungan antara kenikmatan dan kewajiban moral.[112]
  1. Gosling 1998, § 2. Psychological, Evaluative and Reflective Hedonism
  2. 1 2
  3. Bruton 2024
  4. Weijers, § 1c. Motivational Hedonism
  5. Tilley 2012, § IV. Psychological Hedonism
  6. May, § 5a. Behavioristic Learning Theory
  7. May, § 4b. An Evolutionary Argument Against Egoism
  8. 1 2
    • Weijers, § 1b. Value Hedonism and Prudential Hedonism
    • Tilley 2012, § III. Axiological Hedonism
  9. 1 2 Tilley 2012, § III. Axiological Hedonism
  10. 1 2 3
  11. Tilley 2012, § III. Axiological hedonism
  12. Weijers, Lead section
  13. Feldman 2004, hlm. 38–39
  14. Feldman 2004, hlm. 51–52
  15. 1 2
  16. Moore 2019, Lead section, § 2. Ethical Hedonism
    • Weijers, § 1d. Normative Hedonism, § 1f. Hedonistic Utilitarianism
    • Tilley 2012, § II. Ethical Hedonism
  17. Singer 2016, hlm. 163, 165
    • Weijers, § 1d. Normative Hedonism, § 1e. Hedonistic Egoism
    • Tilley 2012, § II. Ethical Hedonism
    • Nathanson, § Act Utilitarianism: Pros and Cons
    • Slater, § 3c. Early Objections and Mill's Utilitarianism
  18. 1 2
    • Weijers, § 1a. Folk Hedonism
    • Buscicchi, § 1. Condensed Conceptual History, § 2. Paradoxes of Hedonism
  19. Alston 2006, § Demarcation of the Topic
  20. Weijers, § 4b. Pleasure as Sensation
    • Weijers, § 4b. Pleasure as Sensation, § 4d. Pleasure as Pro-Attitude
    • Katz 2016, § 1.1 Pleasure as a Simple but Powerful Feeling, § 2.3 A Kind of Directedness toward Objects or Contents?
  21. 1 2
  22. Suardi et al. 2016, hlm. 383–385
  23. Diener, Lucas & Scollon 2006, hlm. 309–310
  24. 1 2
  25. Dehsen 2013, hlm. 156
  26. Dehsen 2013, hlm. 13
    • Gosling 1998, § 1. History and Varieties of Hedonism
    • Pigliucci, § 1d. Debates with Other Hellenistic Schools
  27. Norden & Ivanhoe 2023, hlm. 111
  28. Gosling 1998, § 1. History and Varieties of Hedonism
  29. Dehsen 2013, hlm. 16
  30. 1 2
  31. Dehsen 2013, hlm. 63
  32. Dehsen 2013, hlm. 19
  33. Blakemore & Jennett 2001, § Pleasure and the Enlightenment
  34. Dehsen 2013, hlm. 88
  35. Dehsen 2013, hlm. 91
  36. Airaksinen 1995, hlm. 11, 78–80
  37. 1 2
  38. Dehsen 2013, hlm. 25
  39. Dehsen 2013, hlm. 132
  40. Dehsen 2013, hlm. 144
  41. Kriegel 2018, hlm. 2
  42. Massin 2013, hlm. 307–308
  43. Crisp 2011, hlm. 43–44
  44. Bunnin & Yu 2009, hlm. 443
  45. Miligan 2015, hlm. 26
  46. Graham 2012, hlm. 6–8

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]