Kakawin Smaradahana
| Kakawin Smaradahana | |
|---|---|
| ꦏꦏꦮꦶꦤ꧀ꦱ꧀ꦩꦫꦢꦲꦤ
ᬓᬓᬯᬶᬦ᭄ᬲ᭄ᬫᬭᬤᬳᬦ | |
| karya Mpu Dharmaja | |
| Ditulis | ca abad ke-12 M |
| Negara | Kerajaan Kediri |
| Bahasa | Kawi (Jawa Kuno) |
| Genre | mitologi |
| Bentuk | kakawin |
Kakawin Smaradahana (disebut pula Asmaradhana atau Smarandhana) adalah sebuah karya sastra Jawa Kuno dalam bentuk kakawin yang berasal dari masa kerajaan Kediri (abad ke-12 Masehi). Kakawin ini mengisahkan terbakarnya Batara Kamajaya oleh api kemarahan Dewa Siwa. Penulis Smaradahana bernama Mpu Dharmaja. Berdasarkan nama raja yang disebutkan dalam karya sastra ini, ditengarai bahwa ia ditulis pada zaman yang sama dengan Prabu Kameswara dari kerajaan Kediri.
Ikhtisar
[sunting | sunting sumber]Dikisahkan bahwa Kahyangan Indralaya hendak diserbu oleh pasukan raksasa dengan rajanya bernama Nilarudraka. Para dewa berunding dan memperoleh petunjuk bahwa sang raksasa dapat dikalahkan oleh putra Batara Siwa. Namun, pada saat itu Siwa sedang pergi bertapa. Demikian khusyuknya bertapa, Siwa sampai tidak mengetahui kondisi di Kahyangan. Para dewa mengutus Batara Kamajaya untuk menjemput Siwa. Kamajaya mencoba membangunkan Siwa dengan berbagai panah sakti―termasuk panah bunga―tetapi Siwa tidak bergeming. Akhirnya dilepaskanlah panah Pancawisesa (atau pancawisaya?), yang dapat membuat sasarannya dikuasai oleh lima hasrat, yaitu: hasrat mendengar yang merdu, hasrat mengenyam yang lezat, hasrat meraba yang halus, hasrat mencium yang harum, dan hasrat memandang yang serba indah.
Akibat tertancap panah Pancawisesa, dalam sekejap Siwa teringat kepada istrinya, Dewi Uma. Namun, Siwa segera sadar bahwa perasaan tersebut disebabkan oleh panah Kamajaya. Siwa memelototi Kamajaya dengan mata ketiga yang berada di tengah-tengah dahinya, menyebabkan terbakarnya Kamajaya sampai menjadi abu. Dewi Ratih, istri Kamajaya melakukan bela pati dengan menceburkan diri ke dalam api yang membakar suaminya. Para dewa meminta maaf atas kejadian tersebut, dan memohon kepada Siwa agar pasangan suami-istri tersebut dihidupkan kembali. Permohonan itu tidak dikabulkan, tetapi Siwa bersabda bahwa jiwa Kamajaya akan turun ke dunia dan masuk ke dalam hati laki-laki, sedangkan Ratih masuk ke dalam jiwa wanita.
Ketika Siwa duduk berdua dengan Uma, para dewa mengunjunginya. Dewa Indra turut hadir sambil mengendarai gajahnya, Airawata. Sang gajah tampak sangat hebat sehingga Uma terperanjat dan ketakutan melihatnya, kemudian sang dewi melahirkan putra berkepala gajah yang diberi nama Ganesa. Ketika raksasa Nilarudraka dan pasukannya tiba di gerbang Kahyangan, Ganesa segera menghadapinya. Dalam perang tanding tersebut, Ganesa senantiasa berubah, semakin besar dan semakin dahsyat. Akhirnya musuh dapat dikalahkan, dan para dewa bersukacita.
Analisis
[sunting | sunting sumber]Dalam kitab Smaradahana, disebutkan nama raja Kediri, Prabu Kameswara yang merupakan titisan Dewa Wisnu yang ketiga kalinya dan berpermaisuri Sri Kirana Ratu putri dari Kerajaan Jenggala.
Dalam prasasti batu, tertulis raja Kediri Kameswara bertakhta selama tahun 1115 sampai dengan 1130. Kemudian, ada pula Raja Kameswara II yang bertakhta pada sekitar tahun 1185. Para ahli Belanda memperkirakan bahwa Kameswara II mempunyai hubungan dengan kitab Smaradahana. Akan tetapi Prof. Purbatjaraka sebaliknya menunjuk Kameswara I yang terkait, sebab raja tersebut ada dalam kitab Panji bernama Hinu Kertapati dan juga permaisurinya bernama Kirana, yaitu Dewi Candrakirana, hanya posisi Jenggala dan Kedirinya yang terbalik.
Daftar pustaka
[sunting | sunting sumber]- Poerbatjaraka,1931 Smaradahana, Bibliotheca Javanica Jilid III. Bandoeng: Nix
- R.D.S. Hadiwidjana,1968 Sarwacastra,Jogyakarta:U.P. Indonesia N.V. (Resensi,Jilid II, hal.7-9)

