Candi Sewu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Candi Sewu
ꦕꦤ꧀ꦝꦶꦱꦺꦮꦸ
Candi induk dari Candi Sewu, 2013. Kiri-kanan sepasang Dwarapala.
Agama
AfiliasiBuddhisme
ProvinsiJawa Tengah
FestivalWaisak
StatusMasih digunakan
Lokasi
MunisipalitasKlaten
NegaraIndonesia
Arsitektur
TipeCandi
Rampung782 M
Spesifikasi
Arah fasadTimur
Panjang185 meter (607 ft)
Lebar165 meter (541 ft)
Tinggi maksimum30 meter (98 ft)
Jumlah bangunan249 (satu candi induk, delapan candi apit, dan 240 candi perwara)
PrasastiPrasasti Manjusrigrha
Bahan bangunanBatu andesit

Candi Sewu (Jawa: ꦕꦤ꧀ꦝꦶ​ꦱꦺꦮꦸ, translit. Candhi Sèwu) adalah candi Buddha yang dibangun pada abad ke-8 Masehi yang berjarak sekitar delapan ratus meter di sebelah utara Candi Prambanan.[1] Candi Sewu merupakan kompleks candi Buddha terbesar kedua setelah Candi Borobudur di Jawa Tengah. Dikenal dengan nama asli Manjusri grha (Rumah Manjusri), Candi Sewu berusia lebih tua daripada Candi Borobudur dan Prambanan. Meskipun aslinya memiliki 249 candi, oleh masyarakat setempat candi ini dinamakan "Sewu" yang berarti seribu dalam bahasa Jawa. Penamaan ini berdasarkan kisah legenda Loro Jonggrang.

Secara administratif, kompleks Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Prasasti Manjusrigrha (792), ditemukan pada 1960 di dekat candi perwara bagian luar sisi barat, candi no. 202 (baris 4 nomor 37) di kompleks percandian Sewu.

Berdasarkan Prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 dan Prasasti Manjusrigrha yang berangka tahun 792 dan ditemukan pada tahun 1960, nama asli candi ini adalah ”Prasada Vajrasana Manjusrigrha”. Istilah Prasada bermakna candi atau kuil, sementara Vajrajasana bermakna tempat Wajra (intan atau halilintar) bertakhta, sedangkan Manjusri-grha bermakna Rumah Manjusri. Manjusri adalah salah satu Boddhisatwa dalam ajaran buddha. Candi Sewu diperkirakan dibangun pada abad ke-8 masehi pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran (746–784) adalah raja yang termahsyur dari kerajaan Mataram Kuno.

Kompleks candi ini mungkin dipugar, dan diperluas pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, seorang pangeran dari dinasti Sanjaya yang menikahi Pramodhawardhani dari dinasti Sailendra. Setelah dinasti Sanjaya berkuasa rakyatnya tetap menganut agama sebelumnya. Adanya candi Sewu yang bercorak buddha berdampingan dengan candi Prambanan yang bercorak hindu menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu di Jawa umat Hindu dan Buddha hidup secara harmonis dan adanya toleransi beragama. Karena keagungan dan luasnya kompleks candi ini, candi Sewu diduga merupakan Candi Buddha Kerajaan, sekaligus pusat kegiatan agama buddha yang penting pada masa lalu. Candi ini terletak di lembah Prambanan yang membentang dari lereng selatan Gunung Merapi di utara hingga pegunungan Sewu di selatan, di sekitar perbatasan Yogyakarta dengan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Di lembah ini tersebar candi-candi dan situs purbakala yang berjarak hanya beberapa ratus meter satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan kawasan penting artinya dalam sektor keagamaan, politik, dan kehidupan urban masyarakat Jawa Kuno.

Candi ini rusak parah akibat gempa pada bulan Mei 2006 di Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan. Kerusakan struktur bangunan sangat nyata dan candi utama menderita kerusakan paling parah. Pecahan batu candi berserakan di atas tanah, retakan dan rekahan antar sambungan batu terlihat. Untuk mencegah keruntuhan bangunan, kerangka besi dipasang di keempat sudut bangunan untuk menunjang dan menahan tubuh candi utama. Meskipun situs dibuka kembali untuk pengunjung beberapa pekan kemudian setelah gempa pada tahun 2006, seluruh bagian candi utama tetap ditutup dan tidak boleh dimasuki demi alasan keamanan.

Kini setelah dipugar, perancah candi utama telah dilepas dan pengunjung dapat memasuki ruangan dalam candi utama.

Kompleks candi[sunting | sunting sumber]

Kompleks Candi Sewu dilihat dari udara membentuk pola Mandala Wajradhatu.

Kompleks Candi Sewu adalah kumpulan candi Buddha terbesar di kawasan sekitar Prambanan, bahkan mungkin di Indonesia.[2] Kompleks menempati lahan 185 meter arah utara-selatan dan 165 meter timur-barat. Ini pun belum mencakup kesatuan konsep dengan candi mandala yang juga ditemukan di sekitar Candi Sewu (dua yang masih cukup utuh adalah Candi Bubrah dan Candi Gana), ditambah dengan Candi Lumbung, yang berada di selatan Candi Bubrah. Bagian artikel ini hanya membahas area yang mencakup di sekitar candi utama Candi Sewu.

Pintu masuk kompleks dapat ditemukan di keempat penjuru mata angin, tetapi mencermati susunan bangunannya, diketahui pintu utama di sisi timurlah yang merupakan pintu masuk utama. Tiap pintu masuk dikawal oleh sepasang arca Dwarapala. Arca penjaga yang masing-masing berukuran tinggi sekitar 2,3 meter ini dalam kondisi yang cukup baik, dan replikanya dapat ditemukan di Keraton Yogyakarta.

Apabila dilihat dari dugaan denah aslinya, terdapat 249 bangunan candi di kompleks ini yang disusun membentuk mandala wajradhatu, yaitu perwujudan alam semesta dalam kosmologi Buddha Mahayana. Selain satu candi utama yang terbesar, pada bentangan poros tengah, utara-selatan dan timur-barat, pada jarak 200 meter satu sama lain, antara deret lingkar ke-2 dan ke-3 candi perwara (pengawal) kecil terdapat delapan candi penjuru, yang berukuran kedua terbesar setelah candi utama. Semestinya, di setiap penjuru mata angin terdapat masing-masing sepasang candi penjuru yang saling berhadapan, tetapi kini[per kapan?] hanya candi penjuru kembar timur dan satu candi penjuru utara yang masih utuh. Berdasarkan penelitian fondasi bangunan, diperkirakan hanya satu candi penjuru di utara dan satu candi penjuru di selatan yang sempat dibangun dan keduanya menghadap arah timur. Itu berarti mungkin memang candi penjuru utara sisi timur dan penjuru selatan sisi timur memang tidak pernah ataupun tidak sempat dibangun untuk melengkapi rancangan awalnya.

Denah Candi Sewu. Di pusat terletak candi utama yang terletak pada pelataran yang lebih tinggi. Di sekelilingnya terdapat empat barisan persegi yang konsentris dengan jarak antarbarisan berbeda-beda. Di antara barisan kedua (dari dalam) dan ketiga terdapat sepasang candi penjuru di sisi timur dan barat candi. Di sisi utara dan selatan hanya ditemukan satu candi penjuru (tetapi diduga semestinya juga sepasang). Di luar lingkaran terluar ditemukan sepasang arca dwarapala di setiap penjuru mata angin.

Sebanyak 240 bangunan candi perwara (pengawal) yang berukuran lebih kecil dan mengitari candi utama memiliki desain yang hampir serupa dan membentuk empat deret persegi yang konsentris (perhatikan denah). Dilihat dari bagian paling dalam (tengah), deret pertama terdiri atas 28 candi, dan deret kedua terdiri atas 44 candi yang tersusun dengan interval jarak tertentu. Dua deret paling luar, deret ketiga terdiri dari 80 candi, sedangkan deret keempat yang terluar terdiri atas 88 candi-candi kecil yang disusun berdekatan.

Dari keempat deret candi perwara ini terdapat dua jenis rancangan candi perwara; deret keempat (terluar) memiliki rancang bentuk yang serupa dengan deret pertama (terdalam), yaitu pada bagian penampang gawang pintunya, sedangkan deret kedua dan ketiga memiliki rancang bentuk yang lebih tinggi dengan gawang pintu yang berbeda. Banyak patung dan ornamen yang telah hilang atau terpenggal, dan susunannya telah berubah. Candi-candi perwara ini diisi arca-arca Dhyani Buddha. Ditemukan empat jenis Dhyani Buddha di kompleks Candi Sewu. Arca-arca buddha yang dulu mengisi candi-candi ini mungkin serupa dengan arca buddha di Borobudur.[3] Candi-candi yang lebih kecil ini sebagian besar telah runtuh dan batuannya sudah tidak utuh lagi.

Di dalam ke-4 deretan candi kecil terdapat pelataran beralas batu dan di tengahnya berdiri candi utama.

Candi utama[sunting | sunting sumber]

Candi utama memiliki denah poligon bersudut 20 yang menyerupai salib atau silang yang berdiameter 29 meter dan tinggi bangunan mencapai 30 meter. Pada tiap penjuru mata angin terdapat struktur bangunan penampil yang menjorok ke luar, masing-masing dengan tangga dan ruangan tersendiri dan dimahkotai susunan stupa dan di dalamnya terdapat relung di kedua sisinya. Seluruh bangunan terbuat dari batu andesit. Ruangan di empat penjuru mata angin ini dihubungkan oleh galeri sudut berpagar langkan.

Berdasarkan temuan pada saat pemugaran, diperkirakan rancangan awal bangunan hanya berupa candi utama berkamar tunggal. Candi ini kemudian diperluas dengan menambahkan struktur tambahan penampil di sekelilingnya. Pintu dibuat untuk menghubungkan bangunan tambahan dengan candi utama dan menciptakan bangunan candi utama dengan lima ruang.

Ruangan utama di tengah lebih besar dengan atap yang lebih tinggi, dan dapat dimasuki melalui ruang timur. Kini tidak terdapat patung di kelima ruangan ini.[4] Akan tetapi berdasarkan adanya landasan atau singgasana batu berukir teratai di ruangan utama, diduga dahulu dalam ruangan ini terdapat arca bodhisattwa Manjusri atau buddha dari bahan perunggu yang tingginya mencapai 4 meter. Akan tetapi kini arca itu telah hilang, mungkin telah dijarah untuk mengambil logamnya sejak berabad-abad lalu.

Prasasti[sunting | sunting sumber]

Prasasti Kelurak.

Ada dua prasasti tertulis pada batu besar yang ditemukan di sekitar kompleks Candi Sewu, yaitu prasasti Kelurak dan prasasti Manjusrighra. Dua catatan ini sangat penting dalam menentukan masa pembangunan Candi Sewu (lihat di bagian Sejarah).

Selain dua prasasti panjang tadi, sebagaimana di kompleks Candi Prambanan, juga ditemukan prasasti-prasasti pendek dalam bentuk goresan-goresan huruf atau figur pada batu penyusun bangunan candi maupun sapuan cat frasa pendek yang ditemukan pada candi utama maupun candi perwara (misalnya pada candi perwara nomor 40 deret kedua).[5]

Galeri gambar[sunting | sunting sumber]

Berikut adalah beberapa foto yang menggambarkan sejumlah detail dari kompleks percandian ini.

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Candi Sewu: Candi Buddha di sisi Candi Hindu"[pranala nonaktif permanen]
  2. ^ Ini berdasarkan informasi yang tertulis pada museum Prambanan. Namun, hal ini mungkin akan dipatahkan apabila kajian lebih lanjut terhadap [[kompleks percandian Muara Jambi]] semakin mendukung kesatuan konsep candi-candi di sana.
  3. ^ Dumarçay, Jacques (1978). edited and translated by Michael Smithies, "Borobudur", pp. 46-47. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-580379-2.
  4. ^ Soetarno, Drs. R. second edition (2002). "Aneka Candi Kuno di Indonesia" (Ancient Temples in Indonesia), pp. 53-54. Dahara Prize. Semarang. ISBN 979-501-098-0.
  5. ^ Vlog Update Temuan Prasasti Bercat Candi Sewu dari saluran YouTube bpcbjateng

Sumber[sunting | sunting sumber]

  • Dinas Pariwisata DIY.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]