Arianisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Arius
Arius mempertahankan supremasi Tuhan Bapa di atas Yesus Kristus
Lahir256
Ptolemais (sekarang Libya), Kekaisaran Romawi
Meninggal336 (aged 80)
Constantinople, Thracia, Bizantium (sekarang Istanbul)
PekerjaanPresbyter (penatua gereja)
Karya terkenalThalia
Kiprah di bidang teologi
Era3rd and 4th centuries AD
BahasaYunani Koine
Tradisi atau gerakanArianisme

Arianisme (Yunani Koine:Ἀρειανισμός, Areianismós) adalah doktrin Kristologi[1][2][3] nontrinitarian[1] yang berpendirian bahwa Yesus Kristus adalah Putra Allah, yang diperanakkan Allah Bapa,[1] dan berbeda dari Allah Bapa sehingga lebih rendah daripada Allah, dan bahwa Putra Allah juga adalah Allah Putra tetapi tidak sama kekalnya dengan Allah Bapa.[1][4] Teologi Arian mula-mula dianggap berasal dari Arius[1][3] (ca. 256–336 M), seorang presbiter di kota Aleksandria, Mesir. Istilah kaum Arian berasal dari nama Arius, dan (sama seperti istilah orang Kristen) bukan sebutan yang mereka gunakan untuk menyebut diri sendiri, melainkan sebutan dari orang-luar.[5] Ajaran-ajaran Arius dan para pendukungnya mengenai kodrat Tritunggal dan kodrat Kristus pada hakikatnya bertentangan dengan pandangan-pandangan teologis yang dianut umat Kristen Homoousian. Konsep Kristus Arian didasarkan atas keyakinan bahwa Putra Allah tidak senantiasa ada, tetapi diperanakkan di dalam waktu oleh Allah Bapa, dan oleh karena itu Yesus tidak sama kekalnya dengan Allah Bapa.[1][4]

Pertikaian terjadi antara kedua tafsir (Arianisme dan Homoousianisme) yang sama-sama didasarkan pada teologi ortodoks kala itu, masing-masing berusaha untuk memecahkan dilema teologinya.[4] Dengan demikian, sejak semula kedua tafsir yang sama-sama ortodoks ini sengaja memicu konflik guna menarik perhatian para pakar dan merumuskan ajaran ortodoks yang baru.[4] Homoousianisme secara resmi dikukuhkan sebagai tafsir yang benar oleh dua Konsili Ekumenis yang pertama. Konsili Nikaia Pertama pada 325 menyatakan Arianisme sebagai bid'ah.[6] Seluruh mazhab utama dalam agama Kristen sekarang ini menganggap Arianisme sebagai paham yang heterodoks dan sesat.[7]

Menurut Everett Ferguson, "Sebagian besar umat Kristen tidak benar-benar memahami ajaran-ajaran mengenai Tritunggal dan tidak memahami pokok masalah yang dipertikaikan."[6] Dalam Sinode Tirus pertama yang bertaraf regional pada 335, Arius diputuskan tidak bersalah.[8] Konstantinus Agung dibaptis oleh seorang uskup berpaham Arianisme, Eusebius dari Nikomedia.[9][10] Setelah kematian Arius dan Konstantinus, Arius sekali lagi dianatema dan dinyatakan sebagai ahli bid'ah dalam Konsili Konstantinopel pertama pada 381.[11] Kaisar Konstantius II (337–361) dan Kaisar Valens (364–378) adalah penganut Arianisme atau Semi-Arianisme, sama seperti Raja Italia pertama, Odoaker (433?–493), dan orang-orang Lombardia sampai abad ke-7.

Istilah Arianisme juga digunakan sebagai sebutan bagi ajaran-ajaran teologi anti-Tritunggal abad ke-4, yang mengganggap Yesus Kristus—Putra Allah, Sang Logos—sebagai makhluk yang diperanakkan (sama seperti ajaran Arianisme dan Anomoeanisme) ataupun sebagai makhluk yang tidak tak-tercipta maupun tidak tercipta sebagaimana makhluk-makhluk lain diciptakan (sama seperti ajaran Semi-Arianisme).

Asal usul[sunting | sunting sumber]

Arius pernah menjadi salah seorang murid Lusianus dari Antiokhia di sekolah privat Lusianus di Antiokhia, dan darinya ia mewarisi suatu bentuk ajaran Paulus dari Samosata yang telah dimodifikasi.[12] Ia mengajarkan bahwa Allah Bapa dan Allah Putra tidak bersama-sama ada dalam kekekalan sejak awal mula.[13] Kalangan Arian mengajarkan bahwa Logos (Firman) adalah makhluk ilahi yang diciptakan oleh Allah Bapa sebelum penciptaan dunia, menjadikannya instrumen yang melalui-Nya segala sesuatu diciptakan, dan bahwa Putra Allah merupakan subordinasi Allah Bapa.[14] Sebuah ayat dari Kitab Amsal juga digunakan oleh mereka sebagai referensi: "TUHAN telah menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya, sebagai perbuatan-Nya yang pertama-tama dahulu kala" (Amsal 8:22).[15] Oleh karena itu, Putra dianggap lebih sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling pertama dan paling sempurna, serta dijadikan sebagai "Allah" semata-mata atas izin dan kuasa Bapa.[16][17]

Kontroversi seputar Arianisme timbul pada akhir abad ke-3 dan berlangsung hampir sepanjang abad ke-4. Ini melibatkan sebagian besar anggota gereja—mulai dari umat, imam, dan rahib, hingga uskup, kaisar, anggota keluarga kekaisaran Roma. Dua orang kaisar Romawi, Konstantius II dan Valens, merupakan penganut Arian ataupun Semi-Arian, seperti halnya komandan-komandan perang suku Goth, Vandal, dan Langobardi (Lombard), baik sebelum maupun setelah kejatuhan Kekaisaran Romawi Barat. Kontroversi di dalam Gereja selama periode perkembangannya ini dipandang tidak mungkin terwujud tanpa pengaruh-pengaruh historis yang signifikan yang menyediakan suatu dasar bagi doktrin-doktrin Arian.[18] Dari sekitar tiga ratus uskup yang hadir dalam Konsili Nicea I, dua uskup tidak menandatangani Pengakuan Iman Nicea, yang mengutuk paham Arianisme.[19] Kaisar Konstantinus juga memberlakukan hukuman mati bagi mereka yang menolak untuk menyerahkan tulisan-tulisan Arian:

Selain itu, seandainya ada ditemukan tulisan yang digubah oleh Arius, itu harus diserahkan ke dalam nyala api, sehingga tidak hanya kefasikan ajarannya yang akan lenyap, tetapi juga tidak ada yang akan tersisa untuk mengingatkan siapa pun akan dirinya. Dan dengan ini saya membuat suatu perintah publik, bahwa seandainya ada ditemukan seseorang yang menyembunyikan suatu tulisan gubahan Arius, serta tidak segera menyampaikannya dan memusnahkannya dengan api, hukuman bagi dia tentunya kematian. Begitu dia didapati melakukan pelanggaran ini, dia akan diajukan untuk [menerima] hukuman mati. ...

— Maklumat Kaisar Konstantinus terhadap kaum Arian[20]

Keyakinan[sunting | sunting sumber]

Rekonstruksi terhadap apa yang sebenarnya diajarkan Arius, dan mengapa, dipandang sebagai suatu tugas yang berat. Hal itu dikarenakan hanya terdapat sedikit karyanya sendiri yang masih terlestarikan hingga sekarang kecuali yang terdapat dalam kutipan-kutipan yang dipilih oleh para lawannya untuk kepentingan perdebatan, dan juga karena tidak ada kepastian mengenai tradisi teologis dan filosofis apa yang membentuk pemikirannya.[21]

Kalangan Arian tidak percaya akan doktrin Trinitas (Tritunggal) sesuai tradisi, yang menyatakan bahwa Allah meliputi tiga pribadi dalam satu hakikat ("makhluk").[22] Surat Auxensius, seorang uskup Arian,[23] mengenai misionaris Arian bernama Ulfilas memberikan gambaran keyakinan Arian secara jelas. Ulfilas, yang ditahbiskan menjadi uskup oleh Eusebius dari Nikomedia, yang juga penganut Arian, dan kembali ke jemaatnya untuk berkarya sebagai seorang misionaris, meyakini: Allah, Bapa, (Allah "yang tidak diperanakkan"; Allah Yang Mahakuasa) senantiasa ada dan satu-satunya Allah yang benar (Yoh. 17:3). Putra Allah, Yesus Kristus, ("Anak Tunggal Allah", Yoh. 1:18;[24] Allah yang Perkasa, Yes. 9:6) diperanakkan sebelum dimulainya waktu (Ams. 8:22-29; Why. 3:14; Kol. 1:15) dan yang adalah Tuhan/Tuan (1 Kor. 8:6). Roh Kudus, kuasa yang menerangi dan menguduskan, yang adalah bukan Allah ataupun Tuhan/Tuan. 1 Korintus 8:5-6 dikutip sebagai teks untuk mendukung pandangan mereka:

Sebab sungguhpun ada apa yang disebut "allah", baik di surga, maupun di bumi — dan memang benar ada banyak "allah" dan banyak "tuhan" yang demikian — namun bagi kita hanya ada satu Allah (theos – θεός) saja, yaitu Bapa, yang daripada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan (kurios – κύριος) saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.

— TB

Pengakuan iman (kredo, syahadat) Ulfilas (c. 311 – 383), yang mengakhiri sebuah surat berisi pujian kepadanya yang ditulis oleh Auxensius,[23] membedakan Allah Bapa ("yang tidak diperanakkan"), yang adalah satu-satunya Allah benar, dari Putra Allah ("Anak Tunggal"), yang adalah Tuhan; dan Roh Kudus (kuasa yang menerangi dan menguduskan), yang adalah bukan Allah ataupun Tuhan:

Aku, Ulfila, uskup dan pengaku iman, karenanya senantiasa percaya, dan dalam iman yang satu dan benar ini aku melakukan perjalanan kepada Tuhanku; aku percaya akan satu-satunya Allah Bapa, yang tidak diperanakkan dan tidak kelihatan, dan akan Putra-Nya yang tunggal, Allah dan Tuhan kita, perancang dan pembuat segala ciptaan, tidak ada yang lain seperti Dia. Oleh karenanya ada satu Allah dari semua, yang juga adalah Allah dari Allah kita; dan akan satu Roh Kudus, kuasa yang menerangi dan menguduskan, sebagaimana Kristus katakan setelah kebangkitan-Nya kepada para rasul-Nya: "Dan Aku akan mengirim kepadamu apa yang dijanjikan Bapa-Ku. Tetapi kamu harus tinggal di dalam kota [Yerusalem] sampai kamu diperlengkapi dengan kekuasaan dari tempat tinggi." (Lukas 24:49) dan lagi "Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu" (Kisah 1:8); bukan Allah ataupun Tuhan, tetapi pelayan setia Kristus; tidak setara, tetapi tunduk dan taat dalam segala hal kepada Putra. Dan aku percaya Putra tunduk dan taat dalam segala hal kepada Allah Bapa.[25]

Sebuah surat dari Arius (c. 250–336) kepada Eusebius dari Nikomedia (wafat tahun 341) menyatakan secara singkat keyakinan inti kalangan Arian:

Beberapa dari mereka mengatakan bahwa Putra adalah suatu eruktasi (letupan), yang lain [mengatakan] bahwa Ia adalah suatu hasil, yang lain [lagi mengatakan] bahwa Ia adalah juga tidak diperanakkan. Hal-hal ini merupakan ketiadaan rasa hormat yang tidak dapat kita dengarkan, sekalipun para bidah tersebut mengancam kita dengan seribu kali kematian. Tetapi kita katakan dan percaya serta telah diajarkan, dan ajarkan, bahwa Putra bukannya tidak diperanakkan, tidak juga dengan cara apapun bagian dari yang tidak diperanakkan; dan bahwa Ia tidak memperoleh penghidupan-Nya dari hal apapun; tetapi bahwa dengan pertimbangan dan kehendak-Nya sendiri Ia telah hidup sebelum [adanya] waktu dan sebelum segala abad sama sempurnanya seperti Allah, hanya saja diperanakkan dan tiada berubah, dan bahwa sebelum Ia diperanakkan, atau diciptakan, atau direncanakan, atau dibentuk, Ia tidak [ada]. Karena Ia bukannya tidak diperanakkan. Kita dianiaya karena kita mengatakan bahwa Putra memiliki suatu awal mula namun bahwa Allah adalah tanpa awal mula.

— Teodoretus: Surat Arius kepada Eusebius dari Nikomedia, diterjemahkan dalam Bidah dan Otoritas dalam Eropa Abad Pertengahan karya Peters, hal. 41

Arianisme Homoian[sunting | sunting sumber]

Arianisme memiliki beberapa varian yang berbeda, termasuk Eunomianisme dan Arianisme Homoian. Arianisme Homoian dikaitkan dengan Akakius dan Eudoxius. Para penganutnya menghindari penggunaan kata ousia untuk mendeskripsikan hubungan Bapa dengan Putra, dan mendeskripsikannya sebagai 'seperti' atau 'serupa' (homoi) satu sama lain.[26] Hanson mencantumkan dua belas kredo (pengakuan iman) yang mencerminkan keyakinan Homoian:[27]

  1. Kredo Sirmian II, tahun 357
  2. Kredo Nice (Konstantinopel), tahun 360
  3. Kredo yang dikemukakan oleh Akakius di Seleukia, tahun 359
  4. Aturan Iman Ulfilas
  5. Kredo yang diucapkan oleh Ulfilas di atas ranjang kematiannya, tahun 383
  6. Kredo yang dikaitkan dengan Eudoxius
  7. Kredo Auxensius dari Milan, tahun 364
  8. Kredo Germinius yang diakukan dalam korespondensi dengan Valens dan Ursasius
  9. Aturan iman Palladius
  10. Tiga pernyataan pengakuan iman yang ditemukan dalam beberapa fragmen, mensubordinasi Putra pada Bapa

Pergulatan dengan Katolisisme[sunting | sunting sumber]

Konsili Nicea Pertama[sunting | sunting sumber]

Kaisar Konstantin dan para uskup dalam Konsili Nicea I

Pada tahun 321, Arius dikecam dalam suatu sinode di Aleksandria karena mengajarkan pandangan yang heterodoks mengenai hubungan Yesus dengan Allah Bapa. Karena Arius dan para pengikutnya memiliki pengaruh yang besar di kalangan sekolah-sekolah di Aleksandria—setara dengan universitas-universitas ataupun seminari-seminari modern—pandangan-pandangan teologis mereka berkembang luas, khususnya di daerah Mediterania bagian timur.

Pada tahun 325, kontroversi tersebut telah berkembang cukup signifikan sehingga Kaisar Konstantinus mengundang para uskup untuk berhimpun, dalam Konsili Nicea I, yang mengutuk doktrin Arius dan merumuskan Kredo Nicea tahun 325.[28] Tema sentral Kredo Nicea, yang digunakan untuk mendeskripsikan hubungan antara Bapa dan Putra, adalah Homoousios (bahasa Yunani Kuno: ὁμοούσιος), atau Konsubstansialitas, yang berarti "dari substansi yang sama" atau "dari satu hakikat". (Kredo Athanasius lebih jarang digunakan namun merupakan suatu pernyataan tentang Trinitas yang lebih eksplisit menunjukkan sikap anti-Arian.)

Konsili Nicea berfokus pada kodrat Putra Allah dan hubungan-Nya secara tepat dengan Allah Bapa. (lih. Paulus dari Samosata dan Sinode Antiokhia) Arius mengajarkan bahwa Yesus Kristus adalah ilahi/suci dan diutus ke bumi untuk keselamatan umat manusia,[22] namun kedudukan Yesus Kristus tidak setara dengan Allah Bapa (tak terbatas, primordial asalnya) dan Allah Bapa maupun Putra Allah tidak setara dengan Roh Kudus (kuasa Allah Bapa).[13] Menurut paham Arianisme, Kristus tidak sehakikat (konsubstansial) dengan Allah Bapa[29] karena Bapa maupun Putra terbuat dari hakikat ("makhluk") atau esensi yang "serupa" (lih. homoiousian) dan bukan dari hakikat atau esensi yang sama (lih. homoousion).[29] Bagi Arius, Allah Bapa merupakan suatu Ketuhanan (Allah) dan adalah ilahi, sementara Putra Allah bukan suatu Ketuhanan tetapi ilahi (Akulah Allah dan tidak ada yang lain, Yes. 46:9).[22] Allah Bapa mengutus Yesus ke bumi demi keselamatan umat manusia (Yoh. 17:3). Dalam Kekristenan Timur, ousia adalah esensi atau hakikat, dan merupakan aspek Allah yang benar-benar mustahil dipahami oleh umat manusia dan persepsi manusia. Semuanya hidup dengan sendirinya dan tidak memiliki hakikatnya pada yang lain,[30] Allah Bapa dan Allah Putra dan Allah Roh Kudus semuanya adalah hakikat yang tidak diciptakan.[31]

Menurut ajaran Arius, Logos yang pra-eksisten dan dengan demikian Yesus Kristus yang menjelma adalah suatu hakikat ciptaan; namun Putra diciptakan secara langsung dan diperanakkan oleh Allah Bapa, sebelum segala abad, dari suatu substansi atau esensi yang berbeda, kendati serupa, dari Sang Pencipta. Para penentangnya berpendapat bahwa hal ini menjadikan Yesus lebih rendah dari Allah dan hal ini adalah pandangan sesat.[29] Banyak dari perbedaan antara faksi-faksi tersebut adalah seputar frasa yang dinyatakan Kristus dalam Perjanjian Baru untuk mengungkapkan penyerahan diri-Nya kepada Allah Bapa.[29] Istilah teologis untuk penyerahan diri ini adalah kenosis. Konsili ekumenis tersebut menyatakan bahwa Yesus Kristus berbeda dari Allah Bapa dalam hal eksistensi atau realitas (hipostasis), yang diterjemahkan sebagai persona (pribadi) oleh para Bapa Gereja Latin. Yesus adalah Allah dalam esensi, hakikat, dan/atau kodrat (ousia), yang diterjemahkan sebagai substantia (substansi) oleh para Bapa Gereja Latin.

Konstantinus membakar buku-buku Arian, ilustrasi dari sebuah kompendium hukum kanon, c. 825.

Konstantinus diyakini mengasingkan mereka yang menolak untuk menerima Kredo Nicea—Arius sendiri, diakon Euzoios, para uskup Libya Teonas dari Marmarika dan Sekundus dari Ptolemais—serta juga para uskup yang menandatangani kredo tersebut tetapi menolak untuk bersama-sama mengutuk Arius, Eusebius dari Nikomedia, dan Teognis dari Nicea. Sang kaisar juga memerintahkan pembakaran semua salinan Thalia, yakni buku yang di dalamnya Arius mengungkapkan ajaran-ajarannya. Bagaimanapun, tidak terdapat bukti bahwa ia mengasingkan putra dan penerus utamanya, Konstantius II, yang adalah seorang Kristen Arian.

Meskipun ia berkomitmen untuk mempertahankan apa yang telah didefinisikan di Nicea oleh Gereja, Konstantinus juga bertekad untuk menenangkan situasi dan pada akhirnya menjadi lebih lunak terhadap mereka yang dikutuk dan diasingkan dalam konsili tersebut. Pertama-tama ia mengizinkan Eusebius dari Nikomedia, yang merupakan anak didik dari saudarinya, dan Teognis untuk kembali setelah mereka menandatangani suatu pernyataan iman yang ambigu. Keduanya, dan teman-teman Arius yang lain, berupaya untuk merehabilitasi Arius. Dalam Sinode Tirus I tahun 335, mereka mengajukan tuduhan terhadap Athanasius, yang saat itu telah menjadi uskup Aleksandria, lawan utama Arius; setelah itu Konstantinus menyingkirkan Athanasius karena ia menganggapnya sebagai halangan terhadap rekonsiliasi. Pada tahun yang sama, Sinode Yerusalem di bawah arahan Konstantinus menerima kembali Arius ke dalam persekutuan pada tahun 336. Namun, Arius wafat dalam perjalanannya menuju acara tersebut di Konstantinopel. Beberapa akademisi mengemukakan bahwa Arius mungkin diracun oleh lawan-lawannya.[32] Eusebius dan Teognis tetap didukung sang kaisar, dan ketika Konstantinus, yang telah menjadi seorang katekumen sepanjang hampir seluruh masa dewasanya, menerima baptisan di ranjang kematiannya, yang melayankannya adalah Eusebius dari Nikomedia.[9]

Dampak dari Nicea[sunting | sunting sumber]

Konsili Nicea tidak mengakhiri kontroversi ini, karena banyak uskup dari provinsi-provinsi Timur yang mempermasalahkan homoousios, istilah sentral dalam kredo Nicea, sebagaimana pernah digunakan oleh Paulus dari Samosata, yang telah menganjurkan suatu Kristologi monarkianis. Baik orang tersebut maupun ajarannya, termasuk istilah homoousios, telah dikutuk oleh Sinode Antiokhia pada tahun 269.

Oleh karena itu, setelah wafatnya Konstantinus pada tahun 337, perdebatan terbuka berlanjut kembali. Konstantius II, putra Konstantinus, yang telah menjadi kaisar dari bagian timur Kekaisaran, sebenarnya mendukung kalangan Arian dan bermaksud untuk membatalkan kredo Nicea. Penasihatnya dalam urusan-urusan tersebut adalah Eusebius dari Nikomedia, yang telah menjadi pimpinan dari faksi Arian sejak Konsili Nicea, yang juga dijadikannya sebagai uskup Konstantinopel.

Konstantius menggunakan kekuasaannya untuk mengasingkan para uskup yang berpegang pada kredo Nicea, terutama St. Athanasius dari Aleksandria, yang melarikan diri ke Roma. Pada tahun 355, Konstantius menjadi satu-satunya Kaisar dan memperluas kebijakannya yang pro-Arian pada provinsi-provinsi Barat. Ia sering kali menggunakan kekuasaannya untuk memaksakan keyakinannya, bahkan mengasingkan Paus Liberius dan melantik Antipaus Feliks II.

Seiring dengan perdebatan yang terus berlangsung dalam suatu upaya untuk menghasilkan rumusan baru, berkembang tiga faksi di antara kalangan penentang kredo Nicea. Kelompok pertama secara khusus menentang terminologi Nicea dan lebih menyukai istilah homoiousios (serupa dalam substansi) daripada homoousios Nicea, tetapi mereka menolak Arius dan ajarannya serta menerima kesetaraan dan kesamaan dalam kekekalan dari pribadi-pribadi Trinitas. Karena posisi yang berhaluan tengah itu, dan penolakan mereka akan Arius, maka mereka disebut kalangan "semi-Arian" oleh para penentang mereka. Kelompok kedua juga menghindari penggunaan nama Arius, tetapi umumnya mengikuti ajaran Arius dan, dalam upayanya menggunakan istilah kompromis yang lain, mendeskripsikan Putra sebagai hakikat serupa/seperti (homoios) Bapa. Kelompok ketiga secara eksplisit mendukung Arius dan mendeskripsikan bahwa Putra tidak seperti (anhomoios) Bapa. Konstantius goyah dalam memberikan dukungannya antara kelompok pertama dan kedua, sedangkan kelompok ketiga menerima penganiayaan yang keras darinya.

Pada tahun 358, Epifanius dari Salamis memberi label "Semi-Arianisme" pada faksi Basil dari Ancyra. Hal ini dianggap tidak adil oleh J.N.D. Kelly yang menyatakan bahwa beberapa anggota kelompok itu pada dasarnya ortodoks sejak awal tetapi tidak menyukai kata sifat homoousios sementara yang lainnya pindah ke haluan tersebut setelah kalangan Arian yang sesungguhnya muncul ke permukaan.[33]

Perdebatan antara kelompok-kelompok tersebut menyebabkan diselenggarakannya berbagai sinode, di antaranya yaitu Konsili Serdika pada tahun 343, Konsili Sirmium pada tahun 358, Konsili Rimini dan Seleukia pada tahun 359, serta tidak kurang dari empat belas rumusan kredo lanjutan antara tahun 340 dan 360, menyebabkan seorang pengamat pagan bernama Ammianus Marcellinus berkomentar sinis: "Jalan-jalan raya ditutupi oleh derap langkah para uskup". Tidak ada satu pun dari upaya-upaya itu yang diterima oleh para pembela ortodoksi Nicea; dalam tulisannya tentang konsili-konsili terakhir tersebut, St. Hieronimus mengatakan bahwa dunia "terbangun dengan suatu erangan karena mendapati bahwa dirinya adalah Arian."

Setelah wafatnya Konstantius pada tahun 361, Yulianus penggantinya, seorang pemuja dewa-dewi pagan Roma, menyatakan bahwa ia tidak lagi berupaya untuk lebih memihak salah satu faksi gereja daripada yang lainnya, dan mengizinkan semua uskup yang diasingkan untuk kembali; hal ini menyebabkan meningkatnya perselisihan di antara kalangan Kristen Nicea. Namun, Kaisar Valens menghidupkan kembali kebijakan Konstantius dan mendukung pihak "Homoian", mengasingkan uskup-uskup dan sering kali menggunakan pemaksaan. Selama penganiayaan tersebut terdapat banyak uskup yang diasingkan ke bagian lain Kekaisaran, sebagai contoh St. Hilarius dari Poitiers diasingkan ke provinsi-provinsi Timur. Jalinan kontak dan keadaan buruk yang dialami bersama itu mengakibatkan terjadinya suatu pemulihan hubungan antara para pendukung kredo Nicea dan homoousios dari Barat dengan kalangan semi-Arian dari Timur.

Konsili Konstantinopel[sunting | sunting sumber]

Arianisme secara efektif tersingkir dari kelas penguasa dan elite dalam Kekaisaran Timur pada masa pemerintahan bersama Gratianus dan Teodosius I. St. Flacilla, istri Teodosius, merupakan figur yang berperan penting dalam kampanye Teodosius untuk mengakhiri Arianisme. Teodosius, yang berpegang pada keyakinan Nicea, menggantikan Valens yang wafat dalam Pertempuran Adrianopolis tahun 378.

Dua hari setelah Teodosius tiba di Konstantinopel, pada tanggal 24 November 389, ia mengusir uskup Homoiousian bernama Demofilus dari Konstantinopel, dan menyerahkan gereja-gereja di kota itu kepada Gregorius Nazianzus, pemimpin dari komunitas Nicea yang relatif kecil di sana; tindakan tersebut memprovokasi kerusuhan. Teodosius saat itu baru saja dibaptis oleh uskup Akolius dari Tesalonika, saat ia menderita sakit parah, sebagaimana lazimnya dalam dunia Kristen awal. Pada bulan Februari, ia dan Gratianus telah menerbitkan suatu maklumat[34] yang menyebutkan bahwa semua rakyat mereka harus mengakukan iman uskup-uskup Roma dan Aleksandria (yaitu iman Nicea), atau menerima hukuman karena tidak melakukannya.

Meskipun menjelang naik takhtanya Teodosius banyak hierarki gereja di Timur yang selama beberapa dekade menentang keyakinan Nicea, ia berhasil mewujudkan persatuan atas dasar keyakinan Nicea. Pada tahun 381, dalam Konsili Konstantinopel I, konsili ekumenis kedua yang diselenggarakan di Konstantinopel, suatu kelompok yang utamanya terdiri dari para uskup Timur berhimpun dan menerima Kredo Nicea tahun 381,[35] yang dilengkapi dalam kaitannya dengan Roh Kudus, serta beberapa perubahan lainnya: lihat Perbandingan antara Kredo tahun 325 dan Kredo tahun 381. Hal ini umumnya dipandang sebagai akhir dari perselisihan mengenai Trinitas dan akhir dari Arianisme di antara kaum Romawi non-Jermanik.

Arianisme dalam suku-suku Jermanik abad pertengahan[sunting | sunting sumber]

Saat berkembangnya Arianisme di Konstantinopel, seorang Goth bernama Ulfilas (kelak menjadi subjek dari surat Auxensius yang dikutip di atas) diutus sebagai misionaris kepada suku barbar Gothik di sepanjang Sungai Donau (Danube), dalam suatu misi yang didukung oleh Konstantius II karena alasan politis. Keberhasilan awal Ulfilas dalam mengkonversi orang-orang Jermanik tersebut ke dalam suatu bentuk Arian dari Kekristenan diperkuat oleh peristiwa-peristiwa di kemudian hari. Ketika suku Jermanik memasuki Kekaisaran Romawi dan mendirikan kerajaan-kerajaan penerus di bagian barat, kebanyakan dari mereka menjadi penganut Kristen Arian selama lebih dari satu abad.

Mosaik di langit-langit yang menggambarkan Baptisterium Arian.

Konflik pada abad ke-4 membuat faksi-faksi Arian dan Nicea saling berusaha untuk menguasai Gereja. Sebaliknya, dalam kerajaan-kerajaan Jerman Arian yang didirikan di atas sisa-sisa Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5 terdapat pemisahan Gereja Arian dengan Nicea dengan hierarki paralel, masing-masing melayani kumpulan umat yang berbeda. Para elite Jermanik merupakan penganut Arian, dan mayoritas penduduk Roman merupakan penganut Nicea. Banyak akademisi melihat bertahannya Arianisme Jermanik sebagai suatu strategi susulan dalam rangka membedakan elite Jermanik dengan penduduk setempat dan budaya mereka serta untuk mempertahankan identitas kelompok elite Jermanik yang terpisah ini.[butuh rujukan]

Sebagian besar suku Jermanik umumnya bersikap toleran terhadap keyakinan Nicea yang dianut rakyatnya. Namun, suku Vandal berupaya selama beberapa dekade untuk memaksakan keyakinan Arian mereka pada rakyat Nicea Afrika Utara yang berada di bawah kekuasaan mereka, mengasingkan para klerus Nicea, membubarkan biara-biara, dan memberikan tekanan berat pada umat Kristen Nicea yang tidak selaras dengan mereka.

Kebangkitan nyata Arianisme setelah Konsili Nicea lebih merupakan suatu reaksi anti-Nicea yang dieksploitasi oleh para simpatisan Arian daripada suatu pengembangan pro-Arian.[36] Pada akhir abad ke-4, paham ini telah menyerahkan landasannya yang masih tersisa kepada Trinitarianisme.[37] Di Eropa bagian barat, Arianisme yang diajarkan oleh Ulfilas, misionaris Arian bagi suku-suku barbar Jermanik, tampak dominan di antara suku Goth, Langobardi (Lombard), dan Vandal. Pada abad ke-8 paham ini tidak lagi menjadi keyakinan utama suku-suku tersebut karena para penguasa suku secara bertahap mengadopsi Katolisisme. Tren itu dimulai pada tahun 496 oleh Clovis I dari suku Franka, kemudian Rekkared I dari suku Visigoth pada tahun 587, dan Ariperto I dari suku Lombard pada tahun 653. Suku Franka dan Anglo-Sachsen berbeda dengan suku Jermanik lainnya dalam hal mereka memasuki kekaisaran sebagai penganut pagan dan langsung berpindah keyakinan ke dalam Kekristenan Kalsedon, dengan bimbingan para raja mereka, yaitu Clovis I[38] dan Æthelberht dari Kent. Suku-suku yang tersisa—suku Vandal dan Ostrogoth—tidak melakukan perpindahan keyakinan sebagai suatu kelompok masyarakat dan juga tidak memelihara kebersamaan teritorial. Setelah secara militer dikalahkan oleh pasukan dari Kaisar Yustinianus I, sisa-sisa dari mereka tersebar ke daerah pinggiran kekaisaran dan menjadi hilang dari sejarah. Perang Vandal yang berlangsung pada tahun 533-534 membubarkan orang-orang Vandal yang terkalahkan.[39] Setelah kekalahan terakhir mereka dalam Pertempuran Mons Lactarius pada tahun 553, suku Ostrogoth kembali ke utara dan (kembali) bermukim di Austria selatan.

Setelah kalangan Trinitaris ortodoks berhasil mengalahkan Arianisme, mereka menyensor semua tanda yang masih tertinggal yang dipandang sebagai bidah. Mosaik di Basilika Sant'Apollinare Nuovo yang terdapat di Ravenna ini sebelumnya bergambar Teoderikus, seorang raja Arian, dan rumah tangga kerajaannya. Namun, sekarang gambar-gambar itu sudah dihapus dan gambar tangannya masih tersisa pada beberapa tiang.

Arianisme dari abad ke-5 sampai ke-7[sunting | sunting sumber]

Sebagian besar penduduk Eropa bagian timur-selatan dan Eropa Tengah, termasuk banyak di antaranya berturut-turut dari suku Goth dan Vandal, telah memeluk Arianisme (Visigoth berpindah keyakinan ke dalam Kekristenan Arian pada tahun 376), yang menyebabkan Arianisme menjadi suatu faktor keagamaan dalam berbagai perang yang melibatkan Kekaisaran Romawi.[40] Di bagian barat, Arianisme yang terorganisir bertahan di Afrika Utara, di Hispania, dan beberapa bagian Italia, sampai akhirnya hilang pada abad ke-6 dan ke-7. Grimoaldo (662–671), Raja suku Lombard, serta Garibaldo (671) penerus dan putranya yang masih muda, adalah para raja Arian yang terakhir di Eropa.

Arianisme dari abad ke-16 sampai ke-19[sunting | sunting sumber]

Setelah terjadinya Reformasi Protestan yang dimulai sejak tahun 1517, pandangan-pandangan Arian dan non-trinitarian lainnya kembali muncul ke permukaan. Anti-trinitarian Inggris pertama yang diketahui yaitu John Assheton, yang dipaksa untuk mengakui kesalahannya di hadapan Thomas Cranmer pada tahun 1548. Dalam Konsili Anabaptis di Venesia pada tahun 1550, para inisiator awal Reformasi Radikal dari Italia berkomitmen mendukung pandangan-pandangan Miguel Servet (wafat tahun 1553); ini disebarkan oleh Giorgio Biandrata dan yang lainnya ke Polandia dan Transilvania.[41] Sayap antitrinitarian dari Reformasi Polandia memisahkan diri dari ecclesia maior Calvinis untuk membentuk ecclesia minor atau Serikat Persaudaraan Polandia. Mereka kerap disebut sebagai "kaum Arian" karena penolakan mereka akan Trinitas, meskipun sebenarnya mereka tergolong kaum Socinian, sebagaimana kelak mereka dikenal, bergerak lebih jauh dari Arius menuju posisi Fotinus. Julukan "Arian" juga digunakan untuk menyebut kaum Unitarian awal seperti John Biddle, kendati dalam hal penyangkalan akan pra-eksistensi Kristus lebih tepat jika digolongkan sebagai kaum Socinian daripada Arian.[42]

Inggris Raya di akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18 diwarnai gelombang latitudinarianisme; yang merupakan dampak tidak langsung dari berpisahnya Gereja Anglikan Inggris dengan Gereja Katolik Roma pada abad sebelumnya. Tokoh latitudinarian Inggris yang terkenal pada masa itu adalah John Locke (1632–1704), yang pada akhir hidupnya berkenalan dengan bernama Isaac Newton pada tahun 1689.[43] Dari perkenalannya tersebut, Dalam hal ini John Locke memberi kesaksian soal Newton: "Pengetahuan Isaac Newton atas Alkitab sungguh luar biasa, sehingga apa yang aku ketahui tidak sebanding dengannya".[44] Hal yang mungkin tidak diduga John Locke bahwa Newton adalah seorang pengikut Arian. Hal itu baru diketahui kemudian dari catatan-catatan hariannya, dan juga dari kesaksian para pengikutnya, seperti William Whiston dan Samuel Clarke. Arianisme di Inggris Raya surut seabad kemudian ketika seorang tokoh Unitarianisme bernama Joseph Priestley (1733–1804), yang juga seorang ilmuwan penemu oksigen, melancarkan kampanye Unitarian.[43]

Mengutip artikel tentang Arianisme dalam Encyclopædia Britannica: "Di zaman modern, beberapa kalangan Unitarian hampir-hampir adalah Arian dalam hal mereka enggan menurunkan Kristus menjadi sekadar manusia ataupun mengatribusikan kepada-Nya kodrat ilahi yang identik dengan Bapa."[45] Namun, doktrin-doktrin mereka tidak dapat dianggap mewakili doktrin-doktrin tradisional Arian ataupun sebaliknya.[butuh rujukan]

Suatu pandangan serupa dipegang oleh aliran kuno anti-Nicea yang disebut Pneumatomaki (Πνευματομάχοι, "nafas" atau "roh" dan "para pejuang", digabungkan menjadi "para pejuang penentang roh"), yang mendapat sebutan demikian karena mereka menentang Ketuhanan Roh Kudus yang dinyatakan dalam Kredo Nicea-Konstantinopel. Bagaimanapun, Pneumatomaki adalah para penganut Makedonianisme, dan meskipun keyakinan-keyakinan mereka agak serupa dengan Arianisme,[46] keyakinan-keyakinan tersebut cukup jelas perbedaannya sehingga dapat dianggap berbeda.[46]

Arianisme masa kini[sunting | sunting sumber]

Saksi-Saksi Yehuwa sering kali disebut sebagai "kaum Arian zaman modern" atau terkadang "kaum Semi-Arian",[47][48] biasanya oleh para penentang mereka.[49][50][51] Meskipun terdapat beberapa kemiripan yang signifikan dalam hal teologi dan doktrin, Saksi-Saksi Yehuwa dianggap berbeda dari kaum Arian karena mengatakan bahwa Putra dapat mengenal Bapa sepenuhnya (suatu hal yang dibantah oleh Arius), dan penolakan mereka atas kepribadian Roh Kudus. Arius menganggap Roh Kudus sebagai suatu pribadi atau malaikat berperingkat tinggi, yang memiliki awal mula sebagai suatu makhluk, sedangkan Saksi-Saksi Yehuwa menganggap Roh Kudus sebagai "energi" atau "tenaga aktif" Allah, yang tidak memiliki awal mula, dan bukan suatu pribadi yang sebenarnya. Kaum Arian asli umumnya berdoa secara langsung kepada Yesus, sedangkan Saksi-Saksi Yehuwa berdoa kepada Allah (Bapa), melalui Yesus sebagai mediator.[52]

Para penganut[sunting | sunting sumber]

Ajaran-ajaran dari dua konsili ekumenis pertama—yang sepenuhnya menolak Arianisme—dipegang oleh Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, Gereja Ortodoks Oriental, Gereja Asiria dari Timur dan semua gereja Protestan yang didirikan sejak Reformasi Protestan (Lutheran, Reformed/Presbiterian, dan Anglikan). Selain itu, hampir semua kelompok Protestan (seperti Metodis, Baptis, kebanyakan Pentakostal) sama sekali menolak ajaran yang terkait dengan Arianisme. Kelompok-kelompok modern yang saat ini muncul dengan merangkul beberapa prinsip Arianisme misalnya kalangan Unitarian dan Saksi-Saksi Yehuwa. Meskipun asal usul keyakinan mereka belum tentu terkait dengan ajaran-ajaran Arius, banyak dari keyakinan-keyakinan inti mereka yang sepenuhnya sama.

Kelompok-kelompok lain yang menentang Trinitas belum tentu tergolong Arian:

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Bibliografi[sunting | sunting sumber]

Catatan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f Berndt, Guido M.; Steinacher, Roland (2014). Arianism: Roman Heresy and Barbarian Creed. Routledge. ISBN 978-14-09-44659-0. Arius hendak menggarisbawahi transensensi dan esanya keilahian Allah [...]. Bagi Arius hanya Allah yang tidak berawal, tidak diperanakkan, dan kekal. Dengan terminologi teologi negatif, Arius menekankan monoteisme lewat berbagai macam cara baru. Allah hanya dapat dipahami sebagai creator. Ia menyangkal kesamakekalan Logos dengan Allah karena jika benar demikian maka Allah akan hilang keunikan-Nya. Hanya Allah saja yang kekal, dan oleh karena itu tidak senantiasa merupakan Sang Bapa. [...] Berlandaskan ayat-ayat kitab Amsal (Amsal 8:22–25), Arius merumuskan dalilnya bahwa Sang Putra diciptakan. Bagi Arius, Logos sepenuhnya berada di sisi Yang Ilahi, tetapi lebih rendah daripada Allah. 
  2. ^ "Arianism". Encyclopædia Britannica. 
  3. ^ a b Kohler, Kaufmann; Krauss, Samuel. "ARIANISM". Jewish Encyclopedia. Kopelman Foundation. Diakses tanggal 15 Mai 2020. Salah satu bidah Kristen, dicetuskan Arius, Uskup Aleksandria (wafat 336), yang mengajarkan bahwa Sang Putra tidak sehakikat (bahasa Yunani: ὁμοούσιος, homoousios; Latin: consubstantialis) dengan Sang Bapa, sehingga menimbulkan skisma di dalam Gereja, yang berdampak pada nasib orang Yahudi di berbagai negeri. Mengingat fakta bahwa kebanyakan suku rumpun Jermanik—misalnya Orang Goth Barat dan orang Goth Timur, maupun orang Franka, orang Lombardi, orang Suevi, dan orang Vandal—dibaptis menjadi umat Kristen Arian, dan bahwa suku-suku ini menetap di daerah-daerah yang tersebar di bekas wilayah Kekaisaran Romawi, sejumlah besar orang Yahudi, yang sebelumnya sudah menetap di daerah-daerah tersebut, berada di bawah pemerintahan orang Kristen Arian. Berbeda dengan pemerintahan di daerah-daerah kekuasaan Gereja yang ortodoks, pemerintahan orang Kristen Arian secara bijak menoleransi dan bersikap lunak kepada umat beragama lain. Kebijakan ini terutama berpangkal pada rasa keadilan sederhana yang merupakan ciri khas alami pada kanak-kanak, tetapi dapat pula ditelusuri sumbernya sampai taraf tertentu kepada pokok-pokok kesesuaian tertentu antara doktrin Kristen Arian dan ajaran agama Yahudi, yakni pokok-pokok yang sepenuhnya absen dalam ajaran agama Kristen yang ortodoks. Ajaran Kristen Arian yang menitikberatkan hubungan subordinasi Sang Putra—yakni Mesias—dengan Allah Bapa jauh lebih mendekati doktrin Yahudi mengenai Mesias daripada gagasan keilahian penuh Sang Putra yang dicanangkan di Nikea. 
  4. ^ a b c d Ehrman, Bart D. "The Controversies about Christ: Arius and Alexander". The Bart Ehrman Blog. 
  5. ^ Wiles, Maurice, 1923–2005. (1996). Archetypal heresy : Arianism through the centuries. Oxford: Clarendon Press. hlm. 5. ISBN 9780191520594. OCLC 344023364. 
  6. ^ a b Ferguson, Everett (26 November 2013). Church History, Volume One: From Christ to the Pre-Reformation: The Rise and Growth of the Church in Its Cultural, Intellectual, and Political Context. Zondervan. hlm. 267. ISBN 978-0-310-51657-6. 
  7. ^ Ben Witherington III, The Living Word of God: Rethinking the Theology of the Bible (Waco, TX: Baylor University Press, 2009), hal.241.
  8. ^ Sokrates dari Konstantinopel, Sejarah Gereja, kitab 1, bab 33. Anthony F. Beavers, Chronology of the Arian Controversy.
  9. ^ a b Gonzalez, Justo (1984). The Story of Christianity Vol.1. Harper Collins. hlm. 176. ISBN 0-06-063315-8. 
  10. ^ "Eusebius of Nicomedia". Catholic Encyclopedia. Diakses tanggal 2007-02-18. 
  11. ^ "First Council of Constantinople, Canon 1". ccel.org. 
  12. ^ Leighton Pullan, Early Christian Doctrine, Third Edition, Oxford Church Text Books (New York: Edwin S. Gorham, 1905), p.87.
  13. ^ a b Ritchie, Mark S. "The Story of the Church - Part 2, Topics 2 & 3". The Story of the Church. 
  14. ^ M'Clintock, John; James Strong. Cyclopedia of Biblical, Theological, and Ecclesiastical Literature. 7. hlm. 45. 
  15. ^ Francis Schüssler Fiorenza; John P. Galvin (1991). Systematic theology: Roman Catholic perspectives. Fortress Press. hlm. 164–. ISBN 978-0-8006-2460-6. Diakses tanggal 14 April 2010. 
  16. ^ Kelly, J N D (29 March 1978). Early Christian Doctrine. Chapter 9. San Francisco: HarperCollins. ISBN 978-0-06-064334-8. 
  17. ^ Davis, Leo Donald (1983). The First Seven Ecumenical Councils (325-787). Collegeville: Liturgical Press. hlm. 52–54. ISBN 978-0-8146-5616-7. 
  18. ^ Hanson, R P C (2007). The Search for the Christian Doctrine of God. Grand Rapids: Baker Academic. hlm. 127–128. ISBN 0-8010-3146-X. 
  19. ^ Chadwick, Henry (July 1960). "Faith and Order at the Council of Nicea". The Harvard Theological Review. 53 (3): 171–195. doi:10.1017/S0017816000027000. JSTOR 1508399. 
  20. ^ "Emperor Constantine's Edict against the Arians". fourthcentury.com. 23 January 2010. Diakses tanggal 20 August 2011. 
  21. ^ Richard Bauckham, “Review of Arius: Heresy and Tradition by Rowan Williams,” Themelios: Volume 14, No. 2, January/February 1989, 1989, 75.
  22. ^ a b c "Newton's Arian beliefs". Scotland: School of Mathematics and Statistics, University of St. Andrews. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-26. Diakses tanggal 2016-08-22. 
  23. ^ a b "Auxentius on Wulfila: Translation by Jim Marchand". 
  24. ^ "New American Standard Bible – John 1". Bible Hub. 
  25. ^ Heather and Matthews. Goths in the Fourth Century. hlm. 143. 
  26. ^ Hanson, R.P.C. (1988). The Search for the Christian Doctrine of God. Edinburgh: T&T Clark. hlm. 557-558. 
  27. ^ Hanson, R.P.C. (1988). The Search for the Christian Doctrine of God. Edinburgh: T&T Clark. hlm. 558-559. 
  28. ^ The Seven Ecumenical Councils, Christian Classics Ethereal Library 
  29. ^ a b c d "The oneness of Essence, the Equality of Divinity, and the Equality of Honor of God the Son with the God the Father." Orthodox Dogmatic Theology: A Concise Exposition Protopresbyter Michael Pomazansky pages 92–95
  30. ^ The Mystical Theology of the Eastern Church, SVS Press, 1997. (ISBN 0-913836-31-1) James Clarkef & Co Ltd, 1991. (ISBN 0-227-67919-9) V Lossky pg 50–51
  31. ^ Orthodox Dogmatic Theology: A Concise Exposition Protopresbyter Michael Pomazansky pages 57 As quoted by John Damascene:

    God is unoriginate, unending, eternal, constant, uncreated, unchanging, unalterable, simple, incomplex, bodiless, invisible, intangible, indescribable, without bounds, inaccessible to the mind, uncontainable, incomprehensible, good, righteous, that Creator of all creatures, the almighty Pantocrator.

  32. ^ Edward Gibbons "The Decline and Fall of the Roman Empire", Chapter 21, (1776–88), Jonathan Kirsch, "God Against the Gods: The History of the War Between Monotheism and Polytheism", 2004, and Charles Freeman, The Closing of the Western Mind: The Rise of Faith and the Fall of Reason, 2002.
  33. ^ Kelly J.N.D. Early Christian Doctrines A&G Black 1965, p. 249
  34. ^ "Sozomen's Church History VII.4". ccel.org. 
  35. ^ The text of this version of the Nicene creed is available at "The Holy Creed Which the 150 Holy Fathers Set Forth, Which is Consonant with the Holy and Great Synod of Nice". ccel.org. Diakses tanggal 27 November 2010. 
  36. ^ Everett Ferguson, Church History: From Christ to Pre-Reformation, vol. 1 (Grand Rapids, MI: Zondervan, 2005), 200.
  37. ^ "Arianism and Its Influence Today|Arius|Idea That Jesus Christ Is Not Equal to the Father By Nature". carm.org. Diakses tanggal 23 October 2015. 
  38. ^ Frassetto, Michael, Encyclopedia of barbarian Europe, (ABC-CLIO, 2003), 128.
  39. ^ Procopius, Secret Histories, Chapter 11, 18
  40. ^

    The inhibiting and paralyzing force of superstitious beliefs penetrated to every department of life, and the most primary and elementary activities of society were influenced. War, for example, was not a simple matter of a test of strength and courage, but supernatural matters had to be taken carefully into consideration. When Clovis said of the Goths in southern Gaul, "I take it hard that these Arians should hold a part of the Gauls; let us go with God's aid and conquer them and bring the land under our dominion", [note: see p. 45 (Book II:37)] he was not speaking in a hypocritical or arrogant manner but in real accordance with the religious sentiment of the time. What he meant was that the Goths, being heretics, were at once enemies of the true God and inferior to the orthodox Franks in their supernatural backing. Considerations of duty, strategy, and self-interest all reinforced one another in Clovis's mind. However, it was not always the orthodox side that won. We hear of a battle fought a few years before Gregory became bishop of Tours between king Sigibert and the Huns, [note: Book IV:29] in which the Huns "by the use of magic arts caused various false appearances to arise before their enemies and overcame them decisively." Medieval Study Guide to Gregory of Tours History of the Franks.

    Found url,
  41. ^ Roland Bainton, Hunted Heretic. The Life and Death of Michael Servetus
  42. ^ George Huntston Williams. The Radical Reformation, 3rd edition. Volume 15 of Sixteenth Century Essays and Studies. Ann Arbor, MI: Edwards Brothers, 1992
  43. ^ a b Wiles, Maurice (2017). Warisan Sejarah Arianisme. Bandung: Pustaka Matahari. ISBN 978-602-98762-1-5.
  44. ^ The Correspondence of John Locke, vii. 772-4: no. 3275 dari tanggal 30 April 1703.
  45. ^ "Arianism." Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica 2007 Deluxe Edition. Chicago: Encyclopædia Britannica, 2007.
  46. ^ a b Wace, Henry; Piercy, William C., eds. Dictionary of Christian Biography and Literature to the End of the Sixth Century (1911, third edition) London: John Murray.
  47. ^ Institute for Metaphysical Studies—The Arian Christian Bible - Metaphysical Institute, 2010. Page 209. Retrieved 10 June 2014.
  48. ^ Adam Bourque - Ten Things You Didn’t Know about Jehovah’s Witnesses. Diarsipkan 2014-07-14 di Wayback Machine.—Michigen Skeptics Association. Retrieved 10 June 2014.
  49. ^ Dorsett, Tommy. "Modern Day Arians: Who Are They?". Diakses tanggal 2 May 2012. 
  50. ^ "Trinity: Arius and the Nicene Creed". Diakses tanggal 2 May 2012. 
  51. ^ Young, Alexey. "Jehovah's Witnesses". Diakses tanggal 2 May 2012. 
  52. ^ "Should You Believe in the Trinity?". Awake!: 12–13. August 2013. Diakses tanggal 2 November 2014. 
  53. ^ Bienvenido Santiago "Is Jesus Christ Called 'God' in John 1:1?" in God's Message magazine July–September 1995
  54. ^ Pearce F. Jesus: God the Son or Son of God? CMPA
  55. ^ Anthony Buzzard and Charles Hunting The Doctrine of the Trinity: Christianity's Self-Inflicted Wound

Bacaaan lanjutan[sunting | sunting sumber]

  • Brennecke, Hanns Christof (1999), "Arianism", dalam Fahlbusch, Erwin, Encyclopedia of Christianity, 1, Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, hlm. 121–122, ISBN 0-8028-2413-7 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]