Suku Marori

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Suku Morori)
Marori
Morori
Jumlah populasi
±500[1]
Daerah dengan populasi signifikan
Papua Selatan
Bahasa
Morori
Melayu Papua (lingua franca)
Agama
Kekristenan
Kelompok etnik terkait
Marind

Suku Marori adalah salah satu kelompok etnis yang mendiami wilayah pesisir selatan Kabupaten Merauke tepatnya di Kampung Wasur, Distrik Merauke. Suku ini memiliki banyak kemiripan dengan dengan suku Marind yang lebih besar dan kadang dianggap sebagai sub-suku Marind.[2]

Bahasa[sunting | sunting sumber]

Bahasa Morori atau disebut juga Marori, Moaraeri, Moraori, Morari, adalah bahasa Papua yang hampir mati dari cabang dari keluarga bahasa Kolopom yang merupakan cabang dari Trans–Nugini. Bahasa ini dipisahkan dari bahasa Kolopom lainnya yakni rumpun Marind yang berbeda.[3] Semua penutur menggunakan bahasa ini juga menggunakan bahasa Melayu Papua dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, dan banyak juga yang bisa berbahasa Marind.

Dialek yang punah pada tahun 1997, Menge, dikenang dari penggunaan seremonial.

Bahasa Morori dituturkan di Kampung Wasur yang pada tahun 2010 penduduknya berjumlah 413 jiwa (98 KK) dan 119 jiwa Morori (52 KK).[4]

Kebudayaan[sunting | sunting sumber]

Kolut pere[sunting | sunting sumber]

Pengetahuan lokal masyarakat Marori tentang cara menghormati leluhur rekam jejaknya dimulai dari kolut pere. Kolut pere adalah sebuah istilah dalam bahasa Marori mengenai dua sebutan, sebutan pertama itu berkaitan dengan gundukan ayam hutan. Jenis ayam ini dikenal memiliki dua jenis oleh masyarakat Marori, yakni yanggam dan kata.

Tidak ada penanda hubungan yang spesifik berkaitan dengan pengetahuan lokal mengenai hewan ini tetapi gundukan atau istilah lain untuk sarangnya ini biasa digunakan sebagai simbol bagi pengetahuan lokal. Istilah ini merujuk pada dua hal pokok kolut pere sebagai sarang ayam hutan serta kolut pere sebagai rekam jejak leluhur.[5]

Sar[sunting | sunting sumber]

Suku Marori di Kampung Wasur, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke, mempunyai satu tradisi yang dikenal dengan sebutan sar.

Berbeda dengan praktik kearifan lokal lainnya, sar dilakukan sebagai simbol penghormatan kepada saudara atau keluarga dalam suku Marori yang telah meninggal dunia. Dalam praktiknya, sar merupakan pelarangan pemanfaatan sumber daya perikanan di sungai atau rawa selama 1.000 hari.

Sar memiliki prosesi yang dilakukan dalam beberapa tahapan. Ritual pertama dalam prosesi sar disebut wuyuw. Pihak keluarga yang tengah berduka mengenakan gelang sebagai tanda memulai ritual pantang selama satu pekan. Dalam bahasa lokal, masyarakat menyebut gelang tersebut dengan ureuw.

Dari beberapa tahapan itu, ada beberapa hal yang dapat dijelaskan, seperti misalnya ritual pantang. Ritual ini dimulai dengan mengucapkan janji untuk melaksanakan pantang di makam keluarga yang telah berpulang. Pantang awal dilakukan setelah 40 hari masa berkabung, dengan tidak memakan ikan atau daging yang terkait dengan totem anggota keluarga. Pada hari yang sama, pihak keluarga akan memasang kayu larangan (yarauw) untuk menangkap ikan di sungai atau rawa yang telah disepakati. Prosesi ini disebut yemu.

Dalam perjalanan pulang selepas mengucapkan janji, ritual lain yang harus dilaksanakan adalah terfenjeuw. Pihak keluarga menabur dedaunan untuk menutup jejak anggota keluarga yang telah berpulang. Hal ini bertujuan agar keluarga mengikhlaskan kepergian anggota keluarga yang telah meninggal dunia.

Setelah seminggu berselang, gelang (ureuw) dilepaskan dengan menggelar ritual. Anggota keluarga yang masih hidup bertugas menyiapkan makanan dan minuman yang dipantangkan sebelumnya. Ritual pelepasan gelang dilaksanakan di rumah keluarga yang berduka.

Hasil kebun seperti pisang, tebu, pinang, sirih, dan lainnya, menjadi barang adat yang telah disepakati untuk disediakan dalam ritual pelepasan gelang. Sagu dan umbi-umbian lainnya diolah secara tradisional dengan metode bakar batu. Prosesi ini dikenal dengan istilah sep. pihak keluarga yang mengenakan gelang duduk melingkar selama ritual sep berlangsung.

Sebelum melepaskan gelang, keluarga menyiapkan sebutir kelapa. Kemudian kelapa dibelah sebagai simbol berakhirnya masa pantang. Air kelapa lalu dipercikan ke sekitar anggota keluarga. Kemudian, setiap anggota keluarga mencicipi pantangan yang telah disepakati sebelumnya. Prosesi ini dilakukan secara bergantian. Salah satu anggota keluarga bertugas memberi hidangan yang dipantang kepada anggota keluarga lainnya.

Sepekan setelah prosesi pelepasan gelang, pihak keluarga kembali menabur dedaunan di tempat yang pernah dilalui anggota keluarga yang telah berpulang, seperti di hutan, rawa, atau tempat bekerja.

Prosesi berikutnya disebut dengan ureuw wogib. Tali yang digunakan saat melaksanakan pantang disimpan di hutan sagu atau rawa yang telah disepakati sebagai tempat sar. Dalam prosesi ini, hanya anggota keluarga tertentu yang ditunjuk untuk menyimpan tali dan tidak melibatkan anggota suku Marori lainnya.

Prosesi terakhir merupakan pesta adat yarauw onggi. Pesta ini menandai pencabutan larangan mengambil sumber daya perikanan selama 1.000 hari atau disebut dengan yarauw onggi. Kayu yang menjadi simbol larangan akan dicabut.

Tidak ada sanksi berat bagi seseorang yang melanggar sar. Sanksi yang diberikan hanya berupa teguran atau kewajiban untuk menanggung kebutuhan yang diperlukan saat pesta adat yarauw onggi. Misalnya dengan menyumbang pisang, umbi-umbian, sagu, atau hewan buruan.[6]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Abdel Syah, Katharina (24 Oktober 2021). "Penutur Bahasa Suku Marori Merauke Tersisa 13 Orang". kumparan.com. Diakses tanggal 6 Agustus 2022. 
  2. ^ Aries Munandar (2019). "Misi Menggali Kearifan Suku Marori". jubi.co.id. Diakses tanggal 6 Agustus 2022. 
  3. ^ "New Guinea World, Kolopom". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-09-09. Diakses tanggal 2022-08-06. 
  4. ^ Evans, Nicholas (2018). "The languages of Southern New Guinea". Dalam Palmer, Bill. The Languages and Linguistics of the New Guinea Area: A Comprehensive Guide. The World of Linguistics (dalam bahasa Inggris). 4. Berlin: De Gruyter Mouton. hlm. 641–774. ISBN 978-3-11-028642-7. 
  5. ^ Agustinus Mahuze (28 April 2021). "Status Kepemilikan Pengetahuan Lokal Suku Marori". www.rmolpapua.id. Diakses tanggal 6 Agustus 2022. 
  6. ^ Lutfy Mairizal Putra, Leo Wahyudi (20 Juli 2020). "Sar, Konservasi Perairan Ala Suku Marori". econusa.id. Diakses tanggal 6 Agustus 2022.