Lompat ke isi

Suku Dayak Tunjung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Suku Tunjung)


Suku Dayak Tunjung
Daerah dengan populasi signifikan
Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur: 76.000
Bahasa
Tunjung ( tjg ), Indonesia
Agama
 • 98% Kristen (Katolik & Protestan).
 • 2% Islam
Kelompok etnik terkait
suku Dayak(Rumpun Ot Danum), suku kutai)

Suku Dayak Tunjung (Tonyooi) adalah suku bangsa yang terdapat di Kabupaten Kutai Barat (24,2%) dan Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur.[1] Dalam wilayah Kabupaten Kutai mereka tersebar dalam sejumlah wilayah kecamatan, misalnya Kecamatan Kota Bangun, Kecamatan Melak, Kecamatan Barong Tongkok, Kecamatan Kembang Janggut, Kecamatan Kenohan dan Kecamatan Muara Pahu. Orang Tunjung ini masih dapat dibagi atas beberapa sub kelompok, misalnya sub kelompok Tunjung Bubut, Tunjung Asli , Tunjung Bahau , Tunjung Hilir, Tunjung Lonokng, Tunjung Linggang, dan Tunjung Berambai.[2]

Suku Dayak Tunjung mendiami kecamatan:[3]

  1. Long Iram, Kutai Barat
  2. Tering, Kutai Barat
  3. Linggang Bigung, Kutai Barat
  4. Barong Tongkok, Kutai Barat
  5. Melak, Kutai Barat
  6. Sekolaq Darat, Kutai Barat
  7. Muara Pahu, Kutai Barat
  8. Mook Manor Bulatn, Kutai Barat
  9. Muara Wis, Kutai Kartanegara
    1. Desa Enggelam, Muara Wis, Kutai Kartanegara
  10. Kembang Janggut, Kutai Kartanegara
    1. Desa Kelekat, Kembang Janggut, Kutai Kartanegara
    2. Desa Bukit Layang, Kembang Janggut, Kutai Kartanegara
    3. Desa Pulau Pinang, Kembang Janggut, Kutai Kartanegara
    4. Dusun Buaq
  11. Kenohan, Kutai Kartanegara
    1. Desa Lamin Telihan, Kenohan, Kutai Kartanegara
    2. Desa Teluk Bingkai, Kenohan, Kutai Kartanegara
    3. Desa Lamin Pulut, Kenohan, Kutai Kartanegara
    4. Dusun Malong
    5. Dusun Pelay

Tonyoi-Benuaq merupakan nama lain dari Tunjung-Benuaq. Kedua Suku Dayak ini merasa tidak terpisahkan baik dari segi sosial dan budaya. Namun sering pula disebutkan secara terpisah yaitu Suku Dayak Tunjung dan Suku Dayak Benuaq. Perbandingan hubungan suku Tunjung dengan suku Kutai, seperti hubungan suku Baduy dengan suku Banten. Suku Kutai dan suku Banten merupakan suku yang hampir seluruhnya memeluk Islam, sedangkan suku Tunjung dan suku Baduy merupakan suku yang teguh mempertahankan religi sukunya.

Sejarah dan Asal Usul Nama Dayak Tunjung

[sunting | sunting sumber]

Tidak ada data tertulis tentang asal usul Suku Dayak Tunjung ini. Kita dapat mengetahui asal usul mereka hanya dari cerita-cerita rakyat dari orang-orang tua yang didapat secara turun temurun.

Konon menurut cerita Suku Dayak Tunjung ini berasal dari dewa-dewa yang menjelma menjadi manusia untuk memperbaiki dunia yang sudah rusak yang terkenal dengan sebutan “Jaruk’ng Tempuq”. Jaruk’ng adalah nama dewa yang menjadi manusia dan Nempuuq atau Tempuuq berarti terbang. Nama suku Dayak Tunjung ini menurut mereka adalah Tonyooi Risitn Tunjung Bangkaas Malikng Panguruu Ulak Alas yang artinya Suku Tunjung adalah pahlawan yang berfungsi sebagai dewa pelindung.

Nama asli suku Tunjung ini adalah Tonyooi. Sedangkan kata Tunjung sendiri dalam bahasa dayak Tunjung adalah “Mudik” atau menuju arah hulu sungai. Ceritanya demikian. Pada suatu hari Seorang Tonyooi Mudik dan bertemu dengan orang Haloq (Sebutan Suku Dayak kepada seseorang yang meninggalkan adat dayak) kemudian Haloq tersebut bertanya pada Tonyooi ingin pergi kemana, kemudian si Tonyooi Menjawab “Tuncuuk’ng”, maksudnya mudik. Orang Haloq lalu terbiasa melihat orang yang seperti ditanyainya tadi disebut “Tunjung” dan hingga sekarang namanya tersebut masih dipergunakan.

Suku Dayak Tunjung tinggal berdampingan dengan suku Dayak Benuaq yang memiliki sejarah yang berkaitan, sebagaimana suku Dayak Benuaq, Dayak Tunjung juga beralih ke Kristen pada awal pertengahan abad ke-19.

Dayak Tunjung yang tinggal dikawasan Kenohan dan Muara Wis di Kutai Kartanegara umumnya merupakan anggota Gereja Kemah Injil Indonesia (Kristen Protestan), sementara di kawasan Kutai Barat sekitar 53.5% menganut Kristen Protestan, 44.5% Menganut Katolik Roma, 1.5% Islam dan 0.5% Kaharingan.

Sistem Kepercayaan

[sunting | sunting sumber]

Sebagian besar anggota masyarakat suku-bangsa ini memeluk agama Kristen dan sebagian lainnya memeluk agama Islam. Namun secara umum mereka masih saja mengadakan hubungan dengan roh-roh berdasarkan sistem kepercayaan leluhurnya. Hubungan dengan roh-roh itu untuk meminta keselamatan, rezeki dan lain-lain. Yang menjadi penghubungan dengan roh-roh itu adalah para dukun (beliatn). Pengaruh Islam dalam religi orang Tunjung tidak begitu berarti. Pengaruh yang tampak misalnya nama dewa tertinggi yang disebut Laraia. Nama itu rupanya berasal dari Allah ta'ala, akan tetapi pengertiannya tidak sama. Dalam mite dan upacara dewa tertinggi itu tidak disebut Laraja, tapi digunakan dalam rangka pembicaraan dengan orang lain.[4]

Sistem Mata Pencaharian

[sunting | sunting sumber]

Mata pencaharian utama orang Tunjung adalah bertani ladang dan sebagian masih merupakan ladang berpindah dengan tanaman pokoknya padi. Di samping itu mereka juga menanam palawija, seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang-kacangan, sayur-sayuran, serta tanaman keras misalnya kelapa, durian, rambutan, cempedak, langsat, dan lain-lain. Sebagai mata pencaharian tambahan mereka menangkap ikan di sungai menggunakan bubu atau alat penangkap ikan tradisional suku dayak, berburu binatang di hutan atau menggunakan jerat, mengumpulkan hasil hutan seperti rotan, damar, tengkawang, sarang burung.[5]

Paguyuban

[sunting | sunting sumber]

Dewasa ini terdapat paguyuban/ormas untuk menyatukan kedua sub-etnis ini yaitu Sempekat Tonyoi Benuaq. STB juga merupakan anggota Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT).

STA (Sempekat Tonyoi ASA), gabungan sepuluh kampung dengan nama akhir asa seperti

  1. Balok Asa
  2. Juhan Asa
  3. Juaq Asa
  4. Ngenyan Asa
  5. Muara Asa
  6. Pepas Asa
  7. Ongko Asa
  8. Asa
  9. Ombau Asa
  10. Geleo Asa
  11. Gemuhan Asa.

Sempekat lainnya ada pula Sempekat Tonyooi Sekolaq yang terdiri dari beberapa kampung: Sekolaq Darat, Sekolaq Joleq, Sekolaq Oday, Sekolaq, Muliaq dan lainnya.


TBBR (Tariu Borneo Bangkule Rajakng) atau yang dikenal dengan sebutan "Pasukan Merah TBBR" adalah organisasi kemasyarakatan (ormas) adat Dayak yang bergerak di bidang pelestarian adat dan budaya, Pasukan Merah TBBR yang di pimpin oleh Panglima Jilah, anggota yang tersebar di seluruh Kalimantan, Serawak (Malaysia) dan Brunei Darussalam.

Orang Tunjung mempunyai bahasa sendiri sebagai bahasa ibu yaitu bahasa Tunjung. Satu sumber menyebutkan bahasa ini terbagi atas lima dialek, yaitu dialek Tunjung Tengah, Tunjung Londong, Tunjung Linggang, Tunjung Berambai dan Pahu. Mereka rata-rata bisa berbahasa Indonesia. Bahasa Kutai dan Banjar merupakan bahasa pergaulan di lingkungan masyarakat Kabupaten Kutai yang juga dikuasai oleh orang Tunjung. Sebagian dari mereka juga memahami bahasa tetangganya yaitu bahasa Benuaq. Bahasa Tunjung dan bahasa Ampanang termasuk kelompok bahasa Barito-Mahakam, yang penyebarannya terbatas di daerah Mahakam.[6]

Walaupun Dayak Tunjung merupakan sebuah sub dari Dayak, namun di dalam Dayak Tunjung itu sendiri terdapat perbedaan logat bahasa dan wujud kebudayaan, tetapi tidak begitu mendasar. Akibat penyebaran ini sehingga terjadi berbagai macam jenis yaitu:

  1. Tunjung Bubut, mereka mendiami daerah Asa, Juhan Asa, baloq Asa, Pepas Asa, Juaq Asa, Muara Asa, Ongko Asa, Ombau Asa, Ngenyan Asa, Gemuhan Asa, Kelumpang dan sekitarnya
  2. Tunjung Asli, Mendiami daerah Geleo (baru dan Lama)
  3. Tunjung Bahau, Mendiami Barong Tongkok, Sekolaq Darat, Sekolaq Muliaq, Sekolaq Oday, Sekolaq Joleq dan sekitarnya.
  4. Tunjung Hilir, mendiami wilayah Empas, Empakuq, Bunyut, Kuangan dan sekitarnya.
  5. Tunjung Lonokng, mendiami daerah seberang Mahakam yaitu Gemuruh, Sekong Rotoq, Sakaq Tada, Gadur dan sekitarnya.
  6. Tunjung Linggang / Tonyooi Rentenukng, mendiami didaerah dataran Linggang seperti Linggang Bigung, Linggang Melapeh, Melapeh Baru, Linggang Bigung Baru, Linggang Amer, Linggang Mapan, Linggang Kebut, Linggang mencelew, Linggang Marimun, Linggang Muara Leban, Linggang Muara Mujan, Linggang Tering, Linggang Jelemuq, Linggang Kelubaq, Linggang Tutung, lakan bilem, intu lingau, muara batuq, Muyub dan wilayah sekitarnya.
  7. Tunjung Berambai, mendiami Wilayah hilir sungai Mahakam seperti Muara Pahu, Abit, Selais, Muara Jawaq, Kota Bangun, Enggelam, Lamin Telihan, Malong, pelay, Kembang Janggut, Kelekat, Buaq, Pulau Pinang, Teluk Bingkai, Lamin Pulut, Bukit Layang.

Sistem Kekerabatan

[sunting | sunting sumber]

Prinsip kekerabatan yang dianut oleh suku dayak tunjung ialah prinsif bilateral, yang menghitung sistem kekerabatan dari pihak pria maupun wanita. Setiap individu termasuk dalam kekerabatan ayah dan ibunya, anak-anaknya mempunya hak dan kewajiban yang sama terhadap keluarga pihak ibu maupun ayah.

Kelompok kekerabatan suku dayak tunjung terikat oleh hubungan kekerabatan yang disebut Purus. Purus dihitung berdasarkan hubungan darah dan hubungan yang timbul melalui perkawinan. Kelompok kekerabatan yang diperhitungkan melalui purus disebut batak. Individu yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dalam suatu kelompok disebut sebatak (batak tai) dan yang bukan disebut batak ulunt.

Adat menetap sesudah nikah berlaku adat utrolokal, sepasang pengantin bebas memilih untuk menetap di lingkungan kerabat suami atau kerabat istri. Kemungkinan lain adalah adat neolokal, artinya bisa berdiam di luar lingkungan kerabat suami atau istri.

Perkembangan desa yang berasal dari sebuah rumah panjang (Luu) masih tetap mengikat penduduk menjadi suatu komunitas desa. Pada masyarakat dayak Tunjung juga terdapat pelapisan sosial yang dibedakan dengan tajam sekali ketika susunan pemerintahan desa adat (zaman lamin kuno) masih berlaku. Hilangnya pelapisan sosial adalah pengaruh masuknya pemerintah belanda kedaerah tempat orang-orang dayak bermukim. Sistem perbudakan yang ada dihapuskan bersamaan dengan pelarangan potong kepala (mengayau) yang dalam bahasa tunjung disebut balaaq.

Susunan pelapisan sosial masyarakat tunjung pada zaman dulu adalah:

  1. Hajiiq, mereka terdiri dari raja beserta keturunannya.
  2. Mantiiq, Pemengkawaaq (pengawal raja) dan mantiiq tatau ( bawahan pemengkawaaq yang berhubungan langsung dengan rakyat) dengan semua keturunanya. Dan termasuk golongan Bangsawan
  3. Merentikaaq Merentawi disingkat merentikaq (golongan merdeka atau golongan biasa) mereka tidak termasuk golongan hajiq ataugolongan hamba sahaya. Golongan merentikaaq ini mempunyai hak untuk menarikan Tarian Calant caruuq, karena mereka keturunan asli dari Sengkereaq.
  4. Ripatn (hamba sahaya), golongan ini mengabdikan diri pada Golongan hajiiq.

Organisasi Lain

[sunting | sunting sumber]

Di daerah Tunjung Benuaq terdapat beberapa organisasi kepemudaan seperti:

  1. KPADK (Komando Pertahanan Adat Dayak Kalimantan)
  2. LPADKT (Laskar Pertahanan Adat Dayak Kalimantan Timur)
  3. Punggawa
  4. dll

Tokoh-tokoh Suku Dayak Tunjung

[sunting | sunting sumber]
  • Dr. Yurnalis Ngayoh (alm), mantan Gubernur Kalimantan Timur.
  • Mgr. J. Husin, MSF (alm) Uskup Palangkaraya.
  • Mgr. F. Sului, MSF (alm) Uskup Samarinda.
  • Ismael Thomas, mantan Bupati Kabupaten Kutai Barat 2006 - 2011, 2011 - 2016, anggota DPR RI periode 2019-2024.
  • Y. Dullah, Ketua Presidium Dewan Adat, Kutai Barat.
  • Drs Thomas Edison M.Si., Dirjen Bimas Kristen Protestan Depag RI jakarta
  • Prof. Dr. Laurentius Dyson P, (alm) Dosen Pasca Sarjana UNAIR Surabaya
  • Kolonel Yohanes Ubad, mantan Mawil hansip Bankalan Madura (almarhum)
  • Dr. Michael Elias Malat (almarhum), mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan ketua LPPM Universitas Pelita Harapan, Tangerang (Jakarta)
  • Samsudin Malat, Saudagar/Pengusaha di Jakarta (almarhum)
  • Yahya Ibung, SH., tokoh Dayak Tunjung di Balikpapan
  • Dr. Melki Kamuntik, M.Pdk., Kepala Bimas Kriten Protestan Kaltim
  • Dr. Samson, Dosen Unmul Samarinda
  • Dr.Theresia Malat, Dosen Unmul Samarinda
  • Dr. Adrianus Inu Natalisanto Ngayoh, Dosen Unmul Samarinda dan salah satu pemenang Penghargaan Publikasi Ilmiah Internasional 2016 (http://www.lpdp.kemenkeu.go.id/wp-content/uploads/2016/05/PPII-Batch-1-2016-2.pdf) Diarsipkan 2016-05-27 di Wayback Machine.
  • Maria Margareta Puspa Rini, SE, Anggota DPRD Kaltim
  • Drs. Thamus Bodjer MM Wakil Ketua STB Kaltim
  • Drs. Y. Lahajir, M. Hum guru besar antropologi Gajah Mada. (Alm)
  • Jackson Jhon Tawi (Alm) Ketua DPRD Kubar.
  • Ekti Imanuel Anggota DPRD Provinsi. Kaltim priode 2019-2024.
  • Ridwai Ketua DPRD Kubar priode 2020-2024 menggantikan J. Jhon Tawi.
  • Abed Daniela Malat S.Pd., CSCM Tokoh pemuda, pembina 'Komunitas Skateboard Ambon'. Pengusaha dan Profesi Logistic.
  • Paulus Adam, S.H., MK.n Notaris Kota Samarinda (Wakil Ketua Umum STB)

Masyarakat kampung orang Tunjung ini biasanya tergolong dalam satu kesatuan genealogis. Kampung-kampung semacam itu biasanya mudah mengenalnya, karena nama dari kampung itu berawal atau berakhir dengan sebutan yang sama. Nama-nama seperti itu tampak pada kelompok Asa, misalnya kampung Muara Asa, Juhan Asa, Ombau Asa, Galeo Asa, Ongko Asa, Balok Asa, dan Ngenyan Asa. Pada kelompok lain nama kampung dimulai dengan Sekolaq, misalnya Sekolaq Darat, Sekolaq Jol aq, Sekolaq Mulia, dan Sekolaq Oday.

Kelompok Tunjung ini memiliki jenis-jenis ekspresi akan keindahan, misalnya seni suara. Sebuah nyanyian bernama bedoneq merupakan nyanyian yang diturunkan dari generasi sebelumnya dengan tidak diiringi alat musik. Liriknya berisi sindiran antara pria dan wanita yang sedang dimabuk cinta. Nyanyian ini dibawakan pada saat ada pesta. Doneq lagu tradisional yang dibawakan oleh muda mudi yang sedang menjalin rasa cinta kasih. Tari-tarian yang terkenal di kalangan mereka adalah tari Jepen Tungku, Jepen Tali , Jepen Sidabil.

Mereka pun mengenal seni musik dengan instrumen-instrumen yang disebut klenrangan terdiri dari beberapa gong dan sejenis bonang (pompong). Pada mulanya instrumen ini terbuat dari kayu tetapi kemudian dibuat dari logam. lnstrumen ini diperkirakan berasal dari Jawa pada saat kerajaan Kutai mengadakan hubungan dengan Majapahit. Mereka menghasil karya seni berupa patung-patung. Ada patung berukuran kecil sebagai jimat misalnya untuk menolak penyakit. Patung yang lain berukuran besar sampai mencapai empat meter, misalnya patung belontakng, yang mengekspresikan lambang-lambang, yang digunakan dalam rangka suatu upacara. Patung ini bermotif manusia dengan bermacam-macam ekspresi wajah dan ada yang disertai hiasan di pundak.

Lagu Dayak Tunjung

[sunting | sunting sumber]
  • Tonau
  • Waweq daraaq
  • Waweq BataK Umaq
  • Asangk Pejaai
  • Asakng Aur sion Lingooq
  • Bujakng Pelegaq
  • Besukaar Tonar Nataar
  • Borneo
  • Kinu Kempunaan
  • Tuaaq Terunaaq
  • Potah
  • Merutuh
  • Nasihat Tonaar Belupm

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ [1]Diarsipkan 2014-05-18 di Wayback Machine. Diarsipkan 2014-05-18 di Wayback Machine. Diarsipkan 2014-05-18 di Wayback Machine. Diarsipkan 2014-05-18 di Wayback Machine. Diarsipkan 2014-05-18 di Wayback Machine. Diarsipkan 2014-05-18 di Wayback Machine. Diarsipkan 2014-05-18 di Wayback Machine. Diarsipkan 2014-05-18 di Wayback Machine. Diarsipkan 2014-05-18 di Wayback Machine. (Inggris) Michaela Haug, Poverty and Decentralisation in East Kalimantan, Centaurus Verlag & Media KG, ISBN 3-8255-0770-X, 9783825507701.
  2. ^ Melalatoa, Junus (1995). Ensiklopedi Bangsa Di Indonesia. CV. EKA PUTRA. hlm. 898. 
  3. ^ https://archive.today/20120709203636/kutaihulu.blogspot.com/2010/08/sejarah-dayak-tunjung-tonyooi.html
  4. ^ Melalatoa, Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia. CV. EKA PUTRA. hlm. 900. 
  5. ^ Melalatoa, Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia. CV. EKA PUTRA. hlm. 899. 
  6. ^ Melalatoa, Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia. CV. EKA PUTRA. hlm. 899. 


Pranala luar

[sunting | sunting sumber]