Penembakan misterius

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus adalah suatu operasi rahasia pada masa Pemerintahan Soeharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus" (penembak misterius).

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Petrus berawal dari operasi pe­nang­gulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan peng­har­gaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keber­ha­silan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat. Pada Maret tahun yang sama, di hadap­an Rapim ABRI, Soehar­to meminta ABRI mengambil lang­kah pemberantasan yang efektif me­ne­kan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Pang­­­opkamtib Laksamana Soedomo da­lam rapat koordinasi dengan Pangdam Ja­ya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Ja­ya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh ABRI di ma­sing-masing kota dan provinsi lainnya.[1]

Akibat[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di an­­taranya 15 orang tewas ditembak. Ta­hun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di an­taranya tewas ditembak. Para korban Pe­trus sendiri saat ditemukan masyarakat da­lam kondisi tangan dan lehernya te­ri­kat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, la­ut, hutan dan kebun. Pola pengambilan pa­ra korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat ke­amanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983). Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S. Memet yang punya rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.[1]

Kontroversi[sunting | sunting sumber]

Masalah Petrus waktu itu memang jadi berita hangat, ada yang pro dan kontra, baik dari kalangan hukum, politisi sampai pe­megang kekuasaan. Amnesti Internasional pun juga mengirimkan surat untuk menanyakan kebijakan pemerintah Indonesia ini.

Tanggapan[sunting | sunting sumber]

Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi, kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan.. dor.. dor.. begitu saja, bukan! Yang melawan, mau tidak mau, harus ditembak. Karena melawan, mereka ditembak. Lalu, ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Ini supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka, kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu.

— Suharto (Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), yang ditulis Ramadhan K.H.)

Ja­ngan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi ma­ti. Jadi syarat sebagai negara hukum su­dah terpenuhi. Setiap usaha yang bertentangan de­ngan hukum akan membawa negara ini pa­da kehancuran.

— Mantan Wapres Adam Malik (Sinar Harapan, 25 Juli 1983)

Landasan hukum operasi yang ditanganinya adalah Operasi Clurit. Sedang landasan pelaksanaannya adalah tingkat keresahan masyarakat.

— Dandim 0734 Letkol CZI M. Hasbi (Kompas, 15 April 1983)

Aparat keamanan bertekad menurunkan angka kejahatan, walaupun harus ditempuh dengan berbagai cara yang lunak sampai tindakan keras. Selama tiga bulan operasi penumpasan kejahatan di Semarang dan Solo, polisi berhasil menangkap 1.091 penjahat. Di antaranya 29 orang tewas tertembak dan empat lainnya tewas dikeroyok massa yang menangkap.

— Kadapol IX/Jateng Mayjen (Pol) Montolalu (Kompas, 23 Juni 1983)

Yang menyebut ada penembakan misterius hanyalah media massa sendiri.

— Pangdam V Jaya/Pangkopkamtibda Mayjen TNI Try Sutrisno bersama Deputy Kapolri Letjen Pol Drs Pamudji dan Kadapol Metro Jaya, Mayjen Pol Drs R Soedjoko (Sinar Harapan dan Berita Harian Gala, 24 Juni 1983).

Setuju mengenai adanya penembak-penembak misterius dalam menumpas pelaku kejahatan. Demi untuk memberikan rasa aman kepada 150 juta rakyat Indonesia, tidak keberatan apabila ratusan orang pelaku kejahatan harus dikorbankan.

— Ketua MPR/DPR Amir Machmud (Sinar Harapan, 21 Juli 1983).

Penjahat mati misterius tidak perlu dipersoalkan , mengenai adanya surat Amnesti Internasional, yang katanya mempersoalkan ini itu, termasuk penjahat terbunuh di Indonesia. Ini merupakan kepentingan yang lebih besar daripada mempersoalkan penjahat yang mati misterius, dan persoalan-persoalan asas yang dipermasalahkan.

— Kepala BAKIN Yoga Sugama (Berita Harian Gala, 25 Juli 1983).

Saya melihat sistem konvensional ini sudah tidak bisa mengatasi masalah kriminal yang terjadi di Indonesia, maka ini harus diambil satu pertimbangan, kriminalitas dibasmi atau tidak. Jadi keputusannya dibasmi demi kepentingan rakyat

— Wakil Ketua DPA Ali Murtopo (Sinar Harapan, 28 Juli 1983).

Sedikitnya ada empat aspek yang harus diperhatikan, yaitu aspek keamanan, sosial, ekonomi dan politik. Memang aspek keamanan lebih menonjol, tapi tidak berarti aspek lainnya dapat ditinggalkan! Untuk itu para petugas keamanan agar tidak hanya terpukau pada aspek yang menonjol itu saja, tapi harus mendalami keseluruhan permasalahannya.

— Oka Mahendra S.H. (Kompas, 16 April 1983).

Jika usaha pemberantasan kejahatan dilakukan hanya dengan main tembak tanpa melalui proses pengadilan maka hal itu tidak menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan. Padahal kedua masalah tersebut merupakan tuntutan hakiki yang diperjuangkan orang sejak zaman Romawi Kuno. Jika cara-cara seperti itu terus dilakukan maka lebih baik lembaga pengadilan dibubarkan saja. Jika ada pejabat apapun pangkatnya dan kedudukannya, mengatakan tindakan main dor-doran itu benar, saya tetap mengatakan hal itu adalah salah.

— Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Adnan Buyung Nasution SH (Sinar Harapan, 6 Mei 1983).

Sekalipun mereka penjahat, namun sebagai manusia berhak mendapat keadilan melalui lembaga peradilan. Dan menembak ditempat, walaupun oleh petugas Negara, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan.

— Ketua Yayasan LBH Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Adnan Buyung Nasution S.H. (Sinar Harapan, 14 Mei 1983).

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama wawasandigital.com