Lompat ke isi

Laut: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 67: Baris 67:
[[Berkas:WOA09 sea-surf TMP AYool.png|jmpl|kiri|Rata-rata [[suhu]] di permukaan laut pada tahun 2009, dari −2 °C (nila muda) sampai 30 °C (merah muda).]]
[[Berkas:WOA09 sea-surf TMP AYool.png|jmpl|kiri|Rata-rata [[suhu]] di permukaan laut pada tahun 2009, dari −2 °C (nila muda) sampai 30 °C (merah muda).]]
[[Suhu]] laut bergantung pada jumlah [[radiasi matahari]] yang diterima. Di wilayah tropis, matahari hampir berada tepat di atas kepala, sehingga suhu di permukaan dapat naik hingga 30 °C. Sementara itu, di dekat wilayah kutub, suhu permukaan yang berada dalam keseimbangan dengan es air tercatat sekitar -2°C. Perbedaan suhu tersebut menjadi faktor yang mendorong sirkulasi air di samudra. Arus hangat di permukaan menjauh dari wilayah tropis dan mengalami pendinginan, sehingga airnya menjadi lebih padat dan tenggelam. Di sisi lain, air dingin kembali bergerak ke arah khatulistiwa sebagai arus dasar laut, yang didorong oleh perubahan suhu dan kepadatan air, dan akhirnya naik lagi ke permukaan. Air di laut dalam memiliki suhu sekitar -2°C dan 5°C di seluruh dunia.<ref>Gordon, Arnold (2004). [http://eesc.columbia.edu/courses/ees/climate/lectures/o_circ.html "Ocean Circulation" in ''The Climate System'']. Columbia University (New York).</ref>
[[Suhu]] laut bergantung pada jumlah [[radiasi matahari]] yang diterima. Di wilayah tropis, matahari hampir berada tepat di atas kepala, sehingga suhu di permukaan dapat naik hingga 30 °C. Sementara itu, di dekat wilayah kutub, suhu permukaan yang berada dalam keseimbangan dengan es air tercatat sekitar -2°C. Perbedaan suhu tersebut menjadi faktor yang mendorong sirkulasi air di samudra. Arus hangat di permukaan menjauh dari wilayah tropis dan mengalami pendinginan, sehingga airnya menjadi lebih padat dan tenggelam. Di sisi lain, air dingin kembali bergerak ke arah khatulistiwa sebagai arus dasar laut, yang didorong oleh perubahan suhu dan kepadatan air, dan akhirnya naik lagi ke permukaan. Air di laut dalam memiliki suhu sekitar -2°C dan 5°C di seluruh dunia.<ref>Gordon, Arnold (2004). [http://eesc.columbia.edu/courses/ees/climate/lectures/o_circ.html "Ocean Circulation" in ''The Climate System'']. Columbia University (New York).</ref>

Air laut dengan salinitas 35‰ memiliki titik beku sekitar −1,8&nbsp;°C.<ref>{{cite web |url=http://www.waterencyclopedia.com/Re-St/Sea-Water-Freezing-of.html |title=Sea Water, Freezing of|publisher=Water Encyclopedia|accessdate=12 Oktober 2013}}</ref> Jika suhunya sudah cukup rendah, [[kristal es]] akan terbentuk di permukaan. Kristal-kristal ini akan pecah menjadi kepingan-kepingan kecil dan membentuk [[suspensi]] yang dikenal dengan sebutan [[frazil]]. Dalam keadaan yang tenang, frazil akan membeku menjadi selubung-selubung es tipis yang disebut [[nilas]], yang akan menjadi semakin tebal setelah es-es baru terbentuk di bawahnya. Di lautan yang bergejolak, kristal frazil akan berpadu menjadi piringan-piringan datar yang disebut "panekuk". Piringan-piringan ini nantinya akan bersatu dan membentuk [[hanyutan es]]. Sementara itu, selama proses pembekuan, air garam dan udara terperangkap di antara kristal-kristal es. Nilas mungkin memiliki tingkat keasinan sebesar 12–15&nbsp;‰, tetapi ketika [[es air]] mencapai usia satu tahun, salinitas akan turun menjadi 4–6&nbsp;‰.<ref>{{cite web |url=http://www.britannica.com/EBchecked/topic/939404/sea-ice |title=Sea ice |author=Jeffries, Martin O. |year=2012 |work=Encyclopedia Britannica |publisher=Britannica Online Encyclopedia |accessdate=21 April 2013}}</ref>
<!--
<!--
[[Berkas:WOA09 sea-surf O2 AYool.png|jmpl|Tingkat-tingkat [[saturasi oksigen|oksigen]] permukaan mean (2009), dari 0.15 (violet muda) sampai 0.45 (merah muda) [[mole (kimia)|mole]] [[oksigen|O₂]] per [[meter kubik]].]]
[[Berkas:WOA09 sea-surf O2 AYool.png|jmpl|Tingkat-tingkat [[saturasi oksigen|oksigen]] permukaan mean (2009), dari 0.15 (violet muda) sampai 0.45 (merah muda) [[mole (kimia)|mole]] [[oksigen|O₂]] per [[meter kubik]].]]

Revisi per 12 Oktober 2018 16.55

Ombak laut menabrak pemecah gelombang di Teluk Santa Catalina.
Laut berpengaruh bagi pembangunan dan perdagangan manusia seperti di Singapura, kota pelabuhan tersibuk di dunia.

Laut adalah sebuah tubuh air asin besar yang dikelilingi secara menyeluruh atau sebagian oleh daratan.[1][2][a] Dalam arti yang lebih luas, "laut" adalah sistem perairan samudra berair asin yang saling terhubung di Bumi yang dianggap sebagai satu samudra global atau sebagai beberapa samudra utama. Laut mempengaruhi iklim Bumi dan memiliki peran penting dalam siklus air, siklus karbon, dan siklus nitrogen. Meskipun laut telah dijelajahi dan diarungi sejak zaman prasejarah, kajian ilmiah modern terhadap laut yaitu oseanografi baru dimulai pada masa ekspedisi HMS Challenger dari Britania Raya pada tahun 1870-an.[3] Laut pada umumnya dibagi menjadi lima samudra besar yang meliputi empat samudra yang diakui Organisasi Hidrografi Internasional[4] (Samudra Atlantik, Pasifik, Hindia, dan Arktik) dan Samudra Selatan;[5] serta bagian yang lebih kecil, seperti Laut Tengah, yang dikenal sebagai laut.

Akibat pergeseran benua, saat ini Belahan Bumi Utara memiliki rasio antara luas daratan dan laut yang lebih seimbang (sekitar 2:3) daripada Belahan Bumi Selatan yang nyaris keseluruhan merupakan samudra (1:4,7).[6] Kadar salinitas di samudra lepas secara umum bernilai sekitar 3,5%, namun variasi dapat ditemukan di perairan yang lebih dikelilingi daratan, di dekat muara sungai besar, atau di kedalaman besar. Sekitar 85% dari zat yang terlarut di lautan lepas adalah natrium klorida. Perbedaan salinitas dan suhu di antara wilayah-wilayah laut menimbulkan arus laut dalam. Pengaruh ombak, yang dihasilkan oleh angin dan oleh pasang surut laut, menimbulkan arus permukaan. Arah aliran arus diatur oleh daratan di permukaan dan bawah laut serta oleh efek Coriolis akibat rotasi Bumi.

Perubahan ketinggian permukaan laut pada masa lalu meninggalkan landas benua, yaitu wilayah dangkal di laut yang dekat dengan darat. Wilayah yang kaya akan nutrien ini dihuni oleh kehidupan yang menjadi sumber makanan bagi manusia seperti ikan, mamalia, krustasea, moluska, dan rumput laut, baik yang ditangkap dari alam liar maupun yang dikembangkan dalam tambak. Keanekaragaman hayati laut yang paling beragam berada di wilayah terumbu karang tropis. Dahulu, perburuan paus di laut lepas umum dilakukan, tetapi jumlah paus yang kian menurun memicu upaya konservasi dari berbagai negara yang menghasilkan sebuah moratorium terhadap perburuan paus komersial. Kehidupan di laut juga dapat ditemukan di kedalaman yang jauh dari jangkauan sinar matahari. Ekosistem di laut dalam didukung oleh keterdapatan nutrien dari celah-celah hidrotermal. Kehidupan di Bumi kemungkinan bermula dari sana dan mikroba air umumnya dianggap sebagai pemicu peristiwa peningkatan oksigen zaman dahulu di atmosfer Bumi. Baik tumbuhan maupun hewan mula-mula berevolusi di laut.

Laut juga merupakan unsur penting bagi aktivitas perdagangan, transportasi, dan industri manusia serta sebagai sumber tenaga pembangkit listrik. Hal-hal tersebut membuat laut diperhitungkan dalam strategi peperangan. Di sisi lain, laut juga dapat menjadi sumber ancaman bencana seperti tsunami dan siklon tropis. Pengaruh-pengaruh tersebut menjadikan laut sebagai aspek penting dalam kebudayaan manusia. Mulai dari berbagai dewa-dewa laut yang dapat ditemukan di berbagai kebudayaan, puisi epos karya penulis Yunani Kuno yaitu Homeros, atau penguburan manusia di laut hingga perubahan yang ditimbulkan oleh Pertukaran Kolumbus, seni kelautan hiperealis, dan musik yang terinspirasi dari laut seperti "Laut dan Kapal Sinbad" karya Nikolai Rimsky-Korsakov. Laut juga menjadi tempat kegiatan-kegiatan waktu luang manusia seperti berenang, menyelam, selancar, dan berlayar. Akan tetapi, pertumbuhan penduduk, industrialisasi, dan pertanian intensif kini menimbulkan polusi laut. Karbon dioksida di atmosfer yang makin meningkat jumlahnya menurunkan nilai pH laut melalui proses pengasaman samudra. Pemancingan berlebihan juga menjadi masalah bagi laut yang merupakan kepemilikan bersama.

Definisi

Sistem saling terhubung dari samudra-samudra dunia dan berbagai pembagian mereka.

Dalam artian yang lebih luas, "laut" adalah sistem saling terhubung dari samudra-samudra di Bumi, termasuk Samudra Atlantik, Pasifik, Hindia, Selatan, dan Arktik.[7] Namun, istilah "laut" juga seringkali memiliki cakupan yang lebih sempit, seperti Laut Utara atau Laut Jawa. Berdasarkan definisi ini, tidak ada perbedaan khusus antara laut dan samudra selain ukuran laut yang lebih kecil dan biasanya dibatasi oleh wilayah daratan luas.[8] Laut Sargasso, yang batasnya ditentukan dari empat arah arus Pusaran Atlantik Utara, dikecualikan dari definisi ini.[9]:90 Laut umumnya lebih besar ketimbang danau dan berisi air asin. Meskipun definisi ukuran dan pembatasan oleh wilayah daratan merupakan definisi yang umum dipakai, tidak ada definisi teknis yang resmi untuk istilah laut yang dipakai oleh oseanografer.[b] Dalam hukum internasional, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) menyatakan bahwa semua samudra adalah laut (bahasa Inggris: the sea).[12][c]

Ilmu fisik

Foto "Kelereng Biru" dalam orientasi aslinya, menampilkan wilayah pertemuan antara Samudra Hindia dan Samudra Atlantik di Tanjung Harapan.

Bumi adalah satu-satunya planet yang diketahui memiliki lautan air cair di permukaannya,[9]:22 meskipun planet lain seperti Mars juga diketahui memiliki tudung es dan planet-planet serupa di luar tata surya dapat memiliki samudra.[14] Masih tidak jelas dari mana air di Bumi berasal, tetapi dilihat dari ruang angkasa, planet Bumi nampak seperti sebuah "kelereng biru" dari berbagai bentukannya—samudra, lapisan es, dan awan.[15] Laut di Bumi memiliki volume sebesar 1.335.000.000 kilometer kubik yang mencakup sekitar 96,5% dari seluruh air di Bumi yang diketahui[16][17][d] dan meliputi lebih dari 70% permukaan Bumi.[9]:7 Sementara itu, 1,74% air di Bumi dapat ditemukan dalam bentuk beku di es laut Samudra Arktik, lapisan es Antarktika dan laut-laut di sekitarnya, serta berbagai gletser dan endapan es di permukaan di seluruh dunia. Air sisanya (sekitar 1,72%) tersedia sebagai air tanah atau di tahapan-tahapan siklus air, yang terdiri dari air tawar di danau, sungai, dan pada air hujan dan uap air di udara dan awan.[16] Sastrawan Inggris, Arthur C. Clarke, menyebut bahwa "Bumi" (bahasa Inggris: earth) lebih pantas disebut sebagai "Samudra".[9]:7

Hidrologi merupakan kajian ilmiah terhadap air dan siklus air di Bumi. Hidrodinamika mengkaji fisika pada air yang bergerak. Ilmu yang mempelajari laut secara khusus adalah oseanografi yang mengkaji kondisi air laut, gelombang, pasang surut, arus, pesisir, dasar laut, dan mengkaji kehidupan laut.[21] Cabang ilmu yang mengkaji gaya yang terjadi di laut beserta gerakannya adalah oseanografi fisik.[22] Biologi laut (oseanografi biologi) mengkaji tumbuhan, hewan dan organisme lain yang hidup di dalam ekosistem laut. Oseanografi kimia yang mengkaji interaksi unsur dan molekul dalam samudra terutama pada peran samudra dalam siklus karbon dan peran karbon dioksida dalam peningkatan keasaman air laut saat ini. Geografi laut dan maritim mengkaji bentuk laut. Geologi laut (oseanografi geologi) mempelajari pergeseran benua, komposisi dan struktur Bumi, serta sedimentasi, vulkanisme, dan seismologi di laut.[23]

Air laut

Peta yang menggambarkan variasi tingkat keasinan (salinitas) di dunia. Merah = 40‰, ungu = 30‰
Zat terlarut dalam air laut (salinitas 3,5%)[24]
Zat larut Konsentrasi (‰) % total garam
Klorida 19,3 55
Natrium 10,8 30,6
Sulfat 2,7 7,7
Magnesium 1,3 3,7
Kalsium 0,41 1,2
Kalium 0,40 1,1
Bikarbonat 0,10 0,4
Bromida 0,07 0,2
Karbonat 0,01 0,05
Stronsium 0,01 0,04
Borat 0,01 0,01
Fluorida 0,001 <0,01
Zat larut lainnya <0,001 <0,01

Air di laut diduga berasal dari gunung berapi di Bumi, dimulai dari 4 miliar tahun yang lalu melalui proses pengeluaran gas dari batuan cair.[9](hlm.24–25) Terdapat pula dugaan bahwa sebagian besar air di Bumi berasal dari komet.[25] Ciri khas utama air laut adalah sifatnya yang asin. Walaupun tingkat keasinannya (salinitas) dapat beragam, sekitar 90% air di samudra memiliki 34–35 g zat padat yang terlarut per liter, sehingga menghasilkan tingkat keasinan sebesar 3,4-3,5%.[26] Agar dapat lebih mudah mendeskripsikan perbedaan-perbedaan yang kecil, para ahli oseanografi biasanya menuliskan tingkat keasinan dalam bentuk permil (‰) atau perseribu (part per thousand, ppt) alih-alih memakai persentase. Salinitas permukaan air di Belahan Utara pada umumnya mendekati angka 34‰, sementara di Belahan Selatan mencapai 35‰.[6] Kadar di Laut Tengah sedikit lebih tinggi, yaitu 38‰,[27] sementara salinitas di Laut Merah bagian utara bahkan dapat mencapai 41‰.[28] Komposisi zat larut di dalam samudra relatif stabil:[24][29] natrium dan klorida mencakup sekitar 85% zat padat yang terlarut. Terdapat pula ion-ion logam lainnya seperti magnesium, kalsium, dan ion-ion negatif seperti sulfat, karbonat, dan bromida. Apabila tidak terdapat polutan, air laut tidak berbahaya untuk diminum, tetapi air ini terlalu asin dan ginjal manusia tidak dapat mengeluarkan urin yang seasin air laut, sehingga tubuh akan membutuhkan lebih banyak air untuk mengeluarkan garam yang berlebih, dan meminum air laut dapat berujung pada dehidrasi.[30]

Walaupun jumlah garam di samudra tetap konstan dalam skala waktu jutaan tahun, perbedaan salinitas di permukaan laut dipengaruhi oleh beberapa faktor.[31] Faktor yang memperkuat tingkat keasinan adalah penguapan dan efek samping pembentukan es laut (karena saat es terbentuk, garam yang terlarut tidak akan ikut beku dan lalu bercampur dengan air laut di bawah es), sementara faktor-faktor yang menurunkan salinitas adalah presipitasi, pelelehan es, serta air tawar yang masuk dari sungai.[31] Sebagai contoh, air di Laut Baltik memiliki tingkat keasinan yang sangat rendah dan tergolong sebagai air payau, karena ada banyak sungai yang mengalir ke laut ini yang membawa air tawar ke laut tersebut.[32] Di sisi lain, Laut Merah sangat asin akibat tingkat penguapan yang tinggi.[33]

Rata-rata suhu di permukaan laut pada tahun 2009, dari −2 °C (nila muda) sampai 30 °C (merah muda).

Suhu laut bergantung pada jumlah radiasi matahari yang diterima. Di wilayah tropis, matahari hampir berada tepat di atas kepala, sehingga suhu di permukaan dapat naik hingga 30 °C. Sementara itu, di dekat wilayah kutub, suhu permukaan yang berada dalam keseimbangan dengan es air tercatat sekitar -2°C. Perbedaan suhu tersebut menjadi faktor yang mendorong sirkulasi air di samudra. Arus hangat di permukaan menjauh dari wilayah tropis dan mengalami pendinginan, sehingga airnya menjadi lebih padat dan tenggelam. Di sisi lain, air dingin kembali bergerak ke arah khatulistiwa sebagai arus dasar laut, yang didorong oleh perubahan suhu dan kepadatan air, dan akhirnya naik lagi ke permukaan. Air di laut dalam memiliki suhu sekitar -2°C dan 5°C di seluruh dunia.[34]

Air laut dengan salinitas 35‰ memiliki titik beku sekitar −1,8 °C.[35] Jika suhunya sudah cukup rendah, kristal es akan terbentuk di permukaan. Kristal-kristal ini akan pecah menjadi kepingan-kepingan kecil dan membentuk suspensi yang dikenal dengan sebutan frazil. Dalam keadaan yang tenang, frazil akan membeku menjadi selubung-selubung es tipis yang disebut nilas, yang akan menjadi semakin tebal setelah es-es baru terbentuk di bawahnya. Di lautan yang bergejolak, kristal frazil akan berpadu menjadi piringan-piringan datar yang disebut "panekuk". Piringan-piringan ini nantinya akan bersatu dan membentuk hanyutan es. Sementara itu, selama proses pembekuan, air garam dan udara terperangkap di antara kristal-kristal es. Nilas mungkin memiliki tingkat keasinan sebesar 12–15 ‰, tetapi ketika es air mencapai usia satu tahun, salinitas akan turun menjadi 4–6 ‰.[36]

Permukaan laut

Variasi permukaan laut di seluruh dunia (1992) dari −1,4 m (nila muda) sampai +1,0 m (merah muda).

Selama sebagian besar sejarah Bumi, permukaan laut memiliki ketinggian yang berada di atas tingginya saat ini.[9]:74 Faktor utama yang memengaruhi perubahan tinggi permukaan laut pada sepanjang sejarahnya adalah perubahan kerak samudra, dengan pola penurunan yang diperkirakan akan tetap berlangsung dalam waktu panjang ke depan.[37] Pada periode Glasial Maksimum Terakhir sekitar 20.000 tahun yang lalu, permukaan laut ada pada ketinggian 120 m lebih rendah daripada ketinggiannya saat ini. Akan tetapi, selama 100 tahun terakhir, tinggi permukaan laut telah naik dengan rata-rata kenaikan sebanyak 1,8 mm per tahun.[38] Sebagian besar dari kenaikan ini dipicu oleh peningkatan suhu laut yang menyebabkan pemuaian air laut di kedalaman 0—500 m dari permukaan. Faktor-faktor lain yang turut menaikkan tinggi permukaan laut (sekitar seperempatnya) berasal dari sumber air di daratan, seperti melelehnya salju dan gletser serta pengambilan air tanah untuk irigasi dan keperluan manusia lainnya.[39] Pola kenaikan permukaan laut yang dipicu oleh pemanasan global diperkirakan akan berlanjut paling tidak hingga akhir abad ke-21.[40]

Siklus air

Laut merupakan bagian dari siklus air, yaitu ketika air menguap dari samudra, bergerak melalui atmosfer dalam bentuk uap, mengalami kondensasi, lalu turun ke bumi (biasanya dalam bentuk hujan atau salju), dan akhirnya kembali ke laut.[41] Bahkan di Gurun Atacama (sebuah kawasan yang sangat jarang dituruni hujan), awan-awan kabut padat yang dikenal dengan sebutan camanchaca datang dari laut dan menjadi sumber air bagi tumbuhan-tumbuhan di kawasan lomas.[42]

Di wilayah daratan yang luas, terdapat kenampakan-kenampakan geologi yang dapat membentuk wilayah cekungan endoreik. Cekungan-cekungan ini terkadang menghasilkan danau garam permanen karena air yang mengalir masuk menguap sementara mineralnya terakumulasi. Contohnya adalah Laut Kaspia di Asia Tengah serta Great Salt Lake di Amerika Serikat.[43] Air dari cekungan-cekungan tersebut dapat kembali ke laut melalui proses penguapan, aliran air tanah, dan (dalam waktu yang lama) pergeseran benua.

Siklus karbon

Samudra memiliki kuantitas karbon terbesar yang didaur secara aktif, dan jumlah karbon yang terkandung di dalam samudra juga merupakan yang terbesar kedua setelah litosfer.[44] Lapisan permukaan samudra mengandung banyak sekali karbon organik terlarut, yang seringkali ditukar dengan karbon di atmosfer. Sementara itu, konsentrasi karbon anorganik terlarut di lapisan dalam samudra tercatat sekitar 15 persen lebih tinggi ketimbang konsentrasi di lapisan permukaan,[45] dan karbon di lapisan dalam akan tetap berada di sana dalam waktu yang panjang.[46] Sirkulasi termohalin menukar karbon di antara kedua lapisan tersebut.[44]

Karbon dari atmosfer memasuki samudra dan mengalami pelarutan di lapisan permukaan, dan lalu berubah menjadi asam karbonat, karbonat dan bikarbonat:[47]

CO2 (gas) is in equilibrium with CO2 (aq)
CO2 (aq) + H2O is in equilibrium with H2CO3
H2CO3 is in equilibrium with HCO3 + H+
HCO3 is in equilibrium with CO32− + 2 H+

Karbon juga masuk ke laut lewat sungai dalam bentuk karbon organik terlarut, dan lalu diubah oleh organisme yang berfotosintesis menjadi karbon organik. Karbon ini dapat didaur di rantai makanan atau mengalami presipitasi ke lapisan yang lebih dalam dan kaya akan karbon sebagai jaringan lunak mati atau di dalam cangkang-cangkang dan tulang-tulang sebagai kalsium karbonat. Karbon ini beredar di lapisan ini dalam waktu yang panjang sebelum mengendap sebagai sedimen atau kembali ke permukaan melalui proses sirkulasi termohalin.[46]

Peningkatan keasaman

Perkiraan perubahan pH air laut yang diakibatkan oleh karbon dioksida yang dihasilkan manusia

Air laut bersifat sedikit alkali dan memiliki rata-rata pH sekitar 8,2 selama 300 juta tahun terakhir.[48] Baru-baru ini, aktivitas manusia dengan cepat meningkatkan kadar karbon dioksida di atmosfer. Sekitar 30–40% dari tambahan CO2 diserap oleh samudra, sehingga membentuk asam karbonat dan menurunkan pH (sekarang di bawah 8,1[48]) melalui proses yang disebut peningkatan keasaman samudra.[49][50][51] Kadar pH diperkirakan akan turun hingga 7,7 (peningkatan konsentrasi ion hidrogen sebesar 3 kali lipat) pada tahun 2100, yang merupakan perubahan besar dalam kurun waktu satu abad.[52][e]

Salah satu unsur penting dalam pembentukan material kerangka pada hewan-hewan laut adalah kalsium, tetapi kalsium karbonat menjadi semakin mudah larut jika tekanan semakin tinggi, sehingga cangkang dan kerangka akan mengalami pelarutan apabila berada di bawah kedalaman kompensasi karbonat.[54] Kalsium karbonat juga menjadi semakin mudah larut jika kadar pH lebih rendah, sehingga pengasaman samudra kemungkinan akan berdampak besar terhadap organisme-organisme laut yang memiliki cangkang seperti tiram, kerang, bulu babi, dan koral,[55] karena kemampuan mereka untuk membentuk cangkang akan berkurang,[56] dan kedalaman kompensasi karbonat akan semakin mendekati permukaan laut. Organisme planktonik yang juga akan terkena dampak dari pengasaman meliputi moluska-moluska mirip siput yang dikenal sebagai pteropoda, serta alga bersel tunggal yang disebut kokolitofor dan foraminifera. Organisme-organisme ini merupakan bagian penting dari rantai makanan dan penurunan jumlah mereka akan berdampak besar terhadap ekosistem. Di kawasan tropis, koral akan sangat terdampak karena koral akan semakin sulit membentuk kerangka yang terbuat dari kalsium karbonat,[57] dan ini akan berdampak pada hewan-hewan lainnya yang tinggal di terumbu karang.[52]

Dalam riwayat geologi Bumi, belum ada peristiwa yang sebanding dengan perubahan tingkat keasaman di laut seperti yang terjadi saat ini, sehingga tidak diketahui secara pasti bagaimana ekosistem laut akan beradaptasi.[58] Hal ini dapat semakin diperparah oleh efek dari peningkatan suhu dan penurunan kadar oksigen.[59]

Kehidupan laut

Terumbu karang merupakan salah satu habitat dengan kehidupan yang paling beranekaragam di dunia.

Samudra adalah tempat tinggal beranekaragam kehidupan yang memanfaatkannya sebagai habitat. Sinar matahari hanya menerangi lapisan-lapisan atas laut, sehingga sebagian besar samudra berada dalam kegelapan permanen. Di setiap tingkatan kedalaman dan zona suhu, terdapat habitat-habitat tersendiri untuk spesies-spesies yang unik, sehingga lingkungan laut memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.[60] Terdapat bermacam-macam habitat laut, dari habitat di permukaan laut hingga palung yang paling dalam. Beberapa contohnya adalah terumbu karang, hutan kelp, padang lamun, kolam pasang-surut, dasar laut yang berlumpur, berpasir dan berbatu, serta zona pelagik terbuka. Organisme yang hidup di laut juga bermacam-macam, dari paus dengan panjang yang mencapai 30 meter hingga fitoplankton dan zooplankton mikroskopis, fungi, bakteri, dan virus, termasuk bakteriofag laut yang baru ditemukan sebagai parasit pada bakteri.[61] Kehidupan laut berperan penting dalam siklus karbon sebagai organisme fotosintetik yang mengubah karbon dioksida terlarut menjadi karbon organik.[62][63](hlm.204–29)

Kehidupan mungkin bermula di laut dan semua filum hewan terwakili di sana. Para ilmuwan saat ini masih memperdebatkan tempat kemunculan kehidupan secara pasti: percobaan Miller-Urey menunjukkan bahwa kehidupan mungkin muncul secara abiogenesis di sebuah "sup" kimia encer di perairan terbuka, tetapi baru-baru ini muncul dugaan bahwa kehidupan pertama kali muncul di mata air panas vulkanik, sedimen tanah liat, atau ventilasi hidrotermal di dasar laut, dan semua tempat ini akan melindungi kehidupan awal dari radiasi ultraviolet yang tidak diserap oleh atmosfer Bumi pada masa itu.[9](hlm.138–40)

Hutan kelp yang menjadi habitat banyak organisme laut

Habitat

Secara horizontal, habitat laut dapat dibagi menjadi habitat lautan terbuka dan pesisir. Habitat pesisir terbentang dari garis pantai hingga ujung landas benua. Kebanyakan kehidupan laut dapat ditemui di habitat pesisir, meskipun landas benua hanya mencakup 7% dari luas seluruh samudra. Habitat lautan terbuka terletak di samudra dalam di landas benua. Selain pembagian secara horizontal, habitat laut dapat dibagi secara vertikal menjadi habitat pelagik (perairan terbuka), demersal (di atas dasar laut), dan bentik (dasar laut). Pembagian ketiga adalah menurut garis lintang: dari perairan tropis, sedang, sampai kutub.[9](hlm.150f)

Terumbu karang, yang disebut "hutan hujan di laut", menduduki kurang dari 0,1 persen permukaan samudra dunia, tetapi ekosistemnya mencakup 25 persen dari seluruh spesies laut.[64] Terumbu karang yang paling dikenal adalah terumbu karang tropis seperti Great Barrier Reef di Australia.[9](hlm.204–07) Walaupun begitu, karang juga dapat ditemui di perairan dingin, dan terdapat enam spesies koral yang terlibat dalam pembentukan karang di perairan tersebut, yaitu Lophelia pertusa, Madrepora oculata, Goniocorella dumosa, Oculina varicosa, Enallopsammia profunda, dan Solenosmilia variabilis.[65]

Alga dan tumbuhan

Diatom adalah salah satu jenis fitoplankton yang paling tersebar di laut.

Produsen primer seperti tumbuhan dan plankton tersebar luas di laut dan juga sangat penting bagi ekosistem. Diperkirakan setengah dari oksigen dunia dihasilkan oleh fitoplankton.[66][67] Sekitar 45 persen produksi primer di laut dihasilkan oleh diatom.[68] Alga yang jauh lebih besar, yang umum dikenal dengan sebutan gulma laut, juga penting di tingkatan lokal: Sargassum mengambang di permukaan, sementara kelp membentuk hutan dasar laut.[63](hlm.246–55) Tumbuhan berbunga dalam bentuk lamun tumbuh di "padang rumput" di perairan dangkal berpasir,[69] sementara pohon bakau menghiasi daerah pesisir di kawasan tropis dan subtropis,[70] dan tumbuhan-tumbuhan yang toleran terhadap garam berkembang di rawa asin yang mengalami banjir secara berkala.[71] Semua habitat tersebut dapat menangkap dan menyimpan karbon dalam jumlah yang besar, dan juga menopang keragaman hayati yang terdiri dari hewan-hewan besar dan kecil.[72]

Sinar hanya dapat menembus permukaan laut di atas 200 m, sehingga tumbuhan hanya dapat tumbuh di bagian ini.[73] Bagian permukaan seringkali kekurangan komponen-komponen nitrogen yang aktif secara biologis. Siklus nitrogen di laut terdiri dari proses transformasi mikrobial yang meliputi pengikatan nitrogen, asimilasi nitrogen, nitrifikasi, anamoks, dan denitrifikasi.[74] Beberapa proses tersebut terjadi di laut dalam, sehingga pertumbuhan tumbuhan lebih besar di daerah yang mengalami pembalikan massa air, dan juga di daerah dekat muara yang mengandung nutrien yang terbawa dari daratan. Maka dari itu, wilayah yang paling produktif, kaya akan plankton, dan juga kaya akan ikan umumnya terletak di daerah pesisir.[9](hlm.160–63)

Hewan dan kehidupan lain

Ikan lepu ayam di dekat Pulau Banta, Indonesia
Lumba-lumba

Terdapat beranekaragam hewan di laut, namun ada banyak spesies laut yang masih belum diketahui keberadaannya dan jumlah spesies yang telah ditemukan terus bertambah setiap tahunnya.[75] Beberapa vertebrata seperti burung laut, anjing laut, dan penyu kembali ke daratan untuk berkembangbiak, tetapi ikan, cetacea, dan ular laut hanya hidup di laut, dan begitu pula berbagai filum invertebrata. Samudra penuh dengan kehidupan dan memiliki banyak mikrohabitat yang beranekaragam.[75] Salah satu contohnya adalah lapisan permukaan yang menjadi tempat tinggal bakteri, fungi, mikroalga, protozoa, telur ikan, dan berbagai larva, meskipun lapisan ini seringkali terombang-ambing oleh ombak.[76]

Zona pelagik dihuni oleh makro- dan mikrofauna dan banyak sekali zooplankton yang bergerak searah dengan arus. Kebanyakan organisme terkecil adalah larva ikan dan invertebrata laut yang mengeluarkan telur dalam jumlah besar karena kemungkinan embrio dapat bertahan sampai dewasa sangat kecil.[77] Zooplankton memakan fitoplankton dan zooplankton lainnya, dan merupakan bagian dasar dari rantai makanan yang kompleks: zooplankton dimakan oleh ikan dan organisme nektonik lain, dan lalu ikan dimangsa oleh hewan seperti hiu dan lumba-lumba.[78] Beberapa hewan laut melakukan migrasi, seperti migrasi musiman ke wilayah lain di samudra, atau migrasi harian secara vertikal untuk mencari makan di bagian atas pada malam hari dan lalu kembali ke bagian bawah untuk berlindung pada siang hari.[79] Kapal-kapal juga dapat membawa atau menyebarkan spesies invasif saat kapal-kapal tersebut mengeluarkan isi ballast atau dengan mengangkut organisme yang telah mengalami akumulasi di lambung kapal.[80]

Cacing Osedax yang menempel di sisa tulang belulang paus

Zona demersal menopang kehidupan banyak hewan yang memakan organisme bentik atau yang mencari perlindungan dari para predator. Dasar laut menyediakan habitat di atas atau di bawah permukaan substrat yang dipakai oleh organisme yang telah berevolusi pada kondisi tersebut. Zona pasang-surut yang terpapar udara secara berkala merupakan tempat tinggal teritip, moluska, dan krustasea. Zona neritik memiliki banyak organisme yang membutuhkan sinar untuk berkembang. Di sana, Porifera, Echinodermata, Polychaeta, anemon laut, dan invertebrata-invertebrata lainnya tinggal di bebatuan yang diselimuti alga. Karang seringkali dihuni oleh simbion-simbion fotosintetik dan dapat ditemui di perairan dangkal yang dapat ditembus cahaya. Kerangka kapur yang dibentuk olehnya merupakan kenampakan dasar laut yang penting. Sementara itu, tidak banyak kehidupan di laut yang lebih dalam, tetapi kehidupan laut juga berkembang di sekitaran gunung laut, tempat ikan dan hewan-hewan lainnya berkumpul dan mencari makan. Ikan demersal tinggal di dekat dasar laut dan memangsa organisme pelagik atau invertebrata bentik.[81] Penjelajahan laut dalam sendiri telah menguak dunia baru yang sebelumnya tak pernah dilihat oleh para ilmuwan. Beberapa hewan seperti detritivora bergantung pada materi organik yang jatuh ke dasar samudra ("salju laut"). Kehidupan lainnya berkumpul di sekitaran ventilasi hidrotermal di dasar laut, dan dari situ keluar air yang kaya akan mineral yang menopang berbagai macam organisme, dengan produsen primer berupa bakteri kemoautotrofik yang mengoksidasi sulfida, dan para konsumennya meliputi Bivalvia terspesialisasi, anemon laut, teritip, kepiting, cacing, dan ikan yang biasanya tidak dapat ditemui di tempat lain.[9](hlm.212) Paus yang sudah mati dan tenggelam ke dasar samudra juga menjadi sumber makanan bagi sejumlah organisme yang turut bergantung pada bakteri pengoksidasi sulfur. Bangkai paus (termasuk kerangkanya yang kaya akan lipid) menopang bioma-bioma unik dengan banyak mikroba baru dan kehidupan-kehidupan lainnya yang belum ditemukan.[82]

Manusia dan laut

Ukiran kapal di Candi Borobudur
Pada tanggal 12 Oktober 1492, penjelajah Italia Kristoforus Kolumbus berhasil "menemukan" Benua Amerika untuk Spanyol (lukisan tahun 1893)
Sebuah astrolab

Sejarah navigasi dan penjelajahan

Manusia telah menjelajahi laut sejak zaman prasejarah, biasanya dengan menggunakan rakit dan perahu kayu, perahu alang-alang, dan kano dari kulit pohon. Sekitar tahun 3000 SM, bangsa Austronesia di Taiwan sudah mulai menyebar ke wilayah kepulauan di Asia Tenggara.[83] Kemudian, orang-orang "Lapita" dari rumpun Austronesia menyebar luas di wilayah yang terbentang dari Kepulauan Bismarck hingga ke Fiji, Tonga, dan Samoa.[84] Keturunan mereka mengarungi lautan sejauh ribuan kilometer dari satu pulau ke pulau lainnya hanya dengan menggunakan sebuah kano,[85] dan dalam prosesnya mereka menemukan banyak pulau baru, termasuk Hawaii, Pulau Paskah (Rapa Nui), dan Selandia Baru.[86]

Bangsa Mesir Kuno dan Fenisia telah menjelajahi Laut Tengah dan Laut Merah, sementara Hannu dari Mesir berhasil mencapai Semenanjung Arab dan Pesisir Afrika sekitar tahun 2750 SM.[87] Pada milenium pertama SM, bangsa Fenisia dan Yunani telah mendirikan koloni-koloni di pesisir Laut Tengah dan Laut Hitam,[88] Sekitar tahun 500 SM, seorang navigator Kartago yang bernama Hanno menulis catatan perjalanannya yang menunjukkan bahwa ia paling tidak telah mencapai pesisir Senegal, atau mungkin malah hingga sejauh Gunung Kamerun.[89][90] Pada abad pertengahan awal, bangsa Viking berhasil melintasi Samudra Atlantik Utara hingga mencapai ujung timur laut benua Amerika.[9](hlm.12–13) Orang-orang Novgorod juga telah berlayar di Laut Putih dari abad ke-13 atau bahkan sebelumnya.[91] Sementara itu, laut beserta dengan pesisir Asia timur dan selatan dimanfaatkan oleh pedagang Arab dan Tionghoa.[92] Dinasti Ming di Tiongkok bahkan memiliki armada yang terdiri dari 317 kapal dengan 37.000 awak yang dipimpin oleh Cheng Ho pada awal abad ke-15; armada ini menjelajahi wilayah pesisir Samudra Hindia dan Pasifik.[9](hlm.12–13)

Pada akhir abad ke-15, para pelaut Eropa Barat mulai mencari jalur dagang yang baru. Bartolomeu Dias mengelilingi Tanjung Harapan pada tahun 1487 dan Vasco da Gama mencapai India lewat tanjung tersebut pada tahun 1498. Kristoforus Kolumbus berlayar dari Cadiz pada tahun 1492 dalam upaya untuk mencapai wilayah India di timur dengan cara berlayar ke barat. Ia malah mendarat di sebuah pulau di Laut Karibia, dan beberapa tahun kemudian seorang navigator Venesia yang bernama Giovanni Caboto berhasil mencapai Newfoundland. Penjelajah Italia Amerigo Vespucci, yang menjadi asal nama benua Amerika, menjelajahi pesisir Amerika Selatan dari tahun 1497 hingga 1502, dan ia juga menemukan mulut Sungai Amazon.[9](hlm.12–13) Pada tahun 1519, seorang navigator Portugis yang bernama Fernando de Magelhaens memimpin ekspedisi pertama yang bertujuan mengelilingi dunia.[9](hlm.12–13)

Peta dunia karya Gerardus Mercator dari tahun 1569. Garis pantai Dunia Lama digambarkan dengan cukup akurat, tetapi proyeksi untuk kawasan-kawasan di lintang tinggi menjadi terlalu besar.

Terkait dengan sejarah alat navigasi, kompas pertama kali digunakan oleh orang Yunani dan Tionghoa kuno untuk menunjukkan orientasi utara dan mengetahui ke mana kapal mengarah. Garis lintang ditentukan dengan menggunakan astrolab, tongkat Jacob, atau sekstan, sementara garis bujur hanya dapat dihitung dengan kronometer yang akurat untuk menunjukkan perbedaan waktu yang pasti antara kapal dengan titik yang telah ditentukan, seperti Meridian Greenwich. Pada tahun 1759, seorang pembuat jam yang bernama John Harrison merancang alat semacam itu dan James Cook menggunakan alat ini selama perjalanannya mengarungi samudra.[93] Kini Sistem Pemosisi Global (GPS) menggunakan lebih dari tiga puluh satelit untuk memungkinkan navigasi secara akurat di seluruh dunia.[93]

Terkait dengan peta yang juga sangat penting untuk navigasi, pada abad kedua, Ptolemeus telah memetakan wilayah-wilayah dunia yang dikenal pada masa itu, dari "Fortunatae Insulae" (Tanjung Verde atau Kepulauan Kanari) di barat hingga Teluk Thailand di timur. Peta ini digunakan pada tahun 1492 oleh Kristoforus Kolumbus.[94] Kemudian, Gerardus Mercator membuat peta dunia pada tahun 1538 dengan proyeksi yang meluruskan garis-garis rhumb,[9](hlm.12–13) sehingga menghasilkan proyeksi yang terlalu besar untuk wilayah-wilayah di lintang tinggi seperti wilayah Artik. Pada abad ke-18, peta yang tersedia sudah lebih baik daripada sebelumnya, dan salah satu tujuan perjalanan James Cook adalah untuk melakukan pemetaan lebih lanjut. Penelitian ilmiah berlanjut dengan pengukuran kedalaman oleh Tuscarora, penelitian samudra oleh ekspedisi Challenger (1872–1876), kiprah pelaut Skandinavia Roald Amundsen dan Fridtjof Nansen, ekspedisi Michael Sars pada tahun 1910, ekspedisi Atlantik Jerman pada tahun 1925, survei Discovery II di Antartika pada tahun 1932, dan seterusnya.[23] Selain itu, pada tahun 1921, didirikan Organisasi Hidrografi Internasional yang merupakan badan yang kompeten dalam melakukan survei hidrografi dan pemetaan bahari.[95]

Perjalanan

RMS Titanic, kapal penumpang raksasa yang tenggelam di Samudra Atlantik Utara pada tanggal 15 April 1912

Kapal layar atau kapal paket mengangkut surat ke seberang laut. Salah satu kapal paket pertama berlayar dari Belanda ke Batavia pada tahun 1670-an.[96] Penumpang boleh naik, tetapi kondisi di dalam kapal tidak layak. Pelayaran penumpang terjadwal kemudian berkembang, tetapi waktu pelayarannya tergantung cuaca. Ketika kapal uap menggantikan kapal layar, kapal samudra menjelma sebagai kapal penumpang. Pada awal abad ke-20, pelayaran lintas Atlantik memakan lima hari. Banyak perusahaan kapal berlomba-lomba membuat kapal terbesar dan tercepat. Blue Riband adalah penghargaan tak resmi yang dipersembahkan kepada kapal tercepat yang melintasi Atlantik dengan jadwal rutin. Mauretania memegang rekor kecepatan 26,06 knot (48,26 km/jam) selama dua puluh tahun sejak 1909.[97] Hales Trophy, penghargaan pelayaran komersial tercepat melintasi Atlantik, dimenangkan oleh United States pada tahun 1952 dengan masa berlayar 3 hari 10 jam 40 menit.[98]

Kapal samudra nyaman, tetapi bahan bakar dan stafnya memakan biaya yang besar. Masa kejayaan kapal penumpang lintas Atlantik berakhir seiring murahnya biaya penerbangan lintas benua. Pada tahun 1958, penerbangan rutin antara New York dan Paris dengan masa tempuh tujuh jam mengguncang industri kapal penumpang transatlantik. Kapal demi kapal dipensiunkan. Beberapa kapal diloakkan dan sisanya dijadikan kapal pesiar untuk industri pelancongan dan hotel mengapung.[99] Namun, laut masih menjadi pilihan bagi pengungsi yang menaiki perahu taklayak. Mereka biasanya membayar penyelundup agar bisa berlayar. Ada yang mengungsi karena berlindung dari penindasan dan ada pula yang mengungsi karena mencari penghidupan layak di luar negeri..[100]

Perdagangan

Peta yang menunjukkan kepadatan relatif pada rute perkapalan komersial di seluruh dunia

Perdagangan laut sudah ada selama beberapa milenium. Wangsa Ptolemaios berdagang dengan India dengan menggunakan pelabuhan-pelabuhan di Laut Merah, sementara pada milenium pertama SM orang-orang Arab, Fenisia, Bani Israil, dan India memperdagangkan barang-barang mewah seperti rempah-rempah, emas, dan batu-batu mulia.[101] Orang-orang Fenisia dikenal sebagai pedagang yang ulung, dan pada masa Yunani dan Romawi perdagangan terus berkembang. Meskipun perdagangan di Eropa sempat mengalami kemunduran akibat runtuhnya Kekaisaran Romawi, perdagangan masih berkembang di wilayah-wilayah lainnya seperti Afrika, Timur Tengah, India, Tiongkok, dan Asia Tenggara.[102]

Saat ini, banyak barang yang diangkut lewat laut, khususnya lewat Samudra Atlantik dan di sekitaran Lingkar Pasifik. Rute perdagangan besar melintasi Pilar-Pilar Herkules, Laut Tengah, Terusan Suez, Samudra Hindia, dan Selat Malaka; banyak kapal dagang yang juga melewati Selat Inggris.[103] Jalur-jalur perkapalan dipakai oleh kapal-kapal muatan, yang memanfaatkan arus dan angin. Lebih dari 60% lalu lintas kapal kontainer dunia melewati dua puluh rute dagang utama.[104] Peningkatan pelelehan es di Artik sejak tahun 2007 juga membuat kapal-kapal dapat melewati Perlintasan Barat Laut selama beberapa minggu pada musim panas, sehingga kapal-kapal ini dapat menghindari rute-rute lain yang lebih panjang (seperti rute lewat Terusan Panama).[105] Secara keseluruhan, nilai barang yang diangkut lewat laut diperkirakan melebihi US$4 triliun setiap tahunnya.[106]

Terdapat dua jenis muatan, yaitu muatan curah dan muatan break bulk atau muatan umum. Komoditas-komoditas dalam bentuk cair, bubuk, atau partikel diangkut dalam kapal muatan curah dan meliputi minyak, gandum, batubara, bijih, logam bekas, pasir, dan kerikil. Muatan break bulk biasanya terdiri dari barang-barang jadi dan diangkut dalam kemasan-kemasan yang seringkali diletakkan di atas palet. Sebelum terjadinya kontainerisasi pada era 1950-an, barang-barang dimuat, diangkut, dan dikeluarkan sedikit demi sedikit.[107] Pemakaian kontainer sangat meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya pengangkutan,[108] dan kini kebanyakan muatan dipindahkan dengan menggunakan kontainer yang dapat dikunci dan berukuran standar yang diangkut di kapal-kapal kontainer.[109][109]

Hukum

Peta Zona Ekonomi Eksklusif di Samudra Pasifik

Hukum laut adalah bagian dari hukum internasional yang mengatur isu-isu maritim. Pada tahun 1609, seorang ahli hukum yang bernama Hugo Grotius menulis sebuah risalah yang berjudul Mare Liberum. Risalah ini menyampaikan argumen-argumen yang mendukung kebebasan laut, yaitu konsep yang menyatakan bahwa laut bebas digunakan oleh semua dan tidak ada yang boleh melarang negara lain menggunakannya.[110] Cornelius Bynkershoek lalu mengembangkan gagasan yang menyatakan bahwa negara memiliki hak atas perairan yang terletak bersebelahan dengan wilayah pesisirnya.[111] Menurutnya, wilayah perairan suatu negara terbentang hingga sejauh mana meriam di daratan dapat menjangkau.[112] Pada masa ketika ia mengeluarkan pernyataan tersebut, jangkauan maksimal meriam di daratan adalah 3 mil laut (5.556 m),[112] sehingga negara-negara maritim pun mulai menetapkan batas tiga mil.[112] Namun, klaim sepihak Presiden Harry S. Truman atas cadangan minyak di landas benua Amerika pada tahun 1945[113] mengakhiri tatanan yang berlaku sebelumnya.[114] Kemudian, diadakan tiga putaran konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang merombak hukum maritim internasional, tetapi Amerika Serikat masih belum meratifikasi perjanjian yang dihasilkan oleh konferensi-konferensi tersebut.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea, disingkat UNCLOS) mulai berlaku pada tahun 1994, setelah Guyana menjadi negara ke-60 yang meratifikasi perjanjian tersebut.[115] Pasal 87(1) Konvensi tersebut menyatakan bahwa "laut lepas terbuka untuk semua negara, baik negara pantai atau terkurung daratan", dan pasal ini juga berisi contoh-contoh kebebasan laut lepas yang meliputi kebebasan berlayar, penerbangan, pemasangan kabel bawah laut, pembangunan pulau-pulau buatan, perikanan, dan penelitian ilmiah.[116] Konvensi ini memperluas laut teritorial hingga jarak 12 mil laut (22,2 km) dari garis pangkal yang umumnya merupakan (tetapi tidak selalu sama dengan) garis air rendah. "Perairan internal" sendiri terletak dari garis pangkal ke arah daratan dan sepenuhnya dikendalikan oleh negara pantai. Di sisi lain, "zona tambahan" terletak hingga sejauh 12 mil laut dari laut teritorial, dan di sini negara dapat melakukan pengejaran seketika terhadap kapal-kapal yang dinyatakan melanggar hukum bea cukai, perpajakan, imigrasi, atau polusi di laut teritorial. Selain itu, "zona ekonomi eksklusif" atau ZEE terletak sejauh 200 mil laut dari garis pangkal dan memberikan hak untuk mengeksploitasi kehidupan laut dan mineral kepada negara pantai. Sementara itu, dalam ranah hukum, "landas benua" dianggap sebagai dasar laut atau tanah di bawahnya "yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur".[117] Negara pantai berhak untuk mengeksploitasi sumber daya alam di landas benua.[118]

Perang

Sebuah kapal Bizantium menggunakan api Yunani untuk menyerang kapal pemberontak pada abad ke-9

Kendali atas laut merupakan hal yang penting untuk menjaga keamanan suatu negara maritim, dan blokade terhadap pelabuhan dapat menghentikan pasokan makanan dan barang-barang lainnya. Pertempuran telah berkecamuk di lautan selama lebih dari 3.000 tahun. Sekitar tahun 1210 SM, Raja Het Suppiluliuma II berhasil mengalahkan dan membakar armada dari Alashiya (Siprus modern).[119] Dalam Pertempuran Salamis pada tahun 480 SM, Themistokles mampu menjebak armada Persia yang jauh lebih besar jumlahnya di sebuah selat yang sempit, dan akhirnya berhasil menghancurkan 200 kapal Persia dengan mengorbankan 40 kapal Yunani.[120] Salah satu pertempuran laut lain yang terkenal berlangsung pada tahun 1805, ketika armada Inggris yang dipimpin oleh Horatio Nelson berhasil mengalahkan kekuatan armada gabungan Prancis dan Spanyol dalam Pertempuran Trafalgar.[121]

Lukisan karya Cornelis Claesz van Wieringen yang menggambarkan Pertempuran Gibraltar (1607)
Serangan Pearl Harbor

Seiring dengan perkembangan teknologi dan industri, kapal-kapal perang menjadi semakin mutakhir dengan daya tembak yang semakin besar. Pada tahun 1905, armada Jepang berhasil mengalahkan armada Rusia yang telah berkelana sejauh 18.000 mil laut (33.000 km) dalam Pertempuran Tsushima.[122] Pada tahun 1906, Britania Raya mulai menggunakan kapal HMS Dreadnought yang baru saja selesai dibangun. Kapal yang dikenal akan senapan-senapan raksasanya ini memicu perlombaan senjata laut yang sengit di antara Britania Raya dengan Kekaisaran Jerman, dan kemudian negara-negara lain juga ikut membuat kapal dreadnought mereka sendiri.[123] Kapal semacam ini baru digunakan untuk berperang dalam Pertempuran Jutland selama Perang Dunia Pertama.[124] Pada masa Perang Dunia II, kemenangan besar Britania dalam Pertempuran Taranto tahun 1940 menunjukkan pentingnya kekuatan udara di laut untuk mengalahkan kapal-kapal perang raksasa.[125] Maka dari itu, pertempuran-pertempuran laut besar yang terjadi di Teater Pasifik (seperti Pertempuran Laut Karang, Midway, Laut Filipina, dan Teluk Leyte) didominasi oleh kapal-kapal induk.[126][127]

Kapal selam mulai menjadi bagian yang penting dalam peperangan di laut setelah kapal-kapal selam Jerman yang dijuluki U-Boot menenggelamkan hampir 5.000 kapal pedagang milik negara-negara Sekutu,[128] termasuk kapal RMS Lusitania yang menjadi faktor yang mendorong Amerika Serikat bergabung dengan pihak Sekutu selama Perang Dunia I.[129] Pada masa Perang Dunia II, hampir 3.000 kapal Sekutu ditenggelamkan oleh U-Boot yang mencoba menghentikan pengiriman persediaan ke Britania,[130] tetapi Sekutu berhasil mematahkan blokade ini dalam Pertempuran Atlantik dan menenggelamkan 783 U-Boot.[131] Semenjak tahun 1960, beberapa negara telah memiliki armada kapal selam misil balistik bertenaga nuklir, yang dapat meluncurkan misil balistik bersenjata nuklir dari dasar laut. Beberapa kapal selam semacam ini melakukan patroli secara permanen.[132][133]

Perompakan

Para perompak Somalia dengan senapan serbu AKM, granat berpeluncur roket RPG-7, dan pistol semi otomatis.

Perompakan di laut sudah dilakukan sejak zaman dahulu kala, dan kemungkinan kegiatan semacam ini muncul bersamaan dengan dimulainya pengiriman barang lewat kapal.[134] Selat-selat sempit yang dilalui oleh kapal-kapal dagang seringkali dimanfaatkan oleh para perompak yang mencari keuntungan.[135] Pada awal abad ke-21, perompakan masih menjadi masalah yang serius, dan pada tahun 2004 kegiatan pembajakan di laut diperkirakan mengakibatkan kerugian sebesar US$16 miliar per tahun.[136] Contoh perairan yang masih menghadapi ancaman dari para perompak adalah Selat Malaka[137] dan pesisir Somalia.[138]

Dalam hukum internasional, para perompak dianggap sebagai hostis humani generis atau "musuh kemanusiaan".[139] Tindakan pembajakan di laut dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan dunia, dan tindakan tersebut juga seringkali dilakukan di laut lepas yang berada di luar kendali negara berdaulat, sehingga tindakan perompakan pun masuk ke dalam cakupan yurisdiksi universal.[139] Maka dari itu, semua negara dapat mengambil tindakan untuk membasmi mereka, dan para pelaku perompakan dapat diseret ke meja hijau di pengadilan negara manapun.[139] Berdasarkan Pasal 101 UNCLOS, tindakan pembajakan di laut dapat didefinisikan sebagai "setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal (...) swasta, dan ditujukan di laut lepas, terhadap kapal (...) lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal (...) demikian, [atau] terhadap suatu kapal (...), orang, atau barang di suatu tempat di luar yurisdiksi negara manapun",[140] sehingga tindakan pembajakan di laut tidak sama dengan peperangan di laut yang berlangsung di antara pihak-pihak yang diakui sebagai subjek hukum internasional.[139]

Pembangkit listrik

Pembangkit listrik tenaga pasang surut pertama di dunia: Pembangkit Listrik Tenaga Pasang Surut Rance dengan panjang satu kilometer, yang menghasilkan sekitar 540 GWh per tahun, sekitar 3% dari total konsumsi listrik di Bretagne pada tahun 2011.[141]

Di laut terdapat persediaan energi yang amat besar dalam bentuk ombak, pasang laut, perbedaan salinitas, dan perbedaan suhu samudra, dan sumber-sumber energi ini dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik.[142] Energi laut yang ramah lingkungan meliputi energi pasang surut, tenaga arus laut, tenaga osmosis, tenaga panas samudra, dan tenaga ombak.[142][143]

Tenaga pasang surut menggunakan generator untuk menghasilkan listrik dari pasang laut, terkadang dengan menggunakan bendungan untuk menyimpan dan kemudian mengeluarkan air laut. Pembangkit Listrik Tenaga Pasang Surut Rance dengan panjang satu kilometer di dekat St Malo, Bretagne, dibuka pada tahun 1967; pembangkit listrik tersebut menghasilkan sekitar 0,5 GW, tetapi tidak banyak yang mencoba mengikuti langkah membangun pembangkit listrik semacam ini.[9](hlm.111–112)

Energi ombak yang besar dan seringkali berubah-ubah menjadikan tenaga ini sebagai tenaga dengan kemampuan merusak yang dahsyat, sehingga mesin ombak yang murah dan dapat diandalkan sulit untuk dikembangkan. Pembangkit listrik tenaga ombak dengan kapasitas 2 MW yang disebut "Osprey" dibangun di Skotlandia Utara pada tahun 1995, sekitar 300 meter di lepas pantai. Mesin tersebut kemudian rusak akibat ombak, dan lalu hancur akibat badai.[9](hlm.112) Sementara itu, energi arus samudra dapat memenuhi kebutuhan energi daerah yang dekat dengan laut.[144] Pada dasarnya, energi tersebut dapat dimanfaatkan dengan menggunakan turbin; sistem turbin di dasar laut juga dapat dibuat, tetapi terbatas di kedalaman sekitar 40 m.[145]

Energi angin lepas pantai diperoleh dari pergerakan turbin angin yang ditempatkan di laut; pembangkit listrik semacam ini memiliki keunggulan, karena kecepatan angin di laut lebih tinggi daripada di daratan, walaupun ladang angin sebenarnya membutuhkan biaya yang lebih besar untuk dibangun di lepas pantai.[146] Ladang angin lepas pantai pertama didirikan di Denmark pada tahun 1991,[147] dan kapasitas kincir angin di lepas pantai Eropa mencapai 3 GW pada 2010.[148]

Pembangkit listrik seringkali terletak di pesisir atau di samping muara agar laut dapat dimanfaatkan sebagai pembuang panas. Pembuang panas yang lebih dingin akan membuat pembangkit listrik menjadi lebih efisien, yang sangat penting untuk pembangkit listrik yang mahal seperti pembangkit listrik tenaga nuklir.[149]

Suku laut asli

Suku Bajau

Suku-suku asli yang nomaden di Asia Tenggara Maritim tinggal di perahu dan hampir seluruh kebutuhan mereka dipenuhi oleh sumber daya laut. Suku Moken tinggal di pesisir Thailand dan Myanmar serta kepulauan di Laut Andaman.[150] Suku Bajau awalnya berasal dari Kepulauan Sulu, Mindanao, dan Kalimantan bagian utara.[151] Suku-suku laut nomaden ini merupakan penyelam bebas yang handal dan mampu mencapai kedalaman 30 m, meskipun beberapa dari antara mereka memiliki gaya hidup yang berbasis di daratan.[152][153]

Suku-suku asli di wilayah Artik seperti suku Chukchi, Inuit, Inuvialuit, dan Yupik memburu mamalia-mamalia laut yang meliputi anjing laut dan paus.[154] Sementara itu, penduduk Kepulauan Selat Torres menjalani kehidupan tradisional di kepulauan tersebut dengan berburu, memancing, berkebun, dan berdagang dengan suku-suku tetangga di Papua Nugini dan Australia.[155]

Catatan

  1. ^ Catatan: ini adalah sebuah definisi umum yang secara konseptual ada pada sumber-sumber dari teknis, bahan ajar, hingga kamus (kamus menjadi standar penggunaan oleh orang pada umumnya). Baca lebih lanjut pada isi utama artikel dan catatan kaki lainnya mengenai arti lengkap dari istilah ini.
  2. ^ Satu definisi menyatakan bahwa laut adalah bagian dari samudra, meskipun sekarang Organisasi Hidrografi Internasional mendefinisikan batas-batas samudra dunia dengan menggunakan perairan yang tidak termasuk wilayah laut[4] sehingga pada dasarnya definisi ditentukan hanya dari kebiasaan tanpa mematok ketentuan khusus.[10] Definisi yang digunakan dalam bahan ajar, dengan mempertimbangkan antara pengertian teknis dan sehari-hari, umumnya menyatakan bahwa "laut" adalah istilah untuk perairan asin yang "terkunci daratan", dengan pengecualian kemudian harus dibuat untuk laut yang dibatasi oleh arus samudra seperti Laut Sargasso.[1][2] Definisi ketiga menyatakan bahwa laut harus memiliki bagian dasar yang terbentuk dari kerak samudra. Definisi ini dapat meliputi Laut Kaspia yang sebagiannya merupakan samudra pada zaman dahulu.[11]
  3. ^ Konvensi UNCLOS tidak mencakup Laut Kaspia yang sebagai gantinya disebut "danau internasional" dalam ranah hukum.[13]
  4. ^ Penelitian terhadap mineral ringwoodit hidrat yang timbul dari letusan gunung berapi menunjukkan bahwa zona transisi antara mantel Bumi bagian bawah dan atas mengandung air yang jumlahnya setara[18] hingga tiga kali lipat[19] dari seluruh air di samudra di permukaan. Eksperimen yang mereka ulang kondisi mantel Bumi bawah juga menunjukkan bahwa masih banyak air yang dapat ditemukan yang jumlahnya dapat mencapai lima kali lipat dari yang terdapat di samudra-samudra dunia.[20]
  5. ^ Sebagai gambaran untuk mengetahui seberapa besar perubahan ini, jika pH plasma darah manusia meningkat dari kadar normal sebesar 7,4 menjadi di atas 7,8, atau turun hingga di bawah 6,8, kematian akan terjadi.[53]

Referensi

  1. ^ a b National Geographic (2011-09-27). "Sea". National Geographic. Diakses tanggal 2017-01-07. 
  2. ^ a b Karleskint, G. (2009). Introduction to Marine Biology. Boston: Cengage Learning. hlm. 47. ISBN 9780495561972. Diakses tanggal 2017-01-07. 
  3. ^ Bishop, T.; et al. "Then and Now: The HMS Challenger Expedition and the 'Mountains in the Sea' Expedition". Ocean Explorer. National Oceanic and Atmospheric Administration. Diakses tanggal 2018-09-04. 
  4. ^ a b Organisasi Hidrografi Internasional (1953). Limits of Oceans and Seas (Special Publication №28) (PDF) (edisi ke-ke-3). Diakses tanggal 2010-02-07. 
  5. ^ Oxford English Dictionary, 1st ed. "sea, n." Oxford University Press 1911.
  6. ^ a b Reddy, M. P. M. (2001). Descriptive Physical Oceanography. Leiden: A.A. Balkema. hlm. 112. ISBN 90-5410-706-5. 
  7. ^ "Sea". Merriam-webster.com. Diakses tanggal 13 March 2013. 
  8. ^ NOS Staff (2014-03-25). "What's the Difference between an Ocean and a Sea?". Ocean Facts. National Ocean Service (NOS), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Diakses tanggal 2017-01-07 – via OceanService.NOAA.gov. 
  9. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r Stow, Dorrik A.V. (2004). Encyclopedia of the Oceans. Oxford: Oxford University Press. ISBN 0198606877. Diakses tanggal 2017-01-07. 
  10. ^ American Society of Civil Engineers (1994). The Glossary of the Mapping Sciences. ASCE Publication. hlm. 365. ISBN 0-7844-7570-9. 
  11. ^ Conforti, B. (2005). The Italian Yearbook of International Law Vol. 14. Martinus Nijhoff. hlm. 237. ISBN 978-90-04-15027-0. 
  12. ^ Vukas, B. (2004). The Law of the Sea: Selected Writings. Martinus Nijhoff. hlm. 271. ISBN 978-90-04-13863-6. 
  13. ^ Gokay, B. (2001). The Politics of Caspian Oil. Palgrave Macmillan. hlm. 74. ISBN 978-0-333-73973-0. 
  14. ^ Ravilious, K. (2009-04-21). "Most Earthlike Planet Yet Found May Have Liquid Oceans". National Geographic. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-12. 
  15. ^ National Aeronautics and Space Administration. "NASA Visible Earth: The Blue Marble". National Aeronautics and Space Administration. Diakses tanggal 2018-09-11. 
  16. ^ a b United States Geological Survey (2016-12-02). "How much water is there on Earth, from the USGS Water Science School". Diakses tanggal 2018-09-11. 
  17. ^ Frederick, John E. (2008). Principles of Atmospheric Science. Jones and Bartlett. hlm. 80. 
  18. ^ Oskin, B. (2014-03-12). "Rare Diamond Confirms that Earth's Mantle Holds an Ocean's Worth of Water". Scientific American. Diakses tanggal 2018-09-11. 
  19. ^ Schmandt, B.; Jacobsen, S. D.; Becker, T. W.; Liu, Z.; Dueker, K. G. (2014). "Dehydration melting at the top of the lower mantle". Science. 344 (6189): 1265–68. Bibcode:2014Sci...344.1265S. doi:10.1126/science.1253358. 
  20. ^ Murakami, M. (2002). "Water in Earth's Lower Mantle". Science. 295 (5561): 1885–87. Bibcode:2002Sci...295.1885M. doi:10.1126/science.1065998. 
  21. ^ b., R. N. R.; Russell, F. S.; Yonge, C. M. (1929). "The Seas: Our Knowledge of Life in the Sea and How It is Gained". The Geographical Journal. 73 (6): 571. doi:10.2307/1785367. JSTOR 1785367. 
  22. ^ Stewart, R. H. (2008). "Introduction To Physical Oceanography" (PDF). Texas A & M University. hlm. 2–3. 
  23. ^ a b Monkhouse, F.J. (1975). Principles of Physical Geography. Hodder & Stoughton. hlm. 327–328. ISBN 978-0-340-04944-0. 
  24. ^ a b Millero, F. J.; Feistel, R.; Wright, D. G.; McDougall, T. J. (2008). "The composition of Standard Seawater and the definition of the Reference-Composition Salinity Scale". Deep-Sea Research Part I: Oceanographic Research Papers. 55: 50–72. Bibcode:2008DSRI...55...50M. doi:10.1016/j.dsr.2007.10.001. 
  25. ^ Cowen, Ron (5 Oktober 2011). "Comets take pole position as water bearers". Nature. Diakses tanggal 10 September 2013. 
  26. ^ Pond, Stephen (1978). Introductory Dynamic Oceanography. Pergamon Press. hlm. 5. ISBN 0750624965.
  27. ^ "Ocean salinity". Science Learning Hub (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-07-02. 
  28. ^ A. Anati, David (March 1999). "The salinity of hypersaline brines: Concepts and misconceptions". International Journal of Salt Lake Research. 8: 55. doi:10.1023/A:1009059827435. Diakses tanggal 3 February 2016. 
  29. ^ Swenson, Herbert. "Why is the Ocean Salty?" US Geological Survey.
  30. ^ NOAA (11 Jan 2013). "Drinking Seawater Can Be Deadly to Humans".
  31. ^ a b Talley, Lynne D (2002). "Salinity Patterns in the Ocean". Dalam MacCracken, Michael C; Perry, John S. Encyclopedia of Global Environmental Change, Volume 1, The Earth System: Physical and Chemical Dimensions of Global Environmental Change. John Wiley & Sons. hlm. 629–630. ISBN 0-471-97796-9. 
  32. ^ Feistel, R; et al. (2010). "Density and Absolute Salinity of the Baltic Sea 2006–2009". Ocean Science. 6: 3-24. 
  33. ^ Talley, Lynne D (2011). Descriptive Physical Oceanography: An Introduction (edisi ke-6). Elsevier. hlm. 381. ISBN 978-0-7506-4552-2. 
  34. ^ Gordon, Arnold (2004). "Ocean Circulation" in The Climate System. Columbia University (New York).
  35. ^ "Sea Water, Freezing of". Water Encyclopedia. Diakses tanggal 12 Oktober 2013. 
  36. ^ Jeffries, Martin O. (2012). "Sea ice". Encyclopedia Britannica. Britannica Online Encyclopedia. Diakses tanggal 21 April 2013. 
  37. ^ Muller, R. D.; et al. (2008). "Long-Term Sea-Level Fluctuations Driven by Ocean Basin Dynamics". Science. 319 (5868): 1357–62. Bibcode:2008Sci...319.1357M. doi:10.1126/science.1151540. PMID 18323446. 
  38. ^ Douglas, B. C. (1997). "Global sea rise: a redetermination". Surveys in Geophysics. 18 (2/3): 279–92. Bibcode:1997SGeo...18..279D. doi:10.1023/A:1006544227856. 
  39. ^ Bindoff, N. L.; et al. (2007). Observations: Oceanic Climate Change and Sea Level. Cambridge University Press. hlm. 385–428. ISBN 978-0-521-88009-1. 
  40. ^ Meehl, G. A.; Washington (2005). "How Much More Global Warming and Sea Level Rise?" (Full free text). Science. 307 (5716): 1769–72. Bibcode:2005Sci...307.1769M. doi:10.1126/science.1106663. PMID 15774757. 
  41. ^ "The Water Cycle: The Oceans". US Geological Survey. 
  42. ^ Vesilind, P. J. (2003). "The Driest Place on Earth". National Geographic. 
  43. ^ "Endorheic Lakes: Waterbodies That Don't Flow to the Sea". The Watershed: Water from the Mountains into the Sea. United Nations Environment Programme. 
  44. ^ a b Falkowski, P.; Scholes, R. J.; Boyle, E.; Canadell, J.; Canfield, D.; Elser, J.; Gruber, N.; Hibbard, K.; Högberg, P.; Linder, S.; MacKenzie, F. T.; Moore b, 3.; Pedersen, T.; Rosenthal, Y.; Seitzinger, S.; Smetacek, V.; Steffen, W. (2000). "The Global Carbon Cycle: A Test of Our Knowledge of Earth as a System". Science. 290 (5490): 291–96. Bibcode:2000Sci...290..291F. doi:10.1126/science.290.5490.291. PMID 11030643. 
  45. ^ Sarmiento, J. L.; Gruber, N. (2006). Ocean Biogeochemical Dynamics. Princeton University Press. 
  46. ^ a b Prentice, I. C. (2001). Houghton, J. T., ed. "The carbon cycle and atmospheric carbon dioxide". Climate change 2001: the scientific basis: contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergouvernmental Panel on Climate Change. 
  47. ^ McSween, Harry Y.; McAfee, Steven (2003). Geochemistry: Pathways and Processes. Columbia University Press. hlm. 143. 
  48. ^ a b "Ocean Acidification". National Geographic. 27 April 2017. Diakses tanggal 9 October 2018. 
  49. ^ Feely, R. A.; Sabine, C. L.; Lee, K; Berelson, W; Kleypas, J; Fabry, V. J.; Millero, F. J. (2004). "Impact of Anthropogenic CO2 on the CaCO3 System in the Oceans". Science. 305 (5682): 362–66. Bibcode:2004Sci...305..362F. doi:10.1126/science.1097329. PMID 15256664. 
  50. ^ Zeebe, R. E.; Zachos, J. C.; Caldeira, K.; Tyrrell, T. (2008). "OCEANS: Carbon Emissions and Acidification". Science. 321 (5885): 51–52. doi:10.1126/science.1159124. PMID 18599765. 
  51. ^ Gattuso, J.-P.; Hansson, L. (2011). Ocean Acidification. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-959109-1. OCLC 730413873. 
  52. ^ a b "Ocean acidification". Department of Sustainability, Environment, Water, Population & Communities: Australian Antarctic Division. 28 September 2007. 
  53. ^ Tanner, G. A. (2012). "Acid-Base Homeostasis". Dalam Rhoades, R. A.; Bell, D. R. Medical Physiology: Principles for Clinical Medicine. Lippincott Williams & Wilkins. ISBN 978-1-60913-427-3. 
  54. ^ Pinet, Paul R. (1996). Invitation to Oceanography. West Publishing Company. hlm. 126, 134–35. ISBN 978-0-314-06339-7. 
  55. ^ "What is Ocean Acidification?". NOAA PMEL Carbon Program. 
  56. ^ Orr, J. C.; Fabry, V. J.; Aumont, O.; Bopp, L.; Doney, S. C.; Feely, R. A.; Gnanadesikan, A.; Gruber, N.; Ishida, A.; Joos, F.; Key, R. M.; Lindsay, K.; Maier-Reimer, E.; Matear, R.; Monfray, P.; Mouchet, A.; Najjar, R. G.; Plattner, G. K.; Rodgers, K. B.; Sabine, C. L.; Sarmiento, J. L.; Schlitzer, R.; Slater, R. D.; Totterdell, I. J.; Weirig, M. F.; Yamanaka, Y.; Yool, A. (2005). "Anthropogenic ocean acidification over the twenty-first century and its impact on calcifying organisms". Nature. 437 (7059): 681–86. Bibcode:2005Natur.437..681O. doi:10.1038/nature04095. PMID 16193043. 
  57. ^ Cohen, A.; Holcomb, M. (2009). "Why Corals Care About Ocean Acidification: Uncovering the Mechanism". Oceanography. 22 (4): 118–27. doi:10.5670/oceanog.2009.102. 
  58. ^ Honisch, B.; Ridgwell, A.; Schmidt, D. N.; Thomas, E.; Gibbs, S. J.; Sluijs, A.; Zeebe, R.; Kump, L.; Martindale, R. C.; Greene, S. E.; Kiessling, W.; Ries, J.; Zachos, J. C.; Royer, D. L.; Barker, S.; Marchitto Jr, T. M.; Moyer, R.; Pelejero, C.; Ziveri, P.; Foster, G. L.; Williams, B. (2012). "The Geological Record of Ocean Acidification". Science. 335 (6072): 1058–63. Bibcode:2012Sci...335.1058H. doi:10.1126/science.1208277. PMID 22383840. 
  59. ^ Gruber, N. (2011). "Warming up, turning sour, losing breath: Ocean biogeochemistry under global change". Philosophical Transactions of the Royal Society A: Mathematical, Physical and Engineering Sciences. 369 (1943): 1980–96. Bibcode:2011RSPTA.369.1980G. doi:10.1098/rsta.2011.0003. 
  60. ^ "Profile". Department of Natural Environmental Studies: University of Tokyo. 
  61. ^ Mann, N. H. (2005). "The Third Age of Phage". PLoS Biology. 3 (5): e182. doi:10.1371/journal.pbio.0030182. PMC 1110918alt=Dapat diakses gratis. PMID 15884981. 
  62. ^ Levinton, Jeffrey S. (2010). "18. Fisheries and Food from the Sea". Marine Biology: International Edition: Function, Biodiversity, Ecology. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-976661-1. 
  63. ^ a b Illustrated Encyclopedia of the Ocean. Dorling Kindersley. 2011. ISBN 978-1-4053-3308-5. 
  64. ^ Spalding, M. D.; Grenfell, A. M. (1997). "New estimates of global and regional coral reef areas". Coral Reefs. 16 (4): 225–30. doi:10.1007/s003380050078. 
  65. ^ Neulinger, Sven (2008–2009). "Cold-water reefs". CoralScience.org. 
  66. ^ Roach, John (7 Juni 2004). "Source of Half Earth's Oxygen Gets Little Credit". National Geographic News. Diakses tanggal 4 April 2016. 
  67. ^ New evidence for enhanced ocean primary production triggered by tropical cyclone I. Lin, W. Timothy Liu, Chun-Chieh Wu, George T. F. Wong, Zhiqiang Che, Wen-Der Liang, Yih Yang and Kon-Kee Liu. Geophysical Research Letters Volume 30, Issue 13, July 2003. DOI:10.1029/2003GL017141
  68. ^ Yool, A.; Tyrrell, T. (2003). "Role of diatoms in regulating the ocean's silicon cycle". Global Biogeochemical Cycles. 17 (4): n/a. Bibcode:2003GBioC..17.1103Y. doi:10.1029/2002GB002018. 
  69. ^ Van Der Heide, T.; Van Nes, E. H.; Van Katwijk, M. M.; Olff, H.; Smolders, A. J. P. (2011). "Positive Feedbacks in Seagrass Ecosystems – Evidence from Large-Scale Empirical Data". PLoS ONE. 6 (1): e16504. Bibcode:2011PLoSO...616504V. doi:10.1371/journal.pone.0016504. PMC 3025983alt=Dapat diakses gratis. PMID 21283684. 
  70. ^ "Mangal (Mangrove)". Mildred E. Mathias Botanical Garden. 
  71. ^ "Coastal Salt Marsh". Mildred E. Mathias Botanical Garden. 
  72. ^ "Facts and figures on marine biodiversity". Marine biodiversity. UNESCO. 2012. 
  73. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Russell
  74. ^ Voss, M.; Bange, H. W.; Dippner, J. W.; Middelburg, J. J.; Montoya, J. P.; Ward, B. (2013). "The marine nitrogen cycle: Recent discoveries, uncertainties and the potential relevance of climate change". Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences. 368 (1621): 20130121. doi:10.1098/rstb.2013.0121. PMC 3682741alt=Dapat diakses gratis. PMID 23713119. 
  75. ^ a b Thorne-Miller, Boyce (1999). The Living Ocean: Understanding and Protecting Marine Biodiversity. Island Press. hlm. 2. ISBN 978-1-59726-897-4. 
  76. ^ Thorne-Miller, Boyce (1999). The Living Ocean: Understanding and Protecting Marine Biodiversity. Island Press. hlm. 88. ISBN 978-1-59726-897-4. 
  77. ^ Kingsford, Michael John. "Marine ecosystem: Plankton". Encyclopædia Britannica online Encyclopedia. 
  78. ^ Walrond, Carl. "Oceanic Fish". The Encyclopedia of New Zealand. New Zealand Government. 
  79. ^ Steele, John H.; Thorpe, Steve A.; Turekian, Karl K., ed. (2010). Marine Ecological Processes: A Derivative of the Encyclopedia of Ocean Sciences. Academic Press. hlm. 316. ISBN 978-0-12-375724-1. 
  80. ^ "Invasive species". Water: Habitat Protection. Environmental Protection Agency. 6 March 2012. 
  81. ^ Sedberry, G. R.; Musick, J. A. (1978). "Feeding strategies of some demersal fishes of the continental slope and rise off the Mid-Atlantic Coast of the USA". Marine Biology. 44 (4): 357–75. doi:10.1007/BF00390900. 
  82. ^ Committee on Biological Diversity in Marine Systems, National Research Council (1995). "Waiting for a whale: human hunting and deep-sea biodiversity". Understanding Marine Biodiversity. National Academies Press. ISBN 978-0-309-17641-5. 
  83. ^ Hage, P.; Marck, J. (2003). "Matrilineality and the Melanesian Origin of Polynesian Y Chromosomes". Current Anthropology. 44: S121. doi:10.1086/379272. 
  84. ^ Bellwood, Peter (1987). The Polynesians – Prehistory of an Island People. Thames and Hudson. hlm. 45–65. ISBN 0500274509. 
  85. ^ Clark, Liesl (15 February 2000). "Polynesia's Genius Navigators". NOVA. 
  86. ^ Kayser, M.; Brauer, S; Cordaux, R; Casto, A; Lao, O; Zhivotovsky, L. A.; Moyse-Faurie, C; Rutledge, R. B.; Schiefenhoevel, W; Gil, D; Lin, A. A.; Underhill, P. A.; Oefner, P. J.; Trent, R. J.; Stoneking, M (2006). "Melanesian and Asian Origins of Polynesians: MtDNA and Y Chromosome Gradients Across the Pacific" (PDF). Molecular Biology and Evolution. 23 (11): 2234–44. doi:10.1093/molbev/msl093. PMID 16923821. 
  87. ^ "The Ancient World – Egypt". Mariners' Museum. 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-07-23. Diakses tanggal 5 March 2012. 
  88. ^ Greer, Thomas H.; Lewis, Gavin (2004). A Brief History Of The Western World. Thomson Wadsworth. hlm. 63. ISBN 978-0-534-64236-5. 
  89. ^ Harden, Donald (1962). The Phoenicians, p. 168. Penguin (Harmondsworth).
  90. ^ Warmington, Brian H. (1960) Carthage, hlm. 79. Penguin (Harmondsworth).
  91. ^ "Зацепились за Моржовец" (dalam bahasa Russian). Русское географическое общество. 2012. Diakses tanggal 5 March 2012. 
  92. ^ Tibbets, Gerald Randall (1979). A Comparison of Medieval Arab Methods of Navigation with Those of the Pacific Islands. Coimbra. 
  93. ^ a b "A History of Navigation". History. BBC. Diakses tanggal 13 September 2013. 
  94. ^ Jenkins, Simon (1992). "Four Cheers for Geography". Geography. 77 (3): 193–197. JSTOR 40572190. 
  95. ^ "International Hydrographic Organization". 15 March 2013. Diakses tanggal 14 September 2013. 
  96. ^ Public Record Office (1860). Calendar of state papers, domestic series, of the reign of Charles II: preserved in the state paper department of Her Majesty's Public Record Office, Volume 1. Longman, Green, Longman & Roberts. 
  97. ^ Newman, Jeff. "The Blue Riband of the North Atlantic". Great Ships. Diakses tanggal 11 September 2013. 
  98. ^ Smith, Jack (1985). "Hales Trophy, won in 1952 by SS United States remains at King's Point as Challenger succumbs to the sea". Yachting (November): 121. 
  99. ^ Norris, Gregory J. (1981). "Evolution of cruising". Cruise Travel (December): 28. 
  100. ^ "No evidence to support Foreign Minister Bob Carr's economic migrants claims". ABC News. 15 August 2013. Diakses tanggal 21 August 2013. 
  101. ^ Shaw, Ian (2003). The Oxford History of Ancient Egypt. Oxford University Press. hlm. 426. ISBN 0-19-280458-8. 
  102. ^ Curtin, Philip D. (1984). Cross-Cultural Trade in World History. Cambridge University Press. hlm. 88–104. ISBN 978-0-521-26931-5. 
  103. ^ Halpern, B. S.; Walbridge, S.; Selkoe, K. A.; Kappel, C. V.; Micheli, F.; d'Agrosa, C.; Bruno, J. F.; Casey, K. S.; Ebert, C.; Fox, H. E.; Fujita, R.; Heinemann, D.; Lenihan, H. S.; Madin, E. M. P.; Perry, M. T.; Selig, E. R.; Spalding, M.; Steneck, R.; Watson, R. (2008). "A Global Map of Human Impact on Marine Ecosystems" (PDF). Science. 319 (5865): 948–52. Bibcode:2008Sci...319..948H. doi:10.1126/science.1149345. PMID 18276889. 
  104. ^ "Trade routes". World Shipping Council. 
  105. ^ Roach, John (17 September 2007). "Arctic Melt Opens Northwest Passage". National Geographic. 
  106. ^ "Global trade". World Shipping Council. 
  107. ^ Joint Chief of Staff (31 August 2005). "Bulk cargo" (PDF). Department of Defense Dictionary of Military and Associated Terms. Washington DC: Department of Defense. hlm. 73. 
  108. ^ Reed Business Information (22 May 1958). "Fork lift trucks aboard". News and Comments. New Scientist. 4 (79): 10. 
  109. ^ a b Sauerbier, Charles L.; Meurn, Robert J. (2004). Marine Cargo Operations: a guide to stowage. Cambridge, Md: Cornell Maritime Press. hlm. 1–16. ISBN 0-87033-550-2. 
  110. ^ Lihat Grotius, Hugo. Mare Liberum. 1609. (Latin)
  111. ^ Lihat Bynkershoek, Cornelius (1702). De dominio maris. (Latin)
  112. ^ a b c "The Three-Mile Limit as a Rule of International Law". Columbia Law Review. Columbia Law Review Association. 23 (5): 472–476. 1923. doi:10.2307/1112336. JSTOR 1112336. 
  113. ^ Truman, Harry (28 September 1945). Presidential Proclamation No. 2667: Policy of the United States with Respect to the Natural Resources of the Subsoil of the Sea Bed and the Continental Shelf. (Washington). Diambil dari situs National University of Singapore.
  114. ^ "The United Nations Convention on the Law of the Sea (A historical perspective)". Oceans & Law of the Sea. Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Hukum. (New York), 2012.
  115. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama unclose
  116. ^ Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (1982), §87(1).
  117. ^ Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (1982), §76(1).
  118. ^ Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (1982), §77(1).
  119. ^ D'Amato, Raphaelo; Salimbeti, Andrea (2011). Bronze Age Greek Warrior 1600–1100 BC. Oxford: Osprey Publishing Company. hlm. 24. ISBN 978-1-84908-195-5. 
  120. ^ Strauss, Barry (2004). The Battle of Salamis: The Naval Encounter That Saved Greece—and Western Civilization. Simon and Schuster. hlm. 26. ISBN 0-7432-4450-8. 
  121. ^ Fremont-Barnes, Gregory; Hook, Christa (2005). Trafalgar 1805: Nelson's Crowning Victory. Osprey Publishing. hlm. 1. ISBN 1-84176-892-8. 
  122. ^ Sterling, Christopher H. (2008). Military communications: from ancient times to the 21st century. ABC-CLIO. hlm. 459. ISBN 1-85109-732-5. The naval battle of Tsushima, the ultimate contest of the 1904–1905 Russo-Japanese War, was one of the most decisive sea battles in history. 
  123. ^ Gardiner, Robert, ed. (1992). The Eclipse of the Big Gun: The Warship, 1906–45. Conway's History of the Ship. London: Conway Maritime Press. hlm. 18. ISBN 0-85177-607-8. 
  124. ^ Campbell, John (1998). Jutland: An Analysis of the Fighting, hlm. 2. Lyons Press. ISBN 1-55821-759-2.
  125. ^ Simpson, Michael (2004). A life of Admiral of the Fleet Andrew Cunningham: A Twentieth-century Naval Leader. Routledge. hlm. 74. ISBN 978-0-7146-5197-2. 
  126. ^ Crocker III, H. W. (2006). Don't Tread on Me: A 400-Year History of America at War. Three Rivers Press (Crown Forum). hlm. 294–297, 322, 326–327. ISBN 978-1-4000-5364-3. 
  127. ^ Thomas, Evan (2007). Sea of Thunder. Simon and Schuster. hlm. 3–4. ISBN 0-7432-5222-5. 
  128. ^ Helgason, Guðmundur. "Finale". Uboat.net. Diakses tanggal 13 September 2013. 
  129. ^ Preston, Diana (2003). Wilful Murder: The Sinking of the Lusitania. Black Swan. hlm. 497–503. ISBN 978-0-552-99886-4. 
  130. ^ Crocker III, H. W. (2006). Don't Tread on Me. New York: Crown Forum. hlm. 310. ISBN 978-1-4000-5363-6. 
  131. ^ Bennett, William J (2007). America: The Last Best Hope, Volume 2: From a World at War to the Triumph of Freedom 1914–1989. Nelson Current. hlm. 301. ISBN 978-1-59555-057-6. 
  132. ^ "Q&A: Trident replacement". BBC News. 22 September 2010. Diakses tanggal 15 September 2013. 
  133. ^ "Submarines of the Cold War". California Center for Military History. Diakses tanggal 15 September 2013. 
  134. ^ Gosse, Philip (2012). The History of Piracy. Dover Publications. hlm. 1. 
  135. ^ Pennell, C. R. (2001). "The Geography of Piracy: Northern Morocco in the Mod-Nineteenth Century". Dalam Pennell, C. R. Bandits at Sea: A Pirates Reader. NYU Press. hlm. 56. ISBN 978-0-8147-6678-1. Sea raiders [...] were most active where the maritime environment gave them most opportunity. Narrow straits which funneled shipping into places where ambush was easy, and escape less chancy, called the pirates into certain areas. 
  136. ^ "Foreign Affairs – Terrorism Goes to Sea". Diarsipkan dari versi asli tanggal December 14, 2007. Diakses tanggal December 8, 2007. 
  137. ^ "Worrying rise in piracy attacks around Malacca Strait". Deutsche Welle. 11 Juli 2014. Diakses tanggal 11 Oktober 2018. .
  138. ^ "Piracy and armed robbery against ships". International Maritime Organization. Diakses tanggal 11 Oktober 2018. .
  139. ^ a b c d Cormier, Monique; Simpson, Gerry. Oxford Bibliographies http://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780199796953/obo-9780199796953-0026.xml. Diakses tanggal 11 Oktober 2018.  Teks "titlePiracy" akan diabaikan (bantuan); Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  140. ^ Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (1982), §101.
  141. ^ Ovdak, Alla (2013). "Offshore Wind Energy in France".
  142. ^ a b "Ocean Energy". Ocean Energy Systems. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-05. 
  143. ^ Cruz, João (2008). Ocean Wave Energy – Current Status and Future Perspectives. Springer. hlm. 2. ISBN 3-540-74894-6. 
  144. ^ US Department of the Interior (Mei 2006). "Ocean Current Energy Potential on the U.S. Outer Continental Shelf" (PDF). 
  145. ^ Ponta, F. L.; Jacovkis, P. M. (2008). "Marine-current power generation by diffuser-augmented floating hydro-turbines". Renewable Energy. 33 (4): 665–73. doi:10.1016/j.renene.2007.04.008. 
  146. ^ Lynn, Paul A. (2011). Onshore and Offshore Wind Energy: An Introduction. John Wiley & Sons. ISBN 978-1-119-96142-0. 
  147. ^ Environmental and Energy Study Institute (October 2010). "Offshore Wind Energy" (PDF). 
  148. ^ Tillessen, Teena (2010). "High demand for wind farm installation vessels". Hansa International Maritime Journal. 147 (8): 170–71. 
  149. ^ "Cooling power plants". World Nuclear Association. 1 September 2013. Diakses tanggal 14 September 2013. 
  150. ^ "Environmental, social and cultural settings of the Surin Islands". Sustainable Development in Coastal Regions and Small Islands. UNESCO. 
  151. ^ "Samal – Orientation". Countries and Their Cultures. 
  152. ^ Langenheim, Johnny (18 September 2010). "The last of the sea nomads". The Guardian. 
  153. ^ Ivanoff, Jacques (1 April 2005). "Sea Gypsies of Myanmar". National Geographic. 
  154. ^ Hovelsrud, G. K.; McKenna, M.; Huntington, H. P. (2008). "Marine Mammal Harvests and Other Interactions with Humans". Ecological Applications. 18 (2 Suppl): S135–47. doi:10.1890/06-0843.1. JSTOR 40062161. PMID 18494367. 
  155. ^ "Traditional Owners of the Great Barrier Reef". Great Barrier Reef Marine Park Authority. 

Pranala luar