Sa'id bin Zaid

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sa'id bin Zaid (Arab: سعيد بن زيد; wafat 51 H (671)) adalah seorang sahabat nabi dari golongan Muhajirin. Nama lengkapnya adalah Sa'id bin Zaid bin Amr bin Nufail al-Adawi. Sa'id termasuk sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga.[1]

Riwayat[sunting | sunting sumber]

Dia adalah suami dari Fatimah binti al-Khattab, yaitu adik Umar bin Khattab.[2] Dia termasuk orang yang awal masuk Islam[1] dan dia sangat menjunjung tingi adab Islam. Sebelum dia masuk Islam dia mengikuti agama ayahnya, Zaid bin Amr bin Nufail, yang mengikuti agama Nabi Ibrahim.

Sa'id mengikuti semua peperangan yang disertai Muhammad kecuali Perang Badar. Saat itu, Nabi mengutusnya untuk mengintai kafilah Quraisy. Ketika kembali dari tugasnya, perang sudah selesai. Meskipun begitu, Sa'id tetap dianggap ikut perang dan mendapat harta rampasan perang.[3]

Sa'id ikut dalam Perang Yarmuk dan penaklukan Damaskus (di Syam). Sa'id meninggal di Aqiq. Jenazahnya dimakamkan di Madinah.[4]

Agama ayahnya[sunting | sunting sumber]

Zaid bin Amr bin Nufail megikuti agama tauhid dan mencela agama kaum Quraisy, yaitu menyembah berhala. Dia melindungi bayi-bayi perempuan yang akan dikubur hidup-hidup oleh orang tua mereka.[5]

Dia adalah satu dari empat orang di antara suku Quraisy yang tidak mau menyembah berhala dan memilih untuk memisahkan diri dari sukunya pada hari raya mereka. Empat orang itu adalah Zaid sendiri, Waraqah bin Naufal, Ubaidullah bin Jahsy, dan Utsman bin al-Huwairits.[6]

Zaid bin Amr bin Nufail menjelajahi Jazirah, Maushil, hinggal Syam untuk mempelajari agama Ibrahim, agama yang lurus, dengan belajar dari rahib Nasrani[7] dan rabi Yahudi. Di Syam, tepatnya di Mifa'ah, dia bertemu seorang rahib dan menanyainya tentang agama yang lurus. Rahib itu menjawab, "Kamu mencari agama yang kini tidak lagi ada penganut murninya. Namun, sudah dekat waktu kemunculan seorang nabi di negeri yang kamu tinggalkan. Nabi itu diutus oleh Allah atas dasar ajaran Ibrahim yang lurus (al-hanafiyyah). Maka kembalilah ke sana, karena dia diutus sekarang, pada zaman ini."

Zaid mengikuti saran Rahib ini dan segera kembali ke Mekkah. Namun, di pertengahan negeri Lakham dia dianiaya dan dibunuh. Dia sempat berdoa, "Ya Allah, jika Engkau menghalangiku untuk mendapatkan kebaikan ini, maka janganlah Engkau menghalangi anakku dari mendapatkannya."[8]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  • Al-Mishri, Mahmud (2015). Muhammad Ali, Lc, ed. Ensiklopedi Sahabat: Biografi dan Profil Teladan 104 Sahabat Nabi SAW Generasi Terbaik Umat Islam Sepanjang Masa. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi'i. ISBN 978-602-9183-90-0. 

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Al-Mishri 2015, hlm. 449.
  2. ^ Al-Mishri 2015, hlm. 455.
  3. ^ Al-Mishri 2015, hlm. 457.
  4. ^ Al-Mishri 2015, hlm. 458-460.
  5. ^ Al-Mishri 2015, hlm. 499-450.
  6. ^ Al-Mishri 2015, hlm. 450.
  7. ^ Rahib yang dimaksud di sini bukanlah petapa di biara, melainkan rohaniawan Nasrani.
  8. ^ Al-Mishri 2015, hlm. 453-454.