Lompat ke isi

Imperium kolonial Belanda

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kekaisaran Belanda)
Imperium kolonial Belanda

Nederlandse Koloniale Rijk  (Belanda)
1595–1975[1]
Bendera Imperium kolonial Belanda
Kiri: Prinsenvlag Republik Belanda (sebelum tahun 1652)
Kanan: Bendera Belanda (setelah tahun 1806/1813)
Peta yang menandai wilayah-wilayah yang pada suatu saat pernah menjadi wilayah kekuasaan Belanda
  Wilayah yang dikelola oleh atau berasal dari wilayah yang dikelola oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda

  Wilayah yang dikelola oleh atau berasal dari wilayah yang dikelola oleh Perusahaan Hindia Barat Belandа

Kotak kecil berwarna oranye menunjukkan pos perdagangan yang lebih kecil, yang disebut handelsposten.
Sejarah 
 Ekspedisi pertama dan kedua ke Hindia Timur
1595–1600
1595
1621
1598–1663
1814
1830
1890
 Pendudukan Poros di Belanda dan Hindia Belanda
1940–1945
 Kemerdekaan Suriname
1975[1]
Sunting kotak info
Sunting kotak info Lihat Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Imperium kolonial Belanda (bahasa Belanda: Nederlandse Koloniale Rijk) terdiri atas wilayah-wilayah seberang laut dan pos-pos dagang yang berada di bawah kendali Belanda dari awal abad ke-17 hingga akhir abad ke-20. Pada awalnya, wilayah ini dikelola oleh perusahaan-perusahaan dagang berpiagam Belanda—khususnya Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) (1602–1799) dan Perusahaan Hindia Barat Belanda (GWC) (1621–1792)—dan kemudian diperintah oleh Republik Belanda (1581–1795) serta Kerajaan Belanda modern (1815–1975).[2]

Setelah meraih kemerdekaan de facto dari Imperium Spanyol pada akhir abad ke-16, berbagai perusahaan dagang yang dikenal sebagai voorcompagnie mulai melakukan ekspedisi maritim untuk mencari peluang bisnis. Pada tahun 1600, para pedagang dan pelaut Belanda telah memasuki perdagangan rempah-rempah Asia yang sangat menguntungkan, namun kekurangan modal dan tenaga untuk memperluas usaha mereka. Hal ini mendorong Dewan Negara Belanda pada tahun 1602 untuk menggabungkan sejumlah perusahaan dagang menjadi VOC, yang kemudian diberi monopoli atas perdagangan Asia.[3]

Berbeda dengan saingan mereka dari Spanyol dan Portugal, aktivitas Belanda di luar negeri pada awalnya bersifat komersial dan didorong oleh kepentingan pedagang. Ciri utamanya adalah penguasaan jalur pelayaran internasional melalui pos-pos strategis, bukan lewat penjajahan wilayah yang luas.[4][2] Namun, pada pertengahan abad ke-17, VOC dan GWC telah memperluas pengaruh ekonomi dan wilayah Belanda secara global, dengan kewenangan kuasi-pemerintahan untuk menandatangani perjanjian, berperang, mengelola wilayah, serta mendirikan pemukiman.

Pada masa kejayaannya tahun 1652, imperium Belanda mencakup koloni atau pos dagang di Amerika Utara bagian timur, Karibia, Amerika Selatan (Suriname dan Brasil), Afrika Barat dan Selatan, India daratan, Sri Lanka, Indonesia, Jepang, serta Taiwan. Dalam upaya mencari jalur perdagangan baru antara Asia dan Eropa, pelaut Belanda juga menjelajahi serta memetakan wilayah jauh seperti Australia, Selandia Baru, Tasmania, dan sebagian timur Amerika Utara.[5] Belanda menjalin hubungan dagang yang menguntungkan dengan beberapa negara Asia, termasuk Kekaisaran Mughal di India, dari mana mereka memperoleh setengah dari seluruh tekstil dan 80% sutra,[6][7][8][9] serta akses eksklusif ke pasar Jepang.

Dengan VOC dan GWC yang menguasai jalur laut penting serta memiliki armada dagang terbesar di dunia, Belanda mendominasi perdagangan dan ekonomi global sepanjang abad ke-17. Periode ini dikenal sebagai Masa Keemasan Belanda, ditandai dengan kemajuan ekonomi, ilmu pengetahuan, serta kebudayaan.[10] Kekayaan yang dihasilkan dari koloni seberang laut dan perdagangan—termasuk perdagangan budak—mendorong patronase seni, pembangunan infrastruktur, serta berkembangnya usaha domestik. Kota-kota pelabuhan seperti Rotterdam dan Amsterdam mengalami pertumbuhan luar biasa.[11]

Namun, serangkaian Perang Inggris-Belanda antara 1652 dan 1784 menantang supremasi maritim Belanda dan menyebabkan hilangnya sejumlah koloni. Kebangkitan Perusahaan Hindia Timur Britania (EIC), yang menaklukkan pusat perdagangan penting Bengal Mughal pada 1757, juga melemahkan pengaruh Belanda. Pada akhir perang Inggris-Belanda keempat (1780–1784), sebagian besar koloni dan monopoli dagang Belanda diserahkan atau jatuh ke tangan Imperium Britania raya dan Imperium Prancis.[12][13][14] Hanya Hindia Belanda dan Guiana Belanda yang tetap bertahan hingga gelombang dekolonisasi pasca-Perang Dunia II.[15]

Dengan kemerdekaan Guiana Belanda sebagai Suriname pada 1975, sisa terakhir imperium Belanda adalah tiga pulau Hindia Barat di sekitar Laut KaribiaAruba, Curaçao, dan Sint Maarten—yang kini menjadi negara konstituen otonom dalam Kerajaan Belanda.[15]

Bekas wilayah koloni Belanda

[sunting | sunting sumber]

Daftar ini tidak mencakup bekas-bekas pos dagang yang ditempati oleh Belanda, seperti Dejima di Jepang.

Penggambaran Imperium Belanda yang mewakili Hindia Belanda pada tahun 1916.

Awal (1543–1602)

[sunting | sunting sumber]
Deklarasi kemerdekaan Provinsi Belanda dari raja Spanyol, Philip II

Wilayah yang kelak akan membentuk Republik Belanda pada awalnya adalah bagian dari federasi yang dikenal dengan Tujuh Belas Provinsi. Wilayah ini diperintah oleh Kaisar Romawi Suci dan Raja Spanyol, Charles V. Ia mengelola wilayah ini di bawah pemerintahan langsung pada tahun 1543. Pada tahun 1566, para penganut Protestan[catatan 1] memberontak melawan pemerintahan Katolik Roma Spanyol, yang memicu meletusnya Perang Delapan Puluh Tahun. Dipimpin oleh William dari Oranye, kemerdekaan Belanda diproklamirkan pada 1581 dengan disahkannya Undang-Undang Abjurasi. Pemberontakan ini menyebabkan terbentuknya sebuah republik Protestan merdeka di utara, tetapi Spanyol baru mengakui kemerdekaan Belanda secara resmi pada tahun 1648.

Selama berabad-abad sebelum penguasaan Spanyol, provinsi-provinsi di pesisir Belanda (dahulu bernama Holland) dan Zeeland telah menjadi pangkalan penting dalam jaringan perdagangan maritim Eropa. Lokasi geografisnya menyediakan akses mudah ke pasar Prancis, Jerman, Inggris dan Baltik.[16] Perang dengan Spanyol menguras banyak dana dan mendorong para pedagang untuk pindah dari Antwerpsebuah kota besar di Flanders yang kemudian menjadi salah satu pusat perdagangan di Eropake kota-kota di Belanda, terutama Amsterdam,[17] yang dengan cepat menjadi pusat pelayaran, perbankan, dan asuransi di Eropa.[18] Berkembangnya Amsterdam sebagai salah satu pusat perdagangan di Eropa pada tahun 1580-an mendorong Belanda untuk memperluas jaringan perdagangannya keluar Eropa Utara, terutama ke Mediterania dan Levant. Pada 1590-an, kapal-kapal Belanda mulai melakukan transaksi perdagangan dengan Brasil dan Pantai Emas Belanda (Ghana) di Afrika, dan terus berlanjut hingga ke Samudra Hindia dengan transaksi barang dagangan yang menguntungkan, yaitu rempah-rempah.[19] Hal ini mendorong munculnya kompetisi langsung antara Belanda dengan Portugis, yang telah mendominasi jaringan perdagangan selama beberapa dekade dan telah mendirikan pos-pos perdagangan di Brasil, Afrika, dan Samudera Hindia untuk memfasilitasi kegiatan perdagangan mereka. Namun, persaingan dengan Portugis ini tidak sepenuhnya dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi; sejak 1580, setelah kematian Raja Portugis Sebastian I, banyak bangsawan Portugis yang ikut berperang dalam Pertempuran Alcácer Quibir, dan mahkota Portugis juga digabungkan dengan Spanyol melalui "Penyatuan Iberia" di bawah pemerintahan penerus Kaisar Charles V, yaitu Philip II dari Spanyol. Dengan mengambil alih dominasi Portugis dalam perdagangan dunia, Belanda pada dasarnya bertujuan untuk memaksa Spanyol agar mengalihkan sumber daya militer dan keuangannya untuk membantu Portugis mempertahankan posisinya, alih-alih untuk memadamkan perjuangan kemerdekaan Belanda.[20] Hal ini kemudian memicu berkobarnya Perang Belanda-Portugis yang berlangsung selama beberapa dekade.

Pada tahun 1594, Compagnie van Verre (Perusahaan Tanah Jauh) didirikan di Amsterdam. Perusahaan ini bertujuan untuk mengirimkan dua armada ke kepulauan rempah-rempah Maluku.[21] Armada ini berlayar pada tahun 1596 dan kembali pada 1597 dengan kargo yang penuh dengan lada, yang pada saat itu harganya sangat mahal dan mampu menutupi biaya pelayaran. Pelayaran kedua (1598–1599) menghasilkan keuntungan bagi Belanda hingga 400%.[22] Kesuksesan pelayaran ini menyebabkan didirikannya sejumlah perusahaan yang saling berkompetisi untuk memfasilitasi perdagangan. Kompetisi ini ujung-ujungnya memicu terjadinya perang harga di Eropa[22]

Dalam Perang Belanda-Portugal 1602-1663 dimana terjadi konflik bersenjata antara Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie dan Geoctroyeerde Westindische Compagnie) melawan Imperium Portugis. Portugal berhasil memenangkan perang di Amerika Selatan dan Afrika, sementara Belanda menang di Timur Jauh dan Asia Selatan yang menandai pembentukan Imperium Belanda.

Zaman Keemasan Belanda (1602–1652)

[sunting | sunting sumber]

Karena perang harga dan munculnya berbagai permasalahan yang disebabkan oleh persaingan antar perusahaan, Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oost-Indische Compagnie, VOC) didirikan pada tahun 1602. VOC diberikan hak khusus untuk memonopoli perdagangan Belanda di Tanjung Harapan hingga ke Selat Magellan dalam jangka waktu 21 tahun. Direktur VOC, "Heeren XVII", diberikan hak untuk mendirikan "pos dan benteng", menandatangani perjanjian-perjanjian, meminta tambahan tentara dan armada angkatan laut, serta untuk mengobarkan peperangan.[23] Perusahaan ini sendiri didirikan sebagai perseroan terbatas, serupa dengan saingannya, Perusahaan Hindia Timur Inggris (EIC) milik Kerajaan Inggris. Pada tahun 1621, Perusahaan Hindia Barat Belanda (WIC) didirikan dan diberikan hak untuk memonopoli perdagangan di wilayah-wilayah yang tidak dikontrol oleh rekan VOC nya, yakni di Atlantik, Amerika, dan pantai barat Afrika.[24]

Konflik Phillip II-Belanda

[sunting | sunting sumber]

Perang Spanyol-Belanda adalah bagian dari upaya Belanda untuk mencapai kemerdekaan dan memperoleh kebebasan beragama selama Perang Delapan Puluh Tahun. Perang ini sebagian besarnya berlangsung di benua Eropa, tetapi juga meluas hingga ke wilayah seberang laut Philip II, termasuk di tanah jajahan Spanyol dan Portugis, pos perdagangan, dan benteng-benteng yang pada saat itu dimiliki oleh Raja Spanyol dan Portugal.

Belanda diambil alih oleh Dinasti Habsburg Spanyol saat Kaisar Charles V membagi kepemilikan Imperium Habsburg setelah ia turun takhta pada tahun 1555. Pada tahun 1556, Pemberontakan Belanda meletus dan pada 1558, Republik Belanda mulai terbentuk dan segera memulai invasi untuk merebut koloni-koloni Spanyol dan Portugis di Asia dan Amerika, termasuk usahanya untuk mengambil alih Filipina.

Kolonisasi Belanda di Asia

[sunting | sunting sumber]
Pemukiman Belanda dan Portugis di Asia, sekitar tahun 1665. Kecuali Jakarta dan Dejima, semuanya telah direbut oleh VOC dari Portugal.[25]

Perang antara wilayah kekuasaan Phillip II dan negara-negara lain menyebabkan kemunduran Kekaisaran Portugis, seperti dengan jatuhnya Ormuz ke tangan Inggris pada tahun 1622, tetapi Kekaisaran Belanda adalah pihak yang paling diuntungkan.[butuh rujukan]

VOC segera mulai merebut serangkaian benteng pesisir yang pada waktu itu membentuk Kekaisaran Portugis. Pemukiman tersebut terisolasi, sulit diperkuat jika diserang, dan rentan untuk direbut satu per satu, namun demikian, Belanda hanya meraih keberhasilan yang beragam dalam upayanya untuk melakukan hal itu.[26] Amboina direbut dari Portugis pada tahun 1605, tetapi serangan terhadap Melaka pada tahun berikutnya hampir gagal mencapai tujuannya untuk menyediakan pangkalan yang lebih strategis di Hindia Timur dengan angin muson yang menguntungkan.[26] Belanda menemukan apa yang mereka cari di Jakarta, yang ditaklukkan oleh Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1619, kemudian dinamai Batavia setelah nenek moyang Belanda yang disebut Batavi, dan yang kemudian menjadi ibu kota Hindia Belanda. Sementara itu, Belanda terus mengusir Portugis dari pangkalan mereka di Asia. Melaka akhirnya jatuh pada tahun 1641 (setelah upaya kedua untuk merebutnya), Kolombo pada tahun 1656, Ceylon pada tahun 1658, Nagapattinam pada tahun 1662, serta Cranganore dan Cochin pada tahun 1662.[25]

Goa, ibu kota Kekaisaran Portugis di wilayah Timur, gagal diserang oleh Belanda pada tahun 1603 dan 1610. Sementara Belanda tidak mampu merebut Makau dalam empat upaya,[27] dari mana Portugal memonopoli perdagangan Tiongkok-Jepang yang menguntungkan, meningkatnya kecurigaan shogun Tokugawa terhadap niat Portugis Katolik menyebabkan pengusiran mereka pada tahun 1639. Di bawah kebijakan sakoku dari 1639 hingga 1854 (215 tahun), Belanda adalah satu-satunya bangsa Eropa yang diizinkan beroperasi di Jepang, terbatas pada tahun 1639 di Hirado dan kemudian sejak 1641 di Dejima. Pada pertengahan abad ke-17, Belanda juga menjelajahi pesisir barat Australia, menamai banyak tempat.[butuh rujukan]

Belanda mencoba menggunakan kekuatan militer untuk memaksa Dinasti Ming membuka perdagangan dengan Belanda, tetapi Tiongkok mengalahkan Belanda dalam perang di Kepulauan Penghu dari tahun 1623 hingga 1624, memaksa VOC meninggalkan Penghu untuk Taiwan. Kemudian Tiongkok kembali mengalahkan Belanda dalam Pertempuran Teluk Liaoluo pada tahun 1633.[28][29][30][31]

Belanda menjajah Mauritius pada tahun 1638, beberapa dekade setelah tiga kapal dari Armada Kedua Belanda yang dikirim ke Kepulauan Rempah terbawa badai dan mendarat di sana pada tahun 1598. Mereka menamainya untuk menghormati Pangeran Maurits dari Nassau, Stadhouder Belanda. Karena iklim yang tidak bersahabat, Belanda meninggalkan pulau itu setelah beberapa dekade kemudian.[butuh rujukan] Belanda mendirikan koloni di Tayouan (sekarang Anping), di bagian selatan Taiwan, sebuah pulau yang saat itu sebagian besar dikuasai oleh pedagang Portugis dan dikenal sebagai Formosa; dan, pada tahun 1642 Belanda merebut Formosa utara dari Spanyol secara paksa.[butuh rujukan]

Kolonisasi Belanda di Amerika

[sunting | sunting sumber]
Penaklukan Belanda di Hindia Barat dan Brasil

Kolonisasi Belanda di Amerika dimulai dengan banyak hasil yang beragam. Di Atlantik, Perusahaan Hindia Barat Belanda (GWC) berfokus untuk merebut kekuasaan Portugis atas perdagangan gula dan budak, serta pada serangan terhadap armada harta karun Spanyol dalam perjalanan pulang mereka.[32] Bahia di pantai timur laut Brasil direbut pada tahun 1624, tetapi hanya dikuasai selama setahun sebelum direbut kembali oleh ekspedisi gabungan Spanyol-Portugis.[33][34] Pada tahun 1630, Belanda menduduki pemukiman gula Portugis di Pernambuco dan selama beberapa tahun berikutnya bergerak ke pedalaman, mencaplok perkebunan gula di sekitarnya. Untuk menyediakan tenaga kerja yang dibutuhkan perkebunan tersebut, sebuah ekspedisi yang berhasil diluncurkan dari Brasil merebut pos perdagangan budak Portugis di Elmina pada tahun 1637,[35] dan berhasil merebut pemukiman Portugis di Angola pada tahun 1641.[36] Pada tahun 1642, Belanda merebut Axim dari Portugis di Afrika. Pada tahun 1650, GWC telah menguasai perdagangan gula dan budak secara kuat, dan telah menduduki pulau-pulau Karibia Sint Maarten, Curaçao, Aruba, dan Bonaire untuk menjamin akses ke tambak garam di pulau-pulau tersebut.[25]

Tidak seperti di Asia, keberhasilan Belanda melawan Portugis di Brasil dan Afrika berumur pendek. Pemukiman selama bertahun-tahun telah meninggalkan komunitas Portugis yang besar di bawah pemerintahan Belanda, yang pada dasarnya adalah pedagang daripada penjajah.[37] Pada tahun 1645, komunitas Portugis di Pernambuco memberontak melawan majikan Belanda mereka,[34] dan pada tahun 1654, Belanda telah terusir dari Brasil.[38] Dalam tahun-tahun di antaranya, sebuah ekspedisi Portugis telah dikirim dari Brasil untuk merebut kembali Luanda di Angola, mengusir Belanda pada tahun 1648.[butuh rujukan]

Pemandangan Nieuw Amsterdam, 1662

Di pantai timur laut Amerika Utara, GWC mengambil alih sebuah pemukiman yang telah didirikan oleh Perusahaan Belanda Baru (1614–1618) di Fort Orange di Albany di Sungai Hudson,[39] dipindahkan dari Fort Nassau yang telah didirikan pada tahun 1614. Belanda telah mengirim kapal setiap tahun ke Sungai Hudson untuk berdagang bulu sejak pelayaran Henry Hudson pada tahun 1609.[50] Untuk melindungi posisinya yang rapuh di Albany dari Inggris dan Prancis, GWC mendirikan kota berbenteng Nieuw Amsterdam pada tahun 1625 di muara Sungai Hudson, dan mengembangkan pemukiman di sekitar Long Island dan New Jersey.[40] Perdagangan bulu akhirnya terbukti mustahil untuk dimonopoli oleh GWC karena perdagangan bulu ilegal dalam jumlah besar, dan pemukiman Belanda Baru tidak menguntungkan.[41] Pada tahun 1655, koloni Swedia Baru di dekat Sungai Delaware secara paksa dimasukkan ke dalam Belanda Baru setelah kapal dan tentara dikirim untuk merebutnya oleh gubernur Belanda, Pieter Stuyvesant.[42]

Sejak awal berdirinya, Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) telah bersaing dengan rivalnya, Perusahaan Hindia Timur Inggris (EIC), yang didirikan dua tahun sebelumnya,[43] untuk barang dan pasar yang sama di Timur. Pada tahun 1619, persaingan ini mengakibatkan pembantaian Amboyna, ketika beberapa orang dari EIC dieksekusi oleh agen Belanda. Peristiwa ini tetap menjadi sumber kebencian Inggris selama beberapa dekade, dan memang digunakan sebagai alasan cause célèbre bahkan hingga Perang Inggris-Belanda Kedua pada 1660-an. Namun, pada akhir 1620-an, EIC mengalihkan fokusnya dari Indonesia ke India.[43]

Pada tahun 1643, Perusahaan Hindia Barat Belanda (GWC) mendirikan sebuah pemukiman di reruntuhan pemukiman Spanyol Valdivia, di Chili selatan. Tujuan ekspedisi ini adalah untuk mendapatkan pijakan di pantai barat Amerika, sebuah wilayah yang hampir sepenuhnya berada di bawah kendali Spanyol (Samudra Pasifik, setidaknya sebagian besar di sebelah timur Filipina, pada waktu itu hampir merupakan sebuah "danau Spanyol"),[44] dan untuk mengekstraksi emas dari tambang terdekat. Penduduk pribumi yang tidak kooperatif, yang telah memaksa Spanyol meninggalkan Valdivia pada tahun 1604, turut menyebabkan ekspedisi itu meninggalkan tempat tersebut setelah beberapa bulan pendudukan. Pendudukan ini memicu kembalinya orang Spanyol ke Valdivia dan pembangunan salah satu kompleks pertahanan terbesar di Amerika kolonial.[45][46]

Persaingan dengan Britania Raya dan Prancis (1652–1795)

[sunting | sunting sumber]
Pertempuran Scheveningen (1653) saat Perang Inggris-Belanda Pertama

Pada tahun 1651, Parlemen Inggris mengesahkan Akte Navigasi (Navigation Acts) yang melarang kapal Belanda berdagang antara Inggris dan koloni Karibia-nya. Hal ini langsung memicu perang antara kedua negara pada tahun berikutnya, Perang Inggris–Belanda pertama, dari tiga perang yang berlangsung selama dua dekade dan perlahan melemahkan kekuatan laut Belanda demi keuntungan Inggris.[47][48]

Pada tahun 1661, di tengah penaklukan Qing atas Tiongkok, jenderal Koxinga memimpin armadanya untuk menyerang Formosa. Pertahanan Belanda di bawah gubernur Frederick Coyett bertahan selama sembilan bulan, tetapi setelah pasukan bantuan dari Jawa dikalahkan, Coyett menyerah.[49]

Perang Inggris–Belanda merupakan tiga konflik antara Inggris dan Belanda dari 1652 hingga 1674, disebabkan oleh persaingan dagang dan politik.[50] Dalam perang pertama (1652–1654), Inggris unggul secara militer karena memiliki lebih banyak kapal besar ("ships of the line") dan berhasil merebut banyak kapal dagang Belanda. Pada perang kedua, Inggris melakukan Holmes’s Bonfire (19–20 Agustus 1666), yakni serangan ke muara Vlie di Belanda yang menghancurkan sekitar 140 kapal dagang Belanda dan membakar kota West-Terschelling, menimbulkan kemarahan di Republik Belanda.

Perang kedua dimulai tahun 1664 ketika Inggris merebut Belanda Baru. Berdasarkan Perjanjian Breda (1667), wilayah tersebut diserahkan kepada Inggris sebagai ganti koloni Suriname yang sebelumnya direbut Belanda. Belanda sempat merebut kembali Belanda Baru pada 1673, namun mengembalikannya setahun kemudian, mengakhiri kekuasaan Belanda di Amerika Utara daratan — meski komunitas Belanda tetap bertahan dengan bahasa, gereja, dan adat mereka hingga pertengahan abad ke-18.[51] Di Amerika Selatan, Belanda merebut Cayenne dari Prancis pada 1658, menahan serangan balasan tahun berikutnya, namun mengembalikannya ke Prancis pada 1664 karena tidak menguntungkan. Belanda sempat merebutnya kembali pada 1676, tetapi setahun kemudian dikembalikan secara permanen. Revolusi Agung (1688) membawa penguasa Belanda Willem dari Oranye naik takhta Inggris, Skotlandia, dan Irlandia, mengakhiri delapan puluh tahun persaingan antara Belanda dan Inggris, meskipun rivalitas dengan Prancis tetap kuat.

Selama Perang Revolusi Amerika, Inggris kembali memerangi Belanda dalam Perang Inggris–Belanda keempat, di mana Inggris merebut koloni Ceylon. Berdasarkan Perjanjian Paris (1783), Ceylon dikembalikan ke Belanda dan Negapatnam diserahkan ke Inggris.[butuh rujukan]

Era Napoleon (1795–1815)

[sunting | sunting sumber]
Pos dagang Belanda di Dejima, Jepang, sekitar tahun 1805

Pada tahun 1795, Tentara Revolusioner Prancis menyerbu Republik Belanda dan menjadikannya negara bawahan bernama Republik Bataaf. Inggris, yang berperang dengan Prancis, segera menduduki koloni-koloni Belanda di Asia, Afrika Selatan, dan Karibia.[butuh rujukan]

Berdasarkan Perjanjian Amiens (1802) antara Inggris dan Prancis, Koloni Tanjung serta pulau-pulau Hindia Barat Belanda yang direbut Inggris dikembalikan ke Republik. Namun, Ceylon tidak dikembalikan dan dijadikan koloni Inggris. Setelah perang Inggris–Prancis pecah lagi pada 1803, Inggris merebut kembali Koloni Tanjung dan Hindia Barat Belanda, serta menyerbu pulau Jawa pada 1811.[butuh rujukan]

Pada tahun 1806, Napoleon membubarkan Republik Bataaf dan mendirikan kerajaan dengan saudaranya, Louis Bonaparte, sebagai Raja Belanda. Louis kemudian digulingkan pada 1810, dan Belanda diperintah langsung dari Prancis hingga dibebaskan pada tahun 1813. Setahun kemudian, Belanda menandatangani Perjanjian Inggris–Belanda 1814, yang mengembalikan hampir semua koloni Belanda yang direbut Inggris, kecuali Koloni Tanjung, Ceylon, dan sebagian Guyana Belanda.[butuh rujukan]

Era pasca-Napoleon (1815–1945)

[sunting | sunting sumber]
Ekspansi Hindia Belanda di kepulauan Indonesia

Setelah kekalahan Napoleon pada 1815, batas-batas wilayah Eropa diatur ulang dalam Kongres Wina. Untuk pertama kalinya sejak merdeka dari Spanyol pada tahun 1581, Belanda bersatu kembali dengan Belanda Selatan dalam monarki konstitusional bernama Kerajaan Bersatu Belanda. Namun, persatuan ini hanya bertahan 15 tahun. Pada tahun 1830, revolusi di wilayah selatan memicu kemerdekaan de facto Belgia.[butuh rujukan]

Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) yang bangkrut dibubarkan pada 1 Januari 1800,[52] dan wilayahnya dijadikan milik negara dengan nama Hindia Belanda. Persaingan Inggris–Belanda di Asia Tenggara berlanjut soal pelabuhan Singapura, yang diberikan kepada Perusahaan Hindia Timur Inggris (EIC) oleh Sultan Johor pada tahun 1819. Belanda mengklaim perjanjian sebelumnya telah memberi mereka hak atas wilayah itu, namun sulit menyingkirkan Inggris dari Singapura yang makin penting secara dagang. Perselisihan ini diselesaikan lewat Perjanjian Inggris–Belanda 1824. Belanda menyerahkan Melaka dan pangkalannya di India kepada Inggris serta mengakui klaim Inggris atas Singapura. Sebagai gantinya, Inggris menyerahkan Bengkulu dan sepakat tidak membuat perjanjian dengan penguasa di “pulau-pulau selatan Selat Singapura.” Dengan itu, kepulauan Asia Tenggara terbagi dua: wilayah Inggris di Semenanjung Malaya dan Belanda di Hindia Timur.[53]

Selama sebagian besar sejarah Hindia Belanda dan VOC, kekuasaan Belanda masih lemah, namun meluas sepanjang abad ke-19. Baru awal abad ke-20, kekuasaan Belanda mencakup wilayah yang kini menjadi Indonesia. Pulau Jawa, yang padat dan subur, dikuasai Belanda hampir sepanjang 350 tahun masa VOC dan Hindia Belanda, tetapi wilayah seperti Aceh, Lombok, Bali, dan Kalimantan tetap independen dalam jangka waktu lama.[54]

Pada tahun 1871, semua wilayah Belanda di Pantai Emas dijual ke Inggris. Perusahaan Hindia Barat Belanda (GWC) dibubarkan pada tahun 1791, dan koloni-koloninya di Suriname serta Karibia berada di bawah kendali langsung pemerintah.[55] Ekonomi koloni Belanda di Karibia bergantung pada penyelundupan barang dan budak ke Amerika Spanyol, namun setelah perdagangan budak berakhir pada tahun 1814 dan negara-negara Amerika Selatan serta Tengah merdeka, keuntungan pun merosot. Banyak pedagang Belanda pindah ke Amerika Serikat atau wilayah lain, meninggalkan pulau-pulau dengan penduduk sedikit dan bergantung pada subsidi pemerintah Belanda. Antillen dan Suriname disatukan di bawah satu administrasi dari tahun 1828 hingga 1845.[butuh rujukan]

Perbudakan baru dihapus di Karibia Belanda pada tahun 1863—jauh setelah Inggris dan Prancis—meski saat itu hanya tersisa sekitar 6.500 budak. Di Suriname, para pemilik budak menuntut kompensasi dari pemerintah Belanda, sementara di Sint Maarten, penghapusan perbudakan di wilayah Prancis pada tahun 1848 membuat budak di wilayah Belanda membebaskan diri.[56] Setelah itu, Suriname mendorong imigrasi pekerja kontrak asal Tiongkok,[57] dan kemudian pekerja Jawa antara tahun 1890–1939.[58]

Dekolonisasi (1942–1975)

[sunting | sunting sumber]

Indonesia

[sunting | sunting sumber]
Sukarno, pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia

Pada Januari 1942, Jepang menyerbu Hindia Belanda.[59] Dua bulan kemudian, Belanda menyerah di Jawa, dan banyak orang Indonesia awalnya menyambut Jepang sebagai pembebas.[60] Selama pendudukan Jepang di Hindia Belanda hingga akhir Perang Dunia II, struktur ekonomi, politik, dan sosial kolonial Belanda dibongkar dan digantikan oleh pemerintahan Jepang.[61] Sebelum perang, Belanda berhasil menekan gerakan nasionalis yang masih kecil, sehingga pendudukan Jepang menjadi titik penting menuju kemerdekaan Indonesia.[61] Partai Komunis Indonesia (PKI), yang didirikan pada 1914 oleh tokoh sosialis Belanda Henk Sneevliet dan sempat beraliansi dengan Sarekat Islam sejak 1917, memainkan peran besar dalam perlawanan terhadap Jepang selama perang. Jepang sendiri mendorong nasionalisme Indonesia dengan membentuk lembaga-lembaga pribumi baru dan mengangkat tokoh seperti Sukarno. Interniran terhadap warga Belanda membuat banyak posisi administratif diisi oleh orang Indonesia, meski jabatan tertinggi tetap dipegang Jepang.[61]

Dua hari setelah Jepang menyerah pada Agustus 1945, Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Empat setengah tahun perjuangan pun terjadi ketika Belanda berusaha menguasai kembali koloninya. Meski Belanda berhasil merebut sebagian besar wilayah, perang gerilya terus berlanjut. Dukungan rakyat Indonesia dan opini internasional akhirnya berpihak pada kemerdekaan, dan pada Desember 1949 Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia. Berdasarkan perjanjian 1949, Nugini Barat tetap dikuasai Belanda sebagai Nugini Belanda, dan sengketanya akan diselesaikan dalam setahun. Namun, pemerintah Indonesia di bawah Sukarno menuntut wilayah itu menjadi bagian Indonesia. Setelah tekanan dari Amerika Serikat, Belanda menyerahkannya kepada Indonesia melalui Perjanjian New York 1962.[62]

Suriname dan Antillen Belanda

[sunting | sunting sumber]
Penjajah Belanda di Suriname, 1920. Sebagian besar orang Eropa meninggalkan Suriname setelah kemerdekaan pada tahun 1975.

Pada 1954, melalui Piagam Kerajaan Belanda, Belanda, Suriname, dan Antillen Belanda (termasuk Aruba) menjadi satu negara gabungan yang disebut "Kerajaan Tripartit Belanda". Bekas koloni tersebut memperoleh otonomi, kecuali dalam urusan pertahanan, hubungan luar negeri, dan kewarganegaraan yang tetap menjadi tanggung jawab Belanda. Pada 1969, kerusuhan di Curaçao memicu pengerahan marinir Belanda untuk memulihkan ketertiban. Tahun 1973 dimulai negosiasi kemerdekaan Suriname, dan pada 1975 Suriname resmi merdeka, menandai berakhirnya kekaisaran kolonial Belanda. Sekitar 60.000 orang Suriname pindah ke Belanda pada masa itu.[63]

Pada 1986, Aruba diizinkan memisahkan diri dari federasi Antillen Belanda dan sempat ditekan untuk merdeka dalam sepuluh tahun. Namun, pada 1994 disepakati bahwa status Aruba sebagai wilayah dalam Kerajaan Belanda tetap dipertahankan.[63] Pada 10 Oktober 2010, Antillen Belanda resmi dibubarkan. Sejak saat itu, Curaçao dan Sint Maarten memperoleh status negara bagian setara dengan Aruba, sementara Bonaire, Sint Eustatius, dan Saba menjadi wilayah dengan status mirip gemeente (kota madya) Belanda, yang kini dikenal sebagai Belanda Karibia.[64][65]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]
  1. Kontroversi muncul terkait dengan tanggal mulainya pemberontakan; banyak sejarawan yang bersikeras bahwa perang berawal pada tahun 1568, karena ini adalah tahun pertempuran pertama antar tentara. Namun, karena adanya periode panjang kerusuhan antara Protestan vs. Katolik yang mengarah ke perang ini, tidaklah mudah untuk memberikan tanggal yang tepat terkait dengan awal dimulainya perang. Kekerasan terbuka pertama yang memicu perang adalah ikonoklasme 1566 yang dikenal dengan Iconoclastic Fury (bahasa Belanda: Beeldenstorm), dan terkadang kerusuhan dalam melawan Spanyol seperti Pertempuran Oosterweel juga dianggap sebagai titik awal perang. Kebanyakan sumber menyatakan bahwa invasi pada 1568 yang dipimpin oleh William dari Oranye adalah awal resmi perang; artikel ini menggunakan pandangan yang ini. Awal perang kadang-kadang juga ditetapkan pada penangkapan Brielle oleh Gueux pada tahun 1572.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. 1 2 "Dutch empire". Oxford Reference (dalam bahasa Inggris). doi:10.1093/acref/9780191737565.timeline.0001 (tidak aktif 12 July 2025). Diakses tanggal 2024-05-04. Pemeliharaan CS1: DOI nonaktif per Juli 2025 (link)
  2. 1 2 Israel, Jonathan (2003). Empires and Entrepots: Dutch, the Spanish Monarchy and the Jews, 1585–1713. London: Hambledon Press. hlm. x–xii. ISBN 978-1852850227.
  3. Hunt, John (2005). Campbell, Heather-Ann (ed.). Dutch South Africa: Early Settlers at the Cape, 1652–1708. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. hlm. 2–13. ISBN 978-1904744955.
  4. Ward, Kerry (2009). Networks of Empire: Forced Migration in the Dutch East India Company. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 322–342. ISBN 978-0-521-88586-7.
  5. Fisher, Ann Richmond (2007). Explorers of the New World Time Line. Dayton, Ohio: Teaching & Learning Company. hlm. 53–59. ISBN 978-1429113175.
  6. Junie T. Tong (2016). Finance and Society in 21st Century China: Chinese Culture Versus Western Markets. CRC Press. hlm. 151. ISBN 978-1-317-13522-7.
  7. John L. Esposito, ed. (2004). The Islamic World: Past and Present. Vol. 1: Abba – Hist. Oxford University Press. hlm. 174. ISBN 978-0-19-516520-3.
  8. Nanda, J. N (2005). Bengal: the unique state. Concept Publishing Company. p. 10. 2005. ISBN 978-81-8069-149-2. Bengal [...] was rich in the production and export of grain, salt, fruit, maize, liquors and wines, precious metals and ornaments besides the output of its handlooms in silk and cotton. Europe referred to Bengal as the richest country to trade with.
  9. Om Prakash, "Empire, Mughal Diarsipkan 18 November 2022 di Wayback Machine.", History of World Trade Since 1450, edited by John J. McCusker, vol. 1, Macmillan Reference USA, 2006, pp. 237–240, World History in Context. Retrieved 3 August 2017
  10. Hsin-Hui, Chiu (2008). The Colonial 'civilizing Process' in Dutch Formosa: 1624–1662. Leiden: Tuta Sub Aegide Pallas. hlm. 3–8. ISBN 978-9004165076.
  11. Findlay, Ronald; O'Rourke, Kevin H. (2003). "Commodity Market Integration, 1500–2000" (PDF). Dalam Bordo, Michael D.; Taylor, Alan M.; Williamson, Jeffrey G. (ed.). Globalization in Historical Perspective. University of Chicago Press. hlm. 13–64. ISBN 0-226-06598-7. Diarsipkan (PDF) dari versi aslinya tanggal 4 October 2018. Diakses tanggal 9 March 2018.
  12. Indrajit Ray (2011). Bengal Industries and the British Industrial Revolution (1757–1857). Routledge. hlm. 57, 90, 174. ISBN 978-1-136-82552-1.
  13. Hobkirk, Michael (1992). Land, Sea or Air?: Military Priorities- Historical Choices. Basingstoke: Palgrave-Macmillan. hlm. 77–80. ISBN 978-0312074937.
  14. Dalio, Ray. "The Big Cycles of the Dutch and British Empires and Their Currencies" Diarsipkan 1 October 2020 di Wayback Machine., LinkedIn, 21 May 2020
  15. 1 2 Jones, Guno (2014). Essed, Philomena; Hoving, Isabel (ed.). Dutch Racism. Amsterdam: Rodopi B.V. hlm. 315–316. ISBN 978-9042037588.
  16. Boxer (1965), p.6.
  17. Boxer (1965), p.19.
  18. Taylor (2001), p. 248.
  19. Boxer (1965), p.20.
  20. Scammel (1989), p.20.
  21. Boxer (1965), p.22.
  22. 1 2 Boxer (1965), p.23.
  23. Boxer (1965), p.24.
  24. Rogozinski (2000), p.62.
  25. 1 2 3 Boxer 1965, hlm. 24.
  26. Boxer 1965, hlm. 189.
  27. Shipp, p.22.
  28. Blussé, Leonard (1 January 1989). "Pioneers or cattle for the slaughterhouse? A rejoinder to A.R.T. Kemasang". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 145 (2): 357. doi:10.1163/22134379-90003260. S2CID 57527820.
  29. Wills (2010), hlm. 71.
  30. Cook 2007 Diarsipkan 23 November 2022 di Wayback Machine., p. 362.
  31. Li (李) 2006 Diarsipkan 23 November 2022 di Wayback Machine., p. 122.
  32. Taylor (2001), p.62.
  33. Taylor (2001), p.63.
  34. 1 2 Boxer 1965, hlm. 26.
  35. Rogozinski (2000), p.62.
  36. Boxer 1965, hlm. 112.
  37. Boxer 1965, hlm. 120.
  38. Facsimile of manuscript regarding the surrender of Dutch Brazil Diarsipkan 15 July 2010 di Wayback Machine.:Cort, Bondigh ende Waerachtigh Verhael Wan't schandelyck over-geven ende verlaten vande voorname Conquesten van Brasil...;
  39. Davies (1974), p.89.
  40. Taylor (2001), p.252.
  41. Taylor (2001), p.253.
  42. Taylor (2001), p.255.
  43. 1 2 McEvedy (1998), p.44.
  44. Lytle Schurz, William (1922), "The Spanish Lake", The Hispanic American Historical Review, 5 (2): 181–94, doi:10.2307/2506024, JSTOR 2506024
  45. Lane, Kris E. (1998). Pillaging the Empire: Piracy in the Americas 1500–1750. Armonk, N.Y.: M.E. Sharpe. hlm. 90. ISBN 978-0-76560-256-5.
  46. Kock, Robbert. "Dutch in Chile". Colonial Voyage.com. Diarsipkan dari asli tanggal 29 February 2016. Diakses tanggal 23 October 2014.
  47. McEvedy (1988), p.46.
  48. Taylor (2001), p.259
  49. Coyett, Frederick (1903) [First published 1675 in 't verwaerloosde Formosa]. "Arrival and Victory of Koxinga". Dalam Campbell, William (ed.). Formosa under the Dutch: described from contemporary records, with explanatory notes and a bibliography of the island. London: Kegan Paul. hlm. 412–459. ISBN 9789576380839. LCCN 04007338.
  50. Steven C. A. Pincus, Protestantism and Patriotism: Ideologies and the Making of English Foreign Policy, 1650–1668 (1996)
  51. Taylor (2001), p.260
  52. Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia Since c.1300, 2nd Edition. London: MacMillan. hlm. 110. ISBN 0-333-57689-6.
  53. SarDesai, pp.92–93.
  54. Witton, Patrick (2003). Indonesia. Melbourne: Lonely Planet. hlm. 23–25. ISBN 1-74059-154-2.; Schwarz, A. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview Press. hlm. 3–4. ISBN 1-86373-635-2.
  55. Rogozinski (1999), pp.213
  56. Rogozinski (1999), pp.213–4
  57. "オリックス銀行・カードローンの申し込み方". Diarsipkan dari asli tanggal 15 November 2014. Diakses tanggal 18 May 2016.
  58. Javanese in Suriname strive to preserve origins Diarsipkan 7 April 2008 di Wayback Machine.
  59. L., Klemen, 1999–2000, The Netherlands East Indies 1941–42, "Forgotten Campaign: The Dutch East Indies Campaign 1941–1942 Diarsipkan 26 July 2011 di Wayback Machine. however Mainland itself have been occupied by Nazi Germany in 1940 ".
  60. Ricklefs (1991), p. 195. Vickers (2005), pp.85, 85.
  61. 1 2 3 Vickers (2005), page 85
  62. Adam, Asvi Warman; Anwar, Dewi Fortuna (2005). Violent Internal Conflicts in Asia Pacific: Histories, Political Economics, and Policies. Yayasan Obor Indonesia. hlm. 219.
  63. 1 2 Rogozinski, pp.296–7
  64. Officielebekendmakingen.nl – Besluit van 23 September 2010 tot vaststelling van het tijdstip van inwerkingtreding van de artikelen I en II van de Rijkswet wijziging Statuut in verband met de opheffing van de Nederlandse Antillen
  65. "Netherlands Antilles to cease to exist as a country". NRC. Amsterdam. 1 October 2009. Diarsipkan dari asli tanggal 2 October 2009. Diakses tanggal 2010-10-10.

Bibliografi

[sunting | sunting sumber]

Bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]