Lompat ke isi

Orang Tionghoa-Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Cina Indonesia)
Orang Tionghoa Indonesia
印度尼西亞華人
印度尼西亚华人
Melakukan ritual untuk malam Tahun Baru Imlek 2020 di Indonesia
Jumlah populasi
2,832,510 (2010, Sensus Penduduk Indonesia)[1]
3,280,000 (2020, National Geographic)[2]
11,150,000 (2023, Dewan Urusan Komunitas Luar Negeri, Taiwan)[3]
Daerah dengan populasi signifikan
Indonesia Indonesia
Di seluruh Indonesia
Terutama di Jawa, Sumatera, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung dan Kalimantan, dengan populasi yang signifikan di Indonesia Timur, terutama di sebagian wilayah Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Kepulauan Maluku
Populasi diaspora yang signifikan di:
 Australia[4][5]
 Kanada
 Tiongkok
 Hong Kong
 Malaysia[6]
 Belanda
 Singapura[6]
 Taiwan[7]
 Amerika Serikat
Bahasa
Utama
Indonesia (lingua franca)
Bahasa ibu
Indonesia, Betawi, Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Aceh, Bali, Melayu dan variasinya dan Bahasa di Indonesia lainnya
Bahasa kedua
Hokkien, Hakka, Tiochiu, Kanton, Fuzhou, Henghua, Hainan, Taishan, Mandarin dan varietas bahasa Tionghoa lainnya.
Bahasa tersier
Inggris
Agama
Sebagian besar

Buddhisme, Konfusianisme, Kekristenan
Minoritas
Islam, Taoisme, Hindu, dan lainnya.

Kelompok etnik terkait
Orang Tionghoa Indonesia
Hanzi tradisional: 印度尼西亞華人
Hanzi sederhana: 印度尼西亚华人
Makna harfiah: Orang Tionghoa Indonesia

Orang Tionghoa Indonesia (juga disebut Orang Tionghoa atau singkatnya Tionghoa)[8] adalah warga negara Indonesia yang berasal dari keturunan Tionghoa, dengan leluhur yang bermigrasi dari Tiongkok dalam kurun waktu delapan abad terakhir. Mereka merupakan salah satu kelompok etnis minoritas yang sudah lama menetap di Indonesia dan memiliki peranan penting dalam sejarah, ekonomi, serta kebudayaan nasional.

Jumlah pasti populasi Tionghoa Indonesia tidak diketahui karena sensus penduduk 2020 tidak mencatat data etnis. Sensus 2010, yang terakhir memuat kategori etnis, mencatat 2.832.510 jiwa sebagai Tionghoa Indonesia. Perkiraan terkini berbeda cukup jauh, mulai dari sekitar 3,28 juta pada 2020 menurut pakar demografi Indonesia[2] hingga 11,15 juta pada 2023 menurut Dewan Urusan Komunitas Luar Negeri (OCAC) Taiwan, sehingga komunitas ini dapat digolongkan sebagai komunitas Tionghoa perantauan keempat terbesar di dunia menurut perkiraan demografer Indonesia, atau yang terbesar menurut OCAC.[3]

Orang Tionghoa dan keturunannya yang berasal dari Indonesia telah tinggal di kepulauan Indonesia setidaknya sejak abad ke-13. Banyak dari mereka yang awalnya datang sebagai pendatang (penduduk sementara), yang berniat untuk kembali ke kampung halamannya di hari tua.[9] Namun, sebagian lagi tinggal di wilayah ini sebagai migran ekonomi. Populasi mereka berkembang pesat selama periode kolonial ketika para pekerja dikontrak dari provinsi asal mereka di Tiongkok Selatan.

Populasi di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan Volkstelling (sensus) pada masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia pada tahun 1930.[10] Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.[11]

Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% atau 1.739.000 jiwa yang mengaku sebagai Tionghoa. Definisi "etnis" yang dipakai BPS didasarkan atas pengakuan orang yang disensus. Atas dasar ini, jumlah ini dapat dianggap sebagai batas bawah ("lowerbound") karena banyak warga Tionghoa yang enggan mengaku sebagai "Tionghoa" dalam sensus. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.[12]

Menurut Perpustakaan Universitas Ohio, jumlah suku Tionghoa di Indonesia mencapai 7.310.000 jiwa. Jumlah ini merupakan yang terbesar di luar Tiongkok[13] Sedangkan pada tahun 2006 jumlah etnis Tionghoa di Indonesia mencapai 7.670.000.[14] Poston, Dudley; Wong, Juyin (2016) memperkirakan populasi Tionghoa Indonesia mencapai lebih dari 8.010.720 jiwa.[15] Menurut data Statista pada tahun 2023, Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 11,15 juta penduduk keturunan Tionghoa dan menjadikannya negara dengan populasi Tionghoa terbesar di luar Tiongkok. Angka ini setara dengan sekitar 4% dari total populasi Indonesia[16]. 

Masa-masa awal

[sunting | sunting sumber]

Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India.

Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, pada masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa.

Era kolonial

[sunting | sunting sumber]

Pada masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa di antara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia[butuh rujukan]. Di Batavia, Mohamad Djafar menjadi kapten Tionghoa muslim yang terakhir (kedua). Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.[17] Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama Kesultanan Mataram, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743 yang disebut dengan peristiwa Perang Kuning.[18] Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong[butuh rujukan] berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.

Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825–1830. Pembantaian di Batavia tersebut[19][20] Diarsipkan 2009-09-21 di Wayback Machine. melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan permukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.

Ruko di Batavia dengan papan nama beraksara Tionghoa di depannya

Empat kelompok bahasa Tionghoa utama diwakilkan di Indonesia: Hokkien (Min Selatan; Min Nan), Hainan, Hakka dan Kanton. Selain empat ini, orang-orang Tiochiu memiliki dialek mereka sendiri yang masih dapat saling dimengerti sampai tingkat tertentu dengan bahasa Hokkien. Meskipun begitu, pembedaan di antara keduanya semakin ditekankan di luar wilayah asal mereka.[21] Diperkirakan ada sekitar 2,2 juta penutur asli berbagai ragam bahasa Tionghoa di Indonesia pada tahun 1982: 1.300.000 penutur ragam Min Selatan (termasuk bahasa Hokkien dan Tiochiu); 640.000 penutur bahasa Hakka; 460.000 penutur bahasa Hainan; 180.000 penutur bahasa Kanton; dan 20.000 penutur ragam Min Timur (termasuk dialek Fuzhou). Selebihnya, sekitar 20.000 merupakan penutur dialek bahasa Indonesia.[22]

Museum Hakka di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta

Banyak dari orang Tionghoa yang tinggal di ibukota Jakarta dan kota-kota lainnya di Jawa tidak fasih dalam bahasa-bahasa Tionghoa, akibat pelarangan bahasa-bahasa Tionghoa oleh Orde Baru. Namun, mereka yang tinggal di kota-kota non-Jawa, khususnya di Sumatra, Sulawesi, Maluku, serta Kalimantan dapat menuturkan bahasa Tionghoa dan dialek-dialeknya dengan fasih. Orang-orang Tionghoa di pesisir timur laut Sumatra, khususnya di Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Riau dan Jambi sebagian besar adalah penutur bahasa Hokkien (Min Nan), yang populasinya juga banyak terdapat di Sumatera Barat, terutama di pusat Minangkabau, yaitu Padang, dan juga ada dua rqagam bahasa Hokkien yang digunakan, seperti bahasa Hokkien Medan, yang didasarkan pada dialek Zhangzhou dan bahasa Hokkien Riau, yang didasarkan pada dialek Quanzhou. Terdapat juga penutur bahasa Hokkien di Jawa (Semarang, Surakarta, dll.), Sulawesi, khususnya Kendari di Provinsi Sulawesi Tenggara, Bengkulu, Denpasar di Bali, Palembang, Sumatera Selatan, Ambon, Manado dan Makassar, serta juga Kalimantan, khususnya di Kalimantan Timur (Kabupaten Kutai Kartanegara dan ibukota provinsi Samarinda). Sedangkan, orang-orang Hakka adalah kelompok dialek mayoritas di Aceh, Bangka-Belitung, Ambon di Provinsi Maluku, Palembang di Sumatera Selatan dan wilayah utara Kalimantan Barat seperti Singkawang, Pemangkat dan Mempawah, beberapa komunitas Hakka juga tinggal di bagian-bagian Pulau Jawa khususnya di Tangerang dan Jakarta, Pontianak di Kalimantan Barat, Jambi dan Lampung di Sumatra, Banjarmasin di Kalimantan Selatan, Manado di Sulawesi Utara, Batam di Kepulauan Riau serta sejumlah kecil minoritas yang tersebar di Nusa Tenggara Timur dan Papua. Orang-orang Kanton sebagian besar tinggal di kota besar seperti Jakarta, Medan, Batam, Surabaya, Makassar, Semarang dan Manado. Orang-orang Tiochiu adalah mayoritas dalam komunitas Tionghoa di Provinsi Kalimantan Barat, khususnya wilayah-wilayah pusat dan selatan seperti Kendawangan, Ketapang dan Pontianak, juga di Kepulauan Riau, yang meliputi Batam dan Karimun. Terdapat beberapa komunitas orang Hokchia atau penutur bahasa Fuzhou yang cukup besar di Jawa Timur dan Jawa Tengah, khususnya di Surabaya dan Semarang. Kelompok penutur dialek Hainan sebagian besar tinggal di kota Pematangsiantar di Provinsi Sumatera Utara, yang adalah kota terbesar di luar Medan dengan populasi minoritas Tionghoa yang dominan dari kelompok dialek tersebut, dan dalam jumlah yang lebih sedikit di kota-kota lain seperti Manado di Sulawesi Utara (di mana populasi minoritas Tionghoa lokal sebagian besar didominasi oleh subkelompok Kanton dan Hakka), juga di kota Pekanbaru di Provinsi Riau dan Batam di Kepulauan Riau.

Foto keluarga Tionghoa peranakan (土生華人) di Jawa, circa 1856–1878; penggunaan kain batik sangat umum di antara wanita-wanita peranakan selama masa kolonial.

Banyak orang Indonesia, termasuk etnis Tionghoa, percaya akan adanya dialek bahasa Melayu yang dikenal sebagai Melayu Tionghoa atau Melayu Cina. Berkembangnya sastra peranakan di paruh kedua abad ke-19 melahirkan varian semacam itu dan dipopulerkan melalui cerita-cerita silat yang diterjemahkan dari bahasa Tionghoa atau dituliskan dalam bahasa Melayu dan Indonesia. Meskipun begitu, para ahli berpendapat bahwa bahasa ini berbeda dari campuran bahasa Jawa dan Melayu lisan yang dianggap "hanya digunakan oleh etnis Tionghoa".[a]

[S]elain dari beberapa kata serapan dari bahasa Tionghoa, tidak ada hal yang Tionghoa secara unik tentang bahasa 'Melayu Tionghoa'. Bahasa tersebut hanyalah bahasa Melayu rendah pasaran, bahasa lidah orang-orang Jawa di jalanan dan pasaran, khususnya di kota-kotanya, digunakan oleh semua kelompok etnis di lingkungan perkotaan dan multi-etnis. Karena orang Tionghoa merupakan kelompok yang dominan dalam perkotaan dan pasar, bahasa tersebut dikaitkan dengan mereka, tetapi pejabat pemerintahan, orang-orang Eurasia, pedagang migran, atau orang-orang dari wilayah bahasa yang berbeda, semuanya menggunakan ragam Melayu ini untuk berkomunikasi.

According to Ellen Rafferty, in Java, the peranakan generally started to speak Low Malay [Bazaar Malay] and some Javanese at home before 1800, while used the Low Malay for extra-local communication. The peranakan showed the usage of some Javanese in written communication since 1800. The spoken Javanese was later identified as ngoko variant. After 1880, the written Javanese was replaced by written Low Malay. Since 1945, the peranakan use Indonesianised-Javanese in home, supplanted by ngoko Javanese in local speech and Indonesian in extra-local communication and writing.[24]

Academic literature discussing Chinese Malay commonly note that ethnic Chinese do not speak the same dialect of Malay throughout the archipelago.[25] Furthermore, although the Dutch colonial government first introduced the Malay orthography in 1901, Chinese newspapers did not follow this standard until after independence.[26] Because of these factors, the ethnic Chinese played a "significant role" in the development of the modern Indonesian language as the largest group during the colonial period to communicate in a variety of Malay dialects.[27]

By 2018 the number of Chinese Indonesians studying Standard Mandarin increased.[28]

Cheongsam

[sunting | sunting sumber]

Cheongsam merupakan busana tradisional (perempuan) Tionghoa. Pakaian dicirikan oleh kerah berdiri, membuka sisi kanan, pas pinggang, dan tergelincir bawah, yang sepenuhnya dapat memicu keindahan bentuk tubuh perempuan. Cheongsam berasal dari chèuhngsāam . [29]

Seni Pertunjukan

[sunting | sunting sumber]

Barongsai

[sunting | sunting sumber]

Barongsai adalah tari tradisional Tionghoa dengan menggunakan sarung dan kostum yang menyerupai singa. Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan. Pada 1965 kesenian barongsai di Indonesia sempat terhenti akibat situasi politik dan adanya pelarangan kebudayaan Tionghoa di Indonesia. Meski saat itu barongsai tidak diizinkan dimainkan, tetapi ada satu tempat yang bisa menampilkan kesenian budaya barongsai secara besar-besaran, yakni di Kota Semarang, tepatnya di panggung besar Kelenteng Sam Poo Kong atau dikenal juga dengan Kelenteng Gedong Batu. Barongsai di Indonesia kemudian mengalami masa marak ketika masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mempopulerkan seni barongsai. Pada 9 Agustus 2012 di Jakarta, telah berdiri FOBI (Federasi Olahraga Barongsai Indonesia) yang menjadi wadah dari olahraga barongsai di Indonesia. FOBI akhirnya resmi masuk KONI pada 11 Juni 2013. Barongsai pun kini tidak hanya dimainkan oleh etnis Tionghoa saja, tetapi juga dimainkan oleh para kaum muda non-Tionghoa.[30]

Liang Liong

[sunting | sunting sumber]

Tari Naga atau disebut juga Liang Liong di Indonesia. Tarian ini sering tampil pada waktu perayaan-perayaan tertentu. Orang Tionghoa sering menggunakan istilah 'Keturunan Naga'(龍的傳人 atau 龙的传人, lóng de chuán rén) sebagai suatu simbol identitas etnis. Dalam tarian ini, satu regu orang Tionghoa memainkan naga-nagaan yang diusung dengan belasan tongkat atau lebih. Penari terdepan mengangkat, menganggukkan, menyorongkan dan mengibas-kibaskan kepala naga-nagaan tersebut yang merupakan bagian dari gerakan tarian yang diarahkan oleh salah seorang penari.

Wayang Potehi

[sunting | sunting sumber]

Wayang Potehi merupakan salah satu jenis wayang khas Tionghoa yang berasal dari Tiongkok bagian selatan. Kesenian ini dibawa oleh perantau etnis Tionghoa ke berbagai wilayah Nusantara pada masa lampau dan telah menjadi salah satu jenis kesenian tradisional Indonesia. . Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang jenis lain. Kesenian ini sudah berumur sekitar 3.000 tahun dan berasal dari Tiongkok.

Daerah Pecinan di Banjarmasin.

Festival Qingming

[sunting | sunting sumber]
Tugu Naga di pusat Kota Singkawang.
Kelenteng Tua Pek Kong di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat

Festival Qingming merupakan ritual tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang dan ziarah kubur sesuai dengan ajaran Khong Hu Cu. Festival tradisional Tionghoa ini dilaksanakan pada hari ke-104 setelah titik balik Matahari di musim dingin (atau hari ke-15 pada hari persamaan panjang siang dan malam di musim semi), pada umumnya dirayakan pada tanggal 5 April atau 4 April pada tahun kabisat.

Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan Tahun Baru Imlek dimulai pada hari pertama bulan pertama di tarikh Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh pada tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru Imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti "malam pergantian tahun". Perayaan ini dirayakan dengan kumpul keluarga, jamuan besar, berdoa, penyalaan lampion dan penyulutan kembang api.

Tokoh Tionghoa Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. Indonesian scholar Dede Oetomo believed "the term 'Chinese Malay' is really a misnomer. There may be a continuity between 'Chinese Malay' and modern Indonesian, especially because the former was also used in the written discourse of members of ethnic groups besides the Chinese in the colonial period and well into the postindependence era" (Kahin 1991, hlm. 54).

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. "Chinese Diaspora".
  2. 1 2 "Berapakah Jumlah Sesungguhnya Populasi Tionghoa di Indonesia?". nationalgeographic.grid.id. 5 June 2021. Diakses tanggal 22 August 2023.
  3. 1 2 "Statistical Yearbook of the Overseas Community Affairs Council, R.O.C. (TAIWAN)" (PDF) (dalam bahasa Chinese). Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  4. Stephen Gapps. "A Complicated Journey: Chinese, Indonesian, and Australian Family Histories". Australian National Maritime Museum. Diarsipkan dari asli tanggal 6 May 2018. Diakses tanggal 22 April 2018.
  5. Terri McCormack (2008). "Indonesians". Dictionary of Sydney. Diakses tanggal 22 April 2018.
  6. 1 2 Thomas Fuller (12 December 1998). "Indonesia's Ethnic Chinese Find a Haven For Now, But Their Future Is Uncertain: Malaysia's Wary Welcome". The New York Times. Diakses tanggal 22 April 2018.
  7. "Statistics" (dalam bahasa Tionghoa). National Immigration Agency, ROC. Diakses tanggal 2011-02-13.
  8. Kenneth Utama (30 August 2016). "Why it's important to talk about Chinese-Indonesians or Cindo". The Jakarta Post. Diakses tanggal 9 March 2021.
  9. Wang Gungwu (1996). "Sojourning: the Chinese experience in Southeast Asia". Dalam Anthony Reid (ed.). Sojourners and settlers: histories of Southeast Asia and the Chinese. Honolulu: University of Hawai'i Press. hlm. 1–9.
  10. Vasanty, Puspa (2004). Prof. Dr. Koentjaraningrat (ed.). "Kebudayaan Orang Tionghoa Di Indonesia", Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Penerbit Djambatan. hlm. hal. 359. ISBN 979-428-510-2.
  11. Skinner, G.W. (1963). R.T. McVey (ed.). "The Chinese Minority", Indonesia. New Haven, HRAF. hlm. hal. 99. Pemeliharaan CS1: Tahun (link)
  12. Kusno, Malikul (Sabtu, 9 Desember 2006), "UU Kewarganegaraan dan Etnis Tionghoa", Harian Umum Sinar Harapan, diarsipkan dari asli tanggal 2008-06-16, diakses tanggal 18 Agustus 2008 ; Pemeliharaan CS1: Tanggal dan tahun (link)
  13. "Ohio University". Diarsipkan dari asli tanggal 2007-03-10. Diakses tanggal 2007-02-28.
  14. "印尼2006 年華人人口統計推估 (Perkiraan Statistik Jumlah Penduduk Tionghoa Indonesia Tahun 2006)" (PDF). Overseas Compatriot Affairs Commission, R.O.C (Taiwan). Diakses tanggal 2010-05-10. 本會以人口增加率1.38%估計,2006 年印尼華人人口約有767 萬人,約占印尼總人口的3.4%,尚屬合理。
  15. Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Poston and Wong
  16. https://goodstats.id/infographic/di-luar-china-ini-negara-dengan-populasi-tionghoa-terbanyak-cs2U0.
  17. Setiono, Benny G. "Tionghoa Dalam Pusaran Politik", hal. 167, Transmedia
  18. Fadillah, Arie Sunaryo,Danny Adriadhi Utama ,Ramadhian; Fadillah, Ramadhian; Sunaryo, Arie (24 Januarin 2020). Pratomo, Angga Yudha (ed.). "Geger Pecinan, Saat Laskar Tionghoa-Jawa Bersatu Melawan VOC". Merdeka.com. Diakses tanggal 15 Januari 2022. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  19. http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/chinezenengels.htm
  20. "Salinan arsip". Diarsipkan dari asli tanggal 2007-09-28. Diakses tanggal 2006-11-13.
  21. Skinner 1963, hlm. 102.
  22. Lewis 2005, hlm. 391.
  23. Heidhues 1999, hlm. 154.
  24. Rafferty, Ellen (1984). "Languages of the Chinese of Java—An Historical Review". The Journal of Asian Studies. 43 (2): 247–272. doi:10.2307/2055313. ISSN 0021-9118. JSTOR 2055313. S2CID 163299613.
  25. Kahin 1991, hlm. 55.
  26. Kahin 1991, hlm. 61.
  27. Kahin 1991, hlm. 65.
  28. Tan-Johannes, Grace (2018-08-23). "Why more Chinese Indonesians are learning Mandarin, and nurturing their children's sense of belonging to Chinese culture". South China Morning Post. Diakses tanggal 2018-09-04.
  29. Teniwut, Meilani (2023-01-13). "Model Baju Changsan untuk Perayaan Imlek Tahun 2023". mediaindonesia.com. Diakses tanggal 2023-01-15.
  30. Indonesia, INI BARU (ALE/SA) (2018-02-16). "Barongsai di Indonesia, Dulu dan Kini". INI BARU Indonesia. Inibaru.id. Diarsipkan dari asli tanggal 2020-11-20.

Bibliografi

[sunting | sunting sumber]

Sumber tersier

[sunting | sunting sumber]

Sumber sekunder

[sunting | sunting sumber]

Sumber primer

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]