Islam di Gorontalo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Masjid Kesultanan Gorontalo yang saat ini bernama Masjid Agung Baiturrahim, terletak di Kota Gorontalo

Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Gorontalo. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 dari 1.040.164 jiwa penduduk Gorontalo, 1.017.396 jiwa atau 97,81 % adalah penganut agama Islam.

Sejarah masuknya Islam di Gorontalo[sunting | sunting sumber]

Ajaran agama Islam di perkirakan masuk Gorontalalo pada abad ke 15 dari jalur Ternate dan Bone, hal ini bisa dilihat pada artefak yang ada di Masjid Hunto Sultan Amai 1495. Masjid ini dibangun oleh Sultan Amai, Raja di kesultanan Gorontalo yang menganut agama Islam. Adapun proses masuknya Islam adalah sebagai berikut:[1]

Islamisasi Gorontalo pada fase awal[sunting | sunting sumber]

Islamisasi Gorontalo pada masa awal keislaman (fase pertama islamisasi Gorontalo), ditandai dengan Raja Amai, raja utara yang ke II kerajaan Gorontalo pada tahun 1525, melakukan perjalanan dinasnya ke daerah-daerah jajahan Gorontalo tersebut, yakni di Teluk Tomini Barat dan menikah disana, tepatnya di daerah Palasa.

Dalam perjalanan dinasnya di Palasa tersebut, Sultan Amai bertemu dengan puteri raja Palasa (bergelar Ogomonjolo; bermakna yang punya sifat air dingin) yang bernama Owutango, yang sudah menerima Islam dari Kesultanan Ternate.

Islam menjadi agama resmi kerajaan pada zaman pemerintahan Raja Matolodulakiki, yang mengedepankan prinsip “adat bersendi syara’, syara bersendi kitabullah”. Prinsip penyebaran Islam pada masa ini melahirkan suatu perkembangan baru yakni adat yang di Islam-kan atau Islam yang diadat-kan.

Prinsip di atas lantas disempurnakan oleh Eyato, raja Gorontalo, sejak tahun 1673 menjadi ” Adati hula-hulaa to saraa, saraa hula-hulaa to Kur’ani” (ASQ). Landasan ini membawa implikasi tak ada lagi pertentangan antara apa yang diajarkan oleh adat dan Islam. Wujud dari landasan tersebut tergambarkan dalam sistem sosial dan pemerintahan yang dibangun oleh Raja Eyato.

Konsep kekuasaan Eyato ada dua, yaitu kekuasaan lahir yang dipraktikkan sehari-hari dan kekuasaan batin yang ada di dalam masyarakat. Namun, yang utama dari dua kekuasaan tersebut adalah kekuasaan batin. Ini berarti penguasa harus memusatkan kerjanya kepada kepentingan masyarakat.

Konteks tersebut menkonfirmasi jaringan Islamisasi Gorontalo pada fase awal melalui tiga jalur, yaitu:

  • Jalur 1

Islam dibawa ke Gorontalo dari wilayah Palasa (Tomini) melalui Pernikahan Amai dan Owutango

  • Jalur 2

Islam dibawa ke Gorontalo dari Aceh melalui Ulama-Ulama Ternate

Islamisasi Gorontalo secara resmi pada fase kedua[sunting | sunting sumber]

Pada fase kedua islamisasi Gorontalo yakni ditandai dengan berkembangnya pengajaran Islam dikalangan masyarakat Gorontalo yang bercorak tarekat/sufistik (mistisisme) yakni dimasa pemerintahan raja Eyato dan anaknya raja Ilato Ju Panggola.

Pada masa itu hadir guru agama Islam (guru tasawuf) dari Mekah yang bernama Syekh Syarif bin Abd. Aziz, yang menurut riwayat beliau adalah pemegang kunci pintu ka’bah dan belajar Islam dari aliran tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani (1076- 1169).

Di samping itu islamisasi Gorontalo di masa itu juga dipengaruhi oleh Islam yang menyebar melalui konflik panjang antara kerajaan Limboto dan kerajaan Gorontalo, yang mana dibalik konflik tersebut hadir pula pihak sekutu yakni Kesultanan Ternate dan Kesultanan Gowa yang memberi pengaruh terhadap perkembangan Islam Gorontalo.

Konteks demikian dapat dipahami bahwa pada fase kedua islamisasi Gorontalo adalah:

  • Jalur 1

Dakwah Islam yang dibawa ke Gorontalo dari Ulama-Ulama Mekah.

  • Jalur 2

Dakwah Islam yang dibawa ke Gorontalo dari Ulama-Ulama Aceh dan Giri melalui Ternate

  • Jalur 3

Dakwah Islam yang dibawa ke Gorontalo dari Ulama-Ulama Minang melalui Makassar

Islamisasi Gorontalo pada fase ketiga[sunting | sunting sumber]

Fase ketiga islamisasi di Gorontalo adalah pada awal abad 20, yakni dimulai pada tahun 1929 ketika Muhammadiyah mulai berdiri di Gorontalo.

Setelah Muhammadiyah, banyak lembaga dakwah Islam yang turut didirikan oleh para alim-Ulama, diantaranya adalah Al-Huda dan Al-Khairat pada tahun 1930.

Selanjutnya Nahdatul Ulama juga hadir diawal tahun 70-an dan turut memperkuat proses islamisasi Gorontalo di periode ini. Konteks tersebut dapat disimpulkan bahwa pada fase ketiga islamisasi Gorontalo terjadi melalui:

  • Jalur 1

Islam dibawa ke Gorontalo dari para Ulama Muhammadiyah

  • Jalur 2

Islam dibawa ke Gorontalo dari Ulama-Ulama Hadramaut, Yaman melalui Palu

  • Jalur 3

Islam dibawa ke Gorontalo dari para Kiyai Nahdlatul Ulama

Demografi[sunting | sunting sumber]

Penyebaran[sunting | sunting sumber]

Berikut merupakan sebaran umat Islam per kota/kabupaten di provinsi Gorontalo.

Kota/kabupaten Muslim %
Boalemo 124.959 96.68%
Gorontalo 353.908 99.42%
Pohuwato 122.414 95.08%
Bone Bolango 141.563 99.75%
Gorontalo Utara 100.230 96.25%
Kota Gorontalo 174.322 96.78%
TOTAL 1.017.396 97.81%

Tempat ibadah[sunting | sunting sumber]

Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo mencatat bahwa terdapat 2.816 tempat ibadah Muslim di provinsi tersebut, dengan 2.476 masjid dan 340 mushalla.[2]

Kota/kabupaten Masjid Mushalla
Boalemo 359 72
Gorontalo 978 97
Pohuwato 276 73
Bone Bolango 295 36
Gorontalo Utara 273 27
Kota Gorontalo 295 31
TOTAL 2.476 340

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Mashadi, M. and Suryani, W., 2018. Jaringan Islamisasi Gorontalo (Fenomena Keagamaan dan Perkembangan Islam di Gorontalo). Al-Ulum, 18(2), pp.435-458.
  2. ^ "Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo". gorontalo.bps.go.id. Diakses tanggal 2022-05-16.