Kerajaan Bali

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kerajaan Bali

ᬓ᭄ᬭᬚᬵᬦ᭄ᬩᬮᬶ (Bali)
बली राज्य (Sanskerta)
914–1908
Bendera Bali
Bendera
Lagu kebangsaan"Bali Dwipa jaya"
Wilayah kekuasaan kerajaan bali pada pertengahan abad ke-16 wilayah kekuasaanya mencakup Blambangan(Banyuwangi) hingga Sumbawa bagian barat
Wilayah kekuasaan kerajaan bali pada pertengahan abad ke-16 wilayah kekuasaanya mencakup Blambangan(Banyuwangi) hingga Sumbawa bagian barat
StatusKerajaan
Ibu kota
Bahasa yang umum digunakanBali (Bahasa Utama)
Kawi dan Sansekerta (Religius)
Agama
Hindu (resmi)
Buddha Mahayana
animisme
PemerintahanMonarki
Raja, Arya, Dalem, Dewa Agung 
• c. 914
Sri Kesari Warmadewa
• c. akhir abad ke-10
Udayana Warmadewa
• c. awal abad ke-11
Anak Wungçu
• c. 1180
Jayapangus
• c. 1343
Sri Aji Kresna Kepakisan
• c. pertengahan abad ke-16
Dalem Baturenggong
• c. 1908
Dewa Agung Jambe II (Kerajaan Klungkung)
Pendirian
Sejarah 
914
• Invasi Tumapel
1284
• Invasi Majapahit
1343
1908
Mata uangKoin perak lokal, dan uang kepeng China (pis bolong)
Didahului oleh
Digantikan oleh
Prasejarah Indonesia
krjKerajaan
Medang
krjKerajaan
Panjalu
krjKerajaan
Tumapel
krjKerajaan
Majapahit
Hindia Belanda
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Bali(Aksara Bali: ᬓ᭄ᬭᬚᬵᬦ᭄ᬩᬮᬶ translit. krajaan Bali) merupakan istilah untuk serangkaian kerajaan Hindu-Budha yang pernah memerintah di Bali, di Kepulauan Sunda Kecil, Indonesia. Adapun kerajaan-kerajaan tersebut terbagi dalam beberapa masa sesuai dinasti yang memerintah saat itu. Dengan sejarah kerajaan asli Bali yang terbentang dari awal abad ke-10 hingga awal abad ke-20, kerajaan Bali menunjukkan budaya istana Bali yang luhur, di mana unsur-unsur spiritual penghormatan kepada arwah leluhur dikombinasikan dengan pengaruh ajaran Hindu, yang diadopsi dari India melalui perantara Jawa kuno, berkembang, memperkaya, dan membentuk budaya Bali.

Karena kedekatan dan hubungan budaya yang erat dengan pulau Jawa yang berdekatan selama periode Hindu-Budha Indonesia, sejarah Kerajaan Bali sering terjalin dan sangat dipengaruhi oleh kerajaan di Jawa, dari kerajaan Medang pada abad ke-9 sampai ke kerajaan Majapahit pada abad ke-13 hingga 15. Budaya, bahasa, seni, dan arsitektur di pulau Bali dipengaruhi oleh Jawa. Pengaruh dan kehadiran orang Jawa semakin kuat dengan jatuhnya kerajaan Majapahit pada akhir abad ke-15. Setelah kekaisaran jatuh di bawah Kesultanan Muslim Demak, sejumlah abdi dalem Hindu, bangsawan, pendeta, dan pengrajin, menemukan tempat perlindungan di pulau Bali. Akibatnya, Bali menjadi apa yang digambarkan oleh sejarawan Ramesh Chandra Majumdar sebagai benteng terakhir budaya dan peradaban Indo-Jawa. Kerajaan Bali pada abad-abad berikutnya memperluas pengaruhnya ke pulau-pulau tetangga. Kerajaan Gelgel Bali misalnya memperluas pengaruh mereka dan mendirikan koloni di wilayah Blambangan di ujung timur Jawa, pulau tetangga Lombok, hingga bagian barat pulau Sumbawa, sementara Karangasem mendirikan Koloni mereka di Lombok Barat pada periode selanjutnya.

Sejak pertengahan abad ke-19, negara kolonial Hindia Belanda mulai terlibat di Bali, ketika mereka meluncurkan kampanye mereka melawan kerajaan kecil Bali satu per satu. Pada awal abad ke-20, Belanda telah menaklukkan Bali karena kerajaan-kerajaan kecil ini jatuh di bawah kendali mereka, baik dengan kekerasan atau dengan pertempuran, diikuti dengan ritual massal bunuh diri, atau menyerah dengan damai kepada Belanda. Dengan kata lain, meskipun beberapa penerus kerajaan Bali masih hidup, peristiwa-peristiwa ini mengakhiri masa kerajaan independen asli Bali, karena pemerintah daerah berubah menjadi pemerintahan kolonial Belanda, dan kemudian pemerintah Bali di dalam Republik Indonesia.

Nama Resmi Kerajaan[sunting | sunting sumber]

Salah satu prasasti berangka tahun 875 Saka/953 M berbahasa Sansekerta menyebut nama "Sri Walipuram" yang mengandung arti, bahwa Bali merupakan suatu kerajaan. Selain itu juga, ada beberapa prasasti yang menyebut kata baladwipamandala, misalnya Prasasti Klandis menyebutkan;

“… ring maniratna singhasana siniwi sabalidwipamandala…” artinya: “… (sang raja) yang duduk di atas singgasana bertahtakan emas-permata dipuja oleh seluruh rakyat di wilayah Pulau Bali…”

Selanjutnya dalam Prasasti Dausa Indrakila A II (983 Saka/1061 M) menyebutkan:

“… nityasa kuminking sakaparipunnakna nikang balipamandala…” artinya: “… (raja) senantiasa memikirkan kesejahteraan rakyat di seluruh wilayah Pulau Bali…”.

Selain ungkapan tersebut, dalam Prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1103 Saka/1181 M, Bali disebut dengan istilah “baliwipanagara” yang dapat diartikan Bali merupakan suatu Negara.

Sumber Sejarah[sunting | sunting sumber]

Sumber yang cukup penting tentang Kerajaan Bali adalah prasasti yang berangka 881 M. Bahasa yang dipakai adalah Bahasa Bali Kuno. Ada juga prasasti yang tertulis dalam bahasa Sanskerta. Pada abad ke-11, sudah ada berita dari Tiongkok yang menjelaskan tentang tanah Po-Li (Bali). Berita Tiongkok itu menyebutkan bahwa adat istiadat penduduk di tanah Po-Li hampir sama dengan masyarakat Ho-ling (Kalingga). Penduduknya menulis di atas daun lontar. Bila orang meninggal, mulutnya di masukan emas kemudian dibakar. Adat semacam ini masih berlangsung di Bali. Adat itu dinamakan Ngaben. Salah satu keluarga terkenal yang memerintah Bali adalah Wangsa Warmadewa. Hal itu dapat diketahui dari Prasasti Blanjong berangka 914 ditemukan di Desa Blanjong, dekat Sanur, Denpasar, Bali. Tulisannya bertulisan Nagari (India), dan sebagian berbahasa Sanskerta. Diberitakan bahwa raja yang memerintah adalah Raja Khesari Warmadewa. Pada tahun 915, Raja Khesari Warmadewa digantikan oleh Ugrasena.

Daftar Raja - Raja Bali[sunting | sunting sumber]

Raja-raja Bali sebelum penyerangan Majapahit yang datanya didapat berdasarkan prasasti.

Wangsa Warmadewa[sunting | sunting sumber]

Berikut adalah raja-raja yang dianggap termasuk dalam wangsa Warmadewa:[1][2][3]

  • Śri Kesari Warmadewa (ca. 913-914 M), disebutkan dalam prasasti Blanjong (835 Ç), prasasti Panempahan dan prasasti Malet Gede (835 Ç)
  • Śri Ugrasena (ca. 915-942 M). Raja Ugrasena mengeluarkan prasasti-prasastinya tahun 837-864 Ç (915-942 M). Sedikitnya ada sembilan buah prasasti yang dikeluarkan, dan semuanya berbahasa Bali Kuno. Prasasti-prasasti yang dimaksud adalah prasasti Srokadan (837 Ç), Babahan I (839 Ç), Sembiran AI (844 Ç), Pengotan AI (846 Ç), Batunya AI (855 Ç), Dausa, Pura Bukit Indrakila AI (857 Ç), Serai AI (858 Ç), Dausa, Pura Bukit Indrakila BI (864 Ç), Gobleg, Pura Batur A.
  • Sang Ratu Sri Haji Tabanendra Warmadewa (ca. 955-967 M) memerintah bersama dengan permaisurinya yaitu Sri Subhadrika Dharmmadewi pada kurun waktu 877-889 Ç (955-977 M). Sedikitnya ada 4 prasasti yang memuat nama raja suami-istri tersebut, yakni prasasti Manik Liu AI (877 Ç), Manik Liu BI (877 Ç), Manik Liu C (877 Ç), Kintamani A (889 Ç)
  • Indrajayasingha Warmadewa disebut juga Candrabhaya Singha Warmadewa (penguasa bersama, Saka 878-896/ca. 956-974 M), pendiri Tirta Empul dan berdasarkan prasasti Manukaya (882 Ç)
  • Janasadhu Warmadewa (ca. 975 M), satu-satunya prasasti atas nama raja tersebut adalah prasasti Sembiran AII (897 Ç).[4]
  • Śri Wijaya Mahadewi (ratu, ca. 983 M), Satu-satunya prasasti menyebut nama raja ini adalah prasasti Gobleg, Pura Desa II (905 Ç)
  • Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni (ratu, sebelum 989-1007 M).[a] Memerintah bersama Dharma Udayana Warmadewa (ca. 989-1011 M) [suami Gunapriya] Raja suami-istri itu termuat dalam beberapa prasasti, yakni Prasasti Bebetin A I (911 Ç), Serai AII (915 Ç), Buwahan A (916 Ç), Sading A (923 Ç). Dalam prasasti, nama Gunapriyadharmapatni lebih dahulu disebutkan daripada Udayana. Pada tahun 933 Ç, terbit sebuah prasasti atas nama raja Udayana sendiri, tanpa permaisurinya, yakni Prasasti Batur, Pura Abang A (933 Ç).
  • Śri Ajñadewi atau Çri Adnya Dewi (ratu, ca. 1011-1016 M) yang mengeluarkan prasasti Sembiran AIII (938 Ç)
  • Airlangga (c. 1019-1042; Raja Medang Kahuripan) [kakak Marakata Pangkaja dan Anak Wungsu]
  • Dharmawangsa Wardhana Marakatapangkaja atau Marakata Pangkaja Sthana Tunggadewa atau Paduka Haji Sri Dharmawangsawardhana Marakatapangkajasthanottunggadewa(ca. 1016-1025 M) [anak Dharma Udayana] yang mengeluarkan prasasti-prasasti antara lain Prasasti Batuan (944 Ç), Prasasti Sawan AI (945 Ç), Tengkulak A (945 Ç), Buwahan B (947 Ç).
  • Anak Wungsu (ca. 971-999 Ç, 1025-1077 M) [adik Airlangga dan Marakata Pangkaja] Raja yang memerintah terlama diantara raja-raja pada jaman Bali Kuno. Ada 31 prasasti dikeluarkannya atau yang dapat diidentifikasikan sebagai prasasti-prasasti yang terbit pada masa pemerintahannya.
  • Śri Maharaja Walaprabhu (antara 1001-1010 Ç, 1079–1088 M) mengeluarkan tiga buah prasasti yaitu Prasasti Babahan II, prasasti Ababi A, prasasti Klandis.
  • Śri Maharaja Sakalendukirana Laksmidhara Wijayottunggadewi atau Paduka Sri Maharaja Sri Çlendukirana Isana Gunadharmma Lakumidhara Wijayatunggadewi (ratu, ca. 1088-1101 M) Gelar ini terbaca dalam prasasti Pengotan BI (1010 Ç) dan Pengotan BII (1023 Ç).
  • Śri Maharaja Sri Suradhipa (ca. 1115-1119) mengeluarkan prasasti-prasasti Gobleg, Pura Desa III (1037 Ç), Angsari B (1041 Ç), Ababi, dan Tengkulak D.
  • Setelah berakhirnya masa pemerintahan raja Suradhipa, dimulailah masa pemerintahan "Wangsa Jaya" yang merupakan pecahan dari wangsa Warmadewa, secara beruntun memerintah di Bali terdapat empat orang raja yang menggunakan unsur Jaya dalam gelarnya, yaitu:
  1. Paduka Śri Maharaja Śri Jayaśakti tahun 1055-1072 Saka (1133-1150 M)
  2. Paduka Śri Maharaja Sri Ragajaya tahun 1077 Saka (1155 M)
  3. Paduka Śri Maharaja Jayapangus tahun 1099-1103 Saka (1178-1181 M)
  4. Paduka Śri Maharaja Ekajayalancana beserta ibunya yaitu Paduka Sri Maharaja Sri Arjaryya Dengjayaketana yang mengeluarkan prasastinya pada tahun 1122 Saka (1200 M).[5]

Wangsa Jaya[sunting | sunting sumber]

Berikut daftar raja Bali Kuno, Wangsa Jaya;[3]

Wangsa Singasari[sunting | sunting sumber]

Singasari menaklukkan Bali tahun 1284 M (1208 Ç)

  • Kryan Demung Sasabungalan (Saka 1206/1284 M)
  • Rajapatih Makakasar, Kbo Parud atau Kebo Parud Makakasir (wakil Singasari, ca. 1296-1324 M)[c] disebutkan dalam prasasti Pengotan E (1218 Ç) dan Sukawana D (1222 Ç). Apabila dilihat dari angka tahun prasasti yang dikeluarkan, maka rajapatih ini mengisi kekosongan pemerintahan setelah masa pemerintahan Raja Adidewalancana.
  • Sri Masula Masuli (Saka 1246/1324 M)

Singasari runtuh dan Bali menjadi kerajaan mandiri.

  • Mahaguru Dharmottungga Warmadewa atau Bethara Çri Maha Guru (sebelum 1324-1328 M) atau Bhatara Sri Mahaguru (1246-1247 Ç). Ia mengeluarkan tiga buah prasasti, namun memuat gelarnya berbeda-beda. Dalam prasasti Srokadan (1246 Ç) disebut dengan Paduka Bhatara Guru yang memerintah bersama-sama dengan cucunya (putunira), yakni Paduka Aji Sri Tarunajaya. Dalam prasasti Cempaga C (1246 Ç) disebut dengan gelar Paduka Bhatara Sri Mahaguru dan dalam prasasti Tumbu (1247 Ç) Paduka Sri Maharaja Sri Bhatara Mahaguru Dharmottungga Warmadewa.[3]
  • Walajayakertaningrat atau Çri Walajaya Krethaningrat atau Paduka Tara SriWalajayakattaningrat (1250 Ç, 1328-1337 M) [anak Dharmottungga], terbaca dalam prasasti Selumbung.[3]
  • Śri Astasura Ratna Bumi Banten atau disebut juga Paduka Bhatara Sri Astasura Ratnabhumibanten (ca. 1337-1343 M)[d] Gelar ini terbaca dalam prasasti Langgahan yang berangka tahun 1259 Ç.[3]

Majapahit menaklukkan Bali 1343 M.

Kerajaan Bali Dwipa (kerajaan awal)[sunting | sunting sumber]

Stupika yang berisi tablet nazar Buddha, Bali abad ke-8. Stupa berbentuk lonceng mirip dengan seni Budha Jawa Tengah.
Prasasti Blanjong di Sanur (914), salah satu prasasti paling awal di Bali.

Bali telah dihuni oleh manusia sejak zaman Paleolitik (1 SM ke 200.000 SM), dibuktikan oleh penemuan alat kuno seperti kapak tangan di desa Sembiran dan desa Trunyan di Bali.[6][7] Diikuti oleh periode Mesolitik (200.000-3.000 SM); nenek moyang penduduk Bali saat ini mencapai pulau itu sekitar 3000 hingga 600 SM selama periode Neolitikum, ditandai dengan teknologi penanaman padi dan berbicara bahasa Austronesia. Periode Zaman Perunggu mengikuti, dari sekitar 600 SM hingga 800 M.

Periode sejarah di Bali dimulai sekitar abad ke-8 M, ditandai dengan ditemukannya prasasti nazar Buddhis tertulis yang terbuat dari tanah lempung. Tablet nazar Buddha, yang ditemukan di patung-patung stupa tanah liat kecil yang disebut "stupika", adalah prasasti tertulis pertama yang diketahui di Bali dan berasal dari sekitar abad ke-8 M.[6] Stupika lainnya semacam itu telah ditemukan di Kabupaten Gianyar, di desa Pejeng, Tatiapi, dan Blahbatuh.[6] Loka-lava berbentuk lonceng mirip dengan gaya stupa abad ke-8 seni Buddha Jawa Tengah yang ditemukan di Borobudur dan candi-candi Budha lainnya yang berasal dari periode itu, yang menunjukkan hubungan Sailendra dengan para peziarah Budha atau penduduk sejarah awal Bali.

Pada awal abad ke-10, Sri Kesari Warmadewa menciptakan prasasti pilar Belanjong yang ditemukan di dekat jalur selatan pantai Sanur. Itu adalah tulisan tertua yang dibuat oleh penguasa yang ditemukan di Bali. Pilar tersebut bertanggal sesuai dengan kalender Saka India, pada 836 saka (914 M).[8] Menurut prasasti itu, Sri Kesari adalah seorang raja Buddha dari Dinasti Syailendra yang memimpin ekspedisi militer,[9] untuk mendirikan pemerintahan Buddha Mahayana di Bali.[10] Dua prasasti lain oleh Kesari dikenal di pedalaman Bali, yang menunjukkan konflik di pedalaman pegunungan di pulau itu. Sri Kesari dianggap sebagai pendiri dinasti Warmadewa, penguasa Bali yang diketahui paling awal, yang makmur selama beberapa generasi sebelum ekspansi dari pulau Jawa.

Tampaknya, pusat peradaban awal Bali pertama kali terletak di daerah Sanur di sebelah timur kota Denpasar hari ini, dan kemudian pusat politik, agama dan budaya pindah ke pedalaman utara, berkelompok di sekitar dataran selatan di masa kini di Kabupaten Gianyar; lebih tepatnya di pusat kerajaan tua di Bedulu, dekat Goa Gajah dan Gianyar. Kuil gua batu dan tempat pemandian Goa Gajah, dekat Ubud di Gianyar, dibuat sekitar periode yang sama. Ini menunjukkan kombinasi ikonografi Buddha dan Hindu Siwa. Beberapa ukiran stupa, stupikas (stupa kecil), dan gambar Boddhisattva menunjukkan bahwa dinasti Warmadewa adalah pelindung Buddhisme Mahayana. Namun demikian, agama Hindu juga dipraktikkan di Bali selama periode ini.

Raja dari Wangsa Warmadewa[sunting | sunting sumber]

Raja-raja dari Wangsa Warmadewa yang pernah memerintah Bali yaitu

Ikatan dengan Kerajaan di Jawa[sunting | sunting sumber]

Ukiran batu di candi kuil Gunung Kawi menunjukkan gaya candi serupa Jawa selama periode Medang akhir.

Pada paruh kedua abad ke-10, Bali diperintah oleh raja Udayana Warmadewa dan ratunya, Mahendradatta, seorang putri dinasti Isyana dari Jawa Timur. Mahendradatta adalah putri raja Sri Makutawangsawarddhana, dan saudara perempuan raja Dharmawangsa dari Kerajaan Medang. Kehadiran ratu Jawa di istana Bali menunjukkan bahwa kemungkinan Bali telah membentuk aliansi dengan Jawa Timur, atau Bali adalah bawahan Jawa; pernikahan mereka adalah pengaturan politik untuk menyegel Bali sebagai bagian dari wilayah Medang, Jawa Timur. Pasangan kerajaan Bali adalah orang tua dari raja Jawa yang terkenal, Airlangga (991-1049). Adik laki-laki Airlangga, Marakata dan kemudian Anak Wungçu naik ke tahta orang Bali.

Kuil candi batu dari Gunung Kawi di Tampaksiring dibuat sekitar periode yang sama. Ini menunjukkan gaya candi serupa Jawa selama periode Medang akhir. Dinasti Warmadewa terus memerintah Bali dengan baik sampai abad ke-12 dengan masa pemerintahan Jayasakti (1146–50) dan Jayapangus (1178–81). Tidak ada bukti jelas tentang kontak dengan kekaisaran Cina secara politik selama periode ini namun koin Cina yang disebut kepeng banyak digunakan dalam perekonomian Jawa-Bali. Pada abad ke-12, raja Jayapangus dari Bali utara diketahui telah menikahi seorang wanita pedagang tiongkok, dan telah diabadikan melalui bentuk seni Barong Landung sebagai patung raja dan permaisur Cina-nya.

Setelah dinasti Warmadewa, keturunan mereka dan hubungan mereka dengan istana Jawa, tidak ada informasi lebih lanjut yang terus menerus ditemukan tentang para penguasa Bali. Tampaknya Bali telah mengembangkan dinasti asli baru yang cukup independen dari Jawa.

Pada akhir abad ke-13, Bali sekali lagi muncul dalam sumber Jawa seperti pada 1284, raja Kertanegara meluncurkan ekspedisi ofensif Pabali melawan penguasa Bali, yang mengintegrasikan Bali ke dalam wilayah Singhasari. Namun, setelah pemberontakan Gelang-gelang Jayakatwang pada tahun 1292 yang menyebabkan kematian Kertanegara dan jatuhnya Singhasari, Jawa tidak dapat menegaskan kekuasaan mereka atas Bali, dan sekali lagi penguasa Bali menikmati kemerdekaan mereka dari Jawa.

Kontak Jawa menyebabkan dampak yang mendalam pada bahasa Bali yang dipengaruhi oleh bahasa Kawi, gaya Jawa Kuno. Bahasa ini masih digunakan di Bali meskipun sudah jarang.[11][12]

Periode Majapahit[sunting | sunting sumber]

Pura Maospahit ("Pura Majapahit") di Denpasar, Bali, memperagakan arsitektur bata merah khas Majapahit.

Di Jawa Timur, Majapahit di bawah pemerintahan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Perdana Menteri Gajah Mada yang cakap dan ambisius, menyaksikan perluasan armada Majapahit ke pulau-pulau tetangga di kepulauan Indonesia termasuk Bali yang berdekatan. Menurut naskah Babad Arya Tabanan, pada tahun 1342 pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada dibantu oleh jendralnya Arya Damar, bupati Palembang, mendarat di Bali. Setelah tujuh bulan pertempuran, pasukan Majapahit mengalahkan raja Bali di Bedulu (Bedahulu) pada tahun 1343. Setelah penaklukan Bali, Majapahit mendistribusikan otoritas pemerintahan Bali di antara saudara-saudara muda Arya Damar; Arya Kenceng, Arya Kutawaringin, Arya Sentong dan Arya Belog. Arya Kenceng memimpin saudara-saudaranya untuk memerintah Bali di bawah panji Majapahit, ia menjadi leluhur raja-raja Bali dari trah kerajaan Tabanan dan Badung.

Pupuh 14 Nagarakretagama, disusun pada masa pemerintahan Hayam Wuruk pada tahun 1365, menyebutkan beberapa tempat di Bali; Bedahulu dan Lwa Gajah (diidentifikasikan sebagai Goa Gajah) sebagai tempat di bawah kekuasaan Majapahit. Ibu kota Majapahit di Bali didirikan di Samprangan dan kemudian Gelgel. Menyusul kematian Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki periode penurunan yang stabil dengan konflik atas suksesi, di antaranya adalah perang Paregreg (1405 hingga 1406).[13]

Pada tahun 1468, Pangeran Kertabhumi memberontak terhadap Raja Singhawikramawardhana dan menguasai Trowulan. Singhawikramawardhana yang kalah pergi dari ibu kota lebih jauh ke pedalaman ke Daha (bekas ibu kota Kadiri), secara efektif membagi Majapahit menjadi dua pusat kekuasaan; Trowulan dan Daha. Pada tahun 1474 Singhawikramawardhana meninggal dan digantikan oleh Dyah Ranawijaya, yang memerintah dari Daha. Untuk menjaga pengaruh Majapahit dan kepentingan ekonomi, Kertabhumi menganugerahi hak dagang pedagang Muslim di pantai utara Jawa, sebuah tindakan yang mengarah pada kesultanan Demak dalam beberapa dekade berikutnya. Kebijakan ini meningkatkan ekonomi dan pengaruh Majapahit, tetapi melemahkan posisi Hindu-Budha sebagai agama utama, karena Islam mulai menyebar lebih cepat dan bebas di Jawa. Keluhan pengikut Hindu-Buddha kemudian mendesak Ranawijaya untuk mengalahkan Kertabhumi.

Pada 1478, pasukan Ranawijaya di bawah Patih Udara melanggar pertahanan Trowulan dan membunuh Kertabumi di istananya,[14][15] Demak mengirim bala bantuan di bawah Sunan Ngudung, yang kemudian mati dalam pertempuran dan digantikan oleh Sunan Kudus, tetapi mereka datang terlambat untuk menyelamatkan Kertabhumi meskipun mereka berhasil mengusir tentara Ranawijaya. Peristiwa ini disebutkan dalam prasasti Jiwu dan Petak, di mana Ranawijaya mengklaim bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi dan menyatukan kembali Majapahit sebagai satu Kerajaan.[16] Ranawijaya memerintah dari tahun 1474 hingga 1498 dengan nama resmi Girindrawardhana, dengan Patih Udara sebagai Perdana Menteri. Peristiwa ini menyebabkan perang antara Kesultanan Demak dan Daha, karena penguasa Demak kala itu, Raden Patah, adalah keturunan Bhre Kertabhumi.

Pada 1498, Patih Udara melakukan kudeta dan mengalahkan Girindrawardhana dan perang antara Demak dan Daha surut. Tetapi keseimbangan yang rapuh ini berakhir ketika patih Udara meminta bantuan ke Portugal di Malaka dan memimpin Adipati Unus dari Demak untuk menyerang Malaka dan Daha.[17] Teori lain menyatakan bahwa alasan serangan Demak terhadap Majapahit adalah balas dendam terhadap Girindrawardhana, yang telah mengalahkan kakek Adipati Yunus, Prabu Bhre Kertabumi (Prabu Brawijaya V).[18] Kekalahan Daha di bawah Demak menandai berakhirnya era Hindu Majapahit di Jawa. Setelah jatuhnya kekaisaran, banyak bangsawan Majapahit, pengrajin dan pendeta berlindung baik di daerah pegunungan pedalaman Jawa Timur, Blambangan di ujung timur Jawa, atau melintasi selat sempit ke Bali. Para pengungsi mungkin melarikan diri untuk menghindari pembalasan Demak atas dukungan mereka untuk Ranawijaya terhadap Kertabhumi.

Kerajaan Majapahit Jawa mempengaruhi Bali baik secara budaya maupun politik. Seluruh istana Majapahit melarikan diri ke Bali setelah penaklukan oleh penguasa Muslim pada tahun 1478, yang mengakibatkan pengalihan seluruh budaya. Bali dipandang sebagai kelanjutan dari budaya Jawa Hindu dan merupakan sumber utama pengetahuan tentang hal itu pada zaman modern.[19] Para bangsawan dan pendeta Jawa yang masuk mendirikan istana bergaya Majapahit di Bali. Masuknya menyebabkan beberapa perkembangan penting. Perkawinan keluarga-keluarga Bali terkemuka bersama dengan keluarga kerajaan Majapahit mengarah pada dasar garis keturunan kasta atas Bali. Gagasan Jawa khususnya tradisi Majapahit memengaruhi agama dan seni di pulau ini. Bahasa Jawa juga memengaruhi bahasa Bali yang dipetuturkan.[11] Arsitektur dan kuil-kuil Bali modern memiliki banyak kesamaan dengan estetika dan gaya relief di kuil-kuil Jawa Timur dari zaman keemasan Majapahit.[20]

Sejumlah besar naskah Majapahit, seperti Nagarakretagama, Sutasoma, Pararaton dan Tantu Pagelaran, disimpan dengan baik di berbagai perpustakaan kerajaan Bali dan Lombok, dan memberikan sekilas dan catatan sejarah berharga tentang Majapahit. Sebagai hasil dari masuknya unsur Jawa, sejarawan Ramesh Chandra Majumdar menyatakan bahwa Bali "segera menjadi benteng terakhir budaya dan peradaban Indo-Jawa."[21]

Kerajaan Gelgel[sunting | sunting sumber]

Candi pemesuan di Gelgel, ibu kota kerajaan tua Bali.

Menurut naskah Babad Dalem (disusun pada abad ke-18), penaklukan Bali oleh kerajaan Jawa Hindu di Majapahit diikuti oleh didirikannya dinasti pengikut di Samprangan, Kabupaten Gianyar saat ini, dekat dengan pusat kerajaan lama Bedulu. Perpindahan ini berlangsung pada pertengahan abad ke-14. Penguasa Samprangan pertama Sri Aji Kresna Kepakisan menjadi bapak tiga putra. Dari mereka, yang tertua, Dalem Samprangan, berhasil memerintah hanya ternyata menjadi penguasa yang tidak kompeten. Adik bungsunya, Dalem Ketut, mendirikan kursi kerajaan baru di Gelgel sementara Samprangan tenggelam dalam ketidakjelasan.[22]

Kontak Eropa pertama dengan Bali dilakukan pada 1512, ketika sebuah ekspedisi Portugis yang dipimpin oleh Antonio Abreu dan Francisco Serrão yang berlayar dari Melaka Portugis dan mencapai pantai utara Bali. Bali juga dipetakan pada 1512, dalam bagan Francisco Rodrigues.[23] Di Majapahit, Jawa Timur, jatuhnya Daha ke dalam tangan Kesultanan Demak pada tahun 1527 telah mendorong gelombang pengungsian para bangsawan Hindu, pendeta dan pengrajin yang mencari perlindungan ke Bali.

Pada 1585, pemerintah Portugis di Malaka mengirim sebuah kapal untuk membangun benteng dan pos perdagangan di Bali, tetapi misinya gagal ketika kapal itu kandas di terumbu semenanjung Bukit.

Pada abad ke-16, Puri (istana Bali) Gelgel menjadi pemerintahan yang kuat di wilayah tersebut. Pengganti Dewa Ketut, Dalem Baturenggong, memerintah pada pertengahan abad ke-16. Ia menerima seorang resi Brahmana Jawa bernama Nirartha yang melarikan diri dari kemunduran Hindu di Jawa. Raja menjadi pelindung Nirartha, yang juga membawa banyak karya sastra yang luas yang membentuk spiritualisme Hindu Bali. Gelgel mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Dalem Baturenggong, ketika Lombok, Sumbawa barat dan Blambangan di Jawa paling timur, disatukan di bawah kekuasaan Gelgel.

Pengaruh Gelgel terhadap Blambangan yang masih Hindu tampaknya menarik perhatian Sultan Mataram yang bercita-cita menyatukan seluruh Jawa dan juga untuk menyebarkan agama Islam. Pada 1639, Mataram melancarkan invasi ke Blambangan.[24] Kerajaan Gelgel segera mengirimkan dukungan kepada Blambangan sebagai daerah penyangga terhadap ekspansi Mataram Islam. Blambangan menyerah pada tahun 1639, tetapi dengan cepat mendapatkan kembali kemerdekaannya dan bergabung kembali dengan Bali segera setelah pasukan Mataram menarik diri.[25] Kesultanan Mataram sendiri, setelah kematian Sultan Agung, tampaknya sibuk dengan masalah internal mereka, kehilangan minat untuk meneruskan kampanye militer mereka, dan berhenti melanjutkan permusuhan terhadap Blambangan dan Gelgel.

Periode Sembilan Kerajaan[sunting | sunting sumber]

Peta sembilan kerajaan Bali, sekitar tahun 1900

Setelah tahun 1651, kerajaan Gelgel mulai terpecah karena konflik internal. Pada tahun 1686, sebuah singgasana kerajaan baru didirikan di Klungkung, empat kilometer utara Gelgel. Para penguasa Klungkung, yang dikenal dengan sebutan Dewa Agung, tidak mampu mempertahankan kekuasaan atas Bali. Pulau itu selanjutnya terbagi menjadi sembilan kerajaan kecil; Klungkung, Buleleng, Karangasem, Mengwi, Badung, Tabanan, Gianyar, Bangli dan Jembrana. Kerajaan-kerajaan kecil ini mengembangkan dinasti mereka sendiri, membangun Puri mereka sendiri (kompleks istana Bali) dan mendirikan pemerintahan mereka sendiri. Namun demikian, sembilan kerajaan di Bali ini mengakui kepemimpinan Klungkung; bahwa raja-raja Dewa Agung Klungkung adalah primus inter pares mereka di antara raja-raja Bali, dan pantas menerima gelar kehormatan sebagai "Raja Bali". Sebagian besar kerajaan ini,kini membentuk basis dan batas-batas Kabupaten di Bali. Pada abad-abad berikutnya, berbagai kerajaan di Bali ini berperang berturut-turut di antara mereka sendiri, meskipun mereka memberi Dewa Agung status simbolis terpenting di Bali. Hal ini menyebabkan hubungan yang rumit di antara penguasa Bali, karena ada banyak raja di Bali. Situasi ini berlangsung hingga kedatangan Belanda pada abad ke-19.

Intervensi asing[sunting | sunting sumber]

Raja Buleleng bunuh diri dengan 400 pengikut, pada tahun 1849 puputan melawan Belanda.

Meskipun kontak Eropa telah dilakukan sejak 1512 dan kemudian pada 1585 oleh armada Portugis, tidak ada kekuatan Eropa yang nyata dirasakan di Bali karena kerajaan Bali melanjutkan cara hidup mereka terpelihara sejak zaman Hindu Majapahit. Pada 1597, penjelajah Belanda Cornelis de Houtman tiba di Bali dan bertemu Dalem Gelgel. Ekspedisi Belanda kedua muncul pada 1601, yaitu Jacob van Heemskerck. Pada kesempatan ini, Dalem Gelgel mengirim surat kepada Pangeran Maurits, terjemahan yang dikirim oleh Cornells van Eemskerck. Surat itu memberikan izin kepada Belanda untuk berdagang di Bali serta menyatakan permintaan Bali untuk berdagang secara bebas dengan Belanda. Surat persahabatan dan perjanjian dagang diplomatik ini diterjemahkan secara salah sebagai pengakuan orang Bali atas kekuasaan Belanda dan selanjutnya digunakan oleh Belanda untuk mengajukan klaim mereka ke pulau itu. Meskipun VOC — yang berpusat di Batavia (sekarang Jakarta) — sangat aktif di Kepulauan Maluku, Jawa, dan Sumatra, VOC tidak tertarik pada Bali, karena VOC lebih tertarik pada perdagangan rempah-rempah, sebuah produk langka di Bali yang terutama kerajaan pertanian padi. Pembukaan pos perdagangan dicoba pada tahun 1620 tetapi gagal karena permusuhan lokal. VOC meninggalkan perdagangan Bali ke pedagang swasta, terutama saudagar Cina, Arab, Bugis dan kadang-kadang Belanda, yang terutama berurusan dengan perdagangan opium dan budak.

Dewa Agung dari Klungkung pada tahun 1908.

Namun, ketidakpedulian Belanda terhadap Bali berubah total pada abad ke-19, ketika kontrol kolonial Belanda meluas ke seluruh kepulauan Indonesia dan mereka mulai mengidam-idamkan pulau itu. Belanda menggunakan dalih untuk memberantas penyelundupan opium, perdagangan senjata, tradisi tawan karang Bali (penjarahan kapal karam), dan perbudakan untuk memaksakan kontrol mereka pada kerajaan Bali. Tentara Hindia Belanda menginvasi Bali utara pada tahun 1846, 1848, dan akhirnya pada tahun 1849 Belanda mampu mengendalikan kerajaan Bali utara, Buleleng dan Jembrana.[26]

Pada tahun 1894, Belanda menggunakan pemberontakan Sasak melawan penguasa Bali di Lombok Barat, sebagai alasan untuk mengganggu dan menaklukkan Lombok. Belanda mendukung pemberontakan Sasak, dan melancarkan ekspedisi militer terhadap Puri Bali di Mataram, Lombok. Pada akhir November 1894, Belanda telah memusnahkan posisi orang Bali, dengan ribuan orang tewas, dan orang Bali menyerah atau melakukan ritual bunuh diri puputan. Lombok dan Karangasem menjadi bagian dari Hindia Belanda.[27] Segera sesudahnya kerajaan Bangli dan Gianyar juga menerima kekuasaan Belanda, tetapi Bali selatan terus menolak.

Pada tahun 1906 Belanda melancarkan ekspedisi militer melawan kerajaan Bali selatan, Badung dan Tabanan, dan melemahkan kerajaan Klungkung, lagi-lagi dengan dalih tradisi tawan karang Bali (penjarahan bangkai kapal). Akhirnya pada tahun 1908, Belanda meluncurkan invasi terhadap kerajaan Klungkung, dengan dalih mengamankan monopoli candu mereka. Tindakan ini merampungkan penaklukan Belanda atas Bali, dan pada saat itu telah menjadikan Bali sebagai protektorat Belanda.[28] Meskipun beberapa anggota keluarga kerajaan Bali masih bertahan, Belanda telah sepenuhnya membongkar institusi kerajaan Bali, menghancurkan kekuasaan dan otoritas raja-raja Bali dan dengan demikian mengakhiri berabad-abad sistem pemerintahan kerajaan Bali. Selama periode Hindia Belanda, ibu kota kolonial Bali dan Kepulauan Sunda Kecil berpusat di Singaraja di pantai utara.

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ (Inggris) The people of Bali Angela Hobart p.24
  2. ^ Sejarah 2. Yudhistira Ghalia Indonesia. ISBN 978-979-746-906-1. 
  3. ^ a b c d e "Tercatat 23 Nama Raja pada Masa Bali Kuno – Siapa Saja Mereka?". tatkala.co (dalam bahasa Inggris). 2020-01-29. Diakses tanggal 2020-10-20. 
  4. ^ Burials, texts and rituals Brigitta Hauser-Schäublin p.45
  5. ^ Dawan, Lanang (Sabtu, 14 Mei 2011). "ŚRI SURADHIPA". PEMECUTAN-BEDULU-MAJAPAHIT. Diakses tanggal 2019-12-18. 
  6. ^ a b c catatan di Museum Bali
  7. ^ Archaeology: Indonesian perspective Truman Simanjuntak p. 163
  8. ^ The people of Bali Angela Hobart p. 24
  9. ^ Bali handbook with Lombok and the Eastern Isles by Liz Capaldi, Joshua Eliot p.98 [1]
  10. ^ Bali & Lombok Lesley Reader, Lucy Ridout p. 156
  11. ^ a b Mary Sabine Zurbuchen. The Language of Balinese Shadow Theater. Princeton University Press. hlm. 18. 
  12. ^ Mary S. Zurbuchen (1976). Introduction to Old Javanese Language and Literature: A Kawi Prose Anthology. Center for South and Southeast Asian Studies, University of Michigan. hlm. 3. 
  13. ^ Ricklefs, Merle Calvin (1993). A history of modern Indonesia since c. 1300 (edisi ke-2nd). Stanford University Press/Macmillans. ISBN 9780804721950. 
  14. ^ Pararaton, p. 40, " .... bhre Kertabhumi ..... bhre prabhu sang mokta ring kadaton i saka sunyanora-yuganing-wong, 1400".
  15. ^ Lihat juga: Hasan Djafar, Girindrawardhana, 1978, p. 50.
  16. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), pp. 448–451.
  17. ^ MB. Rahimsyah. Legenda dan Sejarah Lengkap Walisongo. (Amanah, Surabaya, tth)
  18. ^ Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II. Cetakan V. (PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1984)
  19. ^ Chris Sugden. Seeking the Asian Face of Jesus: A Critical and Comparative Study of the Practice and Theology of Christian Social Witness in Indonesia and India Between 1974 and 1996 with Special Reference to the Work of Wayan Mastra in the Protestant Christian Church of Bali and of Vinay Samuel in the Church of South India. Oxford Centre for Mission Studies. hlm. 21. 
  20. ^ Robyn J. Maxwell (2003). Sari to Sarong: Five Hundred Years of Indian and Indonesian Textile Exchange. National Gallery of Australia. hlm. 26. 
  21. ^ Rajesh Chandra Majumdar. The History and Culture of the Indian People: The struggle for empire. Allen & Unwin. hlm. 755. 
  22. ^ I Wayan Warna et al. (1986), Babad Dalem; Teks dan terjemahan. Denpasar: Dinas Pendidkan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
  23. ^ Cortesão, Jaime (1975). Esparsos, Volume III. Coimbra: Universidade de Coimbra Biblioteca Geral. hlm. 288.  "...passing the island of 'Balle', on whose heights the nau Sabaia, of Francisco Serrão, was lost. .." - from Antonio de Abreu, and in João de Barros and Antonio Galvão (Décadas da Ásia). [2]
  24. ^ "Mataram, Historical kingdom, Indonesia". Encyclopædia Britannica. Diakses tanggal 1 January 2015. 
  25. ^ Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Kanisius. hlm. 62. 
  26. ^ Barski, p.48
  27. ^ The rough guide to Bali & Lombok by Lesley Reader, Lucy Ridout p.298
  28. ^ Bali and Lombok Lesley Reader, Lucy Ridout p.496

Catatan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ ia memiliki tiga orang putra, Airlangga (Raja Medang-Kahuripan), Marakata Pangkaja, dan Anak Wungsu.
  2. ^ Permaisuri Jayapangus dan ibu dari Ekajayalancana. Tidak diketemukan tahunnya, namun diperkirakan bersama Ekajayalancana
  3. ^ Pada masanya terjadi gelombang kedatangan para Arya dan rohaniawan dari Kerajaan Singasari serta kedatangan para Mpu keturunan Saptra Rsi bersama Bhujangga
  4. ^ Para patihnya yang terkenal Pasung Grigis dan Kebo Iwa
  5. ^ Berdasarkan penguasa terakhir di Kerajaan Bedahulu.