Masjid Pathok Negara Taqwa Wonokromo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Masjid Pathok Negara Wonokromo
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Cagar budaya Indonesia
KategoriBangunan
No. RegnasBelum ada
(Pengajuan 9 September 2015)
Lokasi
keberadaan
Dusun Wonokromo I, Desa Wonokromo, Kapanéwon Pleret, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
PemilikPemerintah Desa Wonokromo
PengelolaPemerintah Desa Wonokromo

Masjid Pathok Negara Taqwa Wonokromo (Jawa: ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀​ꦥꦛꦸꦏ꧀​ꦤꦼꦒꦫ​ꦠ꧀ꦮ​ꦮꦤꦏꦿꦩ, translit. Masjid Pathuk Negara Taqwa Wanakrama) adalah masjid yang terletak di Dusun Wonokromo I, Desa Wonokromo, Kapanéwon Pleret, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Masjid ini bersebelahan dengan tempuran Sungai Opak dan Sungai Gajahwong.

Asal-usul[sunting | sunting sumber]

Pendirian Masjid Taqwa tidak dapat dipisahkan dari tokoh bernama Kyai Mohammad Fakih.[1] Dia adalah seorang guru agama Islam yang bertempat tinggal di Desa Ketonggo. Kyai Mohammad Fakih juga dikenal senang membuat welit (atap rumbia) yang terbuat dari daun ilalang, bukan dari daun tebu. Hal inilah yang menyebabkan dirinya memiliki nama lain “Kyai Welit”.

Suatu saat, Sri Sultan Hamengku Buwono I hendak menemui Kyai Mohammad Fakih untuk ngangsu kawruh (menuntut ilmu). Awalnya, Kyai Mohammad Fakih merasa keberatan karena pada prinsipnya dia hanya memberikan ilmu kepada murid-muridnya saja. Sri Sultan Hamengku Buwono I lantas menyamar sebagai utusan sultan untuk menemui Kyai Mohammad Fakih. Penyamarannya itu tidak diketahui oleh Kyai Mohammad Fakih dan permintaannya sebagai murid dikabulkan karena niatnya yang sungguh-sungguh. Ketika sedang menuntut ilmu, Sri Sultan Hamengku Buwono I yang menyamar meminta nasihat kepada Kyai Mohammad Fakih mengenai tatanan kerajaan yang baik.[2]

Kyai Mohammad Fakih menjelaskan bahwa sultan harus melantik pathok, yaitu orang-orang yang dapat mengajar dan menuntun akhlak para rakyatnya. Pathok-pathok inilah di kemudian hari dianugerahi tanah perdikan. Selain itu, Kyai Mohammad Fakih juga memberikan saran agar sultan juga melantik kenthol (kepala desa), yang karena tugasnya diberikan tanah pelungguh. Sri Sultan Hamengku Buwono I yang melakukan penyamaran selanjutnya meminta izin kepada Kyai Mohammad Fakih kembali ke kasultanan untuk menyampaikan saran-saran tersebut. Sri Sultan Hamengku Buwono I akhirnya melantik dan membuat pathok-pathok yang ditempatkan di Mlangi, Plosokuning, Babadan, Gedongkuning, Ringinsari Gethan, Demak Ijo, Klegum, Godean, dan Jumeneng.

Sebagai ungkapan rasa syukur, Sri Sultan Hamengku Buwono I mengutus para pengawalnya untuk menjemput Kyai Mohammad Fakih di Desa Ketonggo dan Ki Derpoyudo di Laweyan, Surakarta agar melaksanakan salat Jumat di Masjid Agung Yogyakarta. Setelah melaksanakan salat Jumat, Sri Sultan Hamengku Buwono I melakukan pertemuan dengan keduanya untuk membahas tatanan kerajaan. Saat itulah Sri Sultan Hamengku Buwono I mengakui bahwa dirinya pernah menyamar sebagai utusan agar bisa menjadi murid Kyai Fakih Mohammad. Selain itu, Ki Derpoyudo juga memberikan keterangan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I bahwa Kyai Fakih Mohammad putra menantu dari anak sulungnya. Dengan kata lain, Kyai Mohammad Fakih adalah kakak ipar dari Sri Sultan Hamengku Buwono I, sebab Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah menantu Ki Derpoyudo dari putrinya yang kedua. Sejak saat itulah, Sri Sultan Hamengku Buwono I begitu welas asih kepada Kyai Mohammad Fakih. Selain sebagai kakak iparnya, dia juga menjadi gurunya. Hal inilah yang menyebabkan Kyai Mohammad Fakih dipanggil ngabiyantoro (menghadap ke keraton).

Pada 1701, Kyai Mohammad Fakih dilantik menjadi kepala pathok dengan candrasengkala Nyata Luhur Pendhita Ratu dan dianugerahi tanah perdikan di sebelah selatan Ketonggo yang berupa hutan. Dikarenakan hutan tersebut banyak ditumbuhi pohon awar-awar, maka daerah tersebut disebut dengan alas awar-awar. Tanah anugerah Sri Sultan Hamengku Buwono I yang masih berwujud hutan awar-awar itu kemudian dibuka dan didirikanlah sebuah masjid di tempat tersebut dengan nama Masjid Taqwa. Setelah selesai dibangun, Kyai Mohammad Fakih menghadap kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk menyampaikan laporan bahwa di atas tanah perdikan tersebut sudah didirikan sebuah masjid. Atas amanat dari Sri Sultan Hamengku Buwono I, daerah itu diberi nama Wana Karoma, yang berarti “supaya benar-benar mulia”.

Selanjutnya, pada tahun 1702-1705 Sri Sultan Hamengku Buwono I berniat menunaikah ibadah haji, namun karena keadaan kasultanan belum begitu aman, dia mengutus Kyai Mohammad Fakih ke Mekah untuk menghajikannya. Kyai Mohammad Fakih mukim selama dua tahun di Mekah karena pada tahun pertama dia menunaikan ibadah haji untuk dirinya sendiri dan pada tahun kedua dia menunaikan ibadah haji untuk Sri Sultan Hamengku Buwono I. Kyai Fakih Mohammad juga memiliki sebutan “Kyai Sedo Laut” karena dia meninggal di laut sepulang dari tanah suci pada tahun 1757. Kapal yang ditumpanginya karam di Selat Malaka.

Ukiran-ukiran ayat suci yang berada di sepanjang bangunan masjid ini memiliki kemiripan dengan Masjid Agung Kotagede dan Masjid Kauman. Para warga yang berada di sekitar Wonokromo meyakini bahwa masjid ini merupakan salah satu dari sekian masjid yang dinamakan Masjid Tiang Negara. Masjid tiang negara ini memiliki pengertian bahwa masjid tersebut berfungsi sebagai simbol kekuatan negara (Kerajaan Mataram).[3]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Kriesdinar, Mona (27 Juli 2013). "Masjid Taqwa Wonokromo, Tempat Berkumpulnya Gerilyawan RI". Tribunnews.com. Diakses tanggal 17 Mei 2019. 
  2. ^ Pertana, Pradito Rida (14 Mei 2019). "Tentang Masjid Taqwa, Tempat Ngaji Sri Sultan HB I di Bantul". detikcom. Diakses tanggal 17 Mei 2019. 
  3. ^ Dunia Masjid (tanpa tanggal). "Masjid Taqwa Wonokromo". Jakarta Islamic Centre. Diakses tanggal 17 Mei 2019. 

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Endang Setyowati, dkk (2017). Mengenal Lebih Jauh Masjid Islam Jawa dalam Arsitektur Masjid Pathok Negoro. Yogyakarta: Galang Press. ISBN 978-602-8620-62-8. 
  • Zein, Abdul Baqir (1999). Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia. Yogyakarta: Gema Insani Press. ISBN 978-979-5615-67-5. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]