Revolusi Sosial Sumatera Timur
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
![]() |
Garis waktu |
![]() |
Revolusi Sosial Sumatera Timur adalah serangkaian gerakan sosial di Sumatera Timur oleh buruh dan pemuda pemudi berfaham komunis pada masa pasca proklamasi terhadap beberapa Kesultanan Melayu (Langkat, Deli, Asahan, Serdang, dan lainnya) yang mencapai puncaknya pada bulan Maret 1946. Revolusi ini juga menyebar ke wilayah Simalungun dan Karo. Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan antifeodalisme. Revolusi melibatkan mobilisasi buruh yang berujung pada pembunuhan anggota keluarga Kesultanan Melayu.[1]
Latar belakang
[sunting | sunting sumber]Karena sulitnya komunikasi dan transportasi, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 baru dibawa oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan selaku Gubernur Sumatera dan Mr. Mohammad Amir selaku Wakil Gubernur Sumatra dan diumumkan di Lapangan Fukereido (sekarang Lapangan Merdeka), Medan pada tanggal 6 Oktober 1945. Pada tanggal 9 Oktober 1945, pasukan Sekutu di Hindia Belanda (AFNEI) di bawah pimpinan Brigjen T.E.D. Kelly mendarat di Belawan.
Kedatangan pasukan AFNEI ini diboncengi oleh pasukan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan dan membebaskan tawanan perang orang-orang Belanda di Medan.[2] Pada pertengahan abad ke-19, perkebunan tembakau tumbuh dengan pesat di wilayah kesultanan Deli sehingga mengakibatkan migrasi buruh (koeli) perkebunan yang diangkut oleh Belanda.
Meletusnya revolusi sosial di Sumatera Utara tidak terlepas dari sikap sultan-sultan, raja-raja dan kaum feodal yang pada umumnya tidak begitu antusias terhadap kemerdekaan Indonesia. Karena, setelah Jepang masuk, Pemerintah Jepang mencabut semua hak istimewa kaum bangsawan dan lahan perkebunan diambil alih oleh para buruh. Kaum bangsawan tidak merasa senang dan berharap untuk mendapatkan hak-haknya kembali dengan bekerja sama dengan Belanda/NICA sehingga semakin menjauhkan diri dari pihak pro-republik.
Sementara itu, pihak pro-republik mendesak kepada komite nasional wilayah Sumatera Timur supaya daerah istimewa seperti pemerintahan swapraja/kerajaan dihapuskan dan menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi rakyat sesuai dengan semangat perjuangan kemerdekaan. Namun pihak pro-republik sendiri terpecah menjadi dua kubu; kubu moderat yang menginginkan pendekatan kooperatif untuk membujuk kaum bangsawan dan kubu radikal yang mengutamakan jalan kekerasan dengan penggalangan massa para buruh perkebunan.[3]
Revolusi Sosial Maret 1946
[sunting | sunting sumber]Peristiwa Tanjung Balai
[sunting | sunting sumber]Di Tanjung Balai, Asahan, 3 Maret 1946, sejak pagi ribuan massa telah berkumpul. Mereka mendengar bahwa Belanda akan mendarat di Tanjungbalai. Akan tetapi, kerumunan itu berubah haluan mengepung Istana Sultan Asahan. Awalnya gerakan massa ini dihadang TRI. Akan tetapi, karena jumlahnya sedikit, massa berhasil menyerbu Istana Sultan. Besoknya, semua pria bangsawan Melayu di Sumatera Timur ditangkap dan dibunuh. Hanya dalam beberapa hari, 140 orang tewas, termasuk para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan sebagian besar kelas tengku.
Peristiwa Simalungun, Karo, Langkat dan Deli
[sunting | sunting sumber]Di Tanjung Balai dan di Tanjung Pasir hampir semua kelas bangsawan mati terbunuh. Sedangkan di Simalungun, Barisan Harimau Liar (BHL) membunuh penguasa dan anggota keluarga penguasa Kerajaan Raya, Kerajaan Panei, Partuanon Dolok Panribuan, Kerajaan Dolok Silau, Kerajaan Purba, dan Kerajaan Silimakuta.[4] Gerakan ini juga memakan korban yang terjadi di Tanah Karo. Di daerah kesultanan besar, Deli, Serdang, dan Langkat, Persatuan Perjuangan mendapat perlawanan. Serdang yang memang dalam sejarahnya anti-Belanda tidak terlalu dibenci masyarakat dan juga terlindung karena ada markas pasukan TRI di Perbaungan. Sedangkan, Istana Sultan Deli terlindung akibat adanya benteng pertahanan tentara sekutu di Medan, sementara Istana Langkat juga terlalu kuat untuk diserbu.

Pergolakan sosial berlanjut sampai 8 Maret 1946. Sultan Bilah dan Sultan Langkat ditangkap lalu dibunuh. [3] Gerakan itu begitu cepat menjalar ke seluruh pelosok daerah Sumatera Timur oleh para aktivis PKI. Puluhan orang yang berhubungan dengan swapraja ditahan dan dipenjarakan oleh laskar-laskar yang tergabung dalam Volksfront. Di Binjai, Tengku Kamil dan Pangeran Stabat ditangkap bersama beberapa orang pengawalnya. Istri-istri mereka juga ditangkap dan ditawan ditempat berpisah. [5]
Tanggapan pemerintah
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 5 Maret Wakil Gubernur Mr. Amir mengeluarkan pengumuman bahwa gerakan itu suatu “Revolusi Sosial”. Keterlibatan aktivis Partai Komunis Indonesia dalam revolusi sosial di Sumatera Timur memberikan kontribusi besar; terlebih lagi tanggal 6 Maret 1946, Wakil Gubernur Dr. Amir secara resmi mengangkat M. Joenoes Nasoetion, yang juga Ketua PKI Sumatera Timur sebagai Residen Sumatera Timur. Untuk meminimalkan korban Revolusi Sosial, Residen Sumatra Timur M. Joenoes Nasution untuk sementara waktu bekerja sama dengan BP.KNI maupun Volksfront, dan Mr. Luat Siregar diangkat menjadi Juru Damai (Pasifikator) untuk seluruh wilayah Sumatra Timur dengan kewenangan seluas-luasnya.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Nationalism and Revolution in Indonesia, George McTurnan Kahin, Cornell University Press, 2003 (cetak pertama 1952), hal.412, ISBN 0-87727-734-6
- ^ "Kalender Peristiwa 6 Oktober 1945 Sejarah TNI". Diarsipkan dari asli tanggal 2016-03-05. Diakses tanggal 2010-12-27.
- ^ a b Patologi Sebuah Revolusi: Catatan Anthony Reid tentang Revolusi Sosial di Sumatera Timur Maret 19461, Wara Sinuhaji, Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Sastra USU, Historisme, Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007 [1] Diarsipkan 2011-08-12 di Wayback Machine.
- ^ Harahap, Hanif (2019). "Revolusi Sosial di Simalungun Tahun 1946". JASMERAH: Journal of Education and Historical Studies. 1 (2): 48–55.
- ^ "Sejarah Kabupaten Karo". Diarsipkan dari asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 2010-12-23.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Ariffin, Omar (1993). Bangsa Melayu: Malay Concepts of Democracy and Community 1945–1950. Oxford: Oxford University Press. ISBN 0195886135.
- Ariffin, Omar (1999). Revolusi Indonesia dan Bangsa Melayu: Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan Melayu Sumatera Timur Pada Tahun 1946. Pulau Pinang: Koperasi Kedai Buku Universiti Sains Malaysia Sdn Bhd. ISBN 983861193X.
- Dick, H.W. (2002). The Emergence of a National Economy : An Economic History of Indonesia, 1800-2000. Australia: Asian Studies Association of Australia in association with Allen & Unwin. ISBN 9781741150209.
- Kahin, Audrey R. (1985). Regional Dynamics of the Indonesian Revolution: Unity From Diversity. United States: University of Hawaii Press. ISBN 0824809823.
- Kahin, George McTurnan (1970). Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornell University Press. ISBN 0-8014-9108-8.
- Kahin, Audrey (1999). Rebellion to Integration: West Sumatra and the Indonesian Polity. Amsterdam: Amsterdam University Press. ISBN 9053563954.
- Kipp, Rita Smith (1996). Dissociated Identities: Ethnicity, Religion and Class in an Indonesian Society. Ann Arbor: University of Michigan Press. ISBN 047208402X.
- Bertrand, Jacques; Laliberte, Ander (2010). Multination States in Asia: Accommodation or Resistance. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 34. ISBN 978-0511750755.
- Langenberg, Michael. van. (April 1982). "Class and Ethnic Conflict in Indonesian's Decolonization Process: A Study of East Sumatra" (PDF). Indonesia. 33 (33). Cornell University: Indonesia Southeast Asia Program Publications: 1–30. doi:10.2307/3350925. JSTOR 3350925.
- McMillan, Richard (2005). The British Occupation of Indonesia, 1945-1946: Britain, the Netherlands and the Indonesian revolution. New York: Routledge.
- Milner, Anthony (2011). The Malays. United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd. ISBN 978-1444339031.
- Palazzo, Albert. "The Netherlands East Indies and the Pacific War". Allies in Adversity. Australia and the Dutch in the Pacific War. Australian War Memorial.
- Poulgrain, Greg (1998). The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei and Indonesia 1945–1965. Australia: Crawford House Publishing Pty Ltd. ISBN 1850655138.
- Reid, Anthony (1971). "The Birth of the Republic in Sumatra" (PDF). Indonesia. 12 (Oct): 21–46. doi:10.2307/3350656. JSTOR 3350656.
- Reid, Anthony (2004). An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra. Brill. doi:10.1163/9789004486553_018. ISBN 978-90-04-48655-3.
- Reid, Anthony (2005). An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra. Singapore: Singapore University Press. ISBN 9971692988.
- Reid, Anthony (2014). The Blood of the People: Revolution & the End of Traditional Rule in Northern Sumatra. Singapore: NUS Press. ISBN 978-9971-69-637-5.
- Said, H. Mohammed (April 1973). "What was the Social Revolution of 1946 in East Sumatra" (PDF). Indonesia. 15 (15). Cornell University: Indonesia Southeast Asia Program Publications: 145–186. doi:10.2307/3350795. hdl:1813/53556. JSTOR 3350795.
- Sutherland, Heather; van Goor, J. (1986). "The Indonesian Revolution: A Review". Indonesia. 42 (42): 113–118. doi:10.2307/3351190. hdl:1813/53847. JSTOR 3351190.