Lompat ke isi

Jarir bin Abdullah al-Bajali

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jarir bin Abdullah al-Bajali
Meninggal51/54 H
Circesium, Suriah

Jarir bin Abdullah al-Bajali (bahasa Arab: جرير بن عبد الله البجلي) adalah salah seorang Sahabat Nabi Muhammad. Jarir adalah pemimpin kaumnya, kaum Bajilah, asal Yaman, dan ia memiliki paras yang tampan, sehingga Umar bin Al-Khattab berkata: "Jarir adalah Yusuf-nya umat ini."[1] Ia berislam di akhir masa usia Nabi.[2]

Adi bin Hatim berkata, "Ketika Jarir datang menernui Nabi dia diberikan bantal, tetapi dia justru memilih duduk di atas tanah. Kemudian Nabi bersabda, ',aku bersaksi bahwa kamu tidak manginginlan suatu jabatan dan tidak pula kerusakan di bumi ini.' Setelah itu Jarir masuk Islam, lalu Nabi bersabda, 'Apabila orang mulia dari suatu kaum datang menemuimu maka perlakukanlah dengan homat!'"[2]

Ketika Nabi tengah menyampaikan khotbah kepada manusia sebelum kedatangan Jarir bin Abdillah, lalu saat Jarir telah menambatkan kendaraannya, memakai pakaian rapinya, kemudian ia mulai memasuki masjid. Tiba-tiba semua hadirin memandanginya dengan saksama. Setelah kejadian itu Jarir lalu bertanya kepada orang yang ada di sampingnya, “Wahai hamba Allah, apakah Rasulullah menyebut sesuatu tentang diriku?” Temannya menjawab, “Ya. Beliau menyebutmu dengan sebaik-baik penyebutan. Ketika beliau di tengah-tengah khotbah, beliau menyelanya dengan berkata, ‘Sesungguhnya akan masuk ke tempat kalian dari pintu sebelah sini, dia di antara sebaik-baik penduduk Yaman. Dan ketahuilah, bahwa di wajahnya terdapat (bekas) usapan Malaikat.’” Kemudian Jarir pun mengucapkan tahmid lantaran rasa gembira dan syukurnya kepada Allah.

Nabi pernah mengutus Jarir bin Abdillah bersama 150 rombongan pasukan untuk menghancurkan berhala yang ada di Yaman. Berhala itu telah dianggap orang-orang sebagai Ka’bah-nya Yaman, bernama Dzu al-Khalashah. Nabi berkata kepada Jarir, “Apakah engkau mau melegakan hatiku dari Dzu al-Khalashah, berhalanya kabilah Khats’am?” Jarir pun mengiyakan. Ia berkata, “Maka kami hancurkan (Dzu al-Khalashah) atau kami bakar sehingga kami meninggalkannya seperti unta kudisan.”

Peta Penaklukkan Muslim.

Masa Umar bin Khathab

[sunting | sunting sumber]

Umar mengirim Jarir bin Abdillah al-Bajali menuju Irak dengan membawa pasukan sebanyak 4000 orang, maka dia segera berangkat ke Kufah pada 13 H.[3] Ia juga terlibat dalam pertempuran Buwaib pimpinan Mutsanna melawan Persia di tahun yang sama. Ketika peperangan berjalan dengan alot, al-Mutsanna mengumpulkan sebagian dari sahabatnya para pejuang dan pahlawan yang gagah berani agar melindungi dirinya dari belakang. Setelah itu al-Mutsanna menyerang jendral Persia, Mihran dan menariknya dari tempatnya hingga masuk ke sisi kanan. Kemudian datang al-Munzir bin Hasan bin Dhirar adh-Dhabbi turut menyerang dan menikamnya. Setelah itu Jarir bin Abdillah al-Bajali secepat kilat memenggal lehernya hingga kepalanya terpisah dari badan. Keduanya pun memperebutkan salb (harta maupun senjata yang ada pada musuh) milik Mihran, Jarir mengambil senjatanya dan al-Mundzir mengambil ikat pinggangnya. Melihat kejadian itu kaum Majusi kocar-kacir berlari meyelamatkan diri.[3]

Saat Pertempuran Qadisiyah, Sa'ad bin Abi Waqqash menempatkan Jarir sebagai komandan sayap kiri. Setelah kemenangan Qadisiyah, Umar menulis surat kepada an-Nu'man yang ketika itu masih di Bashrah. Isinya untuk segera berangkat bersama pasukannya menuju Nahawand, jika seluruh pasukan telah berkumpul. An-Nu'man sebagai panglima tertinggi untuk seluruh pasukan. Jika dia terbunuh hendaklah digantikan dengan Huzaifah bin al-Yaman. jika dia terbunuh juga maka digantikan oleh Jarir bin Abdillah. Pertempuran Nahawand pun dimenangkan muslimin, mengakhiri imperium Persia (kelak menjadi Iran).[3]

Masa Ali bin Abi Thalib

[sunting | sunting sumber]

Ketika Khalifah Utsman terbunuh, Jarir sedang menjadi wali kota di Qarqisiya/Circesium (wilayah Suriah Timur). Lalu saat Ali hendak mengirim utusan kepada Mu'awiyah untuk mengajak beliau berbaiat kepadanya, Jarir bin Abdillah berkata, "Aku bersedia berangkat menemuinya wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya hubunganku dengannya sangat dekat. Aku akan mengambil bai'at darinya untukmu."

Al-Asytar menimpali, "Jangan utus dia wahai Amirul Mukminin, aku khawatir hawa nafsunya akan mengiringi dirinya."

Ali berkata, "Biarkanlah ia." Ali mengutus Jarir dengan membawa surat kepada Mu'awiyah, isinya pemberitahuan tentang kesepakatan kaum Muhajirin dan Anshar membai'at beliau. Kemudian menceritakan kepadanya tentang peristiwa peperangan Jamal serta mengajaknya bergabung bersama kaum muslimin lainnya. Ketika Jarir sampai di hadapan Mu'awiyah, ia menyerahkan surat Ali kepadanya. Mu'awiyah memanggil Amru bin al-'Ash dan tokoh-tokoh negeri Syam untuk bermusyawarah. Mereka menolak berbai'at kepada Ali hingga para pembunuh Utsman diqishash (hukum mati) atau Ali menyerahkan kepada mereka para pembunuh Utsman ra. tersebut.[3] Jarir kembali dan menyampaikan pesan Muawiyah pada Ali.

Jarir didatangi oleh utusan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan mengajaknya bergabung bersama pasukannya. Akan tetapi Jarir bin Abdillah menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah mengutusku ke Yaman untuk memerangi mereka sehingga mereka semua mengucapkan Laa Ilaaha illallah. Jika mereka mengucapkannya maka darah dan harta mereka menjadi haram. Maka, aku tidak akan membunuh orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah.”

Jarir menghabiskan hidupnya di Qarqisiya (sekarang Dayr al-Zawr, Suriah) dan wafat disana pada 51 H.[2]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. (Arab) Usdul Ghabah – Jarir bin Abdullah bin Jabir – hlm 529 Diarsipkan 15-08-2020 di Wayback Machine.
  2. 1 2 3 Dzahabi, Imam (2017). Terjemah Siyar A'lam an-Nubala. Jakarta: Pustaka Azzam. ISBN 978-602-236-270-8
  3. 1 2 3 4 Katsir, Ibnu (2012). Terjemah Al Bidayah wa an-Nihayah. Jakarta: Pustaka Azzam. ISBN 978-602-236-044-5