Suku Rejang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 24 Mei 2018 05.10 oleh HsfBot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)
Suku Rejang
Tun Jang/Tun Hɕjang
Jumlah populasi
c. 940.000 (2018)
Daerah dengan populasi signifikan
Provinsi Bengkulu900.000
Provinsi Sumatera Selatan35.000
Daerah-daerah Lain di Seluruh Indonesia dan Dunia5.000
Bahasa
  • Bahasa Ibu:
  • Bahasa lain yang dituturkan:
Agama
Mayoritas:
Islam
Kelompok etnik terkait
Bidayuh · Lembak · Serawai

Suku Rejang adalah salah satu suku bangsa di Pulau Sumatera dan sekaligus satu dari beberapa masyarakat ata suku asli di Provinsi Bengkulu. Jumlah populasi suku Rejang tidak diketahui secara pasti dikarenakan Sensus Penduduk yang diadakan tidak menyertakan suku bangsa sebagai poin pencatatan. Diperkirakan populasi suku Rejang mencapai 940.000 jiwa. Mayoritas di antaranya bermukim di Provinsi Bengkulu, terutama di Bengkulu bagian tengah, utara, dan daerah pedalaman di sekitar Bukit Barisan dengan jumlah diperkirakan mencapai 900.000 jiwa. [note 1]. Dengan demikian, masyarakat Rejang merupakan suku bangsa terbesar di Provinsi tersebut. Sisa populasi sebesar 40.000 jiwa bermukim di 7 desa asli di Kecamatan (Bermani) Ulu Rawas, Kabupaten Musi Rawas Utara, Provinsi Sumatera Selatan serta menyebar di berbagai kota di Indonesia dan dalam jumlah yang sangat kecil, di luar negeri.

Masyarakat Rejang bertutur dalam bahasa Rejang sebagai bahasa ibu, meskipun di daerah kota kecamatan seperti Curup yang penduduknya seimbang antara suku Rejang sebagai orang asli dan masyarakat pendatang terdapat gejala penurunan penggunaan bahasa tersebut. Bahasa Rejang perlahan tergantikan oleh bahasa Melayu Bengkulu yang dipandang sebagai **lingua franca** masyarakat Bengkulu yang beragam.

Etimologi

Tidak diketahui secara pasti sejak kapan suku Rejang disebut atau menyebut diri mereka sebagai Rejang. Hal lain yang patut dipertanyakan adalah apakah istilah Rejang awalnya merupakan penamaan dari suku bangsa yang besangkutan atau julukan yang dialamatkan oleh suku bangsa lain. Menurut beberapa warga di daerah Lebong, dipercayai bahwa kata Rejang berarti menyeberang atau melintas. Kepercayaan didasarkan pada mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Rejang daerah Tapus yang dipercaya sebagai pemukiman Rejang tertua. Kepercayaan tersebut menyebutkan bahwa nenek moyang Rejang datang dari suatu tempat yang jauh dan tidak diketahui di mana lokasi persisnya.

Apabila kepercayaan tersebut benar, maka menurut penelitian Prof. Richard McGinn yang mengajukan teori atau hipotesis bahwa nenek moyang Rejang berasal wilayah Sarawak yang sekarang, nenek moyang Rejang menyeberang atau melintas dari Kalimantan ke Sumatera. Sesampainya di muara Sungai Musi, mereka berjalan terus menyusuri Sungai Musi dan Sungai Rawas hingga ke hulu, ke tempat kediaman mayoritas suku Rejang yang sekarang di pedalaman Bengkulu. Istilah Rejang juga memiliki kemiripan dengan nama sungai di wilayah Sarawak, Sungai Rajang, tempat yang disebut dan diduga sebagai tanah asal orang Rejang sebelum mendiami Pulau Sumatera.

Selain itu, di kalangan masyarakat Desa Taba Anyar beredar cerita bahwa istilah Rejang dan Lebong yang saling berkaitan dan dijadikan sebagai nama Kabupaten Rejang Lebong berasal dari kebiasaan masyarakat Rejang yang berlangsung hingga saat ini, merajang rebung. Rebung sejak lama telah dikonsumsi sebagai sumber pangan di pedalaman Bengkulu. Dari kebiasaan merajang rebung kemudian muncul istilah Rejang dan Lebong. Walaupun demikian, cerita yang satu ini diragukan banyak pihak dikarenakan terkesan mencocok-cocokkan istilah semata.

Budaya

Bahasa, Sastra, dan Aksara

Bahasa

Suku Rejang memiliki bahasa dengan nama yang sama. Bahasa Rejang adalah bahasa utama yang dituturkan di rumah atau lingkungan keluarga besar. Sementara di tempat umum atau ketika berkomunikasi dengan masyarakat non-Rejang, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Bengkulu. Melayu Bengkulu saat ini dipandang sebagai lingua franca yang memperlancar komunikasi antara orang asli (Rejang) dengan masyarakat pendatang. Melayu Bengkulu merupakan varian bahasa Melayu yang memiliki penutur di Provinsi Bengkulu. Bahasa Melayu Bengkulu dikenal karena memiliki kemiripan dengan Bahasa Minangkabau dan Melayu Palembang.

Menurut beberapa penelitian dan kajian yang dilakukan oleh Prof. Richard McGinn dari Universitas Ohio, ahli bahasa Austronesia tersebut mengajukan hipotesis atau teori bahwa masyarakat Rejang berasal dari luar Sumatera dan berpindah ke sana untuk alasan yang belum diketahui. Sarawak adalah daerah yang disebut sebagai tanah asal orang Rejang sebelum berpindah ke Sumatera. Bahasa Rejang menurut Prof. McGinn tidak memiliki satupun kerabat bahasa di Sumatera. Berdasarkan penelitiannya, kerabat bahasa Rejang yang paling dekat yakni bahasa Bukar-Sadong di Sarawak yang tergolong sebagai masyarakat Bidayuh atau dulu dikenal sebagai Dayak Darat.

Sebagai anggota dari Keluarga Bahasa-bahasa Austronesia, bahasa ini memiliki sejumlah persamaan kosakata dengan bahasa-bahasa daerah yang berlainan dan berjauhan letaknya di Indonesia. Kata tun yang berarti orang dalam bahasa Rejang memiliki padanan berupa to-ono dan tou masing-masing dari bahasa Minahasa dan bahasa Tolaki. Selanjutnya, kata nopoe yang berarti ular dalam bahasa Rejang dialek Kepahiang memiliki padanan berupa nipa dalam bahasa-bahasa Flores. Dan kata nangai yang bermakna muara memiiki padanan kata berupa nanga dalam bahasa-bahasa di Kalimantan Barat.

Bahasa Rejang memiliki lima dialek yang memiliki variasi atau perbedaan antar satu dialek dengan dialek lainnya dengan derajat yang berbeda-beda. Empat dari lima dialek dituturkan di wiayah Provinsi Bengkulu. Satu dialek lagi dituturkan di Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan. Kelima dialek tersebut ialah sebagai berikut.

  • Dialak Musi (Musai), dituturkan di sepanjang hulu aliran Sungai Musi di Kabupaten Rejang Lebong, sebagian Kabupaten Bengkulu Utara, dan sebagian Kabupaten Kepahiang terutama daerah Merigi dan Ujan Mas.
  • Dialek Kebanagung (Kɕbanangung), dituturkan di sebagian Kabupaten Kepahiang terutama daerah Tebat Karai dan Bermani Ilir. Dialek Kebanagung banyak terpapar pengaruh dari bahasa Lintang atau Besemah.
  • Dialek Pesisir (Pɕseser), dituturkan di sebagian Kabupaten Bengkulu Tengah seperti Pondok Kelapa dan wilayah Kabupaten Bengkulu Utara.
  • Dialek Lebong (Lɕbong), dituturkan di Kabupaten Lebong. Dialek ini dianggap sebagai dialek standard bahasa Rejang.
  • Dialek Rawas (Awɕs), dituturkan di hulu Sungai Rawas di Kabupaten Musi Rawas Utara. Dialek ini dianggap sebagai dialek proto atau dialek tertua dari bahasa Rejang dan menurut Prof. McGinn berfungsi sebagai alat bantu rekonstruksi bahasa Rejang Purba.

Penutur dialek Rejang yang satu dengan yang lain sebenarnya dapat saling mengerti dengan tingkat pemahaman mencapai di atas 80%, terkecuali Dialek Rawas. Dialek Rawas hampir tidak dapat dikenali apabila diperdengarkan kepada penutur dialek-dialek yang lain.

Aksara

Sebelum abad ke-20, masyarakat Rejang masih menulis surat-surat resmi dalam aksara sendiri yang dinamakan Buak Rikung. Aksara Rikung sendiri pada masa kini lebih dikenal sebagai Huruf Kaganga dan diajarkan di sekolah-sekolah di Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Bengkulu Utara. Aksara ini berjenis abugida dan merupakan turunan dari aksara-aksara India. Ciri terutama aksara tersebut adalah garis-garis yang tajam dan tegas, berkebalikan dengan aksara Jawa atau Bali yang bergelombang. Evolusi aksara Rejang menuju bentuk garis yang tajam, lurus, dan tegas disebut-sebut sebagai adaptasi atas usaha menulis di atas kayu, bambu, dan tulang. Pada bahan dengan permukaan keras, garis melengkung sangat susah dibuat dan hasilnya, garis-garis melengkung berevolusi menjadi garis yang tajam dan lurus.

Istilah rikung dalam bahasa Rejang dapat bermakna sabit untuk memotong rumput dan atau sudut siku-siku. Menurut cerita, aksara Rejang awalnya ditulis dengan alat-alat yang tajam termasuk sabit yang menghasilkan garis-garis tajam. Menurut cerita yang lain pula, aksara Rejang disebut rikung karena sudutnya siku-siku. Aksara Rejang memiliki 18 buah konsonan utama (Buak Tu'ai), 1 buah vokal nyata (tergolong Buak Tu'ai), dan 6 buah konsonan ganda (Buak Ngimbang), totalnya terdapat 25 buah huruf. 25 buah huruf ini diberikan tanda diakritik baik tunggal maupun ganda untuk menghasilkan bunyi selain a serta menghasilkan diftong.

Agama dan Kepercayaan

Kepercayaan Asli

Tidak banyak yang diketahui mengenai agama atau kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang Rejang. Peninggalan masa kini yang paling jelas dan penting untuk menjabarkan mengenai pengalaman spiritual atau keagamaan masyarakat Rejang lama adalah tradisi rɕjung dan kɕdurai agung. Kedua tradisi ini tak dapat dipisahkan satu sama lain. Rɕjung merupakan gunungan berisi hasil bumi atau makanan dan kue yang ditata sedemikian rupa. Tingginya dapat mencapai dua meter. Diduga, rɕjung menyimbolkan bentuk gunung terutama sekali merujuk pada Bukit Kaba yang menempati posisi penting dalam suasana kebatinan masyarakat Rejang. Rɕjung biasa diadakan saat prosesi atau ritual kɕdurai agung (Kenduri Besar). Rɕjung adalah persembahan bagi dewa-dewi yang dipuja melalui kɕdurai agung.

Kepercayaan masyarakat Rejang terhadap kekuatan supranatural di sekitarnya telah melahirkan dikotomi antara diwo dan nyang dengan smat. Diwo merujuk pada dewa dan nyang merujuk pada dewi. Hampir tidak diketahui nama-nama daripada dewa dan dewi dari kepercayaan asli suku Rejang. Tapi, yang paling dikenal ialah dewi padi, dewi kesuburan yang dikenal sebagai Nyang Sɕrai. Nyang Sɕrai dapat dikatakan sebagai dewi padi versi Rejang. Untuk menghormati sang dewi, masyarakat dahulu sering mengadakan persembahan berupa pemotongan hewan kurban, membakar kemenyan atau mengantar apem. Salah satu tempat paling terkenal untuk melakukan persembahan yakni Bingin Kuning di Lebong.

Adapun istilah untuk menyebut pertapaan atau persembahyangan terhadap dewa-dewi dalam bahasa Rejang yaitu bɕtarak. Salah satu tempat bɕtarak yang paling utama yaitu Bukit Kaba. Bukit Kaba sejatinya terbuka untuk umum. Daerah ini adalah kawasan konservasi dan meminta izin kepada petugas di pintu masuk serta melaporkan jumlah pendaki adalah suatu kewajiban. Namun, berdasarkan kisah muning ra-ib, masyarakat Rejang dari Dusun Curup dilarang pergi ke Bukit Kaba untuk menghindari bala.

Berkebalikan dengan diwo atau nyang yang dipuja oleh masyarakat, golongan smat sebaliknya sangat ditakuti, baik karena memakan korban maupun menghuni lokasi-lokasi tertentu di Tanah Rejang. Agar terhindar dari smat, berdoa dan meminta izin atau permisi sebelum memasuki suatu tempat dan atau mengambil sesuatu di alam adalah hal yang wajib dilakukan. Izin dilakukan dengan mengucapkan stabik nik, keme nupang mɕlitas (permisi nenek, kami numpang melintas atau berjalan). Jenis-jenis smat dalam kepercayaan Rejang antara lain sɕbɕi sɕbkɕu, si'amang bi'oa, sumɕi, dan smat la'ut. Beberapa jenis smat yang lain berkedudukan sebagai penunggu atau tunggausuatu tempat. Tunggau yang paling dikenal oleh suku Rejang yaitu Dung Ulau Tujuak atau Ular Kepala Tujuh yang berdiam di srawung atau gua di bawah air Danau Tes, Kabupaten Lebong.

Hutan bagi masyarakat Rejang lama merupakan karunia Tuhan serta sumber penghidupan. Hutan merupakan sumber kayu, madu, dan binatang buruan. Sebagaimana tempat lain, hutan atau imbo ini biasanya didiami oleh hewan jadi-jadian seperti imɕu atau harimau. Bagi masyarakat Rejang, harimau dipandang sebagai jelmaan nenek moyang, sakral, dan tidak boleh dilukai ataupun dibunuh. Harimau dipandang sebagai saudara tua, dipanggil sebagai datuk, ninik, atau puyang.

Distribusi keagamaan suku Rejang
Islam
  
99,5%
Kristen
  
0,25%
Lainnya
  
0,25%
Populasi suku Rejang = 940.000 jiwa

Kepercayaan Masa Kini

Dewasa ini mayoritas suku Rejang memeluk agama Islam. Tidak ada catatan statistik resmi perihal jumlah penganut agama dalam komunitas Rejang masa kini. Perkiraan menyebutkan bahwa hampir 100% masyarakat Rejang memeluk agama Islam. Kebanyakan masyarakat Rejang tidak berafiliasi dengan denominasi Islam tertentu. Namun sebagaimana masyarakat Muslim di Nusantara lainnya, masyarakat Rejang menganut Islam Sunni dengan Mazhab Syafi'i. Organisasi keagamaan Islam yang utama meliputi Muhammadiyah dan NU. Minoritas Tarekat Naqsyabandiyah yang sering diejek sebagai Sulup terdapat di Desa Suka Datang dekat dengan aliran Sungai Musi.

Boleh dikata hampir tidak ada orang Rejang yang beragama selain Islam. Kalaupun ada jumlahnya tak lebih dari beberapa puluh orang saja. Keberadaan pemeluk agama Hindu atau Budha dan Kristen di wilayah kediaman orang Rejang umumnya berkaitan dengan masyarakat pendatang yang melatabelakanginya. Hindu di Tanah Rejang umumnya adalah orang Bali, agama Budha dipeluk oleh keturunan Tionghoa, dan Kristen dipeluk oleh sebagian orang Jawa dan Batak. Islam dipandangi sebagai agama rakyat dan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan pada masa kini. Islam mempengaruhi tata cara pemakaman, penggunaan bahan makanan halal, serta menumbuhkan budaya mengaji di masjid dan tahlilan. Islam diperkirakan masuk ke Tanah Rejang pada abad ke-16 masehi. Islam diperkenalkan oleh orang Minang, Banten, dan Aceh yang telah mengalami Islamisasi lebih dahulu. Sebelum masuknya Islam, disebut-sebut bahwa masyarakat Rejang telah lebih dulu berkenalan dengan agama Hindu yang dibawa dari Tanah Jawa oleh Empat Biku.

Festival

Beberapa festival yang dirayakan oleh masyarakat Rejang, terutamanya Rayo atau Idulfitri, Rayo Ajai atau Iduladha, dan perayaan seputar HUT kabupaten masing-masing serta peringatan HUT RI setiap bulan Agustus. Rayo dan Rayo Ajai merupakan dua perayaan terbesar suku Rejang. Kedua hari besar agama Islam yang sudah dipandang sebagai agama rakyat ini adalah waktu untuk pulang kampung, mengunjungi kerabat, berwisata bersama keluarga, dan mempererat tali silaturrahmi. Malam menyambut Rayo serta Rayo Ajai dirayakan dengan pawai, arak-arakan, dan pertunjukan kembang api dalam skala kecil.

Perayaan HUT kabupaten dan HUT RI adalah dua perayaan yang tidak berkaitan dengan agama tertentu yang banyak dirayakan oleh masyarakat Rejang. Dalam HUT kabupaten, biasanya diadakan pameran UMKM kabupaten bersangkutan serta pertunjukan musik yang mengundang penyai atau artis dari berbagai tempat. HUT kabupaten yang paling besar dilangsungkan bulan Mei tiap tahun di Curup, Rejang Lebong. Sementara HUT RI tiap bulan Agustus diramaikan dengan lomba gerak jalan dan lomba-lomba khas kemerdekaan lain seperti panjat pinang, balap karung, tarik tambang, dan lain-lain.

Seni Bela Diri

Masyarakat Rejang mengenal seni bela diri tradisional sejenis silat. Silat tersebut dikenal dengan nama Silat Pat Petuloi. Silat Pat Petuloi menurut cerita rakyat berasal dari ajaran atau petuah Empat Biku yang membawa peradaban bagi masyarakat Rejang.

Senjata Tradisional

Senjata tradisional masyarakat Rejang kebanyakan jenisnya berupa senjata tajam. Senjata tradisional ini dalam praktik kehidupan sehari-hari bermetamorfosis menjadi perangkat yang dipakai untuk menciptakan berbagai jenis benda yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Senjata tradisional Rejang meliputi tombak yang disebut kujua atau kujuh, parang yang disebut pitat, badik yang disebut badek, keris yang disebut kɕ-is, dan badik melengkung yang mirip kuku harimau, disebut badek slon imɕu".

Penggunaan parang dewasa ini lebih kepada barang bawaan wajib ketika pergi ke kebun. Parang dipergunakan untuk membersihkan belukar, membuat jalan setapak, menebang kayu, dan membuka kelapa. Penggunaan tombak di masa ini sudah semakin jarang. Umumnya dipakai kala menangkap ikan secara tradisional di sungai yang jernih. Keris umumnya dipergunakan dalam seni bela diri silat atau dikeramatkan dan disimpan secara baik di rumah-rumah.

Seni Pertunjukan

Lihat pula

Referensi

Pranala luar


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "note", tapi tidak ditemukan tag <references group="note"/> yang berkaitan