Suku Alor

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Alor
Dia'ang, Dei'ing
Daerah dengan populasi signifikan
Indonesia (Kabupaten Alor)
Bahasa
Alor, Indonesia
Agama
Mayoritas
Kristen
(Protestan dan Katolik)[1]
Kelompok etnik terkait
Abui • Blagar • Nedebang

Suku Alor, disebut juga sebagai Dia'ang atau Dei'ing, adalah kelompok etnis yang mendiami Pulau Pantar, Pura, dan Alor di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.[2] Wilayah asal suku Alor, yakni Kabupaten Alor terdiri atas 5 kecamatan, yakni kecamatan Alor Timur, Alor Barat Laut, Alor Barat Daya, Alor Selatan, dan Pantar. Daerah ini merupakan daerah yang berbukit dan bergunung dengan berbagai tingkat kemiringan.[3] Pada abad ke-17 dan 18, terdapat beberapa kerajaan kecil di Pulau Alor dan Pantar.

Bahasa[sunting | sunting sumber]

Bahasa Alor suku ini dari rumpun Austronesia memiliki banyak ragam bahasa atau dialek, diantaranya Belagar, Denebang, Deing, Mauta, Lemma, Alor, Kabola, Abui, Kawel, Kemang, Kelong, Maneta, Wuwuli, Seboda, Malua, Kramang, Wersin dan Kui.

Ciri-ciri fisik suku Alor[sunting | sunting sumber]

Ada beberapa variasi dari setiap ras, seperti Mongoloid, Negroid dan Polinesia.

  1. Berambut keriting
  2. Kulit hitam
  3. Bahu agak melebar
  4. Tubuh relatif pendek

Mata pencarian suku Alor[sunting | sunting sumber]

Mata pencarian orang Alor ini pada umumnya adalah bertani ladang dengan sistem tebang bakar. Tanaman yang di tanam di ladang tersebut contohnya jagung, padi, ubi kayu, sorgum dan kacang-kacangan. Selain bertani, suku Alor juga menangkap ikan sebagai mata pencarian.

4 Kelompok kerabat suku Alor[sunting | sunting sumber]

  1. Kelompok Hieta yang keanggotaannya dihitung melalui prinsip Patrilineal
  2. Kelompok Fengfala adalah semua keturunan dari saudara ayah-ibu yang lebih tua dari ayah-ibu
  3. Kelompok Nengfala adalah sepupu silang dari pihak ibu
  4. Kelompok keluarga inti yang merupakan inti masyarakat.

Kepercayaan[sunting | sunting sumber]

Mayoritas kepercayaan penduduk Alor adalah Kristen Protestan, setelah itu ada Muslim dan sedikit Kristen Katolik.[1] Tetapi tidak sedikit pula dari masyarakat Alor yang menganut kepercayaan asli paham animisme dan dinamisme yang menyembah:[4]

  1. Larra/Lera yaitu matahari
  2. Wulang yaitu bulan
  3. Neda yaitu sungai bisa disebut juga dewa air
  4. Addi yaitu hutan bisa disebut juga dewa hutan
  5. Hari yaitu laut bisa disebut juga dewa laut.
  6. Penyembahan kepada Tuhan atau Allah disebut (Nayaning Lhahatal) Kepercayaan secara langsung kepada Tuhan.

Kesenian dan kebudayaan suku Alor[sunting | sunting sumber]

Berbagai macam adat serta kebudayaan di kabupaten Alor, mulai dari tarian, koleksi bersejarah, dan suku tradisional yang masih lekat dengan tradisinya. Salah satu tarian dari Alor yang terkenal adalah tarian Lego-Lego yang disebut Sohhe / Darriz merupakan tarian tradisional Alor.[5]

Tarian ini dilakukan secara massal di mana satu dengan lainnya saling bergandengantangan membentuk melingkar sambil mengelilingi tiga batu bersusun yang disebut mesbah dengan mengumandangkan lagu pantun dalam bahasa adat. Biasanya tarian ini dilakukan semalaman dengan diiringi gong dan moko.[5]

tambahan juga dalam setiap ritual maupun ceremonial, suku alor biasanya menyajikan makanan khas yaitu jagung bose dan jagung titi.

Lagu asal suku Alor adalah lagu Eti lola, Handek dan Heelora.

Alat musik tradisional suku Alor[sunting | sunting sumber]

Alor mempunyai alat musik khas yang mirip gendang yang disebut dengan Moko. Alat musik ini biasanya digunakan sebagai alat upacara. Dan merupakan hasil kebudayaan zaman perunggu. Selain itu juga biasa moko dijadikan sebagai belis, mahar atau maskawin.[5]

Masyarakat Alor sangat percaya bahwa moko berasal dari tanah dan hanya dimiliki para bangsawan karena nilainya yang sangat tinggi. Oleh karena itu hampir bisa dipastikan tidak ada masyarakat adat di Nusantara yang mengoleksi moko dalam jumlah banyak seperti suku-suku di Alor.[5]

Adat perkawinan suku Alor[sunting | sunting sumber]

  1. Perkawinan dengan pembayaran belis secara kontan, yang diawali dengan perminangan.
  2. Perkawinan dengan belis yang tidak dibayar kontan
  3. Perkawinan tukar gadis
  4. Perkawinan larii bersama
  5. Perkawinan dengan melarikan sang gadis
  6. Perkawinan untu adalah perkawinan terikat

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b "Jumlah Pemeluk Agama Di Kabupaten Alor". alorkab.go.id. Diakses tanggal 2021-05-20. 
  2. ^ Pemerintah Kabupaten Alor."Sejarah Kabupaten Alor" diakses 19 Januari 2016
  3. ^ Lien, Dwiari Ratnawati (2018). Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  4. ^ Rumah adat takpala Diarsipkan 2016-02-01 di Wayback Machine. diakses 2016-01-19.
  5. ^ a b c d Azis Anwar Hidayat. Suku Alor. Diakses 2016-01-23.