Leang Bettue (Tompobalang)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Leang Bettue
Gua Bettue, Gua Bulu Bettue, Leang Bulu Bettue
Lua error in Modul:Location_map at line 423: Kesalahan format nilai koordinat.
LokasiLingkungan Tompobalang, Kelurahan Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia
Koordinat04°59'21.0"S 119°40'06.0"E[1]
Geologikarst / batu kapur
Situs webvisit.maroskab.go.id
cagarbudaya.kemdikbud.go.id
kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsulsel/
Wisata Gua Prasejarah
Leang Bettue
Informasi
Lokasi Lingkungan Tompobalang, Kelurahan Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan
Negara  Indonesia
Pengelola Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Maros

Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan
Pembukaan Setiap hari pukul 08.00–16.00 WITA
Jenis objek wisata Edukasi arkeologi dan gua prasejarah
Situs web visit.maroskab.go.id
Situs Cagar Budaya Leang Bettue
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Cagar budaya Indonesia
PeringkatProvinsi
KategoriSitus
No. RegnasPO2017033101474
Lokasi
keberadaan
Lingkungan Tompobalang, Kelurahan Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia
Tanggal SK11 Juli 2017
Pemilik Indonesia
PengelolaDinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Maros

Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan

Leang Bettue atau Gua Bettue (Inggris: Bettue Cave ) adalah sebuah gua di kawasan Karst Maros-Pangkep, Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, wilayah Kabupaten Maros. Pada tahun 2017, gua ini menjadi sorotan para arkeolog dunia atas ditemukannya liontin manusia purba berusia 30.000 tahun, yang diklaim merupakan perhiasan tertua di Nusantara.[1][2][3][4]

Lokasi[sunting | sunting sumber]

Lokasi Leang Bettue secara administratif terletak di wilayah Lingkungan Tompobalang, Kelurahan Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia. Secara astronomis, gua ini terletak pada koordinat 04°59'21,0" LS dan 119°40'06,0" BT.[1][2][4]

Gua prasejarah[sunting | sunting sumber]

Leang Bettue termasuk ke dalam jenis gua prasejarah. Tinggalan arkeologi di situs ini berupa lukisan telapak tangan berwarna merah, sampah dapur, dan artefak yang dijumpai di sekitar mulut gua, serta beberapa fragmen tembikar pada permukaan lantai gua.[1][2][4]

Pada 23 Agustus 2017, tim arkeologi dari gabungan beberapa negara melakukan penelitian. Arkeolog dari Universitas Hasanuddin Indonesia dan Universitas Griffith Australia terlibat dalam proyek penelitian ini. Peneliti menemukan sebuah liontin manusia purba yang terbuat dari tulang hewan kuskus di gua ini. Liontin berusia 30.000 tahun ini jadi perhiasan tertua di Nusantara. Usia liontin itu diperkirakan sama dengan usia lukisan telapak tangan yang sebelumnya lebih awal ditemukan di Leang Timpuseng. Umurnya diperkirakan sekitar 39.900 tahun silam. Penemuan liontin manusia purba yang diketahui sudah memiliki lubang kecil sebagai gantungan kalung tersebut merupakan hal yang sangat berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang arkeologi. Liontin ini memunculkan hipotesa baru, di mana pada zaman itu manusia sudah memiliki alat untuk membuat lubang pada tulang kuskus. Proyek penelitian merupakan hasil kerjasama yang disepakati antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia. Proses ekskavasi atau penggalian di gua ini berlangsung selama tiga bulan, yakni sejak Juli hingga September 2017. Ada jutaan temuan benda yang akan diteliti lebih lanjut. Pada 2014 lalu, peneliti menemukan sebuah lukisan di dalam Leang Timpuseng yang letaknya tidak jauh dari penemuan liontin ini. Lukisan ini sudah diakui berusia 39.900 tahun atau lebih tua dari lukisan manusia purba yang ada di El Castillo, Spanyol.[5][6]

Manusia Indonesia sudah pandai membuat perhiasan sejak 30.000 tahun lalu alias sejak bumi masih mengalami zaman es. Pada masanya, manusia Indonesia menyulap tulang-tulang hewan menjadi liontin, digantungkan pada leher dengan tali yang terbuat dari bahan kulit kayu. Tim arkeolog dari Indonesia dan Australia menemukan jejak kecerdasan manusia Indonesia masa lalu itu di Leang Bulu Bettue. Mereka menemukan tulang jari kuskus yang sudah dilubangi serta tulang babirusa dan kuku elang yang diubah jadi perhiasan. Peneliti dari Pusat Arkeologi Nasional mengungkapkan bahwa temuan tersebut punya arti penting bagi sejarah nusantara. Penemuan itu menjadi pelengkap dari sejumlah temuan sebelumnya, menambah jelas kisah sejarah perkembangan seni di Nusantara. Seni di Nusantara sendiri walaupun bisa diperdebatkan bisa dirunut hingga ratusan ribu tahun lalu, ketika Homo sapiens bahkan belum ada. Temuan lain yang menjadi petunjuk perkembangan seni di nusantara adalah gambar cadas di Leang Timpuseng. Gambar cadas itu berusia 40.000 tahun, dinyatakan sebagai gambar cadas tertua di dunia berdasarkan publikasi penelitian di Jurnal "Nature" pada 9 Oktober 2014. Temuan itu mengubah pandangan arkeolog dunia tentang Indonesia. Penemuan liontin dari tulang hewan membuktikan bahwa manusia yang tinggal di gua-gua saat itu sudah punya daya seni tinggi. Temuan ini menunjukkan bahwa tradisi bersolek sebagai salah satu bentuk berkesenian telah berkembang puluhan ribu tahun. Selain menjadi petunjuk kecerdasan seni, temuan ini juga bermanfaat untuk mengurai kisah migrasi manusia dari Asia Timur melewati nusantara ke Australia. Sulawesi diduga menjadi salah satu titik yang dilewati. Dengan mengetahui tingkat kemajuan peradabannya, ilmuwan bisa memperkirakan kemampuan manusia saat itu sehingga bisa menguraikan bagaimana mereka bermigrasi.[6]

Tim gabungan ahli arkeologi Indonesia dan Australia, yang dipimpin Adam Brumm dari Universitas Griffith, dalam penggalian di Leang Bulu Bettue menemukan ornamen unik dan karya seni yang berusia setidaknya 30.000 tahun. Mereka menemukan cangkang kerang, kuku elang, tulang babirusa, dan tulang hewan berkantung yang pada masa itu dipakai sebagai perhiasan. Dinding gua tersebut juga tampaknya dijadikan sebagai kanvas oleh para seniman gua paling awal di dunia. Temuan koleksi ornamen yang digali dapat dikategorikan sebagai perhiasan, termasuk liontin dan manik-manik berbentuk cakram. Perhiasan tersebut diukir dari tulang hewan prasejarah. Umurnya diperkirakan berada di antara 30.000 sampai 22.000 tahun yang lalu. Temuan ini menunjukkan bahwa tradisi bersolek sebagai salah satu bentuk berkesenian telah berkembang puluhan ribu tahun. Liontin terbuat dari tulang jari dari hewan marsupial semacam tupai, atau kita menyebutnya dengan nama kuskus, yang merupakan hewan asli Sulawesi. Untuk manik-manik berbentuk cakram, terbuat dari tulang babi rusa, menyerupai taring. Liontin dari hewan-hewan khas Sulawesi bisa menunjukkan keterkaitan antara manusia pertama penghuni pulau tersebut dengan fauna di sekitarnya. Bersama perhiasan tersebut ditemukan juga beberapa benda portabel yang berhubungan dengan karya seni. Temuan ini memiliki karakter seni yang juga ditemukan di pulau-pulau Wallacea lain di Sulawesi. Para peneliti turut menemukan batu terukir dengan pola geometris. Namun kegunaan dan maknanya masih belum jelas. Studi mengenai pemulihan material ditulis bersama dengan Michelle Langley, seorang doktor di Australia Research Council. Langley juga bertugas untuk menganalisis temuan artefak-artefak tersebut. Analisis Langley juga mengungkapkan bukti atas produksi karya seni pada batu di situs tersebut. Termasuk potongan oker yang dibuang, noda oker pada alat-alat, dan tabung dari tulang yang mungkin menjadi 'pipa semburan' untuk menciptakan motif stensil tangan. Temuan yang telah dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) ini bernilai penting. Di antaranya memberi gambaran tentang penyebaran manusia dan kebudayaannya di wilayah Wallacea mencakup Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua, serta Australia.[7]

Ciri fisik[sunting | sunting sumber]

Orientasi mulut gua Leang Bettue 60 derajat ke arah timur laut. Gua dengan ciri kekar tiang ini memiliki lebar mulut hingga 14 meter.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d Tim Direktori Maros-Pangkep (2007). Direktori Potensi Wisata Budaya Di Kawasan Karst Maros-Pangkep Sulawesi Selatan Indonesia (PDF). Makassar: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar. hlm. 45. ISBN 978-979-17021-0-2. 
  2. ^ a b c Ahmad, Amran; A. Siady Hamzah (2016). Database Karst Sulawesi Selatan 2016 (PDF). Makassar: Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. hlm. 43. 
  3. ^ Nur, Muhammad (Oktober 2017). "Analisis Nilai Penting 40 Gua Prasejarah Di Maros, Sulawesi Selatan (Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 11, Nomor 1)" (PDF). kebudayaan.kemdikbud.go.id. hlm. 64-73. Diakses tanggal 2 Mei 2021. 
  4. ^ a b c Cagar Budaya Kemendikbud RI. "Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya". cagarbudaya.kemdikbud.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-05. Diakses tanggal 6 Mei 2021. 
  5. ^ Hakim, Eka (24 Agustus 2017). Mahbub, Harun; Anas, Azwar; Nurdiarsih, Fadjriah, ed. "Liontin Cantik di Gua Leang, Benarkah Milik Manusia Purba?". Liputan6.com. Diakses tanggal 10 Mei 2021. 
  6. ^ a b Kompas.com (6 April 2017). "Liontin Berusia 30.000 Tahun Ini Jadi Perhiasan Tertua di Nusantara". Tribunnews.com. Diakses tanggal 10 Mei 2021. 
  7. ^ Edwin, Yoseph (6 April 2017). "Perhiasan berusia 30.000 tahun ditemukan di Sulawesi". beritagar.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-11. Diakses tanggal 11 Mei 2021.