Lompat ke isi

Masjid Gedhe Kauman

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Masjid Gedhe Kauman
ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀ꦒꦼꦝꦺꦏꦲꦸꦩ꧀ꦩꦤ꧀
مسجد ݢڞي كاومان
Tampak depan Masjid Gedhe Kauman
PetaKoordinat: 7°48′14.20614″S 110°21′45.19926″E / 7.8039461500°S 110.3625553500°E / -7.8039461500; 110.3625553500
Agama
AfiliasiIslam
ProvinsiDaerah Istimewa Yogyakarta
Lokasi
LokasiYogyakarta
NegaraIndonesia
Arsitektur
ArsitekKyai Wiryokusumo
TipeMasjid
Gaya arsitekturTajug lambang teplok
Rampung29 Mei 1773
Spesifikasi
Kubah1 (mustaka)
Menara0
Situs web
mesjidgedhe.or.id

Masjid Gedhe Kauman (bahasa Jawa: ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀ꦒꦼꦝꦺꦏꦲꦸꦩ꧀ꦩꦤ꧀), dikenal sebagai Masjid Agung Daerah Istimewa Yogyakarta, adalah masjid utama Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun Utara.

Masjid Gede Kauman dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat (penghulu kraton pertama) dan Kyai Wiryokusumo sebagai arsiteknya. Masjid ini dibangun pada hari Ahad Wage, 29 Mei 1773 M atau 6 Rabiulakhir 1187 H.[1] Pendirian masjid ini menegaskan identitas Kerajaan Yogyakarta sebagai kerajaan Islam yang tetap mempertahankan nilai-nilai budaya Jawa. Lokasinya yang strategis, terletak di sebelah barat Alun-Alun Utara dan berdekatan dengan Keraton Yogyakarta, mencerminkan konsep tata ruang tradisional Jawa di mana masjid, pusat pemerintahan, dan pusat ekonomi berada dalam satu kawasan.

Masjid Gedhe Kauman menampilkan arsitektur tradisional Jawa dengan atap bersusun tiga yang dikenal sebagai Tajug Lambang Teplok. Desain ini melambangkan tiga tahapan dalam pencapaian kesempurnaan hidup manusia: syariat, hakikat, dan ma'rifat. Pada puncak atap terdapat mustaka berbentuk daun kluwih dan gadha yang melambangkan keistimewaan bagi individu yang telah mencapai kesempurnaan hidup dan keesaan Allah. Selain itu, masjid ini dikelilingi oleh tembok tinggi dengan gerbang utama di sisi timur yang dikenal sebagai gapura Semar Tinandu, melambangkan tokoh Semar yang memberikan perlindungan dan teladan bagi para raja dan kesatria.

Sejak didirikan, Masjid Gedhe Kauman telah mengalami beberapa kali pengembangan dan renovasi. Pada tahun 1775, serambi masjid dibangun untuk menampung jumlah jamaah yang semakin meningkat. Serambi ini berbentuk limasan persegi panjang terbuka dan berfungsi sebagai ruang serbaguna. Di sisi utara dan selatan halaman masjid, dibangun dua ruang pagongan yang digunakan untuk menempatkan gamelan saat perayaan Sekaten, sebuah tradisi yang masih dilestarikan hingga kini. Pada tahun 1867, setelah gempa bumi yang melanda Yogyakarta, serambi masjid diperluas dua kali lipat dari ukuran semula untuk mengakomodasi kebutuhan jamaah. Renovasi lainnya dilakukan pada tahun 1933 dengan merombak atap masjid untuk memperkuat struktur dan estetika bangunan.

Masjid Gedhe Kauman merupakan simbol akulturasi antara budaya Jawa dan Islam. Hal ini tercermin dari berbagai ornamen dan struktur bangunan yang menggabungkan unsur-unsur seni Jawa klasik dengan nilai-nilai Islam. Misalnya, penggunaan atap tajug bersusun tiga melambangkan konsep spiritualitas dalam Islam, sementara ukiran-ukiran pada tiang dan dinding masjid mencerminkan keindahan seni ukir tradisional Jawa. Selain itu, adanya kolam atau blumbang yang mengelilingi serambi masjid berfungsi untuk membersihkan kaki sebelum memasuki area utama, mencerminkan pentingnya kesucian dalam ajaran Islam sekaligus mengikuti tradisi lokal.

Arsitektur

[sunting | sunting sumber]

Masjid Gede Kauman dikelilingi oleh tembok tinggi. Gerbang utama kompleks terdapat di sisi timur dengan konstruksi semar tinandu. Arsitektur bangunan induk berbentuk tajug persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga dilengkapi mustaka sebagai kubah puncaknya. Untuk masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi dalam bagian barat terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, mihrab (tempat imam memimpin salat), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura. Pada zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini sultan melakukan ibadah. Serambi masjid berbentuk limas persegi panjang terbuka.[1]

Lantai ruang utama dibuat lebih tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi terdapat kolam kecil. Pada zaman dahulu kolam ini berfungsi untuk mencuci kaki orang yang hendak masuk masjid.[2]

Di depan masjid terdapat sebuah halaman yang ditanami pohon tertentu. Di sebelah utara dan selatan halaman (timur laut dan tenggara bangunan masjid raya) terdapat sebuah bangunan yang agak tinggi yang dinamakan Pagongan. Pagongan di timur laut masjid disebut dengan Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan yang berada di tenggara disebut dengan Pagongan Kidul (Pagongan Selatan). Saat upacara Sekaten, Pagongan Ler digunakan untuk menempatkan gamelan sekati Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga dan Pagongan Kidul untuk gamelan sekati KK Guntur Madu.[1]

Di barat daya Pagongan Kidul terdapat pintu untuk masuk kompleks masjid gede yang digunakan dalam upacara Jejak Bata pada rangkaian acara Sekaten setiap tahun Dal.[3] Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi kangjeng kyai pengulu di sebelah utara masjid dan pemakaman tua di sebelah barat masjid.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c Basral, Akmal Nasery (2010). Sang pencerah : novelisasi kehidupan K.H. Ahmad Dahlan dan perjuangannya mendirikan Muhammadiyah (Edisi Cet. 1). Jakarta: Mizan Pustaka. ISBN 978-7-974335-96-3. OCLC 657224128.
  2. ^ Islam dan disabilitas : dari teks ke konteks. Arif Maftuhin (Edisi Edisi pertama). Yogyakarta. 2020. ISBN 978-623-7177-42-5. OCLC 1243032837. Pemeliharaan CS1: Lain-lain (link) Pemeliharaan CS1: Lokasi tanpa penerbit (link)
  3. ^ Jandra, M. (1991). Perangkat/alat-alat dan pakaian serta makna simbolis upacara keagamaan di lingkungan Keraton Yogyakarta. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)