Hedonisme

Hedonisme adalah sekumpulan pandangan filosofis yang menempatkan kesenangan sebagai prioritas utama. Hedonisme psikologis adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh perilaku manusia didorong oleh keinginan untuk memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan rasa sakit. Sebagai bentuk egoisme, pandangan ini mengisyaratkan bahwa orang hanya menolong sesama jika mereka mengharapkan keuntungan pribadi.
Hedonisme aksiologis memandang kesenangan sebagai satu-satunya sumber nilai intrinsik. Pandangan ini menegaskan bahwa hal-hal lain, seperti pengetahuan atau harta, hanya memiliki nilai sejauh mereka menimbulkan kesenangan dan mengurangi penderitaan. Perspektif ini terbagi menjadi hedonisme kuantitatif, yang menitikberatkan pada intensitas dan durasi kesenangan, serta hedonisme kualitatif, yang menambahkan kualitas sebagai faktor relevan lainnya. Posisi yang terkait erat, yaitu hedonisme prudensial, menyatakan bahwa kesenangan dan rasa sakit merupakan satu-satunya faktor yang menentukan kesejahteraan.
Hedonisme etis menerapkan hedonisme aksiologis dalam ranah moral, berargumen bahwa setiap individu memiliki kewajiban moral untuk mengejar kesenangan dan menghindari rasa sakit. Versi utilitarian menekankan tujuan untuk meningkatkan kebahagiaan secara menyeluruh bagi semua orang, sedangkan versi egoistik menegaskan bahwa setiap individu seharusnya hanya mengejar kesenangan pribadinya. Di luar konteks akademis, istilah hedonisme kadang digunakan secara peyoratif untuk merujuk pada gaya hidup egoistik yang mengejar kepuasan jangka pendek.
Para hedonis biasanya memahami kesenangan dan rasa sakit secara luas, mencakup segala pengalaman positif maupun negatif. Meskipun secara tradisional dianggap sebagai sensasi tubuh, beberapa filsuf kontemporer menafsirkannya sebagai sikap ketertarikan atau penolakan terhadap objek atau isi pengalaman tertentu. Hedonis kerap menggunakan istilah "kebahagiaan" untuk menggambarkan keseimbangan antara kesenangan dan rasa sakit. Sifat subjektif dari fenomena ini membuat pengukuran keseimbangan tersebut dan perbandingannya antarindividu menjadi sulit. Paradoks hedonisme dan treadmill hedonik dikemukakan sebagai hambatan psikologis terhadap pencapaian kebahagiaan jangka panjang.
Sebagai salah satu teori filosofis tertua, hedonisme telah dibahas oleh Kyrenaik dan Epikurean di Yunani kuno, ajaran Charvaka di India kuno, serta Yangisme di Tiongkok kuno. Pandangan ini kurang mendapat perhatian pada Abad Pertengahan, tetapi menjadi topik sentral di Era Modern seiring munculnya utilitarianisme. Berbagai kritik terhadap hedonisme muncul pada abad ke-20, mendorong para pendukungnya mengembangkan versi baru untuk menghadapi tantangan tersebut. Konsep hedonisme tetap relevan dalam berbagai bidang, mulai dari Psikologi dan Ekonomi hingga Etika hewan.
Jenis
[sunting | sunting sumber]Istilah hedonisme merujuk pada sekumpulan pandangan mengenai peran kesenangan. Pandangan ini sering dikategorikan menjadi hedonisme psikologis, aksiologis, dan etis tergantung pada apakah fokusnya adalah hubungan antara kesenangan dan motivasi, nilai, atau tindakan yang benar, masing-masing.[2] Meskipun pembagian ini umum dalam filsafat kontemporer, para filsuf terdahulu tidak selalu membedakannya dengan jelas dan terkadang menggabungkan beberapa pandangan dalam teori mereka.[3]
Kata hedonisme berasal dari kata Bahasa Yunani Kuno ἡδονή (hēdonē), yang berarti 'kesenangan'.[4]
Hedonisme psikologis
[sunting | sunting sumber]
Hedonisme psikologis atau hedonisme motivasional adalah pandangan bahwa seluruh tindakan manusia bertujuan untuk meningkatkan kesenangan dan menghindari rasa sakit. Ini merupakan pandangan empiris mengenai apa yang memotivasi manusia, baik pada tingkat sadar maupun tidak sadar.[6] Hedonisme psikologis biasanya dipahami sebagai bentuk egoisme, yang berarti bahwa manusia berupaya meningkatkan kebahagiaannya sendiri. Ini menyiratkan bahwa seseorang hanya termotivasi untuk menolong orang lain jika hal itu sesuai dengan kepentingannya sendiri karena mereka mengharapkan keuntungan pribadi.[7] Sebagai teori motivasi manusia, hedonisme psikologis tidak mengklaim bahwa semua perilaku selalu menghasilkan kesenangan. Misalnya, jika seseorang memiliki keyakinan yang salah atau kekurangan keterampilan yang diperlukan, mereka mungkin berusaha menghasilkan kesenangan tetapi gagal mencapai hasil yang diinginkan.[8]
Bentuk standar hedonisme psikologis menegaskan bahwa pengejaran kesenangan dan penghindaran rasa sakit adalah satu-satunya sumber semua motivasi. Beberapa hedonis psikologis mengusulkan formulasi yang lebih terbatas, menyatakan bahwa pertimbangan kesenangan dan rasa sakit bukan satu-satunya sumber motivasi, tidak memengaruhi semua tindakan, atau dibatasi oleh kondisi tertentu.[9] Misalnya, hedonisme reflektif atau rasionalisasi menyatakan bahwa motivasi manusia hanya didorong oleh kesenangan dan rasa sakit ketika orang secara aktif merenungkan konsekuensi keseluruhan.[10] Versi lain adalah hedonisme genetik, yang mengakui bahwa manusia menginginkan berbagai hal selain kesenangan tetapi menyatakan bahwa setiap keinginan berakar pada keinginan untuk kesenangan.[11] Hedonisme Darwinian menjelaskan kecenderungan mencari kesenangan dari perspektif evolusi, dengan berargumen bahwa dorongan hedonistik berevolusi sebagai strategi adaptif untuk mendukung kelangsungan hidup dan keberhasilan reproduksi.[12]
Para pendukung hedonisme psikologis sering menyoroti daya tarik intuitif dan kekuatan penjelasannya. Mereka berargumen bahwa banyak keinginan berfokus langsung pada kesenangan, sementara yang lain berupaya pada kesenangan secara tidak langsung dengan mendorong penyebabnya.[13] Argumen serupa dari psikologi perilaku menyatakan bahwa perilaku altruistik dipelajari melalui pengondisian, yang memperkuat perilaku yang menghasilkan imbalan positif. Pandangan ini menegaskan bahwa semua motivasi primer berasal dari dorongan hasrat egois yang menjadi dasar bagi seluruh motivasi sekunder, termasuk altruisme.[14]
Para pengkritik hedonisme psikologis sering menunjukkan contoh-contoh yang tampak bertentangan, di mana orang bertindak karena alasan selain kesenangan pribadi. Contoh yang diajukan termasuk tindakan altruistik sejati, seperti seorang prajurit yang mengorbankan diri di medan perang untuk menyelamatkan rekan-rekannya atau orang tua yang ingin anak-anaknya bahagia. Para kritikus juga menyebut kasus non-altruistik, seperti keinginan untuk memperoleh ketenaran pasca kematian. Pertanyaan terbuka adalah sejauh mana kasus-kasus ini dapat dijelaskan sebagai bentuk perilaku mencari kesenangan.[15] Kritik lain dari biologi evolusi berargumen bahwa motivasi altruistik bersifat mendukung kelangsungan hidup dan reproduksi. Argumen ini menyatakan bahwa motivasi altruistik menghasilkan perilaku penting, seperti perawatan orang tua, lebih dapat diandalkan karena tidak tergantung pada mekanisme tambahan, seperti keyakinan individu bahwa perawatan orang tua akan membawa kesenangan pribadi.[16]
Hedonisme aksiologis
[sunting | sunting sumber]
Hedonisme aksiologis, atau hedonisme evaluatif, adalah pandangan yang menyatakan bahwa kesenangan merupakan sumber utama dari segala nilai. Pandangan ini berpendapat bahwa hal-hal selain kesenangan hanya bernilai sejauh ia menghasilkan kesenangan atau mengurangi penderitaan. Pemahaman ini umumnya dijelaskan melalui pembedaan antara nilai intrinsik dan nilai instrumental. Suatu entitas memiliki nilai intrinsik apabila kebaikannya ada pada dirinya sendiri, atau nilainya tidak bergantung pada faktor eksternal. Sebaliknya, sesuatu dikatakan memiliki nilai instrumental jika ia membawa kepada hal-hal lain yang baik. Menurut hedonisme aksiologis, hanya kesenanganlah yang memiliki nilai intrinsik, sebab ia tetap baik meskipun tidak mendatangkan manfaat luar apa pun. Uang, misalnya, hanya bernilai secara instrumental karena dapat digunakan untuk memperoleh hal-hal baik lainnya, tetapi tidak memiliki nilai tersendiri di luar fungsi tersebut.[18] Nilai keseluruhan suatu hal ditentukan oleh gabungan antara nilai intrinsik dan nilai instrumentalnya. Dalam beberapa kasus, bahkan pengalaman yang tidak menyenangkan, seperti operasi yang menyakitkan, dapat dianggap baik secara keseluruhan apabila konsekuensi positifnya, seperti pencegahan rasa sakit di masa depan, melebihi ketidaknyamanan saat ini.[19]
Menurut hedonisme kuantitatif, nilai intrinsik dari kesenangan hanya bergantung pada intensitas dan durasinya. Para hedonis kualitatif menambahkan bahwa mutu kesenangan juga merupakan faktor penting. Mereka berpendapat, misalnya, bahwa kesenangan halus dari kegiatan intelektual, seperti mengapresiasi seni rupa atau filsafat, dapat memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan kesenangan jasmaniah sederhana seperti menikmati makanan dan minuman, meskipun intensitasnya lebih rendah.[17]

Hedonisme prudensial berkaitan erat dengan hedonisme aksiologis, tetapi berfokus secara khusus pada kehidupan yang baik atau apa yang baik bagi individu. Ia menyatakan bahwa kesenangan dan penderitaan merupakan satu-satunya faktor penentu kesejahteraan; artinya, baik buruknya kehidupan seseorang bergantung sepenuhnya pada keseimbangan antara kesenangan dan penderitaan yang ia alami. Namun, hedonisme prudensial tetap membuka kemungkinan bahwa hal-hal selain kesejahteraan dapat memiliki nilai intrinsik, seperti keindahan atau kebebasan.[21]
Beragam argumen telah diajukan baik untuk mendukung maupun menentang hedonisme aksiologis. Para pendukungnya sering menekankan intuisi bahwa kesenangan memang bernilai, serta kenyataan bahwa manusia secara alami menginginkan kesenangan demi dirinya sendiri.[19] Pendekatan lain mengakui bahwa manusia juga menghargai hal-hal di luar kesenangan, seperti kebenaran dan keindahan, tetapi berupaya menunjukkan bahwa semua nilai lain pada akhirnya bersumber dari nilai kesenangan itu sendiri. Argumen lain berasumsi bahwa kata baik dan menyenangkan memiliki makna yang sama, sehingga mengejar kesenangan berarti secara inheren mengejar kebaikan.[22]
Gagasan bahwa sebagian besar kesenangan memiliki nilai dalam bentuk tertentu relatif tidak kontroversial. Kritik biasanya diarahkan pada klaim yang lebih kuat, yakni bahwa semua kesenangan bernilai atau bahwa kesenangan adalah satu-satunya sumber nilai intrinsik.[23] Sebagian pengkritik berpendapat bahwa ada jenis kesenangan yang tidak bernilai, bahkan buruk, seperti kesenangan yang hina atau sadistis.[24][a] Kritik lain datang dari kalangan pluralis nilai, yang berpendapat bahwa hal-hal lain di luar kesenangan juga memiliki nilai. Untuk mendukung gagasan bahwa keindahan merupakan sumber nilai tambahan, G. E. Moore mengemukakan sebuah eksperimen pemikiran tentang dua dunia: satu dipenuhi keindahan luar biasa, dan satu lagi hanyalah tumpukan kotoran. Ia berargumen bahwa dunia yang indah tetap lebih baik, bahkan jika tidak ada siapa pun yang menikmatinya.[26] Eksperimen pemikiran lain yang berpengaruh diajukan oleh Robert Nozick, melalui konsep mesin pengalaman yang dapat menciptakan kesenangan buatan. Berdasarkan anggapannya bahwa kebanyakan orang tidak ingin menghabiskan hidup mereka dalam ilusi menyenangkan semacam itu, ia berpendapat bahwa hedonisme gagal menjelaskan nilai keaslian dan pengalaman yang sejati.[20][b]
Hedonisme etis
[sunting | sunting sumber]
Hedonisme etis, atau hedonisme normatif, adalah gagasan bahwa pencarian kenikmatan dan penghindaran penderitaan merupakan prinsip moral tertinggi dalam perilaku manusia.[c] Pandangan ini menyiratkan bahwa pertimbangan moral lain, seperti kewajiban, keadilan, atau kebajikan, hanya bernilai sejauh mereka memengaruhi kenikmatan dan penderitaan manusia.[30]
Teori-teori hedonisme etis umumnya terbagi menjadi dua: versi utilitarian dan versi egoistik. Hedonisme utilitarian, yang juga dikenal sebagai utilitarianisme klasik, menegaskan bahwa kebahagiaan setiap orang memiliki bobot yang sama. Menurut pandangan ini, seseorang seharusnya berupaya memaksimalkan jumlah keseluruhan kebahagiaan semua pihak yang terpengaruh oleh tindakannya. Kebahagiaan pribadi termasuk di dalamnya, tetapi bukan satu-satunya tujuan dan tidak memiliki hak istimewa dibanding kebahagiaan orang lain.[31] Karena itu, hedonisme utilitarian terkadang menuntut seseorang untuk mengorbankan kesenangannya demi kesejahteraan orang lain. Sebagai contoh, filsuf Peter Singer berpendapat bahwa mereka yang berpenghasilan baik seharusnya menyumbangkan sebagian besar pendapatannya kepada lembaga amal, sebab uang tersebut dapat menciptakan kebahagiaan yang lebih besar bagi mereka yang membutuhkan.[32]
Sementara itu, hedonisme egoistik menyatakan bahwa setiap orang hanya perlu mengejar kenikmatannya sendiri. Dalam pandangan yang cukup kontroversial ini, seseorang hanya memiliki alasan moral untuk peduli pada kebahagiaan orang lain jika hal itu berdampak pada kesejahteraannya sendiri. Misalnya, bila seseorang merasa tidak nyaman atau bersalah setelah menyakiti orang lain, maka ia memiliki alasan untuk menghindari tindakan itu. Namun, di bawah pandangan ini, seseorang dianggap secara moral dibenarkan, bahkan diharuskan, untuk menyakiti orang lain jika hal tersebut meningkatkan kenikmatan pribadinya secara keseluruhan.[33]
Hedonisme etis kerap dipadukan dengan konsekuensialisme, yakni pandangan bahwa suatu tindakan dianggap benar apabila menghasilkan konsekuensi terbaik. Biasanya ia juga sejalan dengan hedonisme aksiologis, yang mengaitkan nilai intrinsik dari konsekuensi pada kenikmatan dan penderitaan. Karena itu, banyak argumen yang mendukung atau menentang hedonisme aksiologis juga berlaku bagi hedonisme etis.[34]
Pendukung hedonisme utilitarian sering menyoroti sifatnya yang tidak memihak, metodenya yang sederhana dan objektif dalam menilai tindakan moral, serta kelenturannya untuk diterapkan dalam berbagai situasi. Namun, para pengkritik berargumen bahwa pendekatan ini menuntut terlalu banyak dari manusia (demandingness objection) dan dapat berujung pada ketidakadilan ketika hak individu dikorbankan demi kebaikan bersama. Mereka juga menyoroti kesulitan praktis dalam menilai seluruh akibat yang berkaitan dengan kenikmatan dari setiap tindakan manusia.[35]
Lain-lain
[sunting | sunting sumber]
Hedonisme estetis adalah sebuah teori mengenai hakikat dari nilai estetika atau keindahan itu sendiri. Teori ini berpendapat bahwa suatu hal, seperti pemandangan alam, lukisan, atau lagu, memiliki nilai estetika sejauh ia menimbulkan rasa senang atau kenikmatan estetis bagi manusia. Pandangan ini bersifat subjektif karena berpusat pada cara manusia menanggapi hal-hal yang menggugah keindahan. Pandangan ini berseberangan dengan teori objektif, yang menilai bahwa nilai estetika bergantung semata pada sifat-sifat obyektif atau bebas dari pikiran, seperti simetri atau harmoni komposisi.
Sebagian penganut hedonisme estetis meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan, tanpa kecuali, berkontribusi pada nilai estetika suatu objek. Namun sebagian lain memberikan penjelasan yang lebih halus dan mendalam: bahwa nilai estetika hanya bergantung pada tanggapan mereka yang memiliki selera estetika yang terasah dan matang.[36]
Di luar ranah akademis filsafat dan psikologi, istilah hedonisme kerap digunakan dalam makna yang lebih sempit dan bernada negatif. Dalam konteks ini, yang sering disebut sebagai hedonisme rakyat, istilah tersebut menggambarkan gaya hidup yang berpusat pada pencarian kenikmatan sesaat secara egoistik. Misalnya, seseorang yang menuruti hasratnya dalam seks dan narkoba tanpa memedulikan akibat jangka panjang dari perilakunya, disebut bersikap hedonistik dalam pengertian ini.
Konotasi negatif tersebut muncul karena hedonisme jenis ini sering kali disertai dengan ketidakpedulian terhadap bahaya atau pertimbangan moral yang mungkin timbul dari tindakan semacam itu. Dampak buruknya dapat menimpa tidak hanya individu pelaku, tetapi juga orang-orang di sekitarnya, mengganggu kesehatan, kestabilan finansial, hubungan sosial, hingga tanggung jawab terhadap masyarakat.
Sebagian besar filsuf hedonis menolak pandangan bahwa gaya hidup yang didasari hedonisme rakyat akan membawa kebahagiaan sejati atau kepuasan jangka panjang.[37]
Konsep-konsep utama
[sunting | sunting sumber]Kenikmatan dan penderitaan
[sunting | sunting sumber]Kenikmatan dan penderitaan merupakan dua pengalaman dasar yang menentukan apa yang manusia anggap menarik dan menjauhkan diri dari apa yang dianggap menjijikkan atau menyakitkan. Keduanya membentuk bagaimana manusia merasa, berpikir, dan bertindak.[38] Dua pengalaman ini menempati posisi sentral dalam seluruh bentuk hedonisme.[39] Baik kenikmatan maupun penderitaan hadir dalam berbagai tingkatan, bergantung pada intensitasnya. Biasanya keduanya dipahami sebagai sebuah kontinum—suatu rentang yang bergerak dari derajat positif, melewati titik netral, hingga ke derajat negatif.[40] Namun, sebagian penganut hedonisme menolak gagasan bahwa kenikmatan dan penderitaan adalah pasangan yang simetris. Mereka berpendapat bahwa menghindari penderitaan jauh lebih penting daripada mengejar kenikmatan.[41]
Hakikat dari kenikmatan dan penderitaan sendiri masih menjadi perdebatan panjang, dan pemahamannya berpengaruh besar terhadap daya terima berbagai versi hedonisme. Dalam bahasa sehari-hari, kedua istilah ini sering dipahami secara sempit, terbatas pada pengalaman-pengalaman tertentu, seperti nikmatnya makanan atau seks, dan sakitnya luka fisik.[42] Namun bagi para hedonis, maknanya jauh lebih luas: kenikmatan dan penderitaan mencakup segala pengalaman yang terasa positif atau negatif dalam hidup. Dalam pengertian ini, apa pun yang menimbulkan rasa baik disebut kenikmatan, seperti kegembiraan menyaksikan matahari terbenam—sedangkan apa pun yang menimbulkan rasa buruk disebut penderitaan, seperti kesedihan kehilangan seseorang yang dicintai.[43]
Pandangan tradisional yang berpengaruh lama mengatakan bahwa kenikmatan dan penderitaan adalah sensasi-sensasi jasmaniah tertentu—mirip dengan perasaan panas dan dingin. Namun, dalam filsafat modern, pandangan yang lebih umum menyatakan bahwa kenikmatan dan penderitaan bukan sekadar sensasi tubuh, melainkan bentuk sikap batin: kenikmatan adalah tarikan batin (sikap menyukai), sedangkan penderitaan adalah dorongan menjauh (sikap menolak) terhadap suatu objek atau isi pengalaman.[d] Pandangan ini menyiratkan bahwa kenikmatan dan penderitaan tidak memiliki lokasi tertentu di tubuh dan tidak pernah muncul dalam kekosongan, sebab keduanya selalu diarahkan pada sesuatu—pada objek yang membuat manusia bersuka atau menderita karenanya.[45]
Pengukuran
[sunting | sunting sumber]Baik para filsuf maupun psikolog sama-sama tertarik untuk menemukan cara mengukur kenikmatan dan penderitaan, demi memahami sebab-musababnya serta peran keduanya dalam proses pengambilan keputusan. Salah satu pendekatan yang umum digunakan adalah melalui kuesioner laporan diri, di mana seseorang diminta menilai seberapa menyenangkan atau tidak menyenangkannya suatu pengalaman. Misalnya, beberapa kuesioner menggunakan skala sembilan poin, dari -4 untuk pengalaman paling tidak menyenangkan hingga +4 untuk yang paling menyenangkan. Beberapa metode mengandalkan ingatan, meminta seseorang menilai kembali pengalaman masa lalunya secara retrospektif. Pendekatan lain dilakukan secara langsung, yakni dengan meminta individu menilai pengalaman mereka saat perasaan itu sedang berlangsung, untuk menghindari bias dan ketidakakuratan yang mungkin timbul dari ingatan.[46]
Namun, dalam bentuk apa pun, upaya mengukur kenikmatan dan penderitaan tetap menyimpan berbagai tantangan. Sebagai fenomena yang amat subjektif, sulit bagi manusia untuk menetapkan ukuran baku yang universal. Selain itu, meminta seseorang memberi nilai terhadap pengalamannya melalui skala buatan sering kali tidak sepenuhnya mencerminkan nuansa batin yang sesungguhnya mereka rasakan. Masalah lain yang erat kaitannya adalah perbandingan antarindividu: dua orang bisa saja menggunakan skala yang sama dengan cara yang berbeda, sehingga menghasilkan nilai yang tak sepadan, meski pengalaman mereka serupa.[46]
Para ahli neurosains berupaya mengatasi sebagian kesulitan ini dengan memanfaatkan teknik pencitraan saraf seperti PET scan dan fMRI. Namun, pendekatan ini pun menimbulkan tantangan baru, sebab dasar neurologis dari kebahagiaan manusia belum sepenuhnya dipahami.[47]
Bertolak dari gagasan bahwa pengalaman kenikmatan dan penderitaan dapat diukur secara kuantitatif, Jeremy Bentham memperkenalkan konsep kalkulus hedonistik, sebuah metode untuk menggabungkan berbagai pengalaman menjadi satu kesimpulan tentang sejauh mana pengalaman-pengalaman itu menyumbang terhadap kebahagiaan keseluruhan. Menurut Bentham, seseorang dapat menemukan tindakan terbaik dengan membandingkan secara kuantitatif kenikmatan dan penderitaan yang dihasilkan oleh setiap pilihan tindakan. Ia mempertimbangkan sejumlah faktor untuk setiap pengalaman menyenangkan: intensitas dan durasinya, kemungkinan terjadinya, jarak waktunya, potensi untuk menimbulkan pengalaman menyenangkan atau menyakitkan lainnya, serta jumlah orang yang terpengaruh olehnya.
Beberapa versi sederhana dari kalkulus hedonistik hanya menekankan pada apa yang secara intrinsik bernilai bagi seseorang, dengan mempertimbangkan dua faktor utama: intensitas dan durasi.[48]
Kebahagiaan, kesejahteraan hidup, dan eudaimonia
[sunting | sunting sumber]Sebagian pemikir merumuskan hedonisme bukan dalam istilah kenikmatan dan penderitaan, melainkan dalam istilah kebahagiaan. Menurut salah satu tafsir yang umum, kebahagiaan adalah keseimbangan antara kenikmatan dan penderitaan. Artinya, seseorang disebut bahagia apabila kenikmatan yang ia rasakan lebih banyak daripada penderitaan, dan sebaliknya, ia dianggap tidak bahagia bila penderitaan lebih besar dari kenikmatan.[49]
Namun, ada pula cara lain memahami kebahagiaan yang tidak sepenuhnya sejalan dengan pandangan hedonistik klasik. Salah satunya mendefinisikan kebahagiaan sebagai kepuasan hidup. Dalam pandangan ini, seseorang dianggap bahagia apabila ia memiliki sikap yang positif terhadap hidupnya, misalnya merasa puas terhadap keseluruhan hidupnya atau menilai bahwa kehidupannya, secara umum, berjalan baik. Sikap ini dapat dipengaruhi oleh keseimbangan antara kenikmatan dan penderitaan, tetapi juga bisa dibentuk oleh faktor-faktor lain di luar keduanya.[50]
Kesejahteraan hidup (well-being) memiliki keterkaitan yang erat dengan kebahagiaan, sebab keduanya sama-sama mengukur apa yang pada akhirnya baik bagi seseorang.[51] Menurut pandangan yang lazim, kenikmatan merupakan salah satu unsur dari kesejahteraan. Namun, masih menjadi perdebatan apakah kenikmatan adalah satu-satunya faktor, ataukah ada unsur lain yang turut membentuk kesejahteraan, seperti kesehatan, pengetahuan, dan persahabatan. Pendekatan lain menekankan pada keinginan: bahwa kesejahteraan sejati muncul ketika keinginan seseorang terpenuhi.[52] Pandangan yang menyatakan bahwa keseimbangan kenikmatan atas penderitaan merupakan satu-satunya sumber kesejahteraan disebut hedonisme prudensial.[53]
Eudaimonia adalah bentuk kesejahteraan yang berakar dari filsafat Yunani kuno, dan menjadi fondasi bagi banyak sistem etika moral pada masa itu. Aristoteles memahami eudaimonia sebagai keadaan "mekarnya kehidupan", di mana seseorang mencapai kebahagiaan dengan menjalani hidup yang bermakna dan mewujudkan potensi alaminya. Teori-teori etika yang berlandaskan eudaimonia sering kali beririsan dengan hedonisme dalam hal pencarian kebahagiaan jangka panjang. Namun, keduanya berbeda dalam penekanan: eudaimonia menitikberatkan pada kebajikan, mengajak manusia untuk hidup aktif, berkeutamaan, dan berorientasi pada realisasi diri.[54]
Paradoks hedonisme dan roda putar kenikmatan
[sunting | sunting sumber]
Paradoks hedonisme adalah gagasan bahwa pencarian kenikmatan secara langsung justru berbalik arah dan menjadi bumerang bagi kebahagiaan itu sendiri. Pandangan ini menyatakan bahwa upaya sadar untuk menjadi bahagia sering kali gagal, bahkan menjadi penghalang bagi kebahagiaan pribadi. Menurut salah satu tafsirnya, cara terbaik untuk menumbuhkan kenikmatan adalah dengan mengejar hal-hal lain, membiarkan kenikmatan hadir sebagai hasil sampingan, bukan sebagai tujuan utama. Sebagai contoh, seorang pemain tenis yang berfokus untuk memenangkan pertandingan mungkin akan lebih menikmati permainannya dibandingkan dengan pemain yang sekadar berusaha "menikmati" setiap pukulan demi kesenangan itu sendiri. Namun demikian, masih diperdebatkan sejauh mana paradoks hedonisme benar adanya, sebab dalam beberapa kasus, pencarian kenikmatan justru berhasil membuahkan hasil.[56]
Fenomena lain yang berkaitan dengannya adalah apa yang disebut sebagai roda putar kenikmatan (hedonic treadmill). Teori ini berpendapat bahwa manusia cenderung kembali ke tingkat kebahagiaan yang stabil setelah mengalami perubahan besar, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan, dalam hidup mereka. Dengan kata lain, peristiwa baik atau buruk memang memengaruhi kebahagiaan seseorang untuk sementara waktu, namun tidak dalam jangka panjang—karena kebahagiaan itu perlahan akan kembali ke titik dasarnya seiring seseorang terbiasa dengan keadaan baru. Sebagai ilustrasi, penelitian terhadap para pemenang lotre menunjukkan bahwa kebahagiaan mereka meningkat pesat pada awalnya, ketika kekayaan baru itu memperbaiki taraf hidup mereka. Namun, setelah sekitar satu tahun, tingkat kebahagiaan mereka umumnya kembali ke keadaan semula.
Apabila benar, efek ini dapat mengguncang berbagai upaya untuk meningkatkan kebahagiaan jangka panjang, baik melalui usaha pribadi untuk hidup sehat dan seimbang, maupun melalui upaya sosial dalam membangun masyarakat yang bebas, adil, dan makmur. Meskipun terdapat dukungan empiris bagi teori ini, masih menjadi perdebatan seberapa kuat kecenderungan tersebut, dan apakah ia berlaku bagi seluruh aspek kehidupan atau hanya pada bidang-bidang tertentu saja.[57]
Non-hedonisme dan asketisme
[sunting | sunting sumber]Teori-teori non-hedonis menolak beberapa aspek dari hedonisme. Salah satu bentuk non-hedonisme berpendapat bahwa kenikmatan memang merupakan hal penting dalam hidup, tetapi bukanlah satu-satunya hal yang bernilai. Bentuk lainnya menegaskan bahwa tidak semua kenikmatan itu baik, sebagian membawa kebaikan, sementara sebagian lain justru menuntun pada keburukan. Penolakan paling keras terhadap hedonisme, yang kadang disebut sebagai anti-hedonisme, berpandangan bahwa seluruh bentuk kenikmatan adalah buruk. Dorongan untuk menganut pandangan ini biasanya bersumber dari keyakinan bahwa kenikmatan merupakan emosi yang tidak rasional, dan bahwa mengejar kenikmatan justru menjadi penghalang bagi manusia untuk menjalani kehidupan yang baik dan bermakna.[58]
Asketisme adalah gaya hidup yang berlandaskan pada disiplin diri yang ketat, disertai penolakan terhadap kenikmatan duniawi. Ia dapat mengambil berbagai bentuk, seperti pantang terhadap hubungan seksual dan penggunaan zat terlarang, puasa, pengasingan diri dari masyarakat, hingga praktik-praktik rohani seperti doa dan meditasi. Gaya hidup ini sering kali didorong oleh tujuan religius: untuk mendekatkan diri kepada yang ilahi, mencapai tingkat spiritual yang lebih tinggi, atau memurnikan jiwa dari hasrat-hasrat rendah duniawi.[59]
Sebagian besar bentuk asketisme berdiri berlawanan dengan hedonisme dan pencarian kenikmatan yang menjadi pusatnya. Namun, terdapat pula bentuk asketisme hedonis yang berusaha memadukan kedua pandangan tersebut. Misalnya, dengan menyatakan bahwa praktik asketis yang dijalankan dengan benar dapat menuntun pada kebahagiaan yang lebih tinggi, dengan menggantikan kenikmatan-kenikmatan indrawi yang dangkal dengan kenikmatan rohani yang lebih dalam dan sarat makna.[60]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Zaman kuno
[sunting | sunting sumber]
Hedonisme adalah salah satu teori filsafat tertua dalam sejarah, dan sebagian penafsir menelusuri jejak awalnya hingga ke Wiracarita Gilgamesh, yang ditulis sekitar tahun 2100–2000 SM.[62] Gagasan ini menjadi tema sentral dalam pemikiran Yunani Kuno, di mana Aristippus dari Cyrene (435–356 SM) umumnya dianggap sebagai tokoh pertama yang merumuskannya secara filosofis. Ia mengembangkan hedonisme egoistik, dengan keyakinan bahwa kenikmatan pribadi merupakan kebaikan tertinggi dalam hidup. Aristippus dan mazhab Cyrenaics yang ia ilhami menekankan pencapaian kepuasan indrawi yang segera, tanpa banyak memikirkan akibat jangka panjang.[61]
Plato (ca 428–347 SM)[63] mengkritik pandangan ini dan mengusulkan pencarian kenikmatan yang seimbang, yang selaras dengan kebajikan dan rasionalitas.[64] Mengikuti pendekatan serupa, Aristoteles (384–322 SM)[65] memandang kenikmatan sebagai bagian dari eudaimonia, yaitu kebahagiaan yang muncul dari perwujudan kemampuan kodrati manusia, terutama akal budi.[66]
Epikuros (341–271 SM) kemudian mengembangkan bentuk hedonisme yang lebih halus dan reflektif, berbeda dari pemuasan instan yang diajarkan kaum Cyrenaic. Aliran filsafat yang ia dirikan berpendapat bahwa keinginan yang berlebihan hanya menimbulkan kecemasan dan penderitaan. Karena itu, ia menganjurkan manusia untuk hidup dengan kesederhanaan, menumbuhkan ketenangan batin, dan menjauhi rasa sakit.[28] Mengikuti jejak Antisthenes (ca 446—366 SM), para Cynic memperingatkan bahaya mengejar kenikmatan, sebab hal itu dianggap menghalangi kebebasan sejati manusia.[67] Kaum Stoik pun menolak gaya hidup hedonistik, dengan menekankan bahwa kebajikan dan keteguhan moral lebih utama daripada mencari kenikmatan atau menghindari rasa sakit.[68] Sementara itu, Lucretius (ca 99–55 SM) memperluas ajaran Epikureanisme dengan menekankan pentingnya menaklukkan ketakutan yang menghalangi kebahagiaan manusia—terutama ketakutan akan kematian.[69]
Di India kuno, sekitar abad ke-6 hingga ke-5 SM, mazhab Charvaka mengembangkan bentuk hedonisme egoistik. Dilandasi keyakinan akan ketiadaan Tuhan dan kehidupan setelah mati, mazhab ini menganjurkan manusia untuk menikmati hidup sepenuhnya di masa kini. Namun, banyak tradisi filsafat India lainnya menolak pandangan ini dan justru mendorong gaya hidup yang lebih asketis—sebuah kecenderungan yang umum di kalangan pemikiran Hindu, Buddha, dan Jain.[70]
Di Tiongkok kuno, Yang Zhu (ca 440–360 SM)[e] berpendapat bahwa sifat dasar manusia adalah mengikuti kepentingan diri dan memenuhi hasrat pribadinya. Hedonisme egoistik yang dia ajarkan kemudian menginspirasi lahirnya aliran Yangisme.[72]
Abad pertengahan
[sunting | sunting sumber]Filsafat hedonisme mendapat perhatian yang jauh lebih sedikit dalam pemikiran abad pertengahan.[73] Filsuf Kristen awal, Agustinus dari Hippo (354–430 M),[74] menentang hedonisme yang berkembang dalam filsafat Yunani kuno. Ia memperingatkan bahwa kenikmatan duniawi dapat menjadi jerat halus yang menjauhkan jiwa dari kehidupan rohani yang seharusnya dipersembahkan bagi Tuhan.[75]
Thomas Aquinas (1225–1274 M) menawarkan pandangan yang lebih halus dan bernuansa, yang oleh sebagian penafsir disebut sebagai "hedonisme spiritual." Ia berpendapat bahwa manusia secara kodrati terdorong untuk mencari kebahagiaan; tetapi, kebahagiaan sejati hanya dapat tercapai melalui visi beatifik—penyaksian langsung akan keagungan Tuhan.[76]
Dalam filsafat Islam, persoalan tentang kenikmatan memegang peranan penting dalam pemikiran al-Razi (ca 864—925 atau 932 M). Serupa dengan pandangan Epikurean, ia menganjurkan kehidupan yang penuh keseimbangan, menjauhi segala bentuk berlebihan maupun asketisisme.[77][f]
Baik al-Farabi (ca 878–950 M)[78] maupun Ibnu Sina (980–1037 M)[79] menegaskan bahwa bentuk kebahagiaan tertinggi bersifat intelektual, dan hanya dapat dicapai setelah kehidupan dunia berakhir.[80]
Zaman modern dan kontemporer
[sunting | sunting sumber]Pada masa peralihan menuju periode modern awal, Lorenzo Valla (ca 1406–1457) memadukan hedonisme Epikurean dengan etika Kristen, dengan gagasan bahwa kenikmatan duniawi yang bersumber dari indra adalah tangga menuju kenikmatan surgawi yang berakar pada kebajikan Kristiani.[81] Hedonisme kembali memperoleh sorotan penting pada masa Zaman Pencerahan.[82] Menurut Thomas Hobbes (1588–1679),[83] segala dorongan manusia berpangkal pada kepentingan diri untuk mengejar apa yang menyenangkan; suatu bentuk hedonisme psikologis yang menegaskan bahwa pencarian kenikmatan adalah akar dari setiap motivasi manusia.[5] John Locke (1632–1704) berpendapat bahwa kesenangan dan penderitaan adalah dua sumber tunggal bagi kebaikan dan kejahatan.[84] Sementara itu, Joseph Butler (1692–1752) mengajukan sanggahan terhadap hedonisme psikologis. Ia berargumen bahwa sebagian besar hasrat manusia, seperti keinginan akan makanan atau ambisi, tidak diarahkan kepada kenikmatan itu sendiri, melainkan kepada objek-objek eksternal yang menjadi tujuannya.[85]
Bagi David Hume (1711–1776),[86] kesenangan dan penderitaan bukan hanya ukuran nilai moral, tetapi juga denyut utama dalam kehidupan emosional manusia.[87] Sementara dalam dunia sastra, novel-novel libertine karya Marquis de Sade (1740–1814) menggambarkan bentuk hedonisme yang ekstrem, di mana kenikmatan dikejar tanpa batas moral maupun pembatasan seksual.[88]

Jeremy Bentham (1748–1832)[90] mengembangkan bentuk hedonisme yang amat berpengaruh, dikenal sebagai utilitarianisme klasik. Inovasinya yang paling penting adalah penolakan terhadap hedonisme egoistik; ia menegaskan bahwa manusia semestinya berusaha mencapai "kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak." Ia memperkenalkan gagasan kalkulus hedonistik, suatu metode untuk menilai nilai moral suatu tindakan berdasarkan kadar kenikmatan dan penderitaan yang dihasilkannya, dengan mempertimbangkan intensitas dan durasinya.[89]
Muridnya, John Stuart Mill (1806–1873),[91] mengkhawatirkan bahwa fokus Bentham yang terlalu kuantitatif akan mengarah pada penilaian berlebihan terhadap kenikmatan indrawi yang sederhana. Untuk menyeimbangkannya, ia menambahkan dimensi kualitas, dengan menyatakan bahwa kenikmatan pikiran dan moral jauh lebih tinggi nilainya dibanding kenikmatan jasmani yang dangkal.[92] Henry Sidgwick (1838–1900) kemudian memperhalus teori utilitarianisme dan memperjelas banyak pembedaan penting di dalamnya—termasuk perbedaan antara hedonisme etis dan psikologis, serta antara hedonisme egoistik dan utilitarian.[93]
Friedrich Nietzsche (1844–1900)[94] menolak hedonisme etis dan justru menekankan pentingnya keunggulan serta kemampuan manusia untuk melampaui dirinya sendiri. Baginya, penderitaan bukanlah sesuatu yang mesti dihindari, melainkan prasyarat mutlak bagi tercapainya keagungan dan kedalaman hidup.[95] Pandangan yang berpengaruh mengenai hakikat kenikmatan dikembangkan oleh Franz Brentano (1838–1917),[96] yang menolak anggapan bahwa kenikmatan adalah sensasi yang berlokasi di bagian tertentu dari tubuh. Ia berpendapat bahwa kenikmatan adalah suatu sikap positif yang dapat diarahkan manusia terhadap beragam objek[g]—sebuah posisi yang kemudian juga dibela oleh Roderick Chisholm (1916–1999).[98]
Sigmund Freud (1856–1939) mengembangkan bentuk hedonisme psikologis dalam tahap awal teori psikoanalitiknya. Ia menyatakan bahwa prinsip kenikmatan menggambarkan kecenderungan manusia untuk mencari kesenangan dan menghindari penderitaan seketika, sedangkan prinsip realitas adalah kemampuan untuk menunda pemuasan sesaat demi menghindari akibat jangka panjang yang menyakitkan.[99]
Abad ke-20 menandai munculnya berbagai kritik terhadap hedonisme.[100] G. E. Moore (1873–1958)[101] menolak gagasan hedonistik bahwa kesenangan adalah satu-satunya sumber nilai intrinsik. Dalam kerangka pluralisme aksiologis yang ia ajukan, keindahan dan pengetahuan juga memiliki nilai intrinsik yang tak kalah penting.[102] Kritik serupa juga dikemukakan oleh W. D. Ross (1877–1971),[103] yang berpendapat bahwa nilai moral tidak dapat direduksi menjadi kenikmatan semata.
C. D. Broad (1887–1971) dan Richard Brandt (1910–1997) menegaskan bahwa kenikmatan yang bersifat jahat, seperti menikmati penderitaan orang lain, tidak memiliki nilai intrinsik apa pun.[104] Sementara itu, Robert Nozick (1938–2002) menantang hedonisme tradisional melalui eksperimen pemikirannya tentang mesin pengalaman, sebuah alat yang mampu meniru kesenangan sempurna. Ia berargumen bahwa hedonisme gagal memperhitungkan satu hal mendasar: apakah kenikmatan yang dirasakan itu sungguh berakar pada realitas, atau hanya sekadar ilusi yang terputus dari kebenaran eksistensial manusia.[20]
Menanggapi berbagai kritik terhadap hedonisme klasik, Fred Feldman (1941–kini) mengembangkan bentuk hedonisme yang dimodifikasi. Terinspirasi oleh teori sikap-positif terhadap kenikmatan dari Franz Brentano, Feldman mempertahankan gagasan bahwa kenikmatan memang merupakan satu-satunya sumber kebaikan intrinsik, tetapi nilainya harus disesuaikan menurut kelayakan dan kepantasannya. Dengan kata lain, tidak semua kenikmatan memiliki bobot moral yang sama; hanya kenikmatan yang pantas atau layaklah yang benar-benar bernilai baik.[105]
Peter Singer (1946–kini) memperluas cakupan hedonisme klasik dengan memasukkan kepedulian terhadap kesejahteraan hewan.[h] Ia mempromosikan gagasan altruisme efektif, suatu etika tindakan yang berpijak pada bukti empiris dan penalaran rasional, untuk menilai tindakan mana yang memberikan dampak positif paling besar bagi kehidupan makhluk hidup secara keseluruhan.[107]
Terinspirasi oleh filsafat Albert Camus (1913–1960), Michel Onfray (1959–kini) berupaya menghidupkan kembali hedonisme Epikurean dalam wujud yang modern, sebuah hedonisme yang tidak jatuh pada keborosan, melainkan menekankan kebijaksanaan dalam menikmati kehidupan dan keberanian untuk menerima absurditas dunia tanpa kehilangan rasa syukur.[108]
David Pearce (1959–kini) mengembangkan versi hedonisme transhumanis, dengan keyakinan bahwa penderitaan dapat dikurangi, bahkan mungkin dihapuskan sama sekali, melalui pemanfaatan teknologi modern seperti rekayasa genetika dan nanoteknologi. Ia membayangkan masa depan di mana kesejahteraan makhluk hidup tidak lagi terbatas oleh biologi penderitaan yang diwariskan alam.[109]
Munculnya bidang psikologi positif pada pergantian abad ke-21 turut memunculkan kembali minat yang besar terhadap eksplorasi empiris mengenai berbagai tema hedonisme, mulai dari kebahagiaan, makna hidup, hingga keseimbangan antara kenikmatan dan kebajikan manusia.[110]
Dalam berbagai bidang
[sunting | sunting sumber]Psikologi positif mempelajari cara menumbuhkan kebahagiaan dan mendorong potensi terbaik dalam diri manusia. Berbeda dari psikologi tradisional yang kerap berfokus pada psikopatologi dan penderitaan mental, psikologi positif menegaskan bahwa kesejahteraan sejati bukanlah sekadar ketiadaan penyakit jiwa, melainkan keadaan di mana manusia berfungsi secara optimal—secara emosional, moral, dan sosial. Pada tingkat individu, disiplin ini meneliti pengalaman kenikmatan dan penderitaan serta peran sifat karakter dalam membentuknya; sementara pada tingkat sosial, ia menelaah bagaimana lembaga sosial memengaruhi kesejahteraan manusia.[111]
Psikologi hedonik atau hedonik[i] merupakan salah satu pilar utama psikologi positif yang berfokus pada pengalaman menyenangkan dan tidak menyenangkan. Bidang ini menyelidiki serta membandingkan beragam keadaan kesadaran yang berkaitan dengan kenikmatan dan penderitaan—mulai dari rasa gembira dan puas hingga kebosanan dan duka.
Psikologi hedonik juga meneliti fungsi biologis dari keadaan-keadaan tersebut: bagaimana rasa nikmat atau sakit bertindak sebagai isyarat bagi manusia tentang apa yang layak didekati atau dijauhi, serta bagaimana keduanya berfungsi sebagai mekanisme penguatan—memberi ganjaran atau hukuman—untuk membentuk kebiasaan perilaku. Lebih jauh lagi, bidang ini mengeksplorasi kondisi-kondisi yang membangkitkan pengalaman tersebut, baik dari segi biologis maupun sosial.[113]
Disiplin ini juga menyoroti berbagai hambatan psikologis terhadap kenikmatan, seperti anhedonia, ketidakmampuan untuk merasakan kenikmatan, dan hedonofobia, yakni ketakutan atau penolakan terhadap pengalaman yang menyenangkan.[114]
Secara keseluruhan, psikologi positif, dan secara khusus psikologi hedonik, memperdalam hubungan antara ilmu pengetahuan dan hedonisme dengan menyediakan pemahaman ilmiah tentang pengalaman kenikmatan dan penderitaan, serta proses-proses psikologis dan biologis yang melandasinya.[115]

Dalam bidang ekonomi, cabang ekonomi kesejahteraan menelaah bagaimana kegiatan ekonomi memengaruhi kesejahteraan sosial. Bidang ini kerap dipahami sebagai bagian dari ekonomi normatif, yang tidak hanya menggambarkan proses ekonomi, tetapi juga menilai dan menimbangnya secara etis. Pendekatan hedonistik dalam ekonomi kesejahteraan berpendapat bahwa kenikmatan merupakan tolok ukur utama dalam penilaian tersebut—bahwa kegiatan ekonomi sejatinya harus diarahkan untuk menumbuhkan kebahagiaan masyarakat.[117]
Bidang yang berdekatan dengan ini adalah Ekonomi kebahagiaan, yang mempelajari hubungan antara fenomena ekonomi, seperti kekayaan, dan kebahagiaan individu.[118] Para ekonom juga menggunakan metode regresi hedonik, yakni pendekatan statistik untuk memperkirakan nilai suatu komoditas berdasarkan utilitas atau sejauh mana ia memberikan kenikmatan bagi pemiliknya.[119]
Etika hewan merupakan cabang dari etika yang menelaah perilaku manusia terhadap hewan lain. Dalam ranah ini, hedonisme memiliki pengaruh yang besar sebagai teori tentang kesejahteraan hewan. Ia menegaskan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk mempertimbangkan dampak tindakannya terhadap perasaan hewan, dan berupaya mengurangi penderitaan yang mereka alami.[120]
Beberapa penganut hedonisme kuantitatif berpendapat bahwa tidak ada perbedaan hakiki antara kenikmatan dan penderitaan yang dialami manusia dengan yang dialami hewan. Berdasarkan pandangan ini, pertimbangan moral mengenai kebahagiaan tidak seharusnya dibatasi pada manusia, melainkan berlaku bagi semua makhluk berperasaan (sentience). Namun, para hedonis kualitatif menyesuaikan pandangan ini dengan berargumen bahwa pengalaman manusia memiliki bobot lebih besar, karena melibatkan bentuk kenikmatan dan penderitaan yang lebih tinggi dan kompleks.[121]
Walau banyak tradisi keagamaan bersikap kritis terhadap hedonisme, sebagian justru menerima atau mengadaptasi beberapa aspeknya, seperti dalam gagasan Hedonisme Kristen.[122] Unsur-unsur hedonisme juga menjalar ke berbagai bentuk budaya populer, seperti konsumerisme, industri hiburan, dan pengaruh abadi dari revolusi seksual.[123]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Catatan
[sunting | sunting sumber]- ↑ Keberatan yang lebih ekstrem bahkan menyatakan bahwa semua bentuk kesenangan itu sendiri bersifat buruk.[25]
- ↑ Argumen berpengaruh lain, yang pertama kali dikemukakan oleh Socrates, menunjukkan bahwa kehidupan yang menyenangkan tetapi tanpa proses kognitif yang lebih tinggi, seperti kehidupan seekor tiram yang bahagia, bukanlah bentuk kehidupan terbaik.[27]
- ↑ Beberapa definisi tidak membedakan antara hedonisme etis dan hedonisme aksiologis, dan mendefinisikan hedonisme etis berdasarkan nilai intrinsik, bukan pada tindakan yang benar.[29]
- ↑ Dalam konteks ini, istilah "pro-attitude" juga digunakan.[44]
- ↑ Beberapa penafsir meragukan apakah Yang Zhu merupakan tokoh sejarah nyata atau figur mitologis.[71]
- ↑ Masih diperdebatkan apakah pandangan al-Razi benar-benar dapat digolongkan sebagai bentuk hedonisme.[77]
- ↑ Menurut pandangan ini, misalnya, kenikmatan membaca sebuah novel bukanlah rasa yang terletak di tubuh, melainkan sikap apresiatif terhadap novel itu sendiri.[97]
- ↑ Singer pada awalnya merupakan pendukung utilitarianisme preferensi, tetapi kemudian berpindah ke arah utilitarianisme hedonistik.[106]
- ↑ Dalam makna lain, istilah hedonik juga digunakan dalam etika untuk merujuk pada kajian hubungan antara kenikmatan dan kewajiban moral.[112]
Kutipan
[sunting | sunting sumber]- ↑
- Weijers, Lead section
- Bruton 2024
- Tilley 2012, Lead section
- ↑
- Weijers, Lead section
- Bruton 2024
- Tilley 2012, Lead section
- ↑ Gosling 1998, § 2. Psychological, Evaluative and Reflective Hedonism
- ↑
- Hoad 1993, hlm. 213
- Cresswell 2021, § Epicure
- 1 2
- Blakemore & Jennett 2001, § Pleasure and the Enlightenment
- Schmitter 2021, § 3. The Classification of the Passions
- Abizadeh 2018, hlm. 146
- ↑
- Weijers, § 1c. Motivational Hedonism
- Buscicchi, § 2. Paradoxes of Hedonism
- Bruton 2024
- Tilley 2012, § IV. Psychological Hedonism
- ↑
- Bruton 2024
- Gosling 2001, hlm. 1326
- Tilley 2012, § IV. Psychological Hedonism
- ↑ Bruton 2024
- ↑ Weijers, § 1c. Motivational Hedonism
- ↑
- Gosling 1998, § 2. Psychological, Evaluative and Reflective Hedonism
- Gosling 2001, hlm. 1326
- Gosling 2005, hlm. 363–364
- ↑ Tilley 2012, § IV. Psychological Hedonism
- ↑
- Williams 2019, hlm. 1–4
- Freeland 2020, hlm. 788
- ↑
- Heathwood 2013, § Why Think Hedonism Is True?
- Moore 2019, § 1.1 Arguments For Psychological Hedonism
- ↑ May, § 5a. Behavioristic Learning Theory
- ↑
- Gosling 2001, hlm. 1326
- Gosling 1998, § 2. Psychological, Evaluative and Reflective Hedonism
- Bruton 2024
- Heathwood 2013, § Why Think Hedonism Is True?
- ↑ May, § 4b. An Evolutionary Argument Against Egoism
- 1 2
- Tilley 2012, § III. Axiological Hedonism
- Heathwood 2013, § What Determines the Intrinsic Value of a Pleasure or a Pain?
- ↑
- Weijers, § 1b. Value Hedonism and Prudential Hedonism
- Tilley 2012, § III. Axiological Hedonism
- 1 2 Tilley 2012, § III. Axiological Hedonism
- 1 2 3
- Heathwood 2015, hlm. 146–147
- Tiberius 2015, hlm. 163–164
- Motilal, Maitra & Prajapati 2021, hlm. 70
- ↑
- Weijers, § 1b. Value Hedonism and Prudential Hedonism
- de Bres 2014, Hedonism
- ↑ Tilley 2012, § III. Axiological hedonism
- ↑ Weijers, Lead section
- ↑ Feldman 2004, hlm. 38–39
- ↑
- Vogt 2018, hlm. 94
- Aufderheide 2020, hlm. 57
- ↑ Feldman 2004, hlm. 51–52
- ↑
- Weijers, § 2d. The Oyster Example
- Feldman 2004, hlm. 43–44
- 1 2
- Feldman 2001, hlm. 665–666
- Weijers, § 2c. Epicurus
- Liu 2023, hlm. 30–31
- Waggle 2007
- ↑ Moore 2019, Lead section, § 2. Ethical Hedonism
- ↑
- Weijers, Lead section
- Tilley 2012, § II. Ethical Hedonism
- ↑
- Weijers, § 1d. Normative Hedonism, § 1f. Hedonistic Utilitarianism
- Tilley 2012, § II. Ethical Hedonism
- ↑ Singer 2016, hlm. 163, 165
- ↑
- Weijers, § 1d. Normative Hedonism, § 1e. Hedonistic Egoism
- Tilley 2012, § II. Ethical Hedonism
- ↑
- Frykhol & Rutherford 2013, hlm. 416
- Robertson & Walter 2013, hlm. 3
- Weijers, § 1d. Normative Hedonism, § 1e. Hedonistic Egoism, § 1f. Hedonistic Utilitarianism
- Moore 2019, § 2.2 Other Arguments For Ethical Hedonism
- ↑
- 1 2
- Matthen & Weinstein 2020, § Introduction
- Van der Berg 2020, hlm. 1–4
- Gorodeisky 2021, hlm. 1–2
- ↑
- ↑
- Pallies 2021, hlm. 887–888
- Katz 2016, Lead section
- Johnson 2009, hlm. 704–705
- ↑
- Weijers, Lead section
- Feldman 2001, hlm. 662
- ↑ Alston 2006, § Demarcation of the Topic
- ↑
- Shriver 2014, hlm. 135–137
- Luper 2009, hlm. 102
- ↑
- Weijers, § 4b. Pleasure as Sensation, § 4d. Pleasure as Pro-Attitude
- Katz 2016, Lead section
- Katz 2016a, § Note 1
- ↑
- Pallies 2021, hlm. 887–888
- Feldman 2001, hlm. 663–668
- Katz 2016, Lead section
- Alston 2006, § Demarcation of the Topic
- ↑ Weijers, § 4b. Pleasure as Sensation
- ↑
- 1 2
- Alston 2006, § The Measurement of Pleasure
- Johnson 2009, hlm. 706–707
- Bartoshuk 2014, hlm. 91–93
- Lazari-Radek 2024, hlm. 51–58
- ↑ Suardi et al. 2016, hlm. 383–385
- ↑
- Feldman 2001, hlm. 666
- Bowie & Simon 1998, hlm. 25
- Weijers, § 3a. Bentham
- Heathwood 2013, § What Determines the Intrinsic Value of a Pleasure or a Pain?
- Woodward 2017, Lead section, § Dimensions of the Hedonistic Calculus
- ↑
- Norman 2005, hlm. 358–359
- Haybron 2020, § 2.1 The Chief Candidates
- Lazari-Radek 2024, hlm. 45–46
- ↑
- Haybron 2020, § 2.1 The Chief Candidates
- Besser 2020, hlm. 68–69
- Lazari-Radek 2024, hlm. 45–46
- ↑
- Crisp 2021, Lead section
- Tiberius 2015, hlm. 158
- ↑
- Crisp 2021, § 1. The Concept, § 4. Theories of Well-being
- Tiberius 2015, hlm. 160, 162–164
- ↑
- Crisp 2021, § 4.1 Hedonism
- Hughes 2014, hlm. 239
- ↑
- Lelkes 2021, hlm. 85–86
- Feldman 2004, hlm. 15–16
- Taylor 2005, hlm. 364–365
- ↑ Diener, Lucas & Scollon 2006, hlm. 309–310
- ↑
- Buscicchi, Lead section, § 4. Defining the Paradox
- Dietz 2019, hlm. 497–498
- Crisp 2006, hlm. 636–637
- Pandit 2016, hlm. 76
- ↑
- Diener, Lucas & Scollon 2006, hlm. 305–306
- Larsen & Prizmic 2008, hlm. 269
- Lelkes 2021, hlm. 38
- Baumgardner & Crothers 2014, hlm. 117
- ↑
- Aufderheide 2020, hlm. 57
- Vogt 2018, hlm. 94, 102–107
- Fletcher 2018, 24
- ↑
- Quinn 1998
- Kaelber 1987, Lead section, § Forms and Objectives of Asceticism
- ↑
- Goodman 1999, hlm. 60–61
- Garg 2006, hlm. 161
- Framarin 2018, hlm. 489–490
- 1 2
- Weijers, § 2b. Aristippus and the Cyrenaics
- Brandt 2006, hlm. 255
- Taylor 2005, hlm. 364
- Feldman 2001, hlm. 664–665
- Chakraborti 2023, hlm. 438
- ↑
- Porter 2001, hlm. 94
- Gosling 1998, Lead section
- Forgas & Baumeister 2018, Philosophical Antecedents
- Ackermann et al. 2008, hlm. 161
- ↑ Dehsen 2013, hlm. 156
- ↑
- Taylor 2005, hlm. 364
- Gosling 1998, § 1. History and Varieties of Hedonism
- ↑ Dehsen 2013, hlm. 13
- ↑
- Taylor 2005, hlm. 365
- Gosling 1998, § 1. History and Varieties of Hedonism
- ↑
- Gosling 1998, § 1. History and Varieties of Hedonism
- Piering, § 2. Basic Tenets
- ↑
- Gosling 1998, § 1. History and Varieties of Hedonism
- Pigliucci, § 1d. Debates with Other Hellenistic Schools
- ↑
- Simpson, § 2b.iii. Ethics
- Ewin 2002, hlm. 12
- Asmis 2018, hlm. 142–143
- ↑
- Weijers, § 2a. Cārvāka
- Riepe 1956, hlm. 551–552
- Turner-Lauck Wernicki, § 2b. Materialism as Heresy
- Wilson 2015, § Introduction
- ↑ Norden & Ivanhoe 2023, hlm. 111
- ↑
- Roetz 1993, hlm. 243–244
- Norden & Ivanhoe 2023, hlm. 111
- Zhu 2021, hlm. 110–113
- ↑ Gosling 1998, § 1. History and Varieties of Hedonism
- ↑ Dehsen 2013, hlm. 16
- ↑
- Rist 1994, hlm. 158
- Alexander & Shelton 2014, hlm. 143
- ↑
- Dewan 2008, hlm. 101–103
- Wieland 2002, hlm. 59
- Zagzebski 2004, hlm. 350
- Moore 2019, Lead section
- 1 2
- Goodman 2020, hlm. 198–215
- Adamson 2021, § 3. Ethics
- Adamson 2021a, hlm. 5–6, 177–178
- ↑ Dehsen 2013, hlm. 63
- ↑ Dehsen 2013, hlm. 19
- ↑
- Germann 2021, § 2.1 Happiness and the Afterlife
- McGinnis 2010, hlm. 209–210
- ↑
- Nauta 2021, § 4. Moral Philosophy
- White 2008, hlm. 58
- ↑ Blakemore & Jennett 2001, § Pleasure and the Enlightenment
- ↑ Dehsen 2013, hlm. 88
- ↑
- Sheridan 2024, § 1.1 The Puzzle of Locke's Moral Philosophy
- Rossiter 2016, hlm. 203, 207–208
- ↑
- Stewart 1992, hlm. 211–214
- Garrett 2023, § 5. Self-Love and Benevolence
- Moore 2019, § 1.2 Arguments Against Psychological Hedonism
- ↑ Dehsen 2013, hlm. 91
- ↑
- Blakemore & Jennett 2001, § Pleasure and the Enlightenment
- Dorsey 2015, hlm. 245–246
- Merivale 2018, § 3.1. The Prospect of Pain or Pleasure
- ↑ Airaksinen 1995, hlm. 11, 78–80
- 1 2
- Weijers, § 3a. Bentham
- Moore 2019, § 2.1 Ethical Hedonism and the Nature of Pleasure
- Feldman 2001, hlm. 666
- Itai 2021, hlm. 61–84
- ↑ Dehsen 2013, hlm. 25
- ↑ Dehsen 2013, hlm. 132
- ↑
- Weijers, § 3b. Mill
- Moore 2019, § 2.1 Ethical Hedonism and the Nature of Pleasure
- Gosling 1998, § 1. History and Varieties of Hedonism
- ↑
- Crisp 2011, hlm. 26–27
- Schultz 2024, Lead section, § 2.2 Reconstruction and Reconciliation
- Gosling 1998, § 1. History and Varieties of Hedonism
- ↑ Dehsen 2013, hlm. 144
- ↑
- Hassan 2023, hlm. 227
- Faustino 2024, § 2.1 Ethical Hedonism
- ↑ Kriegel 2018, hlm. 2
- ↑ Massin 2013, hlm. 307–308
- ↑
- Feldman 2001, hlm. 668
- Massin 2013, hlm. 307–308
- Moore 2019, § 2.1 Ethical Hedonism and the Nature of Pleasure
- ↑
- Wallwork 1991, hlm. 115
- Vittersø 2012, hlm. 475
- ↑ Crisp 2011, hlm. 43–44
- ↑ Bunnin & Yu 2009, hlm. 443
- ↑
- Hurka 2021, § 4. The Ideal
- Gosling 1998, § 1. History and Varieties of Hedonism
- Moore 2019, § 2.3 Other Arguments Against Ethical Hedonism
- Crisp 2011, hlm. 43
- ↑
- Skelton 2022, § 4.2 The Good
- Mason 2023, § 1.1 Foundational and Non-foundational Pluralism
- Crisp 2011, hlm. 43
- ↑
- Crisp 2011, hlm. 43–44
- Hurka 2011a, hlm. 73
- Feldman 2002, hlm. 616
- Feldman 2004, hlm. 38
- ↑
- ↑
- Rice 2015, hlm. 379
- Schultz 2017, hlm. 514
- ↑
- ↑
- McClellan 2015, hlm. xviii–xx
- Bishop 2020, hlm. 110–112
- ↑
- Ross 2020, hlm. 38–42, 100, 134
- Pilsch 2017, hlm. 106–108
- ↑
- Crisp 2011, hlm. 44
- Peterson 2006, hlm. 4–5, 78
- ↑
- Vittersø 2012, hlm. 473–474
- Kaczmarek 2023, hlm. 1050–1055
- Colman 2015, Positive Psychology
- Seligman & Csikszentmihalyi 2000, hlm. 5–6
- Araujo, Ribeiro & Paul 2017, hlm. 568–569
- ↑
- ↑
- Kahneman, Diener & Schwarz 1999, hlm. ix
- Vittersø 2012, hlm. 431, 473–474
- Kaczmarek 2023, hlm. 1054–1055
- ↑
- ↑
- ↑ Miligan 2015, hlm. 26
- ↑
- Hausman 2010, hlm. 321–322, 324–325, 327
- Mishan 2008, § Lead section
- ↑ Graham 2012, hlm. 6–8
- ↑
- Goodstein & Polasky 2017, hlm. 78
- Hackett & Dissanayake 2014, hlm. 162
- ↑
- Wilson, Lead section
- Gordon, "Bioethics", Lead section, § 3c. Animal Ethics
- Robbins, Franks & von Keyserlingk 2018, § Abstract, § Introduction
- ↑
- Lazari-Radek 2024, hlm. 24–25
- Lazari-Radek & Singer 2014, hlm. 72–73, 265–267
- Weijers 2019, hlm. 28
- Tilley 2012, § III. Axiological Hedonism
- ↑
- Piper 2011, hlm. 31
- Chryssides 2013, hlm. 762–763
- ↑
- Danesi 2016, hlm. 142
- Boden 2003, hlm. 25
- Smith 1990, hlm. 416
Sumber
[sunting | sunting sumber]- Abizadeh, Arash (2018). Hobbes and the Two Faces of Ethics (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-1-108-27866-9.
- Ackermann, Marsha E.; Schroeder, Michael J.; Terry, Janice J.; Upshur, Jiu-Hwa Lo; Whitters, Mark F., ed. (2008). Encyclopedia of World History 2: The Ancient World Prehistoric Eras to 600 CE. Facts on File. ISBN 978-0-8160-6386-4.
- Adamson, Peter (2021). "Abu Bakr al-Razi". The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diakses tanggal 4 November 2024.
- Adamson, Peter (2021a). Al-Rāzī. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-755503-3.
- Airaksinen, Timo (1995). The Philosophy of the Marquis de Sade. Routledge. ISBN 978-0-415-11228-4.
- Alexander, Bruce K.; Shelton, Curtis P. (2014). A History of Psychology in Western Civilization (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-1-139-99183-4.
- Alston, William (2006). "Pleasure". The Encyclopedia of Philosophy. 7: Oakeshott - Presupposition (Edisi 2nd). Macmillan. hlm. 617–625. ISBN 978-0-02-865787-5.
- American Psychological Association (2018). "Anhedonia". APA Dictionary of Psychology (dalam bahasa Inggris). American Psychological Association.
- Araujo, Lia; Ribeiro, Oscar; Paul, Constança (2017). "Hedonic And Eudaimonic Well-Being In Old Age Through Positive Psychology Studies: A Scoping Review". Anales de Psicología. 33 (3): 568–577. doi:10.6018/analesps.33.2.265621 (tidak aktif 12 October 2025). ISSN 1695-2294. Pemeliharaan CS1: DOI nonaktif per Oktober 2025 (link)
- Asmis, Elizabeth (2018). "Lucretian Pleasure". Dalam Harris, William V. (ed.). Pain and Pleasure in Classical Times (dalam bahasa Inggris). Brill. ISBN 978-90-04-37950-3.
- Aufderheide, Joachim (2020). "Commentary". Aristotle's Nicomachean Ethics Book X: Translation and Commentary (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-1-108-86128-1.
- Bartoshuk, Linda (2014). "The Measurement of Pleasure and Pain". Perspectives on Psychological Science. 9 (1): 91–93. doi:10.1177/1745691613512660. PMID 26173247.
- Baumgardner, Steve R.; Crothers, Marie (2014). Positive Psychology (dalam bahasa Inggris). Pearson Education India. ISBN 978-93-325-3792-7.
- Besser, Lorraine L. (2020). The Philosophy of Happiness: An Interdisciplinary Introduction (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-1-315-28367-8.
- Bishop, Paul (2020). "Nietzsche, Hobbes and the Tradition of Political Epicureanism". Dalam Acharya, Vinod; Johnson, Ryan J. (ed.). Nietzsche and Epicurus (dalam bahasa Inggris). Bloomsbury. ISBN 978-1-350-08631-9.
- Blakemore, Colin; Jennett, Sheila (2001). "Hedonism". The Oxford Companion to the Body (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-852403-8.
- Boden, Sharon (2003). Consumerism, Romance and the Wedding Experience (dalam bahasa Inggris). Springer. ISBN 978-0-230-00564-8.
- Bowie, Norman E.; Simon, Robert L. (1998). The Individual and the Political Order: An Introduction to Social and Political Philosophy (dalam bahasa Inggris). Rowman & Littlefield. ISBN 978-0-8476-8780-0.
- Brandt, Richard B. (2006). "Hedonism". The Encyclopedia of Philosophy. 4: Gadamer - Just War Theory (Edisi 2nd). Macmillan. hlm. 254–258. ISBN 978-0-02-865784-4.
- Bruton, Samuel V. (2024). "Psychological Hedonism". Encyclopædia Britannica (dalam bahasa Inggris). Encyclopædia Britannica, Inc. Diakses tanggal 25 October 2024.
- Bunnin, Nicholas; Yu, Jiyuan (2009). The Blackwell Dictionary of Western Philosophy (dalam bahasa Inggris). John Wiley & Sons. ISBN 978-1-4051-9112-8. Diakses tanggal January 3, 2024.
- Buscicchi, Lorenzo. "Paradox of Hedonism". Internet Encyclopedia of Philosophy. Diakses tanggal 19 October 2024.
- Campbell, Robert Jean (2009). Campbell's Psychiatric Dictionary (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-534159-1.
- Chakraborti, Chhanda (2023). Introduction to Ethics: Concepts, Theories, and Contemporary Issues (dalam bahasa Inggris). Springer Nature Singapore. ISBN 978-981-99-0707-6.
- Chryssides, George D. (2013). "New Religious Movements". Dalam Meister, Chad V.; Copan, Paul (ed.). The Routledge Companion to Philosophy of Religion (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 754–764. ISBN 978-0-415-78294-4.
- Colman, Andrew M. (2015). "Positive Psychology". A Dictionary of Psychology (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-965768-1.
- Cresswell, Julia (2021). Oxford Dictionary of Word Origins (Edisi 3rd). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-886875-0.
- Crisp, Roger (2006). "Hedonism Reconsidered". Philosophy and Phenomenological Research. 73 (3): 619–645. doi:10.1111/j.1933-1592.2006.tb00551.x.
- Crisp, Roger (2011). "2. Pleasure and Hedonism in Sidgwick". Dalam Hurka, Thomas (ed.). Underivative Duty: British Moral Philosophers from Sidgwick to Ewing. Oxford University Press. hlm. 26–44. ISBN 978-0-19-957744-6.
- Crisp, Roger (2021). "Well-Being". The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diakses tanggal 19 October 2024.
- Danesi, Marcel (2016). Concise Dictionary of Popular Culture (dalam bahasa Inggris). Rowman & Littlefield. ISBN 978-1-4422-5312-4.
- de Bres, Helena (2014). "Hedonism". Dalam Mandle, Jon; Reidy, David A. (ed.). The Cambridge Rawls Lexicon (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-1-316-19398-3.
- Dehsen, Christian von (2013). Philosophers and Religious Leaders (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-1-135-95102-3.
- Dewan, Lawrence (2008). Wisdom, Law, and Virtue: Essays in Thomistic Ethics (dalam bahasa Inggris). Fordham University Press. ISBN 978-0-8232-2796-9.
- Diener, Ed; Lucas, Richard E.; Scollon, Christie Napa (2006). "Beyond the Hedonic Treadmill: Revising the Adaptation Theory of Well-being". American Psychologist. 61 (4): 305–314. doi:10.1037/0003-066X.61.4.305. PMID 16719675.
- Dietz, Alexander (2019). "Explaining the Paradox of Hedonism". Australasian Journal of Philosophy. 97 (3): 497–510. doi:10.1080/00048402.2018.1483409.
- Doctor, Ronald M.; Kahn, Ada P. (2010). The Encyclopedia of Phobias, Fears, and Anxieties (dalam bahasa Inggris) (Edisi 3rd). Infobase Publishing. ISBN 978-1-4381-2098-0.
- Dorsey, Dale (2015). "Objectivity and Perfection in Hume's Hedonism". Journal of the History of Philosophy. 53 (2): 245–270. doi:10.1353/hph.2015.0028. hdl:1808/22187.
- Ewin, R. E. (2002). Reasons and the Fear of Death (dalam bahasa Inggris). Rowman & Littlefield. ISBN 978-0-7425-1276-4.
- Faustino, Marta (2024). "On the 'How' and the 'Why': Nietzsche on Happiness and the Meaningful Life". Open Philosophy. 7 (1) 20240033. doi:10.1515/opphil-2024-0033.
- Feldman, Fred (2001). "Hedonism". Dalam Becker, Lawrence C.; Becker, Charlotte B. (ed.). Encyclopedia of Ethics (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 662–669. ISBN 978-1-135-35096-3.
- Feldman, Fred (2002). "The Good Life: A Defense of Attitudinal Hedonism". Philosophy and Phenomenological Research. 65 (3): 604–628. doi:10.1111/j.1933-1592.2002.tb00223.x.
- Feldman, Fred (2004). Pleasure and the Good Life: Concerning the Nature, Varieties and Plausibility of Hedonism. Clarendon Press. ISBN 978-0-19-926516-9.
- Fesmire, Steven (2020). "2. Dewey's Independent Factors in Moral Action". Dalam Frega, Roberto; Levine, Steven (ed.). John Dewey's Ethical Theory: The 1932 Ethics (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-0-429-53550-5.
- Fletcher, Emily (2018). "Two Platonic Criticisms of Pleasure". Dalam Shapiro, Lisa (ed.). Pleasure (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 15–41. ISBN 978-0-19-088249-5.
- Forgas, Joseph P.; Baumeister, Roy F. (2018). Forgas, Joseph P.; Baumeister, Roy F. (ed.). The Social Psychology of Living Well (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-1-351-18969-9.
- Framarin, Christopher G. (2018). "Hedonism and Asceticism". Religious Studies. 54 (4): 489–508. doi:10.1017/S0034412517000166.
- Freeland, Charlotte M. (2020). "Darwinian Hedonism and the Epidemic of Unhealthy Behavior, David M.Williams, Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2019; ISBN: 9781107110434". Addiction. 115 (4): 788. doi:10.1111/add.14893.
- Frykhol, Erin; Rutherford, Donald (2013). "Hedonism and Virtue". Dalam Anstey, Peter R. (ed.). The Oxford Handbook of British Philosophy in the Seventeenth Century (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 415–441. ISBN 978-0-19-954999-3.
- Garg, Mridula (2006). "The Ascetic as Hedonist: An Under View of Literature". Indian Literature. 50 (2 (232)): 161–166. ISSN 0019-5804. JSTOR 23340936.
- Garrett, Aaron (2023). "Joseph Butler's Moral Philosophy". The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diakses tanggal 14 October 2024.
- Germann, Nadja (2021). "Al-Farabi's Philosophy of Society and Religion". The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 22 September 2024. Diakses tanggal 17 September 2024.
- Goodman, Lenn Evan (1999). Jewish and Islamic Philosophy: Crosspollinations in the Classic Age (dalam bahasa Inggris). Rutgers University Press. ISBN 978-0-8135-2760-4.
- Goodman, Lenn E. (2020). "Muhammad Ibn Zakariyyā' Al-Rāzī". Dalam Leaman, Oliver; Nasr, Seyyed Hossein (ed.). History of Islamic Philosophy (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 198–215. ISBN 978-1-000-15902-8.
- Goodstein, Eban S.; Polasky, Stephen (2017). Economics and the Environment (dalam bahasa Inggris). John Wiley & Sons. ISBN 978-1-119-36986-8.
- Gordon, John-Stewart. "Bioethics". Internet Encyclopedia of Philosophy. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal October 27, 2023. Diakses tanggal 23 December 2023.
- Gorodeisky, Keren (2021). "On Liking Aesthetic Value". Philosophy and Phenomenological Research. 102 (2): 261–280. doi:10.1111/phpr.12641.
- Gosling, J. C. B. (1998). "Hedonism". Routledge Encyclopedia of Philosophy. Routledge. doi:10.4324/9780415249126-L034-1. ISBN 978-0-415-25069-6. Diakses tanggal 13 October 2024.
- Gosling, J. C. B. (2001). "Pleasure". Dalam Becker, Lawrence C.; Becker, Charlotte B. (ed.). Encyclopedia of Ethics (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-1-135-35096-3.
- Gosling, J. C. B. (2005). "Hedonism". Dalam Honderich, Ted (ed.). The Oxford Companion to Philosophy. Oxford University Press. hlm. 363–364. ISBN 978-0-19-926479-7.
- Graham, Carol (2012). Happiness Around the World: The Paradox of Happy Peasants and Miserable Millionaires (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-960628-3.
- Hackett, Steven; Dissanayake, Sahan T. M. (2014). Environmental and Natural Resources Economics: Theory, Policy, and the Sustainable Society (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-1-317-47129-5.
- HarperCollins (2024). "Hedonics". Collins English Dictionary. HarperCollins Publishers. Diakses tanggal 28 October 2024.
- Hassan, Patrick (2023). Nietzsche's Struggle Against Pessimism (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-1-009-38032-4.
- Hausman, Daniel M. (2010). "Hedonism and Welfare Economics". Economics and Philosophy. 26 (3): 321–344. doi:10.1017/S0266267110000398.
- Haybron, Dan (2020). "Happiness". The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diakses tanggal 19 October 2024.
- Heathwood, Chris (2013). "Hedonism". The International Encyclopedia of Ethics (dalam bahasa Inggris) (Edisi 1st). Wiley. doi:10.1002/9781444367072.wbiee780. ISBN 978-1-4051-8641-4.
- Heathwood, Chris (2015). "Monism and Pluralism About Value". Dalam Hirose, Iwao; Olson, Jonas (ed.). The Oxford Handbook of Value Theory (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 136–157. ISBN 978-0-19-022143-0.
- Hoad, T. F. (1993). The Concise Oxford Dictionary of English Etymology. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-283098-2.
- Hughes, Julian C. (2014). "Maintaining Wellbeing Through the End of Life". Dalam Kirkwood, Thomas B. L.; Cooper, Cary (ed.). Wellbeing: A Complete Reference Guide, Wellbeing in Later Life (dalam bahasa Inggris). John Wiley & Sons. hlm. 235–252. ISBN 978-1-118-60844-9.
- Hurka, Thomas (2011a). The Best Things in Life: A Guide to What Really Matters. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-533142-4.
- Hurka, Thomas (2021). "Moore's Moral Philosophy". The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diakses tanggal 15 October 2024.
- Itai, Hiroaki (2021). "Bentham on Self-interest: Institutional Control of Self-interest". Dalam Egashira, Susumu; Taishido, Masanori; Hands, D. Wade; Mäki, Uskali (ed.). A Genealogy of Self-Interest in Economics (dalam bahasa Inggris). Springer Nature Singapore. hlm. 61–84. ISBN 978-981-15-9395-6.
- Johnson, Danielle (2009). "Pleasure". Dalam Lopez, Shane J. (ed.). Encyclopedia of Positive Psychology. Wiley-Blackwell. hlm. 704–707. ISBN 978-1-4051-6125-1.
- Kaczmarek, Lukasz Dominik (2023). "Positive Psychology". Dalam Glăveanu, Vlad Petre (ed.). The Palgrave Encyclopedia of the Possible (dalam bahasa Inggris). Springer. hlm. 1050–1057. ISBN 978-3-030-90913-0.
- Kaelber, Walter (1987). "Asceticism". Dalam Eliade, Mircea; Adams, Charles J. (ed.). The Encyclopedia of Religion (dalam bahasa Inggris). Macmillan. ISBN 978-0-02-909840-0.
- Kahneman, Daniel; Diener, Edward; Schwarz, Norbert (1999). "Preface". Well-Being: Foundations of Hedonic Psychology (dalam bahasa Inggris). Russell Sage Foundation. hlm. ix–xii. ISBN 978-1-61044-325-8.
- Katz, Leonard D. (2016). "Pleasure". The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diakses tanggal 18 October 2024.
- Katz, Leonard D. (2016a). "Pleasure > Notes (Stanford Encyclopedia of Philosophy)". The Stanford Encyclopedia of Philosophy (dalam bahasa Inggris). Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diakses tanggal 18 October 2024.
- Kriegel, Uriah (2018). Brentano's Philosophical System: Mind, Being, Value (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-879148-5.
- Larsen, Randy J.; Prizmic, Zvjezdana (2008). "Regulation of Emotional Well-Being: Overcoming the Hedonic Treadmill". Dalam Eid, Michael; Larsen, Randy J. (ed.). The Science of Subjective Well-Being (dalam bahasa Inggris). Guilford Press. hlm. 258–289. ISBN 978-1-60623-073-2.
- Lazari-Radek, Katarzyna de (2024). The Philosophy of Pleasure: An Introduction (dalam bahasa Inggris). Taylor & Francis. ISBN 978-1-351-60594-6.
- Lazari-Radek, Katarzyna de; Singer, Peter (2014). The Point of View of the Universe: Sidgwick and Contemporary Ethics (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-960369-5.
- Lelkes, Orsolya (2021). Sustainable Hedonism: A Thriving Life that Does Not Cost the Earth (dalam bahasa Inggris). Policy Press. ISBN 978-1-5292-1797-1.
- Liu, Shuyang (2023). The Contemporary Evolution and Reform of Utilitarianism (dalam bahasa Inggris). Springer Nature Singapore and Peking University Press. ISBN 978-981-99-7363-7.
- Luper, Steven (2009). The Philosophy of Death (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-88249-1.
- Mason, Elinor (2023). "Value Pluralism". The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal 23 June 2023. Diakses tanggal 6 September 2024.
- Massin, Olivier (2013). "The Intentionality of Pleasures and Other Feelings, a Brentanian Approach". Themes from Brentano (dalam bahasa Inggris). Brill. hlm. 307–338. ISBN 978-94-012-0993-9.
- Matthen, Mohan; Weinstein, Zachary (2020). "Aesthetic Hedonism". Oxford Bibliographies (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 26 October 2024.
- May, Joshua. "Psychological Egoism". Internet Encyclopedia of Philosophy. Diakses tanggal 26 July 2025.
- McClellan, Joseph (2015). "Translator's Introduction". A Hedonist Manifesto: The Power to Exist. Columbia University Press. ISBN 978-0-231-17126-7.
- McGinnis, Jon (2010). Avicenna (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-533147-9.
- McLeod, Owen (2017). "Adjusting Utility for Justice: A Reexamination of the Connections Between Desert and Intrinsic Value". Dalam Raibley, Jason R.; Zimmerman, Michael J. (ed.). The Good, the Right, Life and Death: Essays in Honor of Fred Feldman (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-1-351-88870-7.
- Merivale, Amyas (2018). Hume on Art, Emotion, and Superstition: A Critical Study of the Four Dissertations (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-0-429-78746-1.
- Merriam-Webster (2024). "Definition of Hedonics". Merriam-Webster Dictionary (dalam bahasa Inggris). Merriam-Webster. Diakses tanggal 28 October 2024.
- Miligan, Tony (2015). Animal Ethics: The Basics (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-1-317-54330-5.
- Mishan, E. J. (2008). "Welfare Economics". International Encyclopedia of the Social Sciences (Edisi 2nd). Macmillan. ISBN 978-0-02-865965-7.
- Moore, Andrew (2019). "Hedonism". The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diakses tanggal 13 October 2024.
- Motilal, Shashi; Maitra, Keya; Prajapati, Prakriti (2021). The Ethics of Governance: Moral Limits of Policy Decisions (dalam bahasa Inggris). Springer Nature Singapore. ISBN 978-981-16-4043-8.
- Nathanson, Stephen. "Utilitarianism, Act and Rule". Internet Encyclopedia of Philosophy. Diakses tanggal 10 June 2025.
- Nauta, Lodi (2021). "Lorenzo Valla". The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diakses tanggal 14 October 2024.
- Norden, Bryan W. Van; Ivanhoe, Philip J. (2023). Readings in Classical Chinese Philosophy (dalam bahasa Inggris). Hackett Publishing. ISBN 978-1-64792-109-5.
- Norman, Richard (2005). "Happiness". Dalam Honderich, Ted (ed.). The Oxford Companion to Philosophy. Oxford University Press. hlm. 358–359. ISBN 978-0-19-926479-7.
- Oxford University Press (2024). "Hedonism". Oxford English Dictionary. Oxford University Press. doi:10.1093/OED/3601271206. Diakses tanggal 17 October 2024.
- Pallies, Daniel (2021). "An Honest Look at Hybrid Theories of Pleasure". Philosophical Studies. 178 (3): 887–907. doi:10.1007/s11098-020-01464-5.
- Pandit, Vishwanath (2016). Ethics, Economics and Social Institutions (dalam bahasa Inggris). Springer Singapore. ISBN 978-981-10-0899-3.
- Peterson, Christopher (2006). A Primer in Positive Psychology (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-988494-0.
- Piering, Julie. "Antisthenes". Internet Encyclopedia of Philosophy. Diakses tanggal 13 October 2024.
- Pigliucci, Massimo. "Stoicism". Internet Encyclopedia of Philosophy. Diakses tanggal 13 October 2024.
- Pilsch, Andrew (2017). Transhumanism: Evolutionary Futurism and the Human Technologies of Utopia (dalam bahasa Inggris). University of Minnesota Press. ISBN 978-1-4529-5488-2.
- Piper, John (2011). Desiring God: Meditations of a Christian Hedonist (dalam bahasa Inggris). Multnomah Books. ISBN 978-1-60142-391-7.
- Porter, Burton F. (2001). The Good Life: Alternatives in Ethics (dalam bahasa Inggris). Rowman & Littlefield. ISBN 978-0-7425-0201-7.
- Quinn, Philip L. (1998). "Asceticism". Routledge Encyclopedia of Philosophy. Routledge. doi:10.4324/9780415249126-L006-1. ISBN 978-0-415-25069-6. Diakses tanggal 20 October 2024.
- Rice, Christopher M. (2015). "Well-being and Animals". Dalam Fletcher, Guy (ed.). The Routledge Handbook of Philosophy of Well-Being (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 378–388. ISBN 978-1-317-40265-7.
- Riepe, Dale (1956). "Early Indian Hedonism". Philosophy and Phenomenological Research. 16 (4): 551–555. doi:10.2307/2104258. JSTOR 2104258.
- Rist, John M. (1994). Augustine (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-58952-9.
- Robbins, Jesse; Franks, Becca; von Keyserlingk, Marina A. G. (2018). "'More Than a Feeling': An Empirical Investigation of Hedonistic Accounts of Animal Welfare". PLOS ONE. 13 (3) e0193864. Bibcode:2018PLoSO..1393864R. doi:10.1371/journal.pone.0193864. PMC 5846737. PMID 29529090.
- Robertson, Michael; Walter, Garry (2013). Ethics and Mental Health: The Patient, Profession and Community (dalam bahasa Inggris). CRC Press. ISBN 978-1-4441-6864-8.
- Roetz, Heiner (1993). Confucian Ethics of the Axial Age: A Reconstruction Under the Aspect of the Breakthrough Toward Postconventional Thinking (dalam bahasa Inggris). SUNY Press. ISBN 978-1-4384-1762-2.
- Ross, Benjamin (2020). The Philosophy of Transhumanism: A Critical Analysis (dalam bahasa Inggris). Emerald Group Publishing. ISBN 978-1-83982-622-1.
- Rossiter, Elliot (2016). "Hedonism and Natural Law in Locke's Moral Philosophy". Journal of the History of Philosophy. 54 (2): 203–225. doi:10.1353/hph.2016.0044.
- Schmitter, Amy M. (2021). "17th and 18th Century Theories of Emotions > Hobbes on the Emotions". The Stanford Encyclopedia of Philosophy (dalam bahasa Inggris). Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diakses tanggal 14 October 2024.
- Schultz, Bart (2017). "Singer, Peter (b. 1946)". Dalam Crimmins, James E. (ed.). The Bloomsbury Encyclopedia of Utilitarianism (dalam bahasa Inggris). Bloomsbury. ISBN 978-1-350-02168-6.
- Schultz, Barton (2024). "Henry Sidgwick". The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diakses tanggal 15 October 2024.
- Seligman, Martin E. P.; Csikszentmihalyi, Mihaly (2000). "Positive Psychology: An Introduction". American Psychologist. 55 (1): 5–14. doi:10.1037/0003-066X.55.1.5. PMID 11392865.
- Sheridan, Patricia (2024). "Locke's Moral Philosophy". The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diakses tanggal 14 October 2024.
- Shriver, Adam (2014). "The Asymmetrical Contributions of Pleasure and Pain to Subjective Well-Being". Review of Philosophy and Psychology. 5 (1): 135–153. doi:10.1007/s13164-013-0171-2.
- Simpson, David. "Lucretius". Internet Encyclopedia of Philosophy. Diakses tanggal 14 October 2024.
- Singer, Peter (2016). "The Most Good You Can Do: A Response to the Commentaries". Journal of Global Ethics. 12 (2): 161–169. doi:10.1080/17449626.2016.1191523.
- Skelton, Anthony (2022). "William David Ross". The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Metaphysics Research Lab, Stanford University. Diakses tanggal 15 October 2024.
- Slater, Joe. "History of Utilitarianism". Internet Encyclopedia of Philosophy. Diakses tanggal 10 June 2025.
- Smith, Tom W. (1990). "A Report: The Sexual Revolution?". Public Opinion Quarterly. 54 (3): 415. doi:10.1086/269215.
- Stewart, Robert M. (1992). "Butler's Argument Against Psychological Hedonism". Canadian Journal of Philosophy. 22 (2): 211–221. doi:10.1080/00455091.1992.10717278.
- Suardi, Angelo; Sotgiu, Igor; Costa, Tommaso; Cauda, Franco; Rusconi, Maria (2016). "The Neural Correlates of Happiness: A Review of PET and FMRI Studies Using Autobiographical Recall Methods". Cognitive, Affective, & Behavioral Neuroscience. 16 (3): 383–392. doi:10.3758/s13415-016-0414-7. PMID 26912269.
- Taylor, C. C. W. (2005). "Hedonism, Ancient". Dalam Honderich, Ted (ed.). The Oxford Companion to Philosophy. Oxford University Press. hlm. 364–365. ISBN 978-0-19-926479-7.
- Tiberius, Valerie (2015). "Prudential Value". Dalam Hirose, Iwao; Olson, Jonas (ed.). The Oxford Handbook of Value Theory (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 158–174. ISBN 978-0-19-022143-0.
- Tilley, John J. (2012). "Hedonism". Dalam Chadwick, Ruth (ed.). Encyclopedia of Applied Ethics (PDF) (dalam bahasa Inggris). Academic Press. hlm. 566–573. ISBN 978-0-12-373932-2.
- Turner-Lauck Wernicki, Abigail. "Lokayata/Carvaka – Indian Materialism". Internet Encyclopedia of Philosophy. Diakses tanggal 13 October 2024.
- Van der Berg, Servaas (2020). "Aesthetic Hedonism and Its Critics". Philosophy Compass. 15 (1) e12645. doi:10.1111/phc3.12645.
- Vittersø, Joar (2012). "Hedonics". Dalam Lopez, Shane J. (ed.). The Encyclopedia of Positive Psychology (dalam bahasa Inggris). John Wiley & Sons. hlm. 473–478. ISBN 978-1-118-34467-5.
- Vogt, Katja Maria (2018). "What Is Hedonism?". Dalam Harris, William V. (ed.). Pain and Pleasure in Classical Times (dalam bahasa Inggris). Brill. hlm. 93–110. ISBN 978-90-04-37950-3.
- Waggle, Larry J. (2007). "Epicurus: Psychological or Ethical Hedonist?". Revista de Filosofía (dalam bahasa Inggris). 25 (57): 73–88. ISSN 0798-1171.
- Wallwork, Ernest (1991). Psychoanalysis and Ethics (dalam bahasa Inggris). Yale University Press. ISBN 978-0-300-06167-3.
- Weijers, Dan. "Hedonism". Internet Encyclopedia of Philosophy. Diakses tanggal 13 October 2024.
- Weijers, Dan (2019). "Teaching Well-Being/Quality of Life from a Philosophical Perspective". Dalam Tonon, Graciela H. (ed.). Teaching Quality of Life in Different Domains (dalam bahasa Inggris). Springer. ISBN 978-3-030-21551-4.
- White, Nicholas P. (2008). A Brief History of Happiness (dalam bahasa Inggris). John Wiley & Sons. ISBN 978-0-470-79808-9.
- Wieland, Georg (2002). "Happiness (Ia IIae, qq. 1–5)". Dalam Pope, Stephen J. (ed.). The Ethics of Aquinas (dalam bahasa Inggris). Diterjemahkan oleh Kaplan, Grant. Georgetown University Press. hlm. 57–68. ISBN 978-0-87840-888-7.
- Williams, David M. (2019). Darwinian Hedonism and the Epidemic of Unhealthy Behavior (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-1-107-11043-4.
- Wilson, Scott D. "Animals and Ethics". Internet Encyclopedia of Philosophy. Diarsipkan dari versi aslinya tanggal July 15, 2023. Diakses tanggal 24 December 2023.
- Wilson, Liz (2015). "Buddhism and Asceticism". Oxford Bibliographies (dalam bahasa Inggris). doi:10.1093/obo/9780195393521-0206. Diakses tanggal 13 October 2024.
- Woodward, Vanessa (2017). "Hedonistic Calculus". The Encyclopedia of Corrections (dalam bahasa Inggris) (Edisi 1st). Wiley. hlm. 1–4. doi:10.1002/9781118845387.wbeoc037. ISBN 978-1-118-84542-4.
- Zagzebski, Linda (2004). "Morality and Religion". Dalam Wainwright, William (ed.). The Oxford Handbook of Philosophy of Religion (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 344–365. ISBN 978-0-19-803158-1.
- Zhu, Yi-ting (2021). A Panoramic History of Traditional Chinese Ethics (dalam bahasa Inggris). Diterjemahkan oleh Wei, Xiao-fei Matthew. Springer Nature Singapore. ISBN 978-981-16-1252-7.