Situs Warungboto

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pesanggrahan Warungboto
ꦥꦱꦁꦒꦿꦲꦤ꧀ꦮꦫꦸꦁꦧꦠ
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Cagar budaya Indonesia
KategoriBangunan
No. RegnasBelum ada
(Pengajuan 18 Desember 2013)
Lokasi
keberadaan
Jalan Veteran No. 77, Kalurahan Warungboto, Kemantrén Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
PemilikKesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
PengelolaBalai Pelestarian Cagar Budaya Kota Yogyakarta

Situs Warungboto, Umbul Warungboto, atau Pesanggrahan Warungboto (Jawa: ꦥꦱꦁꦒꦿꦲꦤ꧀ꦮꦫꦸꦁꦧꦠ, translit. Pasanggrahan Warungbata) adalah kompleks situs cagar budaya yang secara administratif meliputi dua wilayah kemantrén berbeda, yaitu Kalurahan Rejowinangun di Kemantrén Kotagede dan Kalurahan Warungboto di Kemantrén Umbulharjo. Bangunan utama pesanggrahan tersebut yang tersisa saat ini terletak di Jalan Veteran No. 77, Kalurahan Warungboto, Kemantrén Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Sementara itu, bangunan yang tersisa di Kalurahan Rejowinangun adalah benteng pesanggrahan di sebelah timur Sungai Gajah Wong. Situs ini memiliki nama asli Pesanggrahan Rejawinangun, yang berfungsi sebagai sebuah pesanggrahan dan pemandian.

Situs tersebut mulai dibangun oleh Gusti Raden Mas Sundara ketika menjadi putra mahkota Hamengkubuwana I sampai dengan masa pemerintahannya memerintah kesultanan. Beberapa sumber primer seperti Tidjschriff voor Nederlandsch Indie, Serat Rerenggan, dan Babad Momana menyebutkan bahwa pesanggrahan ini mulai dibangun sejak tahun 1711 Jawa atau 1785 Masehi. Bangunan situs ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu bangunan di sebelah barat dan timur Sungai Gajah Wong. Situs tersebut didirikan di sisi barat dan sisi timur sungai dengan memanfaatkan tangga bertingkat sungai, antara kompleks bangunan yang berada di sisi timur dengan bangunan yang berada di sisi barat sungai memiliki sumbu imajiner yang membujur dari timur ke barat. Selain itu, situs itu juga dilengkapi dengan kolam, taman, dan kebun layaknya sebuah pesanggrahan secara umum. Hal ini dikarenakan fungsinya berkaitan dengan kenyamanan dan ketenangan sultan dan kerabatnya.

Situs ini secara geografis dan ekologis mempunyai tingkat keterancaman yang tinggi, khususnya bencana alam gempa bumi. Sepanjang sejarahnya, ada dua gempa besar yang menyebabkan beberapa bagian bangunan situs ini rusak, yaitu pada 10 Juni 1867 dan 27 Mei 2006. Sebelum selesai direnovasi dan dipugar oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) D.I. Yogyakarta pada 23 Desember 2016, situs itu hanyalah reruntuhan dan puing bangunan yang kurang terawat. Namun, saat ini bangunan tersebut dapat dikunjungi oleh para wisatawan. Situs ini mulai populer ketika Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution melakukan sesi foto pra nikah di tempat ini pada 27 Oktober 2017.

Asal-usul[sunting | sunting sumber]

Sebagaimana dijelaskan oleh Merle Calvin Ricklefs, eksistensi pesanggrahan-pesanggrahan yang ada di Yogyakarta (termasuk Pesanggrahan Warungboto) tidak dapat dipisahkan dari pendirian Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.[1] Sebagai akibat dari penandatanganan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang dilakukan oleh Nicolaas Hartingh (wakil Vereenigde Oostindische Compagnie) yang didampingi oleh C. Donkel, J.J. Steenmulder, W. Fockens, dan W. van Ossenberch; Raden Mas Suryadi (wakil Kesultanan Mataram); dan kelompok Raden Mas Sujana, wilayah dari Kesultanan Mataram kemudian dibagi menjadi dua bagian, yaitu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (wilayah Mataram asli) yang diperintah oleh Raden Mas Sujana atau Pangeran Mangkubumi (di kemudian hari bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah) dan Kesunanan Surakarta Hadiningrat (wilayah di sebelah timur Sungai Opak yang saat ini melintasi daerah Prambanan) yang diperintah oleh Raden Mas Suryadi (di kemudian hari bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana III).[2][3]

Berdasarkan penelusuran berbagai literatur yang dilakukan oleh Notosuroto, Hamengkubuwana I diketahui mendirikan keraton dengan berbagai sarana dan prasarana untuk mendukung eksistensi kekuasaan kerajaannya.[3][4] Terkait kebijakan tersebut, Purwadi menguraikan beberapa pembangunan yang dilakukan atas perintah dari Hamengkubuwana I antara lain cepuri (benteng keliling yang berada di dalam keraton) dan baluwarti (benteng keliling yang berada di luar keraton), pesanggrahan, jagang, dan permukiman bagi para abdi dalem.[5][6] Priyono memperjelas bahwa beberapa pesanggrahan di Yogyakarta yang dibangun atas perintah dari Hamengkubuwana I, yaitu Pesanggrahan Ambarketawang, Pesanggrahan Krapyak, dan Pesanggrahan Taman Sari. Lebih lanjut, Priyono mensinyalir alasan dari pembangunan pesanggrahan-pesanggrahan tersebut sebagai salah satu aspek pertahanan karena lokasinya secara tidak langsung akan memberikan pelindungan kepada keraton.[7]

Kondisi Situs Warungboto sekitar tahun 1935.

Pembangunan yang dilakukan oleh Hamengkubuwana I itu lantas diteruskan oleh Gusti Raden Mas Sundara (putra kelima Hamengkubuwana I dari permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Hageng atau G.K.R. Kadipaten, yang kemudian naik takhta dengan gelar Hamengkubuwana II pada Maret 1792). Ketika menjadi putra mahkota sampai dengan masa pemerintahannya memerintah kesultanan, dia sudah mulai membangun beberapa pesanggrahan, yaitu Pesanggrahan Cendonosari, Pesanggrahan Kanigoro, Pesanggrahan Kwarasan, Pesanggrahan Madya Ketawang, Pesanggrahan Madyatawang, Pesanggrahan Ngarjokusumo, Pesanggrahan Pelem Sewu, Pesanggrahan Pengawatrejo, Pesanggrahan Purworejo, Pesanggrahan Rejakusuma, Pesanggrahan Samas, Pesanggrahan Sonopakis, Pesanggrahan Sonosewu, Pesanggrahan Tanjungtirto, Pesanggrahan Tlogo Ji, Pesanggrahan Toya Temumpang, Pesanggrahan Warungboto, dan Pesanggrahan Wonocatur (Gua Siluman).[8][9][10] Hal inilah yang menyebabkan dirinya disebut oleh Ricklefs sebagai “raja pembangunan besar” dalam tradisi seorang raja Jawa.[11][12][13]

Beberapa sumber primer seperti Tidjschriff voor Nederlandsch Indie yang ditulis oleh J.F. Walrofen van Nes pada 1884, Serat Rerenggan, dan Babad Momana menyebutkan bahwa Pesanggrahan Warungboto mulai dibangun sejak tahun 1711 Jawa atau 1785 Masehi oleh Hamengkubuwana II.[8][14] Babad Momana menuliskan tahun pembuatan pesanggrahan ini, yaitu 1711 tahun Dal, Kangjeng Gusti awit yasa ing Rejawinangun,[6][15] sedangkan Serat Rerenggan berbentuk sekar sinom menyebutkan sebagai berikut.[16]

Njeng Sultan Ngayogyakarta, kang Jumeneng kaping kalih, duk taksih kadipaten, yasa lelangen di luwih, lan winangun, nama Ji, klangenan Rejawinangun. Lawan Rejakusuma....[16]

Berdasarkan keterangan dalam serat tersebut, dapat diketahui lebih lanjut mengenai beberapa pesanggrahan yang dibangun oleh Hamengkubuwana II. Pesanggrahan Rejawinangun dan Rejakusuma dibangun ketika Hamengkubuwana II masih menjadi putra mahkota,[17] sedangkan Pesanggrahan Purworejo, Cendonosari, dan Wonocatur dibangun setelah naik takhta sebagai sultan.[16] Sebagai salah satu lokasi peristirahatan, pesanggrahan tersebut juga pernah dikunjungi oleh Jan Greeve (Dewan Luar Biasa Hindia Belanda, Gubernur dan Direktur di Pantai Timur Utara Jawa Noord-Oost-Kust) pada 5–15 Agustus 1788.[18][19] Inspeksi yang dilakukannya bersamaan dengan benteng baluwarti keraton.[20] Selain itu, dia juga mengunjungi reruntuhan batu yang berada di gugusan Candi Prambanan.[8][21] Selain digunakan sebagai tempat pemandian dan peristirahatan,[22][23] Tim Peneliti Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada mensinyalir bahwa pesanggrahan tersebut juga pernah digunakan untuk latihan perang Langenkusumo (prajurit wanita keraton) pada masa pemerintahan Hamengkubuwana II.[12][18]

Keadaan umum[sunting | sunting sumber]

Denah Situs Warungboto secara keseluruhan.

Kompleks situs ini secara administratif meliputi dua wilayah kemantrén yang berbeda, yaitu Kalurahan Rejowinangun di Kemantrén Kotagede dan Kalurahan Warungboto di Kemantrén Umbulharjo.[18] Bangunan utama pesanggrahan tersebut yang tersisa saat ini dikenal dengan nama Situs Warungboto dan terletak di Jalan Veteran No.77, Kalurahan Warungboto, Kemantrén Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.[24][25] Sementara itu, bangunan yang tersisa di Kalurahan Rejowinangun adalah benteng pesanggrahan di sebelah timur Sungai Gajah Wong serta SD Rejowinangun I dan II. Hal inilah yang menyebabkan situs ini juga dikenal dengan nama Pesanggarahan Rejawinangun.[18] Penamaan itu didasarkan kepada dua suku kata, yaitu reja yang berarti "sejahtera" dan winangun yang berarti "membangun" atau "mendirikan". Namun, ada juga yang mengartikan reja adalah "subur" atau "baik", sedangkan winangun adalah "membangun menjadi lebih baik". Oleh karena itu, Rejawinangun bisa diartikan "membangun menjadi lebih baik dan sejahtera".[26]

Patung ular naga di Situs Warungboto.

Situs ini secara keseluruhan berbatasan langsung dengan permukiman penduduk, sedangkan sisi sebelah timur bangunan utama berbatasan dengan Sungai Gajah Wong dan sisi sebelah baratnya berbatasan dengan Jalan Veteran.[8] Arsitektur bangunannya sekilas mirip dengan Taman Sari,[27] yaitu memiliki struktur bangunan dengan lorong-lorong pintu dan jendela yang sebagian memiliki aksen lengkung di bagian atasnya, meskipun sisa-sisa bangunannya saat ini hanya tinggal sebagian saja. Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan oleh BPCB D.I. Yogyakarta, dapat diketahui jika situs itu dibangun dengan menggunakan batu bata (tanpa struktur kayu), seperti halnya bangunan Taman Sari yang berdinding tebal.[28] Selain itu, kompleks situs ini juga terdiri atas pagar keliling dan bangunan pesanggarahan.[8] Observasi yang dilakukan oleh Sugianti memperjelas bahwa di dalam situs tersebut terdapat tuk umbul (mata air) yang berfungsi sebagai tempat mandi keluarga keraton.[29] Menurut pengageng (pejabat) keraton bernama Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Jatiningrat, sumber mata air yang ditemukan di situs tersebut memperkuat bukti bahwa tempat itu awalnya adalah sebuah pemandian.[24] Namun, bangunan ini hanya berupa reruntuhan dan kondisinya memprihatinkan pada 2014.[29]

Situs tersebut didirikan di sisi barat dan sisi timur Sungai Gajah Wong dengan memanfaatkan undak-undakan (tangga bertingkat) sungainya,[30] antara kompleks bangunan yang berada di sisi timur dengan bangunan yang berada di sisi barat sungai memiliki sumbu imajiner yang membujur dari timur ke barat.[31][32] Menurut data dari BPCB D.I. Yogyakarta, situs ini juga dilengkapi dengan kolam, taman, dan kebun layaknya sebuah pesanggrahan secara umum.[28] Hal ini dikarenakan fungsinya berkaitan dengan kenyamanan dan ketenangan.[33] Antara kompleks bangunan di sisi barat sungai dengan sisi timur dihubungkan dengan jembatan dan taman air. Area taman tersebut di dalamnya terdapat dua buah air mancur berbentuk patung ular naga di sisi utara dan selatan jembatan. Dahulu, air yang keluar dari dalam mulut patung tersebut diambil dari mata air yang dialirkan melalui sepanjang badan ular. Kondisi mata air tersebut kini telah kering, sehingga mulut patung ular naga tidak lagi mengeluakan air.[34]

Bangunan di sebelah barat sungai[sunting | sunting sumber]

Kondisi kompleks bangunan di sisi barat dan timur yang dipisahkan oleh Sungai Gajah Wong sekitar tahun 1935.

Kompleks bangunan di sisi barat Sungai Gajah Wong merupakan bagian belakang Pesanggrajan Rejawinangun yang masih meninggalkan bukti fisik yang cukup banyak.[34] Sisa bangunan yang berada di sisi barat sungai secara administratif berada di Kalurahan Warungboto. Hal inilah yang menyebabkan peninggalan kuno tersebut juga disebut dengan nama Umbul Warungboto (selanjutnya dalam penyebutannya digunakan istilah Pesanggrahan Warungboto).[35] Bangunan itu terdiri atas bangunan inti yang berada di dalam pagar keliling, serta terdapat ruang utama yang merupakan pusat kesakralan. Bangunan tersebut diindikasikan sebagai ruang pemujaan. Selain itu, bangunan ini merupakan kompleks bangunan berkamar dengan halaman berteras dan dua kolam pemandian yang airnya berasal dari umbul. Kedua kolam berdinding batu bata tersebut berbentuk bundar dan segi empat dengan perekat dan lepa.[36]

Kolam pertama terletak di bagian barat berbentuk lingkaran berdiameter + 4,5 meter dan memiliki sumber pancuran air di bagian tengahnya. Sementara itu, kolam kedua terletak di sebelah timur kolam pertama berbentuk bujur sangkar dengan ukuran sisi + 10 meter x 4 meter.[37] Sumber air di kolam kedua ini berasal dari kolam pertama yang dialirkan melalui sebuah saluran terbuka yang menghubungkan kolam pertama dan kedua. Kedua kolam tersebut dikelilingi oleh bangunan bertingkat dengan sejumlah ruangan berjendela berbentuk persegi panjang. Selain itu, juga terdapat bangunan sayap utara dan sayap selatan yang dirancang secara simetris, yang terdiri atas beberapa kamar dan juga bangunan pendapa.[36] Keberadaan beberapa unsur bangunan yang berintegrasi dengan unsur air di kompleks ini sering diidentifikasikan sebagai sebuah taman, yaitu area pribadi milik sultan dan kerabatnya dengan ciri tembok keliling yang tinggi.[38][39][40]

Bangunan di sebelah timur sungai[sunting | sunting sumber]

Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti mengenai pemanfataan kompleks bangunan yang berada di sisi timur Sungai Gajah Wong, tetapi hingga tahun 1936 masih terlihat jika kompleks bangunan yang berada di sisi timur sungai terbagi menjadi tiga kompleks yang membujur dari utara hingga selatan dengan pagar keliling, serta dihubungkan oleh jalan berpagar selebar + 30 meter.[34] Struktur permukaan tanah kompleks bangunan yang berada di sisi sebelah timur sungai lebih rendah jika dibandingkan dengan permukaan tanah kompleks bangunan yang berada di sisi sebelah barat.[32] Bagian ini memiliki kolam berbentuk huruf “u”, yang juga berdinding batu bata dengan ukuran panjang + 6 meter, tinggi + 3 meter, dan tebal + 60 sentimeter.[28] Terdapat sisa pot bunga berukuran besar di salah satu sudut kolam bagian ini yang juga terbuat dari batu bata, sedangkan di bagian utara dan selatan bangunan masing-masing terdapat patung burung beri.[36]

Kerusakan[sunting | sunting sumber]

Menurut sumber-sumber kepustakaan abad 19, kerusakan situs ini dalam skala besar terjadi ketika Inggris melakukan agresi ke Yogyakarta pada 1812.[41] Beberapa pesanggrahan yang ada di Yogyakarta turut menjadi sasaran, termasuk Taman Sari dan Warungboto. Taman Sari sendiri saat itu dijadikan sebagai gudang persenjataan kesultanan. Setelah mengalami kekalahan telak, pesanggrahan-pesanggrahan tersebut sempat terabaikan. Kondisi kesultanan tidak kondusif untuk melakukan rekreasi. Kondisi ini berlanjut karena pada 1825–1830 terjadi Perang Diponegoro.[42] Situs ini mengalami kerusakan kembali pada 10 Juni 1867 akibat gempa bumi. Menurut catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta serta Newcomb dan McCann, gempa tersebut telah merusak bangunan vital di Yogyakarta, yaitu Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Benteng Vredeburg, Tugu Golong Gilig, Taman Sari, dan Situs Warungboto sendiri. Gempa itu menyebabkan beberapa fondasi bangunan situs tersebut rusak.[43]

Menurut analisis yang dilakukan oleh Rohman, sebagaimana ditunjukkan dalam dokumentasi foto Gondhojoewono, kolam pemandian situs ini tetap digunakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi hingga sekitar tahun 1935, meskipun beberapa bagian telah rusak.[44] Namun, situs itu seperti terlupakan begitu saja setelah Indonesia merdeka, meskipun fungsi tempat ini sama dengan Taman Sari.[45] Hal ini kemungkinan disebabkan karena lokasinya yang agak jauh dari pusat keraton.[44] Terakhir, gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah pada 27 Mei 2006[46] memperparah kerusakan sisa-sisa bangunan Warungboto yang masih ada.[47][48] Namun, sebagian sisa-sisa bangunan tersebut seperti bangunan pendapa dan kolam bundar secara parsial masih bisa diselamatkan. Hal inilah yang mendorong dilakukannya pemugaran bagian pendapanya pada 2009.[44]

Upaya pelestarian[sunting | sunting sumber]

Penelitian mengenai situs ini telah dilakukan sejak zaman Hindia Belanda sampai dengan masa pasca kemerdekaan. Pada 1936, Oudheidkundige Dienst (OD) atau Dinas Kepurbakalaan membuat peta gambar rekonstruksi bangunan serta mendokumentasikannya ke dalam bentuk foto.[32] Oudheidkundige Dienst sendiri adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengelola bidang kepurbakalaan.[28] Tugas dari lembaga tersebut antara lain menyusun, membuat daftar, dan mengawasi peninggalan purbakala di seluruh wilayah Hindia Belanda.[49] Kegiatan yang dilakukan oleh OD itu selesai pada 1937.[44] Hasil pemetaan yang dikerjakan oleh OD itu kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan perbaikan darurat yang dilakukan oleh Dienst der Zelbestuurweken te Jogjakarta (Dinas Pekerja Kotapraja) melalui petunjuk dan pengawasan dari OD pada 1936.[50] Setelah dilakukan perbaikan darurat pada 1939 oleh OD, diadakanlah peninjauan kembali terhadap status kekunoan dari situs tersebut pada 1981. Hal ini dilakukan kaitannya dengan usaha pemeliharaan dan pelindungannya sebagai situs purbakala. Kegiatan yang dilakukan oleh OD terhenti ketika pasukan Jepang masuk dan mengusir pemerintah Belanda.[51]

Setelah Indonesia merdeka, kegiatan penelitian dilakukan oleh pemerintah Indonesia sendiri melalui Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Yogyakarta (sekarang BPCB D.I. Yogyakarta). Kegiatan tersebut berupa pendokumentasian foto pada 1981. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan ini, lembaga itu lantas melakukan pemetaan sebagai upaya pemeliharaan pelindungan pada 1982.[44]

Upaya pelestarian Warungboto akibat gempa tahun 2006 diawali dengan penyelamatan sesaat, yang kemudian dilanjutkan dengan berbagai macam studi teknis pada 2007 untuk mengidentifikasi kerusakan serta penanganan pada masa mendatang. Hingga tahun 2008, kegiatan pelestarian mencakup beberapa tindakan sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 tahun 2010 pasal (1) ayat 22, yaitu pelindungan, penyelamatan, dan pengamanan. Pelindungan dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan. Adapun penyelamatan dilakukan untuk menanggulangi cagar budaya ini dari kerusakan, sedangkan pengamanan dilakukan untuk mencegah gangguan ulah manusia.[52]

Tercatat, renovasi secara serius untuk menyelamatkan situs ini dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta di bawah Dinas Kebudayaan Yogyakarta sejak 2015. Sasaran utama dari pemugaran adalah bangunan pemujaan yang berada di bagian depan karena kondisinya sangat memprihatinkan.[53] Pada tahun ini pula, diadakan program acara Greget Kampung dan Festival Seni Adiluhung ke-2 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta untuk memperkenalkan situs tersebut kepada masyarakat dan wisatawan. Seperti disebutkan berita harian Tribun Jogja, dalam acara itu ditampilkan keempat tarian yang selama ini hanya bisa disaksikan di lingkungan Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman, yaitu Beksan Gatotkaca Sutejo dan Srimpi Pandhelori dari Keraton Yogyakarta, serta tari Manggalayudha dan Golek Clunthang dari Pura Pakualaman. Umar Priyono, Kepala Dinas Kebudayaan, menyatakan festival tersebut diadakan untuk lebih mendekatkan kesenian Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman kepada masyarakat.[54] Selain menghadirkan kesenian tersebut, turut ditampilkan potensi kesenian masyarakat di sekitar Umbulharjo, seperti Macapat selawat dan Guyon Maton Dagelan Mataraman. Lebih lanjut, Priyono menengarai bahwa bersandingnya kebudayaan keraton dan masyarakat adalah wujud dari Manunggaling Kawula Gusti.[55]

Pada 2016, dilakukan kegiatan lanjutan dengan melakukan rehabilitasi bangunan tengah, yaitu kolam, bangunan sayap sisi selatan, bangunan bertingkat sisi selatan, dan pagar.[56] Pemugaran dan renovasi ini selesai pada 23 Desember 2016. Selanjutnya, BPCB D.I. Yogyakarta melakukan perawatan di situs tersebut dengan memberikan pagar dan menata halaman bagian depan pada 2019. Pagar sederhana berupa kawat berduri yang berbatasan dengan jalan raya diganti dengan dinding batu bata yang dilapisi batu alam, sedangkan pagar kawat berduri di bagian belakang diganti dengan pagar British Reinforced Concrete (BRC) atau pagar minimalis. Selain itu, juga dilakukan pengerasan sebagian halaman depan dan area parkir dengan paving block (bata beton).[57] Dengan kondisi lingkungan yang lebih tertata, diharapkan agar masyarakat mengapresiasi situs-situs bersejarah dan semakin peduli dengan pelestarian cagar budaya.[58]

Pengembangan situs ini memang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi Kemantrén Umbulharjo di sisi lain memanfaatkan keberadaan situs tersebut sebagai pengembangan pemberdayaan masyarakat lokal.[59] Salah satu komunitas yang terbentuk dari upaya peningkatan kesadaran masyarakat adalah Komunitas Kelompok Tuk Umbul Warungboto (Pok Tumbu Warto).[60] Komunitas ini terbentuk pada 2014 dan beranggotakan pemuda berusia 17–25 tahun yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Komunitas tersebut berfokus kepada pelestarian Situs Warungboto, pelestarian seni budaya yang ada di dalamnya, serta pemberdayaan anggota komunitas dan masyarakat Warungboto. Pemberdayaan yang dilakukan bertujuan untuk mengembangkan potensi anggotanya agar memiliki kompetensi dan kreativitas dalam melestarikan situs itu.[61][62] Situs tersebut mulai populer ketika Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution melakukan sesi foto pra nikah di tempat ini pada 27 Oktober 2017.[63][64][65][66] Foto-foto hasil pemotretan di situs itu kemudian diunggah oleh Kahiyang di akun media sosial Instagram pada 30 Oktober 2017.[67]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ricklefs (2002), hlm. 81–82
  2. ^ Purwadi (2007), hlm. 43
  3. ^ a b "Sri Sultan Hamengkubuwana I". Keraton Jogja. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 April 2020. Diakses tanggal 11 Mei 2019. 
  4. ^ Notosuroto (1986), hlm. 18
  5. ^ Purwadi (2007), hlm. 14
  6. ^ a b Tim Peneliti Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (2020), hlm. 54
  7. ^ Priyono (2015), hlm. 48
  8. ^ a b c d e Rohman (2021), hlm. 15
  9. ^ Azzah, dkk (2020), hlm. 2
  10. ^ Tim Peneliti Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (2020), hlm. 53
  11. ^ Ricklefs (2002), hlm. 129
  12. ^ a b "Pesanggrahan Era Hamengkubuwana II". Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses tanggal 13 November 2021. 
  13. ^ Chairunnisa, Ninis (ed.). "Situs Warungboto, Tempat Istirahat Ikonik Raja Yogyakarta di Masa Lampau". Tempo.co. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  14. ^ "Sekilas Sejarah tentang Situs Warungboto". Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses tanggal 1 Maret 2019. 
  15. ^ Azzah, dkk (2020), hlm. 13
  16. ^ a b c Azzah, dkk (2020), hlm. 11
  17. ^ Bappeda Kota Yogyakarta (2014), hlm. 9
  18. ^ a b c d Tim Peneliti Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (2020), hlm. 55
  19. ^ Azzah, dkk (2020), hlm. 13–14
  20. ^ Rachmawati (ed.). "Situs Warungboto, Tempat Istirahat dan Pemandian Favorit Sang Sultan Sejak 300 Tahun Lalu". Kompas.com. Diakses tanggal 22 Januari 2022. 
  21. ^ "Sejarah Lembaga Purbakala". Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses tanggal 13 November 2021. 
  22. ^ Lassaro, Stephan Ofel. "Bukan Taman Sari, Ini Situs Warungboto". Detik.com. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  23. ^ Wijana, Eleonora Padmasta Ekaristi. "Sempat Terbengkalai, Begini Sejarah Situs Warungboto". Suara.com. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  24. ^ a b Rohman (2021), hlm. 12
  25. ^ Bappeda Kota Yogyakarta (2014), hlm. 6
  26. ^ Tim Peneliti Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (2020), hlm. 53–54
  27. ^ "Situs Warungboto Yogyakarta". Gudeg.net. Diakses tanggal 1 Maret 2019. 
  28. ^ a b c d "Penelitian dan Pemugaran Situs Warungboto". Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses tanggal 13 November 2021. 
  29. ^ a b Sugianti (2017), hlm. 94
  30. ^ Febriani (2021), hlm. 1630
  31. ^ Rohman (2021), hlm. 15–16
  32. ^ a b c "Situs Warungboto". Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 Maret 2020. Diakses tanggal 1 Maret 2019. 
  33. ^ Fitria, Hanin. "Sejarah Berdirinya Situs Warungboto, Destinasi Wisata Sarat Sejarah di Kota Yogyakarta". Tribunnews.com. Diakses tanggal 1 Maret 2019. 
  34. ^ a b c Azzah, dkk (2020), hlm. 12
  35. ^ Azzah, dkk (2020), hlm. 10
  36. ^ a b c Rohman (2021), hlm. 16
  37. ^ "Situs Warungboto, Objek Wisata Kuno Bekas Pemandian Keraton Yogyakarta". I-News. Diakses tanggal 23 Januari 2022. 
  38. ^ Azzah, dkk (2020), hlm. 12–13
  39. ^ H, Yanuar. Apriyono, Ahmad, ed. "Berbentuk Unik, Situs Warungboto Jadi Objek Wisata Baru di Jogja". Liputan6.com. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  40. ^ H, Yanuar. Mecadinisa, Nabila, ed. "Situs Warungboto, Tempat Istirahat Sultan yang Jadi Tujuan Wisata". Liputan6.com. Diakses tanggal 23 Januari 2022. 
  41. ^ Surdjomihardjo (2000), hlm. 49
  42. ^ D'Almaeida (1864), hlm. 76
  43. ^ Newcomb & McCann (1987), hlm. 430
  44. ^ a b c d e Rohman (2021), hlm. 17
  45. ^ "Mengenal Situs Warungboto, Pemandian Ratu Keraton Yogyakarta yang Terlupakan". IDN Times. Diakses tanggal 1 Maret 2019. 
  46. ^ Yuwono, Markus. Syatiri, Ana Shofiana, ed. "Mengingat Kembali Gempa Yogyakarta 11 Tahun Lalu". Kompas.com. Diakses tanggal 24 Desember 2021. 
  47. ^ H, Yanuar. Isnaeni, Nadya; Mutiah, Dinny, ed. "Dahsyatnya Gempa Yogya, Prambanan Retak Bertahun-tahun". Liputan6.com. Diakses tanggal 13 November 2021. 
  48. ^ Yuwono, Markus. "10 Tahun Sudah Gempa Yogyakarta, Ini Cagar Budaya yang Sempat Rusak". Okezone.com. Diakses tanggal 13 November 2021. 
  49. ^ "Pameran Cagar Budaya pada Peringatan HUT Purbakala ke-106". Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses tanggal 13 November 2021. 
  50. ^ Febriani (2021), hlm. 1632
  51. ^ Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1915), hlm. 47
  52. ^ Rohman (2021), hlm. 17–18
  53. ^ "Konsolidasi Bangunan Sayap Utara Pesanggrahan Rejawinangun". Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses tanggal 28 Oktober 2021. 
  54. ^ Tribun Jogja (2015), hlm. 11
  55. ^ Rohman (2021), hlm. 18–19
  56. ^ "Mengekspos Pesanggrahan Peninggalan Sultan Hamengkubuwana II". Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses tanggal 13 November 2021. 
  57. ^ "Pemagaran Situs Warungboto". Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses tanggal 13 November 2021. 
  58. ^ Rohman (2021), hlm. 19
  59. ^ Pemerintah Kecamatan Umbulharjo (2020), hlm. 42–43
  60. ^ "Lestarikan Situs Warungboto dalam Festival Adiluhung". Kedaulatan Rakyat. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  61. ^ Sugianti (2017), hlm. 99–100
  62. ^ Febriani (2021), hlm. 1635
  63. ^ "Pesanggrahan Rejawinangun (Situs Warungboto) Kota Yogyakarta Lokasi Prewedding Kahiyang Ayu dengan Boby Nasution". Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses tanggal 13 November 2021. 
  64. ^ "Situs Warungboto, Tempat Mandi Raja yang Jadi Lokasi Foto Prewedding". Kumparan. Diakses tanggal 3 Maret 2019. 
  65. ^ Sugiyarto. Sugiyarto, ed. "Wow, Ternyata Foto Pre-wedding Kahiyang-Bobby Bukan di Taman Sari Jogja, Ini Lho Lokasi Sebenarnya!". Tribunnews.com. Diakses tanggal 24 Desember 2021. 
  66. ^ "Kisah Situs Warungboto, Tempat Pemandian Putri Sri Sultan Hamengkubuwana II". Sindonews.com. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  67. ^ "Situs Warungboto Mendadak Tenar". Portal Informasi Indonesia. Diakses tanggal 22 Januari 2022. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

Arsip

  • Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Rapporten Volume 1913–1915). 

Buku

  • Azzah, Zaimul, dkk (2020). Monografi Pesanggrahan-Pesanggrahan Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 
  • D'Almaeida, William Barrington (1864). Life in Java: With Sketches of the Javanese (Volume I). London: Hurst and Blacket Publishers. 
  • Notosuroto (1986). Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. 
  • Priyono, Umar (2015). Yogyakarta City of Philosophy. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. 
  • Purwadi (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu. 
  • Tim Peneliti Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (2020). Toponimi Kecamatan Kotagede: Sejarah dan Asal-Usul Nama-Nama Kampung (PDF). Yogyakarta: Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada. 
  • Ricklefs, Merle Calvin (2002). Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749–1792: Sejarah Pembagian Jawa. Yogyakarta: Mata Bangsa. 
  • Surdjomihardjo, Abdurrachman (2000). Kota Yogyakarta 1880–1930: Sejarah Perkembangan Sosial. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia. 

Jurnal

Laporan

Surat kabar

Bacaan lanjutan

  • Nofitasari, Dian, dkk (2019). Ensiklopedia Cagar Budaya Indonesia (PDF). Bandung: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Komunitas Wonderland Family. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-07-12. Diakses tanggal 2021-11-13. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]