Lompat ke isi

Direktorat Jenderal Kebudayaan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi
Gambaran umum
Bidang tugasMenyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kebudayaan, perfilman, kesenian, tradisi, sejarah, cagar budaya, permuseuman, warisan budaya, dan kebudayaan lainnya.
Susunan organisasi
Direktur JenderalHilmar Farid
Sekretaris Direktorat Jenderal KebudayaanFitra Arda
Direktur Perfilman, Musik, dan MediaAhmad Mahendra
Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan KebudayaanIrini Dewi Wanti
Direktur Pelindungan KebudayaanJudi Wahjudin
Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga KebudayaanRestu Gunawan
Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat AdatSjamsul Hadi
Kantor pusat
Komplek Kemdikbud Gedung E Lt.4 Jl. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta 10270
Situs web
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/

Direktorat Jenderal Kebudayaan atau biasa disingkat menjadi Ditjenbud, adalah unit utama di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia yang bertugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kebudayaan.[1]

Untuk mendukung pelaksanaan tugasnya, Direktorat Jenderal Kebudayaan juga memiliki Museum dan Cagar Budaya (Indonesian Heritage Agency), Balai Media Kebudayaan, dan 23 unit Balai Pelestarian Kebudayaan yang tersebar di seantero Indonesia.

Masa Kolonial

[sunting | sunting sumber]

Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen

[sunting | sunting sumber]

Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen adalah salah satu lembaga yang didirikan oleh suatu himpunan masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap kesenian dan kebudayaan. Lembaga ini mendapat pengakuan dan memperoleh subsidi dari Pemerintah VOC dan Pemerintah Hindia Belanda. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen didirikan pada tanggal 24 April 1778 dan memiliki tujuan sebagaimana yang dinyatakan dalam Statuten Pasal 2, “Memajukan pengetahuan-pengetahuan kebudayaan, sejauh hal-hal ini berkepentingan bagi pengenalan kebudayaan di Kepulauan Indonesia dan kepulauan sekitarnya”.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka Genootschap melakukan pemeliharaan museum termasuk perpustakaan; mengusahakan majalah-majalah dan melakukan pengumpulan penulisan-penulisan dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, mengadakan penelitian dan memberikan penerangan-penerangan bagi Pemerintah Hindia Belanda.

Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen berubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia, lalu kemudian berubah menjadi Museum Pusat dan berubah lagi menjadi Museum Nasional.

Bataviaasch Kunstkring

[sunting | sunting sumber]

Bataviaasch Kunstkring atau Lingkarseni Batavia sudah ada sejak tahun 1902 dan mengalami kemunduran, lalu kemudian terbentuk kembali pada tanggal 7 Juli 1914 dengan pendirian Ikatan Musik dan Sandiwara. Tujuan didirikannya lembaga ini adalah untuk memajukan kesenian hias, sei rupa, seni musik dan seni drama di Batavia.

Kegiatan yang dilakukan antara lain mengadakan konser kesenian rakyat, mengadakan pameran-pameran karya seni hias dan rupa, menyelenggarakan ceramah tentang kesusastraan dan seni tari.

Lembaga ini masih terus berjalan sampai masa Pergerakan Nasional sejak awal abad ke-20.

Permuseuman

[sunting | sunting sumber]

Pendirian museum, menghimpun koleksi benda-benda purbakala, keramik, naskah-naskah kuno, numismatik, dan berbagai benda lainnya merupakan salah satu bidang yang menjadi perhatian Genootschap. Salah satu pendiri Genootschap, J.C.M. Rademacher menyumbangkan sebuah rumah di Kalibesar di Kota Lama Batavia dan menyumbangkan sejumlah peralatan ilmu alam, batu-batuan, hasil pertambangan, alat-alat musik dan buku-buku untuk dijadikan museum.[2]

Pada masa Pemerintah Kolonial Inggris (1811-1816) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen berganti nama menjadi Literary Society. Letnan Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles menjadi direksi di lembaga tersebut.

Setelah tahun 1816 ketika Pemerintah Kolonial Belanda kembali menggantikan pemerintahan Inggris, perhatian terhadap kebudayaan semakin meningkat. Nama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen dikembalikan seperti semula.

Pada masa setelah Perang Dunia I Pemerintah Belanda menaruh perhatian terhadap pendirian museum di beberapa daerah di samping yang sudah berdiri di Batavia. Museum-museum yang didirika pada masa sebelum dan sejak masa Pergerakan Nasional diantaranya, Museum Radyo Pustaka di Solo (1894), Museum Zoologi Bogor (1894), Museum Zoologi Bukittinggi (1894), Museum Mojokerto (1912), Museum Rumoh Aceh (1915), Museum Trowulan (1920), Museum Geologi Bandung (1929), Museum Bali (1932), Museum Rumah Adat Banjuang di Bukittinggi (1933), Museum Sonobudoyo di Yogyakarta (1935), dam Museum Simalungun (1938).

Komisi dan Dinas Purbakala (Commissie dan Oudheidkundige Dienst)

[sunting | sunting sumber]

Pemerintah Hindia Belanda melalui Surat Keputusan Pemerintah tanggal 14 Juni 1913 No. 62 membentuk sebuah organisasi permanen yang bernama Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala). Tugas Dinas Purbakala ini tak lain mengadakan inventarisasi dan pengawasan terhadap peninggalan purbakala di Hindia Belanda, merencanakan dan melaksanakan upaya-upaya pemeliharan dan perlindungan, mengadakan penggambaran dan pengukuran dan melakukan penelitian.

Java Instituut

[sunting | sunting sumber]

Javaansche Instituut berdiri pada tanggal 4 Agustus 1919 oleh sebuah himpunan yang mendapat persetujuan Pemerintah. Tujuan pendirian Javaansche Instituut ialah untuk memajukan dan mengembangkan kebudayaan pribumi yang dalam arti luas untuk memajukan kebudayaan Jawa, Madura dan Bali. Dalam perjalanannnya Javaansche Instituut bubar tanggal 4 Agustus 1948.

Selain lembaga-lembaga kebudayaan tersebut, terdapat pula lembaga-lembaga lainnya seperti Vereenigingen (Perhimpunan-Perhimpunan), Volkslectuur (Balai Pustaka, Lembaga-lembaga Pendidikan dan terjadi pula Kongres Kebudayaan yang dimulai tahun 1918 hingga tahun selanjutnya. Kongres tersebut mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kebudayaan.

Masa Pergerakan Nasional

[sunting | sunting sumber]

Lembaga-lembaga Kebudayaan yang didirikan masa Kolonial dan masih diteruskan pada masa Pergerakan Nasional antara lain:

  • Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang berdiri sejak tahun 1778 sampai masa Hindia Belanda, masa Pergerakan Nasional, bahkan sampai masa Kemerdekaan Rl yang dikenal sebagai Museum Nasional dan Perpustakaan Nasional;
  • Museum-museum yang telah didirikan sejak masa Kolonial, selanjutnya masa Pergerakan Nasional bahkan sampai kini ialah: Museum Radya Pustaka, Museum Zoologi di Bogar, Museum Mojokerto, Museum Mangkunegoro, Museum Rumoh Aceh, Museum Trowulan, Museum Geologi Bandung, Museum Bali, Museum Rumah Adat Banjuang di Bukittinggi, Museum Sonobudoyo, Museum Simalungun.
  • Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala) yang didirikan tanggal 14 Juni 1913, diteruskan sampai masa Pergerakan Nasional bahkan sampai masa kemerdekaan termasuk ke dalam struktur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan selanjutnya dewasa ini masuk ke dalam struktur Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata;
  • Javaansche lnstituut yang berdiri tahun 1919 sampai tahun 1948 berdiri pada masa Pergerakan Nasional;
  • Bataviaasch Kunstkring (Lingkar Seni Batavia) yang berdiri sejak tahun 1902, 1914 dan seterusnya dengan ulang tahun ke-30 (1932) juga berkembang masa Pergerakan Nasional;
  • Volkslectuur(Balai Pustaka) yang berdiri sejak tahun 1908 yang berarti berdiri sejak masa Pergerakan Nasional bahkan sampai masa Kemerdekaan dan kini menjadi sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
  • Kongres Kebudayaan.

Masa Jepang

[sunting | sunting sumber]

Pada masa pendudukan Jepang, dibuatlah sebuah Lembaga Kebudayaan bernama Keimin Bunka Shidoso yang didirikan pada tanggal 1 April 1943 yang bertujuan untuk mengawasi kehidupan dan kreativitas para seniman.

Masa Awal Kemerdekaan (1945-1967)

[sunting | sunting sumber]

Pada masa awal kemerdekaan priode 1945–1967, kebudayaan belum menjadi prioritas utama pemerintahan kala itu. Hal ini dibuktikan dengan belum adanya kementerian yang menaungi kebudayaan secara eksplisit maupun inplisit. Namun demikian kebudayaan dimasukkan ke dalam Kementerian Pengajaran. Adapun yang menjabat sebagai Menteri Pengajaran pada kabinet pertama adalah Ki Hajar Dewantara.

Unsur kebudayaan dimasukkan ke dalam instansi pemerintahan pada masa kabinet Syahrir III. Pada masa itu, Menteri Pengajaran dijabat oleh Mr. Suwandi dengan Menteri Muda Pengajaran Ir. Gunarso. Pada masa ini dibentuk lembaga yang menjadi cikal bakal masuknya kebudayaan ke dalam pemerintahan, yaitu Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang diketuai Ki Hajar Dewantara. Dasar Pembentukan dari lembaga ini adalah keputusan Rapat Badan KNIP pada 27 Desember 1945. Hal ini membuktikan bahwa untuk membangun masyarakat dan memperkokoh suatu negara dibutuhkan dukungan dari kualitas manusai di dalamnya.

Nama kebudayaan pertama kali dimasukkan ke dalam instansi pemeritahan secara resmi pada masa Kabinet Moh. Hatta. Nama kementerian Pengajaran diperluas menjadi Kementerian Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan atau disingkat Kementerian PP dan K dengan M. Ali sebagai menteri. Pada 13 Juli 1949, dibentuk tiga jawatan baru di bawah Kementerian PP dan K, yaitu Jawatan Inspeksi Pengajaran, Jawatan Pendidikan Masyarakat, dan Jawatan Kebudayaan.

Adapun struktur organisasi di bawah Jawatan Kebudayaan terdiri atas:

  • Sekretariat
  • Bagian Kesenian
  • Bagian Dokumentasi Sejarah
  • Balai Bahasa
  • Dinas Purbakala

Dengan tugas, yaitu:

  • Mempelajari, memimpin, dan mengembangkan macam-macam kesenian asli yang hidup dalam masyarakat Indonesia;
  • Mendidik guru untuk mengajar dan mengembangkan kesenian, baik di sekolah maupun di luar sekolah, dan menyelenggarakan pembuatan buku-buku pelajaran kesenian dan kebudayaan bagi guru-guru dan murid-murid.
  • Memelihara dan menyempurnakan tumbuhnya Bahasa dan kesusasteraan Indonesia, termasuk Bahasa dan kesusateraan daerah;
  • Memelihara dan menyelidiki bahan-bahan purbakala yang berguna buat sejarah dan kebudayaan Indonesia;
  • Menyelenggarakan pengawasan dan perlindungan atas bangunan-bangunan alam dan bangunan-bangunan kuno sebagai museum nasional;
  • Menyelidiki dan membangun kembali candi-candi dan bangunan-bangunan purbakala lain yang sudah rusak dan memperluas penyelidikan dengan penggalian tanah;
  • Menyelidiki, mengumpulkan, dan memelihara segala peninggalan yang mengandung arti sejarah.

Masa Pembangunan dan Reformasi (1968-1998)

[sunting | sunting sumber]

Kebudayaan dalam Kabinet

[sunting | sunting sumber]

Pada masa Kabinet Ampera I, susunan kabinet mengalami perubahan yang mendasar, yaitu perubahan dari status departemen yang dipimpin oleh seorang Deputi Menteri menjadi sebuah departemen yang dipimpin oleh seoran Menteri. Nomenklatur Kementerian PP dan K berubah menjadi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang merupakan hasil penyatuan dari Departemen Pendidikan Dasar, Departemen Perguruan Tinggi, Departemen Olahraga dan Departemen Kebudayaan. Sarino Mangunpranoto menjabat sebaga menterinya.

Dalam Departemen baru tersebut untuk pertama kali dibentuk lembaga baru yang disebut dengan ‘Direktorat Jenderal’ yang salah satunya adalah Direktorat Jenderal Kebudayaan. Pada saat itu yang ditunjuk sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan adalah Indrosoegondho. Indrosoegondho menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan pertama samai dengan 1 Juni 1968.

Selanjutnya pada masa Kabinet Ampera II nama departemen masih tidak berubah nama dan yang ditunjuk sebagai menteri adalah Sanusi Hardjadinata.

Setelah Soeharto dilantik menjadi Presiden, Kabinet Ampera II diganti menjadi Kabinet Pembangunan I (1968-1973). Dalam susunan Kabinet tersebut, nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih tetap ada dan yang menjabat sebagai menteri adalah Mashuri, SH. Pada masa ini yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan adalah Prof. Dr. Ida Bagus Mantra dan yang menjabat sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal adalah Abas Alibasjah.

Pada masa Kabinet Pembangunan II (1973-1978) yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah Prof. Dr. Syarief Thayeb. Jabatan Direktur Jenderal Kebudayaan masih tetap dijabat oleh Prof. Dr. Ida Bagus Mantra.

Pada masa Kabinet Pembangunan III (1978-1983) yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayan adalah Dr. Daoed Joesoef dan jabatan Direktur Jenderal Kebudayaan dipegang olehh Prof. Dr. Haryati Soebadio. Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan dijabat oleh Drs. Bastomi Ervan.

Pada masa Kabinet Pembangunan IV (1983-1988), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto. Tidak lama menjabat, pada tahun 1986 beliau meninggal dunia, lalu digantikan oleh Prof. Dr. Fuad Hassan. Jabatan Direktur Jenderal Kebudayaan masih tetap dipegang oleh Prof. Dr. Haryati Soebandio, yang berarti menjabat 2 periode, yaitu mulai 1978 hingga 1988.

Pada masa Kabinet Pembangunan V (1988-1993), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tetap dijabat oleh Prof. Dr. Fuad Hassan dans ebagai Direktur Jenderal Kebudayaan dijabat oleh Drs. Gusti Bandoro Pangeran Haryo (GBPH) Poeger.

Pada masa Kabinet VI (1993-1998), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Prof. Dr. Ing Wardiman Djojonegoro hingga tahun 1998. Jabatan Direktur Jenderal Kebudayaan dipercayakan kepada Prof. Dr. Edi Sedyawati dan yang menjabat sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal adalah Drs. Nunus Supardi hingga tahun1998.

Selanjutnya pada tahun 1997 dibentuklah Kabinet Pembangunan VII (1998-2003). Presiden Soeharto menetapkan adanya dua departemen yang memiliki sasaran dan tugas pokok yang sama, yaitu kebudayaan. Pertama, adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), yang ditunjuk sebagai Menteri adalah Prof. Dr. Ir. Wiranto Arismundar dan jabatan Direktur Jenderal Kebudayaan masih tetap dijabat oleh Prof. Dr. Edi Sedyawati dan jabatan Sekretaris Direktur Jenderal Kebudayaan dilanjutkan oleh Dr. Ign Anom sampai dengan 1999. Kedua, Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya (Parsenibud) yang ditunjuk sebagai Menteri adalahh Drs. Abdul Latif. Kabinet ini tidak dapat berfungsi karena kondisi politik dan pemerintahannya yang sedang mengalami krisis menjelang reformasi. Hingga pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto menyampaikan pengunduran diri sebagai Presiden RI.

Gambaran Kelembagaan Kebudayaan

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1969 dikeluarkan Keppres No. 39 Tahun 1969 dan No. 84 tahun 1969 yang mengatur tentang kelembagaan pemerintah yang kemudian melahirkan Kepmendikbud No. 141 tahun 1969 yang menetapkan susunan organisasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan termasuk Direktorat Jenderal Kebudayaan. Susunan organisasi Direktorat Jenderal Kebudayaan secara lengkap ialah: Sekretariat Direktorat Jenderal Kebudayaan; Lembaga Bahasa Nasional (LBN); Lembaga Sejarah dan Antropologi (LSA); Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN); Lembaga Musikologi dan Koreografi (LMK); Direktorat Kesenian; Direktorat Pendidikan Kesenian; Direktorat Museum.

Pada tahun 1971 dilakukan penataan organisasi lagi dan secara khusus dikeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kepmendikbud) No. 060/1971, tanggal 12 Maret 1971 tentang tujuan, kedudukan, tugas pokok, fungsi, susunan dan tata kerja dalam lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Adapun unit-unit yang ada di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan adalah Sekretariat Direktorat Jenderal Kebudayaan; Lembaga Bahasa Nasional (LBN); Lembaga Sejarah dan Antropologi (LSA); Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN); Lembaga Musikologi dan Koreografi (LMK); Direktorat Kesenian; Direktorat Pendidikan Kesenian; Direktorat Museum.

Pada tahun 1974 dikeluarkan Keppres No. 45/1974 dalam Pasal 9, Direktorat Jenderal Kebudayaan dirinci lagi menjadi beberapa unit Eselon II: (1) Sekretariat Direktorat Jenderal Kebudayaan; (2) Direktorat Pembinaan Kesenian; (3) Direktorat Pendidikan Kesenian; (4) Direktorat Museum; (5) Direktorat Sejarah dan Purbakala.

Selanjutnya 4 buah lembaga yang terdapat pada Kepmendikbud No. 060/1974, yakni LBN, LPPN, LSA, dan LMK sesuai dengan pasal 11 diganti menjadi ‘Pusat’ yakni menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, pengganti Lembaga Bahasa Nasional; Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, pengganti Lembaga Sejarah dan Antropologi (LSA); Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (PPPN) pecahan dari Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN); Pusat Pembinaan Perpusatakaan (unit baru) yang kemudian dilebur menjadi Perpustakan Nasional.

Pada tahun 1975 diadakan penataan organisasi kembali. Berdasarkan Kepmendikbud No. 079/O/1975 tanggal 23 April 1975, Direktorat Jenderal Kebudayaan mengalami perubahan nama dan statusnya, menjadi: (1) Sekretariat Direktorat Jenderal Kebudayaan; (2) Direktorat Pembinaan Kesenian; (3) Direktorat Pengembangan Kesenian; (4) Direktorat Museum; (5) Direkorat Sejarah dan Purbakala. Sementara itu pusat-pusat yang berada di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan adalah: (1) Pusat Pembinaan Perpusatakaan; (2) Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa; (3) Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional; (4) Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya; Museum Pusat.

Setelah Keppres No. 45/1974 berjalan 4 tahun, pada tahun 1978 keluar kembali Keppres No. 27 Tahun 1978 tentang perubahan beberapa pasal, termasuk pasal 9 mengenai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pasal 9 yang semula terdiri dari 5 ayat ditambah satu ayat baru, yaitu Ayat (6) yang mengatur tentang hadirnya ‘Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa’ masuk ke dalam jajaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. Selanjutnya berdasarkan Keppres tersebut pada tanggal 30 Juni 1979, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Kepmendikbud No. 0145/O/1979 yang secara khusus menetapkan tentang pembentukan Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Selanjutnya pada tahun 1979 terjadi perubahan organisasi lagi, dan keluarlah Keppres No. 47 tahun 1979. Dengan adanya perubahan tersebut maka yang berada di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan adalah: (1) Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional; (2) Direktorat Kesenian); (3) Direktorat Permuseuman; (4) Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala; (5) Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sementara pusat-pusat yang berada di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan adalah: (1) Pusat Pembinaan Perpusatakaan; (2) Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa; (3) Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Pada tahun 1980 dilakukan reorganisasi kembali dan keluarlah Kepmendikbud No. 0222e/O/1980, tanggal 11 September 1980, tentang Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Kebudayaan. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, terdiri atas: (1) Sekretariat Direktorat Jenderal Kebudayaan; (2) direktorat Kesenian; (3) Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisi; (4) Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala; (5) Direktorat Permuseuman; (6) Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. . Sementara pusat-pusat yang berada di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan adalah: (1) Pusat Pembinaan Perpusatakaan; (2) Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa; (3) Pusat Penelitian Arkeologi Nasional; (4) Museum Nasional; (5) Perpustakaan Nasional.

Sejak dikeluarkannya Kepmendikbud No. 0222e/O/1980 tentang organisasi Direktorat Jenderal Kebudayaan, lembaga kebudayaan menjadi stabil dan tidak mengalami perubahan sampai dengan tahun 1998.

Kebijakan Penataan Kelembagaan dan Aspek Kebudayaan yang Diurus (1966-1998)

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1974 dikeluarkan Keppres No. 44 yang mengatur struktur organisasi setiap departemen dalam bentuk satuan organisasi yang menggambarkan mekanisme kerja dari berbagai satuan organisasi. Hal-hal yang diatur dalam Keppres itu adalah sebagai berikut: (1) Unsur Pimpinan: Menteri; (2) Unsur Pembantu Pimpinan: Sekertaris Jenderal; (3) Unsur Pelaksana: Direktorat Jenderal; (4) Unsur Pengawasan: Inspektorat Jenderal; (5) Unit Organisasi Lain (Pusat-Pusat) dan Staf Ahli; dan (7) Instansi Vertikal.

Direktorat Jenderal sebagai Unsur Pelaksana yaitu sebuah lembaga unsur pelaksana dari sebagaian tugas pokok dan fungsi Departemen yang berada langsung di bawah Menteri. Tugas pokok Direktorat Jenderal adalah melaksanakan sebagian tugas pokok Departemen di bidangnya berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh menteri.

Pada tahun 1973 dilakukan penataan mengenai aspek-aspek budaya yang ditangani. Aspek-aspek tersebut terdapat dalam buku Pokok-pokok Kebijaksanaan Kebudayaan (versi 1973). Dalam buku ini aspek yang menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Kebudayaan mencakup: (1) Kebudayaan Tradional dan Folklore; (2) Politik Bahasa Nasional; (3) Kepurbakalaan dan Permuseuman; (4) Pembinaan Kesenian; (5) dan Pendidikan Kesenian.

Pada tahun 1980 dalam buku Pokok-pokok Kebijakan Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan (versi 1980) unsur-unsur kebudayaan yang menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Kebudayaan adalah: (1) Bidang Kemasyarakatan, yang sasarannya diarahkan pada penanaman kesadaran berbangsa, pengukuhan jati diri dan pendorongan tumbuhnya kebanggaan nasional; (2) Bidang Bahasa; (3)Bidang Kesenian; (4) Bidang Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (5) Bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan.

Pada tahun 1986, Pokok-pokok Kebijakan versi 1980 diperbaiki lagi dan dituangkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Kebudayaan No. 0151/F1.IV/N.86 tanggal 15 Maret 1986 dengan judul Pokok-pokok Kebijakan Pengelolaan Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (versi 1986). Aspek budaya yang ditangani mencakup: (1) Kepurbakalaan; (2) Kesejarahan; (3) Nilai Tradisional; (4) Kesenian; (5) Kebahasaan dan Kesastraan; (6) Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (7) Permuseuman; serta (8) Perpustakaan dan Perbukuan.

Kedelapan unsur kebudayaan itulah yang diterima sebagai ‘definisi kerja’ bagi keberadaan kelembagaan lebudayaan di pemerintahan. Dalam perkembangannya, unsur perpustakaan, perbukuan, arsip, bahasa dan kerja sama kebudayaan berada pada instansi lain bukan dibawah Direktorat Jenderal Kebudayaan lagi.

Tugas Pokok dan Fungsi

[sunting | sunting sumber]

Direktorat Jenderal Kebudayaan menyelenggarakan fungsi:

  1. Perumusan kebijakan di bidang kebudayaan;
  2. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pelestarian cagar budaya dan pemajuan kebudayaan;
  3. Pelaksanaan kebijakan di bidang pelestarian cagar budaya dan pemajuan kebudayaan;
  4. Pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan perfilman nasional;
  5. Perumusan pemberian izin di bidang perfilman;
  6. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pelestarian cagar budaya dan pemajuan kebudayaan;
  7. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pelestarian cagar budaya dan pemajuan kebudayaan;
  8. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal; dan
  9. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Struktur Organisasi

[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Direktorat Jenderal Kebudayaan terdiri atas:

  1. Sekretariat Direktorat Jenderal Kebudayaan
  2. Direktorat Perfilman, Musik, dan Media
  3. Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan
  4. Direktorat Pelindungan Kebudayaan
  5. Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan
  6. Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat

Daftar Direktur Jenderal

[sunting | sunting sumber]
  1. RM. Indro Soegondho (Menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan pada (1966-1968)
  2. Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (Menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan sejak 1968-1978)
  3. Prof. Dr. Haryati Soebadio (Menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan sejak 1978-1988)
  4. Drs. (Gusti Bendoro Pangeran Haryo) GBPH. Poeger (Menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan sejak 1988-1993)
  5. Prof. Dr. Edi Sedyawati (Menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan sejak 1993-1998)
  6. Dr. I Gusti Ngurah Anom (Menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan sejak 1998-1999)
  7. Prof. Kacung Marijan PhD (Menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan sejak 2012-2015)
  8. Hilmar Farid PhD (Menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan sejak 31 Desember 2015-sekarang)<ref>[1]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 28 Tahun 2021" (PDF). Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Diakses tanggal 30 Juli 2024. 
  2. ^ "Ensiklopedia Museum Nasional". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-02. Diakses tanggal 2019-02-15. 

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Supardi, Nunus (2013), Kebudayaan dalam Lembaga Pemerintah dari Masa ke Masa 
  • Supardi, Nunus (2016), Melacak Jejak Direktur Jenderal Kebudayaan