Mangkunegara I

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Pangeran Sambernyawa)
Mangkunagara I
ꦩꦁꦏꦸꦤꦒꦫ꧇꧑꧇
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
Adipati Mangkunagaran
ke-1
Berkuasa28 Desember 1757 – 28 Desember 1795 (37 tahun)
PenerusMangkunagara II
Informasi pribadi
KelahiranBandara Raden Mas Said
(1725-04-07)7 April 1725[1]
Kartasura
Kematian28 Desember 1795(1795-12-28) (umur 70)
Surakarta
Pemakaman
AyahKPA. Mangkunagara (Kartasura)
IbuRAy. Wulan
PermaisuriKangjeng Ratu Bandara, BRAy. Kusumapatahati
PasanganGarwa Padmi : RAy. Kusumapatahati, Kangjeng Ratu Bandara, BRAy. Kusumapatahati
Selir (ampil) :
  • Nyi Ajeng Megatsari
  • Nyi Ajeng Wirasari
  • Nyi Ajeng Kertasari
  • Nyi Ajeng Wangsasari
  • Nyi Ajeng Puspasari
  • Nyi Ajeng Marliyah
[1]
Anak25
AgamaIslam

Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I memiliki nama lahir yaitu Raden Mas Said (7 April 1725 – 28 Desember 1795) adalah pendiri Pura Mangkunegaran, sebuah kadipaten di Surakarta dan merupakan Pahlawan Nasional Indonesia. Ayahnya bernama KPA. Mangkunagara (Kartasura)[2] dan ibunya bernama RAy. Wulan.[3][4]

Memiliki nama julukan sebagai Pangeran Sambernyawa oleh Nicholas Hartingh selaku perwakilan Gubernur VOC untuk Pantai Timur Jawa[5] karena di dalam berbagai pertempuran RM. Said nyaris tidak pernah kalah dan selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.

Selain itu, bilamana dicermati. Dimanapun tempat termasuk Pura Mangkunegaran, tidak akan dijumpai suatu gambar yang melukiskan wajah KGPAA. Mangkunegara I. Hal ini dikarenakan sesuai wasiat beliau yang tidak ingin dilukis atau digambar untuk menghindari pengkultusan pribadi. Sehingga beliau berpesan kepada seluruh anak cucu maupun kawulanya agar jangan ada yang menggambar tentang dirinya. Sehingga di lingkup Pura Mangkunegaran pun tidak akan terdapat gambar beliau. Sebagai gantinya, beliau cukup dilukiskan secara simbolis dengan tulisan "MN" dalam bingkai Surya Sumirat seperti gambar disamping ini.

Riwayat[sunting | sunting sumber]

RM. Said lahir di Kartasura dengan ayah KPA. Mangkunegara (Kartasura), yang merupakan putra tertua Susuhunan Amangkurat IV, raja Mataram ke-8. Dengan demikian, sebenarnya beliaulah yang memiliki hak sebagai pewaris tahta. Namun KPA. Mangkunegara secara politik terang-terangan menyatakan sikap anti-VOC, dan sikap ini dianut pula oleh adik lain ibu yang bernama, RM. Sujana / Pangeran Mangkubumi, dan RM. Said sendiri selaku anak sendiri. Sikap politik ini juga yang membuat KPA Mangkunegara diasingkan oleh VOC ke Ceylon, Srilanka. Sejak saat itu RM. Said diasuh oleh neneknya yang bernama BRAy. Kusumanarsa dan diharapkan kelak akan membuat perubahan besar bagi Karaton Kartasura.[6]

Perjuangan melawan Belanda[sunting | sunting sumber]

Perjuangan RM. Said dimulai dengan pemberontakan di Karaton Kartasura pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (juga disebut Sunan Kuning) yang mengakibatkan tembok benteng Karaton Kartasura setinggi 4 meter itu roboh. Susuhunan Pakubuwana II, raja Mataram ketika itu pun menyelamatkan diri dengan mengungsi ke Ponorogo.

Waktu itu RM. Said masih berumur 19 tahun. Beliau bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas harkat dan martabat rakyat Mataram yang ketika itu tertindas oleh Kompeni Belanda (VOC) dan Rajanya sendiri Susuhunan Pakubuwana II. Kemudian mereka menggempur Karaton Kartasura yang dianggap sebagai kerajaan boneka dari Belanda. Sejak pasukan mengepung Karaton Kartasura pada awal 1741, para bangsawan pun mulai meninggalkan Karaton Kartasura untuk mencari selamat. RM. Said juga membangun pertahanan di Randulawang sebelah utara Surakarta, dan bergabung dengan laskar Sunan Kuning dalam melawan VOC. RM. Said diangkat sebagai panglima perang bergelar Pangeran Prangwadana.

Adapun Pangeran Mangkubumi justru lari ke Semarang untuk menemui penguasa Belanda dan meminta dirinya dirajakan. Jelas VOC langsung menolak permintaan itu. Lalu kemudian bergabung dengan Pangeran Puger di Sukowati (kini Sragen). Dengan bantuan Belanda, seluruh pasukan Cina bisa diusir dari Karaton Kartasura, lalu enam bulan kemudian Susuhunan Pakubuwana II kembali ke Kartasura, namun mendapatkan istananya telah rusak parah. Kemudian memerintahkan untuk pindah tempat dari Kartasura ke Desa Sala atas petunjuk para pujangganya.

Namun kebijakan raja dalam meminta bantuan asing itu jelas tidak gratis dan harus dibayar mahal dengan wilayah pantai utara mulai Rembang, Pasuruan, Surabaya dan Madura harus diserahkan pada VOC. Selain itu setiap ada pengangkatan pejabat tinggi di karaton wajib mendapat persetujuan dari VOC terlebih dahulu. Sehingga posisi raja tak lebih dari "Leenman" atau “peminjam kekuasaan Belanda”.

Ketika Pangeran Mangkubumi menyatakan ikut memberontak Belanda dan bergabung dengan laskar RM. Said, ia memilih bergerilya melawan Belanda di pedalaman yang kini bernama Yogyakarta. RM. Said menikah dengan RAy. Kusumapatahati putri dari Kyai Kasan Nuriman. Lalu pada usia 22 tahun, dinikahkan lagi untuk kedua kalinya dengan Raden Ayu Inten (kelak bernama Kangjeng Ratu Bandara), seorang putri Pangeran Mangkubumi. Dan setelah putus hubungan dengan laskar RM. Garendi, kemudian RM. Said yang kini memakai nama Pangeran Mangkunegara bermarkas di Panambangan dan menyatakan diri sebagai pemimpin dengan memakai gelar "Sultan Adiprakosa Senapati Ngayuda Lêlana Jayamisesa Prawira Adiningrat"[7], namun tak berselang lama ketika hendak duduk di singgasana, singgasana tersebut tersambar petir. Hal itu menandakan bahwa RM. Said tidak boleh menjadi raja atau berlebihan seperti layaknya raja di karaton, sehingga beliau dengan ikhlas menggunakan lagi nama lamanya, Pangeran Mangkunegara.

Nama Mangkunegara diambil dari nama ayahnya, KPA. Mangkunegara Kartasura yang ditangkap karena sudut pandang politiknya dinilai melawan Susuhunan Pakubuwana II yang dilindungi VOC sekaligus akibat fitnah keji dari Raden Adipati Danureja selaku Pepatihdalem Karaton Kartasura waktu itu hingga akhirnya diasingkan ke Ceylon, Srilanka ketika RM. Said masih berusia dua tahun. Sehingga tidak heran bila RM. Said berjuang mati-matian melawan Belanda bahkan termasuk Mataram secara bergerilya dan berpindah-pindah tempat.

Ketika mendengar kabar bahwa Susuhunan Pakubuwana II wafat. RM. Said menemui Pangeran Mangkubumi yang berada Banaran dan meminta mertuanya itu menjadi raja Mataram sebelum pengangkatan raja dari putra dari Pakubuwana II. Pangeran Mangkubumi memproklamirkan diri dengan gelar "Sinuhun Kangjêng Sultan Hamangkubuwana, Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalipattolah" dan disebut sebagai "Sultan ing Kabanaran". Penobatan ini terjadi pada tahun 1675 Jawa atau 1749 Masehi. RM. Said atau Pangeran Mangkunegara ini diangkat sebagai panglima perang dan istrinya, Raden Ayu Inten, diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Bandara. Namun tentu pemerintahan Pangeran Mangkubumi yang berpusat di Banaran ini tidak diakui oleh VOC. Berbagai dinamika telah terjadi, setelah sekian lama berjuang bersama melawan kekuasaan Mataram dan VOC, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Mangkunegara malah berselisih paham dan berujung konflik yang bermula dari pertempuran melawan Adipati Ponorogo yang bernama Raden Adipati Suradiningrat di Kalidemung dan pembagian harta rampasan perang yang dinilai tidak utuh.

RM. Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan VOC dengan rincian : tahun 1741-1742 beliau memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda, lalu tahun 1743-1752 bergabung dengan Pangeran Mangkubumi melawan Mataram dan Belanda, dan sisanya hingga tahun 1757 beliau berjuang sendiri melawan VOC dan Mataram yang sudah dipecah menjadi dua bagian dalam Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta sebagai hasil rekayasa Belanda. Perjanjian ini juga sangat ditentang oleh RM. Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram dan menyayangkan paman sekaligus mertuanya yang dianggapnya berkhianat karena dirajakan oleh VOC. Dan dalam kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkunegara melakukan kurang lebihnya 250 kali pertempuran dengan gemilang. Tidak heran karena dalam membina kesatuan tentaranya, RM. Said memiliki motto "tiji tibèh" yang merupakan kependekan dari mati siji, mati kabèh, mukti siji, mukti kabèh (gugur satu, gugur semua, sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini tentu rasa kebersamaan maupun kesolidan pasukannya selalu terjaga dan berhasil membina pasukan yang militan. Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai penyebar maut. Kehebatan RM. Said dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya. Bahkan Gubernur Pesisir Jawa bagian timur yang bernama Baron van Hohendorff memuji kehebatan Pangeran Mangkunegara. Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman.

Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757. Yang pertama, ketika pasukan RM. Said bertempur melawan pasukan Sultan Hamengkubuwana I di desa Kasatriyan yang berada di barat daya kota Ponorogo. Perang itu terjadi pada hari Jumat Kliwon, tanggal 16 Syawal tahun Je 1678 atau 1752 Masehi. Desa Kasatriyan menjadi benteng pertahanan RM. Said setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan dan Ponorogo.

Yang kedua, RM. Said bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan Rembang yang berbatasan dengan Blora, tepatnya di Hutan Sitakepyak yang melawan pasukan VOC dalam jumlah besar untuk menghancurkan pertahanan Pangeran Mangkunegara di utara. Besarnya pasukan itu dilukiskan bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus. Kendati jumlah pasukan Pangeran Mangkunegara itu lebih kecil namun nyatanya dapat memukul mundur musuhnya dan diklaim hanya kehilangan 3 orang prajurit tewas dan 29 orang menderita luka-luka, sementara di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas. Peristiwa ini terjadi pada hari Kamis Pahing tanggal 17 Sura tahun Wawu 1681 atau 23 Oktober 1755. Dalam pertempuran ini pula RM. Said berhasil menebas kepala Kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan diserahkan pada salah satu istrinya sebagai hadiah perkawinan.

Yang ketiga, penyerbuan benteng Vredeburg Belanda dan Kasultanan Yogyakarta yang terjadi di hari Rabu Pahing tanggal 3 Sapar tahun Jimakir 1682 atau tanggal 27 Oktober 1756. Peristiwa itu dipicu oleh kekalutan tentara VOC yang mengejar RM. Said sambil membakar dan menjarah harta benda penduduk desa yang membuat RM. Said menjadi murka. Kemudia membalik serangan kepada pasukan VOC dan Yogyakarta secara diam-diam dengan membawa pasukan mendekat ke Karaton Kasultanan Yogyakarta. Benteng Vredeburg sebagai benteng VOC letaknya hanya beberapa puluh meter dari karaton langsung diserang. Lima tentara VOC tewas dan ratusan lainnya melarikan diri ke Karaton Kasultanan Yogyakarta. Karena dinilai melindungi VOC, maka selanjutnya pasukan RM. Said pun menyerang Karaton Kasultanan Yogyakarta hingga berlangsung sehari penuh. Bahkan karaton yang masih baru dan belum sepenuhnya jadi itu sempat dibakar oleh pasukan RM. Said sehingga mengakibatkan kerusakan yang fatal. Pada waktu menjelang malam barulah RM. Said menarik mundur seluruh pasukan yang tersisa. Tak ayal, serbuan pasukan RM. Said ke Karaton Kasultanan Yogyakarta ini pun mengundang amarah Sultan Hamengkubuwana I, bahkan ia menawarkan hadiah 500 real serta kedudukan sebagai Bupati bagi siapa saja yang dapat menangkap RM. Said. Tidak hanya itu, VOC yang tidak berhasil membujuk RM. Said ke meja perundingan pun menjanjikan pula hadiah 1.000 real bagi siapapun yang dapat membunuh Pangeran Mangkunegara.

Perjanjian Salatiga / Perjanjian Kalicacing[sunting | sunting sumber]

Papan nama Raden Mas Said di Surakarta.

Tak seorang pun yang berhasil menjamah RM. Said. Melihat kenyataan tersebut, Nicholas Hartingh mendesak Susuhunan Pakubuwana III agar membujuk RM. Said ke meja perdamaian. Kemudian Susuhunan Pakubuwana III mengirim utusan untuk menemui RM. Said di markasnya. Singkat cerita beliau menyatakan bersedia berunding dengan Susuhunan Pakubuwana III dengan syarat tanpa melibatkan VOC.

Singkatnya RM. Said pun berkenan menemui Susuhunan Pakubuwana III dengan dikawal 120 prajuritnya. Pertemuan pun berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri yang mana selain Sunan Surakarta itu memberikan dana bantuan logistik sebesar 500 real untuk prajurit Pangeran Mangkunegara, beliau juga memohon kepada RM. Said untuk berkenan membimbingnya di karaton sebagai kamasdalem (saudara tua). Disitu terjadilah kesepakatan damai antara Susuhunan Pakubuwana III dan RM. Said yang akan diformalkan dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757 nanti.

Ketika mencapai harinya, Susuhunan Pakubuwana III pun menjemput RM. Said di Desa Tunggon yang berada di sebelah timur Sungai Bengawan Solo. Ketika sampai di Kalicacing, Salatiga maka perjanjian damai dimulai dengan hanya melibatkan Susuhunan Pakubuwana III, Sultan Hamengkubuwana I dan beberapa perwakilan VOC. Disitu disepakati bahwa RM. Said diangkat sebagai Pangeran Miji alias mandiri dan berwenang memakai gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara" dengan ketentuan tidak diperkenan membuat dhampar kencana (singgasana dari logam emas), tidak diperkenankan membuat alun-alun dan beringin kurung, tidak diperkenankan pula membuat Bangsal Witana (karena merupakan tempat pengambilan sumpah sebagai raja), serta tidak diperkenankan lagi membalas hutang nyawa yang sudah lalu. RM. Said pun menyanggupi, namun beliau juga memiliki permintaan bahwa beliau akan diperkenankan memakai busana seperti raja walaupun tidak memakai kuluk kanigaran dan boleh duduk sama rata dengan Susuhunan Pakubuwana III serta wilayah yang pernah diduduki menjadi wilayah berdaulat milik RM. Said. Setelah semua mufakat dan sepakat, maka pertemuan tersebut pun diakhiri dengan penandatanganan Perjanjian Salatiga yang memulai perjalanan Pura Mangkunegaran.

Lalu untuk menetapkan wilayah kekuasaan Mangkunegaran dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa wilayah Keduwang, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Kedu Gunung Kidul, sebagian kecil Ngawen, dan Pajang sebelah utara menjadi milik RM. Said atau KGPAA. Mangkunegara I. Sesuai kesepakatan pula, bahwa RM. Said berkenan menempati Kepatihan dan inilah yang mengakibatkan Kepatihan Surakarta harus bergeser ke timur di wilayah Keprabon sekarang. Lalu sembari menunggu Kepatihan ditata ulang, RM. Said bertempat tinggal di tempat Patih Sindureja yang bernama Ndalem Mangkuyudan. Beliau bertahta selama 40 tahun dan kemudian wafat pada hari Senin Pon tanggal 16 Jumadilakir tahun Jimakir 1722 atau tanggal 28 Desember 1795.

Membentuk Prajurit Estri (Ladrang Mangungkung)[sunting | sunting sumber]

KGPAA. Mangkunegara I tercatat sebagai salah satu pemimpin yang melibatkan wanita dalam angkatan perang. Selama menjalankan pemerintahannya, beliau menerapkan prinsip Tridarma. Selain itu KGPAA. Mangkunegara I membentuk kesatuan prajurit berjumlah 150 wanita muda yang dikenal sebagai Prajurit Estri atau Ladrang Mangungkung. Tugas prajurit putri ini adalah sebagai pengawal ketika bertemu dengan tamu. Pembentukan prajurit wanita bukanlah hal yang baru dalam tradisi kerajaan jawa. Sebelumnya pada masa Susuhunan Agung Hanyakrakusuma juga pernah memiliki kesatuan prajurit wanita yang bertugas sebagai ajudan raja.[8]

Prajurit Estri dikenal akan kemahirannya dalam memainkan senjata dan menunggang kuda. Selain itu mereka juga dilatih untuk menyanyi, menari dan memainkan alat musik. Pada suatu kesempatan Prajurit Estri ditugaskan untuk menyambut seorang gubernur dari timur laut. Mereka tampil dengan baju adat Bali yang dihiasi dengan ikat pinggang berbordir emas dan hiasan daun-daun dengan bordiran emas. Mereka tampil berjalan kaki dengan busur dan panah. Selain itu mereka juga melakukan tembakan salvo prajurit sebanyak tiga kali. Pertunjukkan ini diakhiri dengan menaiki kuda dan pergi meninggalkan penonton.[8]

Gelar pahlawan nasional[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1983, pemerintah Republik Indonesia mengangkat KGPAA. Mangkunegara I sebagai pahlawan nasional atas jasa-jasa kepahlawanannya dengan mendapat penghargaan Bintang Mahaputra.

Pergeseran makna dari Putra Mahkota / Pangeran Pati[sunting | sunting sumber]

Tradisi Karaton Mataram mengenai Putra Mahkota yang memakai gelar "Mangkunegara" dimulai saat putra sulung Susuhunan Amangkurat Jawi (Amangkurat IV) yaitu RM. Sura / KPA. Mangkunegara Kartasura dijadikan sebagai Pangeran Pati dengan gelar "Kangjeng Pangeran Adipati Arya Mangkunegara".

Namun ketika terjadi penggeseran kedudukan putra mahkota yang dilakukan oleh kelompok GRM. Prabasuyasa (kelak menjadi Susuhunan Pakubuwana II). Maka kedudukan gelar pangkat Pangeran Pati yang memakai nama Mangkunegara tidak dilepas, hanya saja bagian "Arya" diganti menjadi "Anom" yang berarti muda.

Penggantian nama ini sekaligus menggeser kedudukan Putra Mahkota yang tadinya harus bersyarat sebagai "Arya" yang berarti harus menguasai ilmu keprajuritan, menjadi "Anom" yang artinya tidak harus mengharuskan menguasai ilmu keprajuritan alias awam soal kemiliteran. Dan nama "Mangkunegara" pun sedikit ditambah menjadi "Hamengkunegara / Amangkunegara".

Kendati demikian, penggeseran kedudukan putra mahkota ini tidak menghilangkan jabatan di kerajaan, karena posisi KPA. Mangkunegara di Karaton Mataram tetap menjabat sebagai penasihat kerajaan seperti biasa. Namun tetap saja keberadaan KPA. Mangkunegara sebagai penasihat ini oleh kelompok oposisi poltiknya terus diupayakan penjegalan dan yang paling parah adalah berusaha melenyapkan sebagai pewaris yang sah.

Keberhasilan para oposan dalam menyingkirkan KPA. Mangkunegara selaku putra mahkota yang sah ini selanjutnya akan dibayar mahal oleh bangsawan Mataram yang begitu saja rela menyerahkan tampuk pemerintahan pada raja yang lemah dan suka ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Hohendorf sendiri sebagai kepala garnisun di Surakarta pernah menyampaikan kepada Susuhunan Pakubuwana II sendiri, bahwa kondisi Karaton Mataram selama dalam pemerintahannya tidak pernah stabil dan terus digoyang oleh ketidakstabilan dalam segi apapun.

Di satu sisi, pernyataan kepala garnisun Belanda itu juga termasuk kontroversial karena dia sendiri sebagai seorang militer Belanda melihat sesuatu yang stabil adalah kejelekan yang tidak menguntungkan kantong pribadinya. Sehingga dari peristiwa penggeseran putra mahkota Mataram ini sudah dapat dicatat adanya suatu kelompok yang akan bertahan sampai pada batas limit perjuangan.

Karaton Mataram yang akhirnya terpecah itu akhirnya menerima nasib dibagi menjadi tiga pecahan pada waktu itu. Bahkan dalam percaturan politik Jawa, dua karaton (Kasunanan dan Kasultanan) dan VOC atau Belanda itu sendiri mau tidak mau harus menerima posisi Pura Mangkunegaran sebagai neraca keseimbangan poltik. Meski posisi diatas kertas kedudukan Pura Mangkunegaran diposisikan di bawah kerajaan karena statusnya yang hanya Kadipaten, akan tetapi secara de facto politik tidak hanya show dan pamer kemegahan semata. Politik dan kekuasaan adalah perwujudan wahyu yang harus dijaga sekaligus merupakan hasil kecerdasan dan skill dalam permainan. Barang siapa yang tidak mampu dalam permainan itu, sejarah akan tetap mencatat prestasi masing-masing.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Sumahatmaka et al. 1973. Pratelan Para Darah Dalem Soewargi Kangdjeng Goesti Pangeran Adipati <arja Mangkoenagoro I hing Soerakarta Hadiningrat: Asalsilah djilid I. Mangkunagaran. Surakarta.
  2. ^ "P. Arya Pangeran Arya Mangkunagoro Kartasura". geni_family_tree. Diakses tanggal 2020-12-14. 
  3. ^ "Mengenal Dinasti Mangkunagaran dan Pendirinya, Pangeran Sambernyawa". Kompas.com. Diakses tanggal 2020-12-14. 
  4. ^ "1. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunagoro I (Pangeran Sambernyawa) b. 7 April 1725 d. 28 Desember 1795 - Rodovid ID". id.rodovid.org. Diakses tanggal 2020-12-14. 
  5. ^ Raditya, Iswara N (23 Desember 2017). "Ramai-ramai Mengeroyok Pangeran Sambernyawa". Tirto.id. Diakses tanggal 1 Maret 2021. 
  6. ^ Hastuti, Dhian Lestari; Imam Santosa; Achmad Syarief; Pribadi Widodo (2021-02-18). "PERAN DAN KEDUDUKAN PEREMPUAN MANGKUNEGARAN DALAM SEJARAH PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN JAWA MASA MANGKUNEGARA I-VIII". PROSIDING: SENI, TEKNOLOGI, DAN MASYARAKAT. 3: 68–80. doi:10.33153/semhas.v3i0.138. ISSN 2715-4351. 
  7. ^ "Babad Panambangan, Pakêmpalan Mangkunagaran, 1918, #1534 (Hlm. 076–152)". Sastra Jawa (dalam bahasa Jawa). Diakses tanggal 2023-07-22. 
  8. ^ a b Hidayani, Fika (2013). "PRAJURIT WANITA JAWA DALAM ISTANA MANGKUNEGARA I SURAKARTA". MUWAZAH: Jurnal Kajian Gender. 5 (1). ISSN 2502-5368. 

Bacaan lain[sunting | sunting sumber]

  • Fananie, Zainuddin, Restrukturisasi Budaya Jawa (Perspektif KGPAA Mangkoenagoro I), Muhammadiyah University Press, 1994. Catatan: Merupakan kajian ilmiah yang telah dilakukannya dan dibiayai oleh Tokyo Foundation.
  • Babad Lelampahan, Reksa Pustaka Mangkoenegaran no 222 MS/J. Naskah Asli tersimpan di British Library Manuscript dengan judul Babad Mangkoenegoro. No. Add. 12283.
  • Babad Memengsahanipun Kanjeng KGPAA Mangkoenagoro I, Kaliyan Kanjeng Sultan Ngayogya (HB I), Naskah koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta, cat, MS/J; no. 308:237 halaman.
  • Babad Tutur, naskah transliterasi Th.G.Th. Pigeaud, tercatat dalam Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunagaran dengan judul Babad Nitik, no. cat.B29 MS/L x 590 halaman.
Gelar kebangsawanan
Ciptaan baru Adipati Mangkunegaran
1757–1795
Diteruskan oleh:
Mangkunegara II