Amir Hamzah
Amir Hamzah | |
---|---|
Lahir | Tengkoe Amir 28 Februari 1911 Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Timur, Hindia Belanda |
Meninggal | 20 Maret 1946 Kwala Begumit, Binjai, Langkat, Indonesia | (umur 35)
Makam | Masjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Timur, Indonesia |
Pekerjaan | Sastrawan, Penyair, Pejabat Pemerintahan Daerah |
Bahasa | Indonesia Melayu |
Kebangsaan | Indonesia |
Genre | Simbolisme |
Tema | Cinta, Agama |
Karya terkenal | Boeah Rindoe (1937) Njanji Soenji (1941) |
Pasangan | Tengkoe Poeteri Kamiliah |
Anak | Tengkoe Tahoera |
Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera atau lebih dikenal hanya dengan nama pena Amir Hamzah (28 Februari 1911 – 20 Maret 1946)[a] adalah sastrawan Indonesia angkatan Poedjangga Baroe dan Pahlawan Nasional Indonesia. Lahir dari keluarga bangsawan Melayu Kesultanan Langkat di Sumatera Utara, ia dididik di Sumatra dan Jawa. Saat berguru di SMA di Surakarta pada sekitar 1930, Amir muda terlibat dengan gerakan nasionalis dan jatuh cinta pada teman sekolahnya, Ilik Soendari. Bahkan setelah Amir melanjutkan studinya di sekolah hukum di Batavia (sekarang Jakarta) keduanya tetap dekat, hanya berpisah pada 1937 ketika Amir dipanggil kembali ke Sumatra untuk menikahi putri sultan dan mengambil tanggung jawab di lingkungan keraton. Meskipun tidak bahagia dengan pernikahannya, dia memenuhi tugas kekeratonannya. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945, ia menjabat sebagai wakil pemerintah di Langkat. Namun, pada tahun pertama negara Indonesia lahir, ia meninggal dalam peristiwa konflik sosial berdarah di Sumatra yang disulut oleh faksi dari Partai Komunis Indonesia dan dimakamkan di sebuah kuburan massal.
Amir mulai menulis puisi saat masih remaja meskipun karya-karyanya tidak bertanggal, yang paling awal diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali melakukan perjalanan ke Jawa. Menggambarkan pengaruh dari budaya Melayu aslinya, Islam, Kekristenan, dan Sastra Timur, Amir menulis 50 puisi, 18 puisi prosa, dan berbagai karya lainnya, termasuk beberapa terjemahan. Pada 1932 ia turut mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe. Setelah kembali ke Sumatra, ia berhenti menulis. Sebagian besar puisinya diterbitkan dalam dua koleksi, Njanji Soenji (EYD: "Nyanyi Sunyi", 1937) dan Boeah Rindoe (EYD: "Buah Rindu", 1941), awalnya dalam Poedjangga Baroe, kemudian sebagai buku yang diterbitkan.
Puisi-puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama, dan sering mencerminkan konflik batin yang mendalam. Diksi pilihannya yang menggunakan kata-kata bahasa Melayu dan bahasa Jawa dan memperluas struktur tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah tertentu. Karya-karya awalnya berhubungan dengan rasa rindu dan cinta, baik erotis dan ideal, sedangkan karya-karyanya selanjutnya mempunyai makna yang lebih religius. Dari dua koleksinya, Nyanyi Sunyi umumnya dianggap lebih maju. Karena puisi-puisinya, Amir disebut "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe" (EYD: "Raja Penyair Zaman Pujangga Baru") dan satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari era pra-Revolusi Nasional Indonesia.[1]
Riwayat hidup
Masa kecil
Amir lahir dengan nama Tengkoe Amir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara, putra bungsu dari Wakil Sultan Tengkoe Moehammad Adil dan istri ketiganya, Tengkoe Mahdjiwa. Tengkoe Moehammad Adil merupakan Wakil Sultan untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat. Melalui ayahnya, ia terkait dengan Sultan Langkat kala itu, Machmoed. Kepastian tanggal lahir Amir diperdebatkan, tanggal resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah 28 Februari 1911, tanggal yang digunakan Amir sepanjang hidupnya. Namun kakaknya, Abdoellah Hod menyatakan bahwa Amir lahir pada tanggal 11 Februari 1911. Amir kemudian mengambil nama kakeknya, Tengkoe Hamzah, sebagai nama keduanya; sehingga ia disebut sebagai Amir Hamzah. Meskipun seorang anak bangsawan, dia sering bergaul dalam lingkungan non-bangsawan.[2] Amir Hamzah menghabiskan masa kecil di kampung halamannya. Oleh teman sepermainannya, Amir kecil biasa dipanggil dengan sebutan "Tengku Busu" ("tengku yang bungsu"). Said Hoesny, sahabat Amir pada masa kecilnya menggambarkan bahwa Amir adalah anak manis yang menjadi kesayangan semua orang.
Diketahui bahwa Amir dididik dalam prinsip-prinsip Islam, seperti mengaji, fikih, dan tauhid, dan belajar di Masjid Azizi di Tanjung Pura dari usia muda.[3] Dia tetap seorang Muslim yang taat sepanjang hidupnya. Periode di mana ia menyelesaikan studi formal juga diperdebatkan. Beberapa sumber, termasuk pusat bahasa pemerintah Indonesia, menyatakan bahwa ia mulai bersekolah pada tahun 1916,[4] sementara biografer M. Lah Husny menulis bahwa tahun pertama sekolah formal penyair ini adalah pada tahun 1918.[5] Di sekolah dasar berbahasa Belanda di mana Amir pertama kali belajar, ia mulai menulis[6] dan mendapat penilaian-penilaian yang bagus; [7] dalam biografi yang ditulisnya tentang Amir, penulis Nh. Dini menulis bahwa Amir dijuluki "abang" oleh teman-teman sekelasnya karena ia jauh lebih tinggi daripada mereka.[3]
Pada tahun 1924[8]atau 1925,[9] Amir lulus dari sekolah dasarnya di Langkat dan pindah ke Medan untuk belajar di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, sekolah menengah pertama) di sana.[10] Setelah menyelesaikan studinya sekitar dua tahun kemudian, ia memasuki hubungan formal dengan sepupunya dari pihak ibunya, Aja[b] Bun.[11] Husny menulis bahwa keduanya sengaja dipertemukan dan dijodohkan untuk menikah oleh orang tua mereka,[12] namun Dini menganggap hubungan tersebut sebagai sumpah untuk menjadi selalu setia.[13] Karena orang tuanya mengizinkannya untuk menyelesaikan studinya di Jawa, Amir kemudian pergi ke ibu kota kolonial Hindia Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) untuk menyelesaikan studinya.[12]
Belajar di Jawa
Amir pergi ke Pulau Jawa sendirian, dalam perjalanan di laut selama tiga hari di kapal Plancus.[14][15] Setelah tiba di Batavia, ia masuk di Christelijk MULO Menjangan, di mana ia menyelesaikan tahun SMP terakhirnya.[12] Anthony H. Johns dari Australian National University menulis bahwa di sekolah ini Amir mempelajari beberapa konsep dan nilai-nilai Kekristenan.[16] Di Batavia, Amir juga terlibat dalam organisasi sosial Jong Sumatra.[17] Saat periode ini pemuda Amir menulis puisi pertamanya. Husny menulis bahwa Amir patah hati setelah menemukan Aja Bun telah menikah dengan pria lain tanpa sepengetahuan Amir (mereka berdua tidak pernah berbicara lagi),[18] sementara Dini berpendapat bahwa puisi "Tinggallah " ditulis tidak lama setelah Amir naik kapal Plancus, saat ia sangat rindu dengan ayah bundanya.[19]
Setelah menyelesaikan sekolah menengah dan kepulangan singkat ke Sumatra, Amir melanjutkan sekolahnya ke Algemene Middelbare School (AMS, sekolah menengah atas) yang dioperasikan Boedi Oetomo di Surakarta, Jawa Tengah, di mana ia mempelajari Sastra Timur dan bahasa, termasuk bahasa Jawa, Sanskerta, dan Arab.[20] Lebih suka menyendiri ketimbang hiruk-pikuknya asrama, Amir lebih memilih menyewa kamar di sebuah rumah pribadi yang dimiliki oleh residen Surakarta.[21] Kemudian ia bertemu dengan beberapa orang yang kelak menjadi penulis, termasuk Armijn Pane dan Achdiat Karta Mihardja;[22] mereka segera menemukan bahwa Amir adalah seorang pelajar yang ramah, rajin, dan dengan catatan lengkap dan kamar tidur bersih (selimut dilipat dengan baik, Mihardja kemudian bercerita, bahwa "... lalat jang kesasar akan dapat tergelintjir atasnja"), tetapi juga seorang romantis; cenderung berpikir sedih di bawah cahaya lampu dan mengisolasi diri dari teman-teman sekelasnya.[23]
Di Surakarta Amir bergabung dengan gerakan nasionalis. Dia akan bertemu dengan sesama perantau dari Sumatra dan mendiskusikan masalah sosial rakyat Melayu Nusantara di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Meskipun pemuda berpendidikan kala itu pada umumnya lebih memilih berbicara menggunakan bahasa Belanda, dia bersikeras bercakap dengan bahasa Melayu.[24] Tahun 1930 Amir menjadi kepala cabang dari Indonesia Moeda di Surakarta, menyampaikan pidatonya dalam Kongres Pemuda 1930 dan mengabdi sebagai editor majalah organisasi itu, "Garoeda Merapi".[25] Di sekolah dia kemudian bertemu dan jatuh cinta dengan Ilik Soendari, seorang gadis Jawa yang hampir seusia dengannya.[26] Soendari, putri Raden Mas Koesoemodihardjo, adalah salah satu dari sedikit siswa perempuan di sekolah tersebut, dan rumahnya berada di dekat salah satu yang pernah ditinggali Amir. Menurut Dini, keduanya semakin dekat, Amir mengajari Soendari bahasa Arab, dan Soendari mengajarinya bahasa Jawa.[27] Mereka segera bertemu setiap hari, bercakap-cakap tentang berbagai topik.[28]
Ibunda Amir meninggal pada tahun 1931, dan ayahnya setahun setelahnya; pendidikan Amir pun tidak bisa dibiayai lagi. Setelah studi AMS-nya rampung, ia ingin terus belajar di sekolah hukum di Batavia. Karena itu, ia menulis kepada saudaranya, Jakfar yang mengatur agar biaya sisa studinya dibayar oleh Sultan Langkat. Pada tahun 1932 Amir mampu kembali ke Batavia dan memulai studi hukumnya,[29] mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai guru.[30] Pada awalnya, hubungannya dengan Soendari dilanjutkan melalui surat, meskipun Soendari segera melanjutkan studinya di Lembang, sebuah kota yang jauh lebih dekat jaraknya ke Batavia daripada Surakarta, hal ini memungkinkan keduanya untuk bertemu diam-diam[31] – ketika orang tua Soendari mengetahui hubungan mereka, Amir dan Soendari pun dilarang untuk bertemu.[32]
Tahun tersebut, dua puisi pertama Amir, "Soenji" (EYD":"Sunyi") dan "Maboek ..." (EYD:"Mabuk"), diterbitkan dalam edisi Maret majalah Timboel. Delapan karyanya yang lain dipublikasikan tahun itu, termasuk sebuah syair berdasarkan Hikayat Hang Tuah,[33] tiga puisi lainnya, dua potong puisi prosa, dan dua cerita pendek; puisi itu kembali diterbitkan dalam Timboel, sementara prosa tersebut terbit dalam majalah Pandji Poestaka.[34] Sekitar September 1932 Armijn Pane, atas dorongan dari Sutan Takdir Alisjahbana, editor rubrik "Memadjoekan Sastera " (EYD:"Memajukan Sastra ", rubrik sastra Pandji Poestaka), mengundang Amir untuk membantu mereka mendirikan majalah sastra independen.[35] Amir menerima, dan ditugasi menulis surat untuk meminta kiriman tulisan.[35] Sejumlah lima puluh surat dikirimkan Amir kepada penulis-penulis yang sudah dikenal kala itu, termasuk empat puluh dikirimkan ke para kontributor "Memadjoekan Sastera".[36] Setelah beberapa bulan persiapan, edisi awal diterbitkan pada bulan Juli tahun 1933,[37] dengan judul Poedjangga Baroe. Majalah baru ini ada di bawah kendali editorial Armijn dan Alisjahbana,[38] sementara Amir menerbitkan hampir semua tulisan-tulisannya yang berikutnya di sana.[34]
Pada pertengahan 1933 Amir dipanggil kembali ke Langkat, di mana Sultan Langkat memberitahukan dua syarat yang harus Amir penuhi untuk melanjutkan studinya, yaitu menjadi siswa yang rajin, dan meninggalkan gerakan kemerdekaan Indonesia.[39] Meskipun menghadapi penolakan Sultan Langkat, Amir menjadi terlibat lebih jauh dalam gerakan nasionalis, membawa dia ke bawah pengawasan Belanda yang semakin meningkat.[40] Ia terus melanjutkan untuk menerbitkan karyanya dalam Poedjangga Baroe, termasuk serangkaian lima artikel tentang Sastra Timur dari bulan Juni sampai Desember 1934 dan terjemahan dari Bhagawad Gita dari 1933 sampai 1935.[34] Namun studi hukumnya menjadi tertunda, bahkan belum merampungkan studinya pada tahun 1937.[41]
Kembali ke Langkat
Belanda, khawatir tentang kecenderungan nasionalistik Amir, meyakinkan Sultan Langkat untuk menarik dia kembali ke Langkat; sebuah perintah yang tidak dapat ditolak oleh penyair pemula Amir. Tahun 1937, Amir bersama dengan dua pengikut Sultan Langkat yang bertugas mengawal dia, naik di kapal Opten Noort dari Tanjung Priok dan kembali ke Sumatra. Setelah tiba di Langkat, ia diberitahu bahwa ia akan menikah dengan putri tertua Sultan Langkat, Tengkoe Poeteri Kamiliah, seorang wanita yang hampir tak pernah ia temui sebelumnya.[41] Sebelum pernikahannya, Amir kembali ke Batavia untuk menghadapi ujian kuliah terakhirnya – dan mengatur sebuah pertemuan terakhir dengan Soendari.[42] Beberapa minggu kemudian ia kembali ke Langkat, di mana ia dan Kamiliah menikah dalam sebuah upacara mewah.[41] Sepupunya, Tengkoe Boerhan, kemudian menyatakan bahwa ketidakpedulian Amir sepanjang upacara adat tujuh hari tersebut adalah karena Amir terus memikirkan Soendari.[43]
Sekarang seorang pangeran di Langkat Hilir,[41] Amir diberi gelar Tengkoe Pangeran Indra Poetera.[44] Dia tinggal bersama Kamiliah di rumah mereka sendiri. Dalam semua kesaksian, Kamiliah adalah seorang istri yang taat dan penuh kasih, dan pada tahun 1939 pasangan ini memiliki anak tunggal mereka, yang bernama Tengkoe Tahoera.[c] [45]
Menurut Dini, Amir mengaku pada Kamiliah bahwa dia tidak pernah bisa mencintainya karena ia telah memiliki Soendari, dan bahwa ia merasa berkewajiban untuk menikahinya, pengakuan yang kabarnya diterima oleh Kamiliah. Amir menyimpan sebuah album dengan foto-foto Soendari, kekasih Jawanya di rumahnya [46] dan sering mengisolasi dirinya dari keluarganya, tenggelam dalam pikirannya.[47] Sebagai seorang pangeran Langkat, Amir menjadi seorang pejabat keraton, menangani masalah administrasi dan hukum, dan kadang-kadang juga menghakimi kasus pidana.[48] Ia sempat mewakili Kesultanan Langkat di pemakaman Pakubuwono X di Jawa pada tahun 1939 – sebuah perjalanan terakhir Amir ke pulau Jawa.[49]
Meskipun Amir hanya melakukan sedikit korespondensi dengan teman-temannya di Jawa,[50] puisi-puisinya yang sebagian besar ditulis di Jawa terus diterbitkan dalam Poedjangga Baroe. Koleksi puisi pertamanya, Njanji Soenji, diterbitkan dalam edisi November 1937. Hampir dua tahun kemudian, pada Juni 1939, majalah tersebut menerbitkan kumpulan puisi yang telah diterjemahkan Amir, berjudul Setanggi Timoer ("Dupa dari Timur"). Pada Juni 1941, koleksi terakhirnya, Boeah Rindoe, diterbitkan.[34] Semuanya kemudian diterbitkan sebagai buku.[51] Sebuah buku terakhir, Sastera Melajoe Lama dan Radja-Radjanja (EYD:"Sastra Melayu Lama dan Raja-Rajanya"), diterbitkan di Medan pada tahun 1942, terbitan ini didasarkan pada pidato radio yang disampaikan Amir.[34]
Setelah invasi Jerman ke Belanda pada tahun 1940, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan diri untuk kemungkinan invasi Jepang. Di Langkat, divisi Stadswacht (Angkatan Garda) dibentuk untuk membela Tanjung Pura di Langkat. Amir dan sepupunya Tengkoe Haroen bertanggung jawab atas angkatan garda ini; kaum bangsawan, dipercaya oleh masyarakat umum, dipilih untuk memastikan perekrutan rakyat jelata yang lebih mudah. Ketika invasi Jepang menjadi kenyataan pada awal tahun 1942, Amir adalah salah satu tentara yang dikirim ke Medan untuk mempertahankannya. Dia dan pasukan lainnya yang bersekutu dengan Belanda dengan cepat ditangkap oleh Tentara Jepang. Dia ditahan sebagai tawanan perang sampai tahun 1943, ketika pengaruh dari Sultan memungkinkan dia untuk dibebaskan. Sepanjang sisa masa pendudukan yang berlangsung sampai 1945 tersebut, Amir bekerja sebagai komentator radio dan sensor di Medan.[52] Dalam posisinya sebagai pangeran, ia ditugasi untuk membantu mengumpulkan beras dari petani untuk memberi makan tentara pendudukan Jepang.[50]
Pasca-kemerdekaan dan kematian
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keseluruhan Pulau Sumatra dinyatakan sebagai bagian de facto dari negara Republik Indonesia yang baru lahir. Pemerintah pusat menetapkan Teuku Muhammad Hasan sebagai gubernur pertama pulau Sumatra, dan pada 29 Oktober 1945 Hasan memilih Amir sebagai wakil pemerintah Republik Indonesia di Langkat (di kemudian hari disamakan dengan bupati), dengan kantornya di Binjai;[53] Amir menerima posisi tersebut dengan siap sedia,[54] kemudian menangani berbagai tugas yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, termasuk meresmikan divisi lokal pertama dari Tentara Keamanan Rakjat (yang kelak menjadi Tentara Nasional Indonesia),[53] membuka pertemuan berbagai cabang lokal dari partai politik nasional,[55] dan mempromosikan pendidikan – terutama keaksaraan alfabet Latin.[54]
Revolusi Nasional Indonesia sedang berkobar dengan berbagai pertempuran di Jawa, dan Republik Indonesia yang baru didirikan tidak stabil.[56] Pada awal 1946, rumor menyebar di Langkat bahwa Amir telah terlihat bersantap dengan perwakilan pemerintah Belanda yang kembali ke Sumatra,[57] dan bangsawan daerah menyadari tumbuhnya benih-benih kerusuhan dalam populasi jelata Langkat.[58] Pada tanggal 7 Maret 1946 selama revolusi sosial yang dipimpin oleh faksi-faksi dari Partai Komunis Indonesia, sebuah kelompok (Pemuda Sosialis Indonesia) dengan kukuh menentang feodalisme dan kaum bangsawan, kekuasaan Amir dilucuti darinya dan ia ditangkap;[59] sementara Kamiliah dan Tahoera lolos.[60] Bersama dengan anggota-anggota keluarga keraton Langkat yang lain, Amir dikirim ke sebuah perkebunan yang dikuasai faksi Komunis di Kwala Begumit, sekitar 10 kilometer di luar Binjai.[59] Kesaksian yang muncul di kemudian hari menunjukkan bahwa para tahanan tersebut, termasuk Amir, diadili oleh penculik mereka, dipaksa untuk menggali lubang, dan disiksa.[61]
Potongan tulisan Amir terakhir, sebuah fragmen dari puisi 1941-nya Boeah Rindoe, kemudian ditemukan di selnya:[62]
Wahai maut, datanglah engkau
Lepaskan aku dari nestapa
Padamu lagi tempatku berpaut
Di saat ini gelap gulita
Pada pagi hari 20 Maret 1946, Amir tewas dengan 26 orang tahanan lainnya dan dimakamkan di sebuah kuburan massal yang telah digali para tahanan tersebut;[d][63] beberapa saudara Amir juga tewas dalam revolusi tersebut.[64][65] Setelah dilumpuhkan oleh pasukan nasionalis, pemimpin revolusi tersebut diinterogasi oleh tim yang dipimpin oleh Adnan Kapau Gani; Adnan dilaporkan telah berulang kali menanyakan "Di mana Amir Hamzah?" selama penyelidikan seputar peristiwa tersebut.[66] Pada tahun 1948 sebuah makam di Kwala Begumit digali dan jenazah yang ditemukan diidentifikasi oleh anggota keluarga; tulang belulang Amir berhasil diidentifikasi karena gigi palsu yang hilang.[67] Pada November 1949 jenazahnya dikuburkan di Masjid Azizi di Tanjung Pura, Langkat.[68] Atas jasa-jasanya, Amir Hamzah diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975.
Pengaruh
Amir dibesarkan dalam lingkungan keraton Langkat, di mana ia selalu bercakap dalam bahasa Melayu, sehingga bahasa tersebut telah "... mendjadi darah daging baginja." (EYD:"menjadi darah dan daging baginya").[69] Sejak usia muda ia telah diperkenalkan pada sastra lisan, pantun tertulis dan syair, baik mendengarkan maupun menciptakannya sendiri dengan improvisasi.[70] Seperti ayahnya sebelum dia, Amir menggemari tulisan Melayu tradisional, seperti Hikayat Hang Tuah, Syair Siti Zubaidah Perang Cina, dan Hikayat Panca Tanderan. Dia akan mendengarkan tulisan-tulisan tersebut ketika dibacakan dalam upacara umum, [69] dan setelah dewasa ia menyimpan koleksi besar tulisan tersebut, meskipun koleksinya tersebut hancur saat revolusi komunis Sumatra Timur yang merenggut nyawanya.[70]
Sepanjang pendidikan formalnya Amir membaca karya sastra Arab, Persia, dan sastra Hindu.[71] Ia juga dipengaruhi oleh karya-karya dari negara-negara Timur lainnya:[72] puisi-puisi terjemahan dalam Setanggi Timoer misalnya, memasukkan karya-karya Umar Khayyām (Persia), Du Fu (Tiongkok), Fukuda Chiyo-ni (Jepang), dan Rabindranath Tagore (India).[34] Karya-karya ini tidak dibacanya dalam bahasa aslinya, tetapi dalam terjemahan berbahasa Belanda.[73] Kritikus sastra Muhammad Balfas menulis bahwa, tidak seperti rekan sezamannya, Amir menunjukkan hanya sedikit pengaruh dari soneta dan penyair neo-romantis Belanda, para Tachtigers;[74] Johns menyimpulkan hal yang sama.[75] Namun pakar sastra Australia Keith Foulcher mencatat bahwa penyair dikutip "Lenteavond" dari Willem Kloos dalam artikelnya tentang pantun, menunjukkan bahwa Amir sangat mungkin dipengaruhi oleh Tachtigers.[76]
Banyak penulis telah berkomentar tentang pengaruh yang didapat Amir dari doktrin Islam. Pencatat sastra Indonesia H.B. Jassin[77] dan penyair Arief Bagus Prasetyo,[78] adalah termasuk dari beberapa yang berpendapat bahwa Amir adalah seorang Muslim ortodoks murni, dan itu ditunjukkan dalam karyanya. Prasetyo berpendapat bahwa hal ini terlihat jelas dalam perkataan Amir tentang Tuhan, ia tidak memandang Tuhan sebagai sesamanya, sebuah tema yang ditemukan dalam karya penyair sufi seperti Hamzah Fansuri, tetapi sebagai tuan untuk hamba Amir.[78] Johns menulis bahwa, meskipun Amir bukanlah seorang mistik, Amir juga bukan seorang penulis renungan murni, namun mempromosikan suatu bentuk "Humanisme Islam".[79] Pengamat lain, seperti pakar sastra Indonesia dari Belanda, A. Teeuw dan pakar sastra Indonesia Abdul Hadi WM berpendapat bahwa Amir dipengaruhi oleh Sufisme.[78] Aprinus Salam dari Universitas Gadjah Mada, dari posisi yang sama, menunjuk ke contoh di mana Hamzah memperlakukan Tuhan sebagai kekasih sebagai indikasi pengaruh Sufi.[80] Pada akhirnya, penyair Chairil Anwar menulis bahwa Nyanyi Sunyi karya Amir bisa disebut "puisi terselubung" karena pembaca tidak dapat memahami karya Amir tanpa pengetahuan tentang sejarah Melayu dan Islam.[81]
Beberapa upaya juga telah dilakukan untuk menghubungkan karya Amir dengan perspektif Kekristenan. Dalam menganalisis "Padamu Jua", kritikus Indonesia Bakri Siregar menunjukkan bahwa beberapa pengaruh dari Alkitab Kristen dapat ditemukan, menunjuk ke beberapa aspek dari puisi yang tampaknya mendukung pandangan tersebut, termasuk penggambaran Tuhan yang antropomorfik (tidak diperbolehkan dalam Islam ortodoks) dan pandangan tentang Tuhan yang cemburu. Dia menulis bahwa konsep tentang Tuhan yang cemburu tidak ditemukan dalam Islam, tetapi dalam Alkitab, mengutip Keluaran 20:5 dan Keluaran 34:14.[82] Dalam puisi lain, "Permainanmu", Hamzah menggunakan kalimat "Kau keraskan kalbunya", Jassin menarik kesejajaran dengan Tuhan yang mengeraskan hati Firaun dalam Kitab Keluaran.[e][83]
Jassin menulis bahwa puisi Amir juga dipengaruhi oleh cintanya pada satu atau lebih wanita, dalam Buah Rindu disebut sebagai "Tedja" dan "Sendari-Dewi", Jassin beropini bahwa wanita (satu atau lebih) tak pernah disebutkan namanya karena cinta Amir pada mereka adalah kunci.[84] Husny menulis bahwa setidaknya sembilan karya di Buah rindu[f] terinspirasi oleh kerinduannya untuk Aja Bun, menggambarkan rasa kecewa setelah pertunangan mereka dibatalkan.[85] Mengenai dedikasi tiga-bagian dalam buku tersebut, "Kebawah peduka Indonesia-Raya / Kebawah debu Ibu-Ratu / Kebawah kaki Sendari-Dewi",[g][86] Mihardja menulis bahwa Soendari telah dikenali setiap teman sekelas Amir, ia menganggap Soendari sebagai inspirasi Amir, layaknya "Laura terhadap Petrarch, Mathilde terhadap Jacques Perk".[87] Kritikus Zuber Usman juga menemukan pengaruh Soendaripada Nyanyi Sunyi, berpendapat bahwa perpisahan Amir dari Soendari membawa Amir lebih dekat dengan Tuhan,[88] sebuah pendapat yang diulang oleh Dini.[89] Burton Raffel menghubungkan sebuah kuplet di akhir buku, membaca "Sunting Sanggul melayah rendah / sekaki sajak seni sedih"[90] ("sebuah bunga mengambang di simpul rambut longgar / melahirkan puisi sedih saya") sebagai panggilan untuk sebuah cinta terlarang.[91] Dini berpendapat bahwa cinta Amir pada Soendari menyebabkan penggunaan istilah Jawa yang sering dalam tulisan Amir.[43]
Karya sastra
Secara keseluruhan Amir telah menulis lima puluh puisi, delapan belas potongan puisi prosa, dua belas artikel, empat cerita pendek, tiga koleksi puisi, dan satu buku karya asli. Dia juga menerjemahkan empat puluh empat puisi, satu bagian dari puisi prosa, dan satu buku;[34] Johns menulis bahwa terjemahan ini umumnya mencerminkan tema penting dalam karya-karya aslinya.[92]
Sebagian besar tulisan Amir diterbitkan dalam Poedjangga Baroe, meskipun beberapa karya sebelumnya diterbitkan dalam Timboel dan Pandji Poestaka.[34] Tidak ada karya kreatif-nya yang bertanggal, dan tidak ada konsensus mengenai kapan setiap individual puisi ditulis.[93] Meskipun demikian, terdapat konsensus umum bahwa karya-karya yang termasuk dalam Nyanyi Sunyi ditulis setelah karya yang termasuk dalam Buah Rindu, meskipun Buah rindu diterbitkan terakhir.[94] Johns menulis bahwa puisi dalam koleksi tersebut muncul seperti diatur dalam urutan kronologis, ia menunjuk ke berbagai tingkat kematangan yang ditunjukkan Amir kala tulisannya berkembang.[95]
Jassin menulis bahwa Amir mempertahankan identitas Melayu di seluruh karya-karyanya, meskipun menghadiri sekolah yang dikelola oleh orang Eropa. Berbeda dengan karya-karya rekan sezamannya, Alisjahbana atau Sanusi Pane, puisi-puisi Amir tidak memasukkan simbol-simbol modernitas Eropa seperti listrik, kereta api, telepon, dan mesin, yang memungkinkan "Alam dunia Melaju masih utuh..." dalam puisinya. Pada akhirnya, ketika membaca puisi Amir, "Membatja sadjaknja diruang fantasi kita tidak terbajang lukisan seorang jang berpantalon, berdjas dan berdasi, melainkan seorang muda jang berpakaian setjara Melaju." ("dalam imajinasi kita tidak melihat seorang pria bercelana, jaket, dan dasi, namun pemuda dalam pakaian tradisional Melayu".[96] Mihardja mencatat bahwa Amir menulis karya-karyanya pada saat teman-teman sekelas mereka, dan banyak penyair lain, "... mentjurahkan isi hati dan buah pikiran" ("mencurahkan hati atau pikiran mereka") dalam bahasa Belanda, atau jika "... melepaskan dirinja dari belenggu Bahasa Belanda" ("mampu membebaskan diri dari belenggu Bahasa Belanda"), dalam bahasa lokal Nusantara.[97]
Karya Amir sering berurusan dengan cinta (baik erotis dan ideal), dengan pengaruh agama ditunjukkan dalam banyak puisinya.[74] Mistisisme adalah penting dalam banyak karyanya, dan puisinya sering mencerminkan konflik batin yang mendalam.[98] Pada setidaknya satu cerita pendek, ia mengkritik pandangan tradisional bangsawan dan "merongrong representasi tradisional karakter wanita".[99] Ada beberapa perbedaan tematik di antara dua koleksi puisi aslinya,[100] dibahas lebih lanjut di bawah ini.
Njanji Soenji
Njanji Soenji (EYD:"Nyanyi Sunyi"), koleksi puisi pertama Amir, diterbitkan dalam Poedjangga Baroe edisi bulan November 1937,[101] kemudian diterbitkan sebagai buku oleh Poestaka Rakjat pada tahun 1938.[51] Koleksi ini terdiri dari dua puluh empat potong puisi berjudul dan sajak empat baris tanpa judul,[102] termasuk puisi Hamzah paling terkenal, "Padamu Jua". Jassin mengklasifikasikan delapan karya-karya ini sebagai puisi prosa, dengan tiga belas yang tersisa sebagai puisi biasa.[101] Meskipun ini adalah koleksi pertamanya yang diterbitkan, berdasarkan watak dan pembawaan yang baik dalam puisi ini,[103] konsensus umum adalah bahwa karya-karya dalam Buah Rindu di ditulis sebelumnya.[104] Penyair Laurens Koster Bohang menganggap puisi-puisi dalam Nyanyi Sunyi termasuk yang ditulis antara 1933 dan 1937,[105] sementara Teeuw menanggali puisi tersebut antara tahun 1936 dan 1937.[106]
Pembacaan Nyanyi Sunyi cenderung fokus pada nada-nada agama. Menurut Balfas, agama dan Tuhan terlihat di mana-mana di seluruh koleksi tersebut, dimulai dengan puisi pertama "Padamu Jua".[107] Jassin menulis, di dalamnya, Amir menunjukkan perasaan ketidakpuasan atas kurangnya kemampuan dirinya dan memprotes kemutlakan Tuhan,[108] tetapi tampak menyadari kecilnya dirinya di hadapan Tuhan, bertindak sebagai boneka untuk kehendak Tuhan.[109] Teeuw merangkum bahwa Amir mengakui bahwa ia tidak akan ada jika Tuhan tidak ada.[110] Jassin menemukan bahwa tema agama tersebut dimaksudkan sebagai sebuah pelarian dari penderitaan duniawi Amir.[111] Namun Johns menunjukkan bahwa pada akhirnya Amir menemukan sedikit penghiburan dalam Tuhan, karena Amir "tidak memiliki iman transenden yang dapat membuat sebuah pengorbanan besar, dan dengan tegas menerima konsekuensinya"; sebaliknya, ia tampak menyesali pilihannya untuk kembali ke Sumatra dan kemudian memberontak melawan Tuhan.[112]
Boeah Rindoe
Koleksi puisi kedua Amir, Boeah Rindoe (EYD:"Buah Rindu"), diterbitkan dalam Poedjangga Baroe edisi Juni 1941,[113] kemudian diterbitkan sebagai buku oleh Poestaka Rakjat di akhir tahun itu.[51] Koleksi ini terdiri dari dua puluh lima puisi berjudul dan sajak empat baris tanpa judul; satu, "Buah Rindu", terdiri dari empat bagian, sementara yang lain, "Bonda", terdiri dari dua. Setidaknya sebelas karya dalam koleksi ini telah dipublikasikan sebelumnya, baik di Timboel atau dalam Pandji Poestaka.[113] Koleksi ini, meskipun diterbitkan setelah Nyanyi Sunyi, umumnya dianggap telah ditulis sebelumnya.[104] Puisi-puisi dalam Buah Rindu juga bertanggal di periode antara 1928 dan 1935, tahun-tahun pertama Amir di Jawa;[105] Koleksi ini memberikan dua tahun tersebut, serta lokasi penulisannya, yaitu di Jakarta-Solo (Surakarta) -Jakarta.[17]
Teeuw menulis bahwa koleksi ini disatukan oleh sebuah tema kerinduan,[114] yang diperluas oleh Jassin: merindukan ibunya, merindukan kekasihnya (baik satu yang di Sumatra dan satu yang di Jawa), dan kerinduan untuk tanah airnya. Semua yang disebutnya sebagai "kekasih".[115] Teeuw menulis bahwa kerinduan ini tidak seperti nuansa religius dalam Nyanyi Sunyi: mereka lebih duniawi, didasarkan pada realitas;[100] Jassin mencatat perbedaan tematik lain di antara keduanya: tidak seperti Nyanyi Sunyi, dengan penggambaran yang jelas dari tuhan yang satu, Buah Rindu dengan eksplisit mengedepankan beberapa dewa, termasuk dewa Hindu, Dewa Siwa dan Dewi Parwati dan dewa abstrak seperti dewa dan dewi cinta.[115]
Gaya penulisan
Diksi Amir dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah tertentu.[116] Diksi yang berhati-hati ini menekankan kata-kata sederhana sebagai unit dasar dan sesekali menggunakan aliterasi dan asonansi.[117] Pada akhirnya dia lebih bebas dalam penggunaan bahasanya ketimbang penyair tradisional:[107] Jennifer Lindsay dan Ying Ying Tan menyororti "daya cipta lisan"-nya, menyuntikkan "kemewahan ekspresi, kemerduan suara dan makna" ke dalam puisinya.[118] Siregar menulis bahwa hasilnya adalah "... permainan kata jang indah."[119] Teeuw menulis bahwa Amir memiliki pemahaman lengkap tentang kekuatan dan kelemahan dari Bahasa Melayu, mencampurkan pengaruh sastra timur dan barat,[117] sementara Johns menulis bahwa "kejeniusannya sebagai seorang penyair terletak dalam kemampuannya yang luar biasa untuk menghidupkan kembali bara puisi Melayu yang kala itu telah terbakar habis, dan untuk menanamkan ke dalam bentuk dan kosakata Melayu tradisional yang kaya, sebuah kesegaran yang tak terduga dan jelas dan kehidupan."[120]
Pilihan kata-kata Amir sangat bergantung pada istilah Bahasa Melayu lama, yang hanya sedikit menggunakan istilah kontemporer. Amir juga banyak meminjam dari bahasa Nusantara lainnya, terutama jawa dan Sunda;[121] pengaruh yang lebih dominan di Nyanyi Sunyi.[122] Dengan demikian, cetakan awal Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu disertai dengan catatan kaki yang menjelaskan kata-kata tersebut.[74] Teeuw menulis bahwa puisi-puisi Amir mencakup berbagai klise yang umum dalam pantun yang tidak akan dimengerti oleh pembaca asing.[123] Menurut penerjemah John M. Echols, Amir adalah seorang penulis yang memiliki kepekaan sangat besar, yang "bukan seorang penulis produktif tetapi prosa dan puisinya berada pada tingkat yang sangat tinggi, meskipun karyanya sulit, bahkan bagi orang Indonesia."[98] Echols menyanjung Amir karena menbangkitkan kembali bahasa Melayu, memberikan napas kehidupan baru ke dalam sastra Melayu pada 1930-an.[124]
Secara struktural, karya-karya awal Amir sangat berbeda dari karya-karyanya di kemudian hari. Karya yang disusun dalam Buah Rindu umumnya mengikuti pantun tradisional dan gaya syair empat baris dengan rima ekor, termasuk banyak dengan kuplet berima;[117] namun beberapa karyanya, menggabungkan keduanya, atau memiliki baris-baris tambahan atau kata-kata lebih dari yang diterima umum secara tradisional, sehingga menghasilkan ritme yang berbeda.[125] Meskipun karya-karya awal Amir tidak sedetail karya-karyanya di kemudian hari, Teeuw menulis bahwa karya-karya tersebut telah mencerminkan penguasaan penyair itu dari bahasa dan dorongan untuk menulis puisi.[126] Karya-karya dalam antologi ini mengulangi istilah-istilah kesedihan seperti "menangis", "duka", "rindu", dan "air mata", serta kata-kata seperti "cinta", "asmara", dan "merantau".[127]
Pada kala Amir menulis karya-karyanya yang kemudian disusun dalam Nyanyi Sunyi, gayanya telah bergeser. Dia tak lagi membatasi dirinya pada bentuk-bentuk tradisional, melainkan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang berbeda: Delapan karyanya mendekati puisi prosa dalam segi bentuk.[128] Chairil Anwar menggambarkan penggunaan bahasa pendahulunya tersebut dalam koleksi ini sebagai bersih dan murni, dengan kalimat-kalimat "keras, tajam, tetapi singkat" yang berangkat dari "daya rusak" puisi tradisional Melayu yang berbunga-bunga.[129] Transformasi ini juga terdapat dalam Jejak Amir, menuliskan karya-karya yang bernas dan tajam.
Penghargaan dan pengakuan umum
Amir telah menerima pengakuan yang luas dari pemerintah Indonesia, dimulai dengan pengakuan dari pemerintah Sumatera Utara segera setelah kematiannya.[130] Pada tahun 1969 ia secara anumerta dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan dan Piagam Anugerah Seni.[131] Pada tahun 1975 ia dinyatakan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.[132] Sebuah taman dinamakan untuknya, Taman Amir Hamzah, yang berlokasi di Jakarta di dekat Monumen Nasional.[71] Sebuah masjid di Taman Ismail Marzuki yang dibuka untuk umum pada tahun 1977, juga dinamakan untuknya.[133] Beberapa jalan diberi nama untuk Amir, termasuk di Medan,[134] Mataram,[135] dan Surabaya.[136]
Teeuw menganggap Amir sebagai satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari era sebelum Revolusi Nasional Indonesia.[1] Anwar menulis bahwa penyair ini adalah "puncak gerakan Pudjangga Baru", mengingat Nyanyi Sunyi telah menjadi "cahaya terang yang disinarkan dia [Amir] di atas bahasa baru";[129] namun, Anwar tidak menyukai Buah Rindu, menganggapnya terlalu klasik.[137] Balfas menggambarkan karya Amir sebagai "karya sastra terbaik yang mengungguli era mereka".[138] Karya Hamzah, khususnya "Padamu Jua", diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia. Karyanya juga salah satu inspirasi untuk drama panggung posmodern 1992 Afrizal Malna, Biografi Yanti setelah 12 Menit.[139]
Jassin telah menyebut Amir "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe", nama yang dia digunakan sebagai judul bukunya tentang penyair tersebut.[1] Sebagai penutup bukunya tersebut, Jassin menulis:
"... Amir bukanlah seorang pemimpin bersuara lantang mengerahkan rakjat, baik dalam puisi maupun prosanja. Ia adalah seorang perasa dan seorang pengagum, djiwanja mudah tergetar oleh keindahan alam, sendu gembira silih berganti, seluruh sadjaknja bernafaskan kasih : kepada alam, kampung halaman, kepada kembang, kepada kekasih. Dia merindu tak habis2nja, pada zaman jang silam, pada bahagia, pada 'hidup bertentu tudju'. Tak satupun sadjak perdjuangan, sadjak adjakan membangkit tenaga, seperti begitu gemuruh kita dengar dari penjair2 Pudjangga Baru jang lain. Tapi laguan alamnja adalah peresapan jang mesra dari orang jang tak diragukan tjintanja pada tanah airnja."
— H.B. Jassin, (Jassin 1962, hlm. 41)
Referensi
- ^ a b c Teeuw 1980, hlm. 123.
- ^ Husny 1978, hlm. 14–16.
- ^ a b Dini 1981, hlm. 20.
- ^ Pusat Bahasa, Amir Hamzah; Musa 1955, hlm. 9
- ^ Husny 1978, hlm. 17.
- ^ Husny 1978, hlm. 18.
- ^ Musa 1955, hlm. 13.
- ^ Language Center, Amir Hamzah.
- ^ Husny 1978, hlm. 20.
- ^ Pusat Bahasa, Amir Hamzah; Husny 1978, hlm. 21
- ^ Husny 1978, hlm. 24; Dini 1981, hlm. 17
- ^ a b c Husny 1978, hlm. 24.
- ^ Dini 1981, hlm. 22.
- ^ Dini 1981, hlm. 24.
- ^ Dini 1981, hlm. 21.
- ^ Johns 1979a, hlm. 125.
- ^ a b Husny 1978, hlm. 29.
- ^ Husny 1978, hlm. 32–33.
- ^ Dini 1981, hlm. 29–30.
- ^ Dini 1981, hlm. 33–34.
- ^ Dini 1981, hlm. 38.
- ^ Husny 1978, hlm. 38.
- ^ Mihardja 1955, hlm. 115–17.
- ^ Dini 1981, hlm. 36–37.
- ^ Dini 1981, hlm. 74.
- ^ Jassin 1962, hlm. 40; Mihardja 1955, hlm. 122
- ^ Dini 1981, hlm. 44–46.
- ^ Dini 1981, hlm. 49.
- ^ Husny 1978, hlm. 42–43.
- ^ Dini 1981, hlm. 83.
- ^ Dini 1981, hlm. 82.
- ^ Dini 1981, hlm. 85.
- ^ Teeuw 1980, hlm. 126–27; Balfas 1976, hlm. 61
- ^ a b c d e f g h Jassin 1962, hlm. 211–19.
- ^ a b Foulcher 1991, hlm. 14–17.
- ^ Siregar 1964, hlm. 77; Foulcher 1991, hlm. 20
- ^ Teeuw 1980, hlm. 50.
- ^ Siregar 1964, hlm. 75.
- ^ Husny 1978, hlm. 47–49.
- ^ Husny 1978, hlm. 63.
- ^ a b c d Husny 1978, hlm. 74–75.
- ^ Dini 1981, hlm. 105.
- ^ a b Dini 1981, hlm. 109.
- ^ Dini 1981, hlm. 112.
- ^ Husny 1978, hlm. 78–79.
- ^ Dini 1981, hlm. 114.
- ^ Dini 1981, hlm. 124.
- ^ Husny 1978, hlm. 81–82.
- ^ Dini 1981, hlm. 121.
- ^ a b Dini 1981, hlm. 129.
- ^ a b c Husny 1978, hlm. 83.
- ^ Husny 1978, hlm. 84–89.
- ^ a b Husny 1978, hlm. 90–91.
- ^ a b Dini 1981, hlm. 132.
- ^ Musa 1955, hlm. 12.
- ^ Dini 1981, hlm. 133.
- ^ Dini 1981, hlm. 139.
- ^ Dini 1981, hlm. 142.
- ^ a b Husny 1978, hlm. 96–97.
- ^ Dini 1981, hlm. 147.
- ^ Dini 1981, hlm. 149–50.
- ^ Jassin 1962, hlm. 214.
- ^ Husny 1978, hlm. 97; Dini 1981, hlm. 151–53
- ^ Husny 1978, hlm. 16–17.
- ^ "Pembunuhan Amir Hamzah dan Sejarah Revolusi Sosial di Sumatra Timur". Tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-05-30. Diakses tanggal 2020-02-22.
- ^ Hadi 1955, hlm. 37.
- ^ Dini 1981, hlm. 159.
- ^ Musa 1955, hlm. 9; Husny 1978, hlm. 102–03
- ^ a b Musa 1955, hlm. 10.
- ^ a b Musa 1955, hlm. 11.
- ^ a b Pemerintah Kota Jakarta, Amir Hamzah.
- ^ Teeuw 1980, hlm. 124.
- ^ Johns 1979a, hlm. 30.
- ^ a b c Balfas 1976, hlm. 61.
- ^ Johns 1979a, hlm. 136.
- ^ Foulcher 1991, hlm. 102.
- ^ Jassin 1962, hlm. 33.
- ^ a b c Kurniawan 2010, Puisi Amir Hamzah.
- ^ Johns 1979b, hlm. 154, 156.
- ^ Salam 2004, hlm. 50.
- ^ Raffel 1970, hlm. 175.
- ^ Jassin 1962, hlm. 33–34.
- ^ Jassin 1962, hlm. 36.
- ^ Jassin 1962, hlm. 39–40.
- ^ Husny 1978, hlm. 133.
- ^ Mihardja 1955, hlm. 120.
- ^ Mihardja 1955, hlm. 122.
- ^ Usman 1959, hlm. 231–50.
- ^ Dini 1981, hlm. 110.
- ^ Hamzah 1949, hlm. 31.
- ^ Raffel 1968, hlm. 15.
- ^ Johns 1979b, hlm. 158.
- ^ Jassin 1962, hlm. 9.
- ^ Teeuw 1980, hlm. 125–26.
- ^ Johns 1979a, hlm. 126.
- ^ Jassin 1962, hlm. 15–16.
- ^ Mihardja 1955, hlm. 117–18.
- ^ a b Echols 1956, hlm. 14.
- ^ Siapno 2002, hlm. 72.
- ^ a b Teeuw 1980, hlm. 132.
- ^ a b Jassin 1962, hlm. 212.
- ^ Hamzah 1949, hlm. 5–30.
- ^ Jassin 1962, hlm. 14.
- ^ a b Balfas 1976, hlm. 62–64.
- ^ a b Jassin 1962, hlm. 8.
- ^ Teeuw 1980, hlm. 126.
- ^ a b Balfas 1976, hlm. 64.
- ^ Jassin 1962, hlm. 29.
- ^ Jassin 1962, hlm. 26.
- ^ Teeuw 1955, hlm. 116.
- ^ Jassin 1962, hlm. 31.
- ^ Johns 1979a, hlm. 131–32.
- ^ a b Jassin 1962, hlm. 213.
- ^ Teeuw 1955, hlm. 110.
- ^ a b Jassin 1962, hlm. 28.
- ^ Rosidi 1976, hlm. 46.
- ^ a b c Teeuw 1980, hlm. 130.
- ^ Lindsay & Tan 2003, hlm. 49.
- ^ Siregar 1964, hlm. 116.
- ^ Johns 1979a, hlm. 124.
- ^ Rosidi 1976, hlm. 45.
- ^ Johns 1979a, hlm. 133.
- ^ Teeuw 1980, hlm. 133.
- ^ Echols 1956, hlm. 200.
- ^ Jassin 1962, hlm. 14, 22.
- ^ Teeuw 1980, hlm. 126–27.
- ^ Jassin 1962, hlm. 11.
- ^ Jassin 1962, hlm. 12.
- ^ a b Raffel 1970, hlm. 174–75.
- ^ Dini 1981, hlm. 179.
- ^ Husny 1978, hlm. 8.
- ^ Pusat Bahasa, Amir Hamzah.
- ^ Dini 1981, hlm. 180.
- ^ Google Maps, Medan.
- ^ Google Maps, Mataram.
- ^ Google Maps, Surabaya.
- ^ Teeuw 1980, hlm. 136.
- ^ Balfas 1976, hlm. 60.
- ^ Bodden 2002, hlm. 306.
Catatan kaki
- ^ Ada dua versi untuk tanggal lahir ini. Tanggal resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah 28 Februari 1911, tanggal yang digunakan Amir sepanjang hidupnya. Namun kakak Amir, Abdoellah Hod menyatakan bahwa penyair ini lahir pada tanggal 11 Februari 1911. Artikel ini menggunakan tanggal yang paling umum, yaitu yang diakui pemerintah.
- ^ Atau juga Aje.
- ^ Kehamilan lain berakhir dengan keguguran (Dini 1981, hlm. 113). Dua anak selanjutnya lahir mati (Dini 1981, hlm. 122), sedangkan kehamilan terakhir pasangan itu berakhir dengan keguguran setelah kematian Amir.
- ^ Dilaporkan bahwa Amir dibunuh oleh seorang mantan pengawas yang bernama Yang Wijaya, yang kemudian diadili karena perannya dalam revolusi tersebut dan dihukum dua puluh tahun penjara. Kemudian diberikan amnesti, Wijaya meninggalkan penjara dalam keadaan kesehatan mental yang buruk (Dini 1981, hlm. 160–61).
- ^ Dalam Islam, Firaun mengeraskan sendiri hatinya (Jassin 1962, hlm. 36).
- ^ "Haroem Ramboetmoe", "Dalam Matamoe", "Maboek...", "Soenji", "Koesangka", "Boeah Rindoe", "Toehankoe Apatah Kekal?", "Tjempaka", dan "Berdiri Akoe".
- ^ dalam versi Indonesia dari Ramayana, Sendari (juga Sundari) adalah istri pertama Abimanyu.
Bacaan lanjutan
- "Amir Hamzah". Ensiklopedia Jakarta (dalam bahasa Indonesia). Pemerintah Kota Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-12-26. Diakses tanggal 26 Desember 2011.
- "Amir Hamzah" (dalam bahasa Indonesia). National Language Centre. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-12-26. Diakses tanggal 26 Desember 2011.
- Balfas, Muhammad (1976). "Sastra Indonesia Modern Secara Singkat". Dalam L. F., Brakel. Handbuch der Orientalistik. 1. Leiden: E. J. Brill. ISBN 978-90-04-04331-2. Diakses tanggal 13 Agustus 2011.
- Bodden, Michael (2002). "Satuan-Satuan Kecil and Uncomfortable Improvisations". Dalam Foulcher, Keith; Day, Tony. Clearing a Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV Press. hlm. 293–324. ISBN 978-90-6718-189-1.
- Dini, Nh. (1981). Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Gaya Favorit Press. OCLC 8777902.
- Echols, John (1956). Indonesian Writing in Translation. Ithaca: Cornell University Press. OCLC 4844111.
- Foulcher, Keith (1991). Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933–1942 (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Girimukti Pasaka. OCLC 36682391.
- Peta Google – Mataram (Peta). Kartografi oleh Google, Inc. Google, Inc. Diakses tanggal 24 Juli 2013.
- Peta Google – Medan (Peta). Kartografi oleh Google, Inc. Google, Inc. Diakses tanggal 24 Juli 2013.
- Peta Google – Surabaya (Peta). Kartografi oleh Google, Inc. Google, Inc. Diakses tanggal 24 Juli 2013.
- Hadi, Karlan (1955). "Amir Hamzah". Tjatatan-tjatatan tentang Amir Hamzah (dalam bahasa Indonesia). Yogyakarta: Djawatan Kebudajaan. hlm. 35–42. OCLC 220483628.
- Hamzah, Amir (1949). Njanji Sunji (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Pustaka Rakjat. OCLC 65112881.
- Husny, M. Lah (1978). Biografi – Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Department of Education and Culture. OCLC 18582287.
- Jassin, H.B. (1962). Amir Hamzah: Radja Penjair Pudjangga Baru (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Gunung Agung. OCLC 7138547.
- Johns, Anthony H. (1979a). "Amir Hamzah: Malay Prince, Indonesian Poet". Cultural Options and the Role of Tradition: A Collection of Essays on Modern Indonesian and Malaysian Literature. Canberra: Faculty of Asian Studies in association with the Australian National University Press. hlm. 124–140. ISBN 978-0-7081-0341-8.
- Johns, Anthony H. (1979b). "Cultural Options and the Role of Tradition: Fecundation of a New Malay Poetry". Cultural Options and the Role of Tradition: A Collection of Essays on Modern Indonesian and Malaysian Literature. Canberra: Faculty of Asian Studies in association with the Australian National University Press. hlm. 141–187. ISBN 978-0-7081-0341-8.
- Kurniawan (28 June 2010). "Puisi Amir Hamzah Bukan Sastra Sufi". Tempo.co. Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-25. Diakses tanggal 21 September 2013.
- Lindsay, Jennifer; Tan, Ying Ying (2003). Babel Or Behemoth: Language Trends in Asia. Singapore: NUS Press. ISBN 978-981-04-9075-1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-22. Diakses tanggal 2013-10-31.
- Mihardja, Achdiat K. (1955). "Amir Hamzah dalam Kenangan". (dalam bahasa Indonesia). Yogyakarta: Djawatan Kebudajaan. hlm. 113–122. OCLC 220483628. Tidak memiliki atau tanpa
|title=
(bantuan) - Musa (1955). "Asal Usul Keturunan Amir Hamzah". Tjatatan-tjatatan tentang Amir Hamzah (dalam bahasa Indonesia). Yogyakarta: Djawatan Kebudajaan. hlm. 7–13. OCLC 220483628.
- Raffel, Burton (1968) [1967]. Development of Modern Indonesian Poetry (edisi ke-2nd). Albany: State University of New York Press. ISBN 978-0-87395-024-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-22. Diakses tanggal 2013-10-31.
- Raffel, Burton (1970). Complete Prose and Poetry of Chairil Anwar (dalam bahasa Inggris). Albany: State University of New York Press. ISBN 978-0-87395-061-9.
- Rosidi, Ajip (1976). Ikhstisar Sejarah Sastra Indonesia (dalam bahasa Indonesia). Bandung: Binacipta. OCLC 609510126.
- Salam, Aprinus (2004). Oposisi Sastra Sufi (dalam bahasa Indonesia). Yogyakarta: LKiS. OCLC 978-979-3381-64-0 Periksa nilai
|oclc=
(bantuan). - Siapno, Jacqueline Aquino (2002). Gender, Islam, Nationalism and the State in Aceh: The Paradox of Power, Co-Optation and Resistance. London: Routledge. ISBN 978-0-7007-1513-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-22. Diakses tanggal 2013-10-31.
- Siregar, Bakri (1964). Sedjarah Sastera Indonesia (dalam bahasa Indonesia). 1. Jakarta: Akademi Sastera dan Bahasa "Multatuli". OCLC 63841626.
- Teeuw, A. (1955). Pokok dan Tokoh (dalam bahasa Indonesia). 1. Jakarta: Pembangunan. OCLC 428077105.
- Teeuw, A. (1980). Sastra Baru Indonesia (dalam bahasa Indonesia). 1. Ende: Nusa Indah. OCLC 222168801. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-22.
- Usman, Zuber (1959). Kesusasteraan Baru Indonesia dari Abdullah Bin Albdalkadir Munshi sampai kepada Chairil Anwar (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Gunung Mas. OCLC 19655561.
Pranala luar
- (Indonesia) Biografi Amir Hamzah di situs web Tokoh Indonesia Diarsipkan 2013-05-25 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Sang Pangeran yang Selalu Berada di Tengah (100 Tahun Tengku Amir Hamzah) Diarsipkan 2011-07-12 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Biodata singkat sastrawan Indonesia
- (Indonesia) Beberapa sajak dari Buah Rindu
- (Indonesia) Portal web Tengku Amir Hamzah