Kerajaan Janggala

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kerajaan Janggala

1042–1135
Letak wilayah Janggala (ibukota Kahuripan) dan Panjalu (ibukota Daha) kemudian bersatu menjadi Kerajaan Panjalu/Kadiri
Letak wilayah Janggala (ibukota Kahuripan) dan Panjalu (ibukota Daha) kemudian bersatu menjadi Kerajaan Panjalu/Kadiri
Ibu kotaKahuripan
(1042 - 1135)
Bahasa yang umum digunakanJawa Kuno, Sansekerta
Agama
Hinduisme, Buddhisme, Animisme
PemerintahanMonarki
Sri/Maharaja 
• 1042 - 1052
Mapanji Garasakan
• 1052 - 1059
Alanjung Ahyes
• 1059 - ?
Samarotsaha
Sejarah 
• Didirikan
1042
• Dibagi oleh Airlangga dari Medang Kahuripan
1042
• Ditaklukkan oleh Jayabaya dan menjadi bagian kerajaan Kadiri
1135
Mata uangKoin emas dan perak
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Kahuripan
krjKerajaan
Kadiri
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Janggala atau Jenggala (Jawa: ꦏꦼꦫꦗꦄꦤ꧀ꦗꦁꦒꦭ) adalah sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang terdapat di Jawa Timur, Indonesia, antara tahun 1042 dan berakhir disekitar tahun 1135-an. Wilayah Jenggala membentang dari Mojokerto hingga Banyuwangi, yang saat ini menjadi pusat wilayah kebudayaan wetanan. Janggala Merupakan salah satu kerajaan hasil pembelahan yang juga didirikan oleh Airlangga. Kerajaan ini dipimpin oleh wangsa Isyana. Lokasi pusat kerajaan diperkirakan sekarang berada di wilayah Porong, Sidoarjo.[1]

Etimologi[sunting | sunting sumber]

Nama Janggala diperkirakan berasal kata "Hujung Galuh", atau disebut "Jung-ya-lu" berdasarkan catatan China tahun 1225, buku Zhu fan zhi yang ditulis oleh Zhao Rugua.[2] Pada masa Kerajaan Medang, dan Kahuripan, Hujung Galuh dikenal sebagai pelabuhan, kemungkinan terletak di daerah Canggu, Jetis, Mojokerto. Sumber otentik yang dapat dipakai sebagai dasar acuan. Yakni Prasasti Kamalagyan. Prasasti Kamalagyan adalah sebuah prasasti yang dibuat Airlangga pada tahun 959 Saka atau 1037 M.

Dengan berjalannya waktu, hingga Raja Airlangga membagi dua kerajaannya, sebutan daerah Hujung Galuh yang terletak di daerah aliran Sungai Brantas meluas, mencakup wilayah Mojokerto, Lamongan, Surabaya, Sidoarjo hingga Pasuruan, hingga bagian timur kerajaan Kahuripan, yang kemudian disebut wilayah "Jenggala", dengan menjadikan Kali Mas dan Kali Porong sebagai pintu gerbang Kerajaan pada saat itu.

Pada masa kerajaan Kadiri, Singhasari dan Majapahit, daerah kali porong, Sidoarjo, kembali disebut Kahuripan dan pelabuhan yang berada di Kali Mas, Surabaya, tetap bernama Hujung Galuh. Pelabuhan di daerah Surabaya ini akhirnya menjadi pelabuhan penting sejak zaman kerajaan Singhasari, Majapahit hingga Hindia Belanda.

Berdirinya kerajaan Janggala[sunting | sunting sumber]

Pusat pemerintahan Janggala terletak di Kahuripan. Menurut prasasti Terep, kota Kahuripan (kahuripan i bhumi janggala) didirikan oleh Airlangga tahun 1032, karena satu tahun sebelumnya 1031, ibu kota lama yaitu "Watan Mas" (Wotanmas Jedong, Ngoro, Mojokerto) dihancurkan seorang musuh wanita, yaitu Ratu Dyah Tulodong, yang merupakan salah satu raja Kerajaan Lodoyong (sekarang wilayah Tulungagung, Jawa Timur)

Berdasarkan prasasti Pamwatan dan Serat Calon Arang, pada tahun 1042 pusat pemerintahan Airlangga sudah pindah ke ibukota baru yaitu Daha wilayah Panjalu.

Pada tahun 1042 itu pula, Airlangga turun takhta. Putri mahkotanya yang bernama Sanggramawijaya Tunggadewi memilih kehidupan sebagai pertapa, sehingga timbul perebutan kekuasaan antara kedua putra Airlangga yang lain, yaitu Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan.

Pembagian Kerajaan oleh Airlangga[sunting | sunting sumber]

Akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Sri Samarawijaya menjadi Raja wilayah Panjalu, di sebelah barat, yang berpusat di ibukota baru, yaitu Daha. Sedangkan Mapanji Garasakan menjadi Raja wilayah Janggala di sebelah timur, yang berpusat di ibukota lama, yaitu Kahuripan.

Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua (kerajaan Janggala dan Panjalu), Airlangga memindahkan ibukota kerajaan ke Daha wilayah Panjalu. Sebelum pembelahan kerajaan, kerajaan pimpinan Airlangga bernama Medang Kahuripan atau disebut juga Kerajaan Kahuripan.[3]

... 1. Nahan tatwanikaɳ kamal/ widita deniɳ sampradaya sthiti, mwaɳ çri pañjalunatha riɳ daha te- (122a) wekniɳ yawabhumy/ apalih, çri airlanghya sirandani ryyasihiran/ panak/ ri saɳ rwa prabhu, ...

... 1. Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya, Dan Sri Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa dibelah, Karena cinta raja Airlangga kepada dua puteranya, ...
— (Kakawin Nagarakretagama, Pupuh 68).

Setelah turun takhta, Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Perkembangan kerajaan[sunting | sunting sumber]

Perkembangan kerajaan Janggala sepeninggal Airlangga dipenuhi oleh Perang saudara, antara Janggala melawan Panjalu. Mula-mula kemenangan berada di pihak Janggala.

Pada tahun 1044, berdasarkan Prasasti Turun Hyang, Mapanji Garasakan memenangkan pertempuran melawan Panjalu, karena para pemuka desa Turun Hyang setia membantu Janggala melawan Panjalu.

Pada tahun 1050, berdasarkan Prasasti Kambang Putih, Raja Sri Mapanji Garasakan mempertahankan istana dari pasukan Kambang Putih yang menyerang Istana Kerajaan Janggala. Kambang Putih (sekarang daerah Tuban) merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Panjalu.

Pada tahun 1052, berdasarkan Prasasti Malenga, Mapanji Garasakan mengalahkan Aji Linggajaya raja Tanjung. Aji Linggajaya ini merupakan raja bawahan Panjalu.

Pada tahun 1052, berdasarkan Prasasti Banjaran, Janggala di serang oleh musuh dari Kadiri yang berhasil menyingkirkan Mapanji Garasakan dan keluarganya keluar dari ibukota Janggala. Raja Janggala kedua, Alanjung Ahyes melarikan diri ke hutan "Marsma" untuk menyusun kekuatan, ia kemudian berhasil merebut kembali ibukota Janggala berkat bantuan para pemuka desa Banjaran.[4]

Pada tahun 1053, berdasarkan Prasasti Garaman, Mapanji Garasakan mengalahkan Aji Panjalu dari Kadiri dibantu oleh pasukan dari desa Garaman.[5]

Pada tahun 1059, berdasarkan Prasasti Sumengka, Raja ketiga Janggala, Samarotsaha, dibantu para pemuka desa Sumengka, memperbaiki saluran air peninggalan Airlangga yang dimakamkan di tirtha atau pemandian (Petirtaan Belahan).

Raja - raja Janggala[sunting | sunting sumber]

Pada awal berdirinya, Kerajaan Janggala lebih banyak meninggalkan bukti sejarah daripada Kerajaan Kadiri, tetapi hanya tiga orang raja yang diketahui memerintah Janggala yaitu:

  1. Mapanji Garasakan, berdasarkan prasasti Turun Hyang II (1044), prasasti Kambang Putih, dan prasasti Malenga (1052).
  2. Alanjung Ahyes, berdasarkan prasasti Banjaran (1052).
  3. Samarotsaha, berdasarkan prasasti Sumengka (1059).

Meskipun raja Janggala yang sudah diketahui namanya hanya tiga orang saja, namun kerajaan ini mampu bertahan dalam kurun waktu kurang lebih 90 tahun lamanya.

Akhir kerajaan Janggala[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1135, menurut prasasti Ngantang, Kerajaan Janggala akhirnya ditaklukkan oleh Sri Jayabhaya raja Kadiri, dengan semboyannya yang terkenal, yaitu Panjalu Jayati, atau Kadiri Menang. Sejak saat itu wilayah Janggala dipersatukan dengan Panjalu oleh Jayabhaya, dan menjadi wilayah Kerajaan Kadiri.

Janggala sebagai bawahan Majapahit[sunting | sunting sumber]

Setelah Kadiri ditaklukkan Singhasari tahun 1222, dan selanjutnya diteruskan oleh Majapahit tahun 1293, secara otomatis Janggala pun ikut dikuasai Majapahit.

Pada zaman Majapahit nama Kahuripan lebih populer daripada Janggala, sebagaimana nama Daha lebih populer daripada Panjalu. Meskipun demikian, pada prasasti Trailokyapuri (1486), Girindrawardhana raja Majapahit saat itu menyebut dirinya sebagai penguasa Wilwatikta-Janggala-Kadiri.

Bhre Kahuripan[sunting | sunting sumber]

  1. Tribhuwana Wijayatunggadewi 1309-1328, 1350-1375 Pararaton.27:18,19; 29:32 negarakertagama.2:2
  2. Hayam Wuruk 1334-1350 Prasasti Tribhuwana
  3. Wikramawardhana 1375-1389 Suma Oriental(?)
  4. Surawardhani 1389-1400 Pararaton.29:23,26; 30:37
  5. Ratnapangkaja 1400-1446 Pararaton .30:5,6; 31:35
  6. Rajasawardhana 1447-1451 Pararaton.32:11; Prasasti Waringin Pitu
  7. Samarawijaya 1451-1478 Pararaton .32:23

Situs budaya Janggala[sunting | sunting sumber]

Peninggalan kerajaan Jenggala memang sangat terbatas, malah hampir tidak dikenali. Dengan terbatasnya peninggalan dari kerajaan jenggala, informasi mengenai kerajaan ini pun masih belum bisa menyeluruh.

Janggala dalam karya sastra[sunting | sunting sumber]

Menurut Kakawin Smaradahana, raja Kadiri yang bernama Sri Kameswara, yang memerintah sekitar tahun 1182-1194, memiliki permaisuri seorang putri Janggala bernama Kirana.

Adanya Kerajaan Janggala juga muncul dalam Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365. Kemudian muncul pula dalam naskah-naskah sastra yang berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, misalnya Babad Tanah Jawi dan Serat Pranitiradya.

Dalam naskah-naskah tersebut, raja pertama Janggala bernama Lembu Amiluhur, putra Resi Gentayu alias Airlangga. Lembu Amiluhur ini juga bergelar Jayanegara. Ia digantikan putranya yang bernama Panji Asmarabangun, yang bergelar Prabu Suryawisesa.

Panji Asmarabangun inilah yang sangat terkenal dalam kisah-kisah Panji. Istrinya bernama Galuh Candrakirana dari Kadiri. Dalam pementasan Ketoprak, tokoh Panji setelah menjadi raja Janggala juga sering disebut Sri Kameswara. Hal ini jelas berlawanan dengan berita dalam Smaradahana yang menyebut Sri Kameswara adalah raja Kadiri, dan Kirana adalah putri Janggala.

Selanjutnya, Panji Asmarabangun digantikan putranya yang bernama Kuda Laleyan, bergelar Prabu Surya Amiluhur. Baru dua tahun bertakhta, Kerajaan Janggala tenggelam oleh bencana banjir. Surya Amiluhur terpaksa pindah ke barat mendirikan Kerajaan Pajajaran.

Tokoh Surya Amiluhur inilah yang kemudian menurunkan Jaka Sesuruh, pendiri Majapahit versi dongeng. Itulah sedikit kisah tentang Kerajaan Janggala versi babad dan serat yang kebenarannya sulit dibuktikan dengan fakta sejarah.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Andjar Any. 1989. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon. Semarang: Aneka Ilmu
  • Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
  • Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ https://www.britannica.com/place/Janggala
  2. ^ F. Hirth and W.W. Rockhill, Chau Ju-kua, St Petersburg, 1911
  3. ^ Wignjosoebroto, Wiranto. MENCARI JEJAK KAHURIPAN; Kerajaan Hindu Tertua dan Terlama di Tanah Jawa. Penerbit K-Media. ISBN 978-602-6287-19-9. 
  4. ^ "Jayati Seni ing Tlatah Jenggala | beritajatim.com". beritajatim.com (dalam bahasa Inggris). 2021-04-09. Diakses tanggal 2021-12-29. 
  5. ^ http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-20156408.pdf