Mangkunegara III

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Mangkunegara III
ꦩꦁꦏꦸꦤꦒꦫ꧇꧓꧇
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
Adipati Mangkunegaran ke-3
Berkuasa29 Januari 1835 - 06 Januari 1853 (18 tahun)
Penobatan16 Januari 1843
PendahuluMangkunegara II
PenerusMangkunegara IV
Informasi pribadi
KelahiranBRM. Sarengat
(1803-01-16)16 Januari 1803
Pura Mangkunegaran, Surakarta, Hindia Belanda
Kematian6 Januari 1853(1853-01-06) (umur 49)
Pura Mangkunegaran, Surakarta, Hindia Belanda
AyahKPH. Natakusuma
IbuBRAy. Sayati
Permaisuri
  • GKR. Sekar Kedhaton
  • RAy. Samsiyah[1]
Pasangan14 selir[1]
Anak42
AgamaIslam

Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara III adalah Adipati ketiga yang berkuasa di Kadipaten Pura Mangkunegaran. Nama lahirnya adalah Bandara Raden Mas Sarengat, sedangkan gelar-gelar lainnya adalah "Kangjeng Pangeran Riya" dan "Kangjeng Pangeran Arya Prabu Prangwadana".

Beliau adalah cucu dari KGPAA. Mangkunegara II, melalui putrinya (dari permaisuri), BRAy. Sayati yang menikah dengan Kangjeng Pangeran Harya Natakusuma (putra dari KPH. Kusumadiningrat dan GRAy. Kusumadiningrat). Sehingga KGPAA. Mangkunegara III masih termasuk buyutdalem dari Susuhunan Pakubuwana III.

Masa Awal[sunting | sunting sumber]

KGPAA. Mangkunegara III lahir pada hari Minggu Pon, 22 Pasa Wawu 1729 windu Sengara atau tanggal 16 Januari 1803. Terlahir dengan nama kecil Bandara Raden Mas Saréngat (julukan Ndara Glémboh).[1] Ayahnya bernama KPH. Natakusuma, salah seorang cucu SISKS. Pakubuwana III melalui putrinya GRAy. Kusumadiningrat. Sedangkan ibunya adalah BRAy. Sayati yang merupakan putri pertama KGPAA. Mangkunegara II dari permaisuri. Sejak kecil beliau diangkat anak oleh KGPAA. Mangkunegara II serta dididik untuk menjadi pemimpin tangguh.

Pada hari Kamis Legi, tanggal 14 Jumadilakir Alip 1747 windu Kunthara atau tanggal 30 Maret 1820, beliau dinikahkan dengan GKR. Sekar Kedhaton, putri dari Susuhunan Pakubuwana V. Namun sayang, pernikahan ini tidak mencapai dua tahun karena sang isteri wafat saat keguguran. Setelah menduda sebentar, kemudian beliau menikahi sepupunya sendiri yang bernama RAy. Samsiyah, putri dari KPH. Suryamijaya I (putra KGPAA. Mangkunegara II) dengan ampil Mas Ajeng Pulungsih.

Dari pernikahan tersebut kemudian dianugerahi dua orang putri bernama BRAj. Dunuk dan BRAj. Dénok. Selain permaisuri, BRM. Saréngat juga memiliki 14 orang selir yang memiliki keturunan. Sehingga secara total keseluruhan, beliau memiliki 42 orang anak dengan rincian : 28 anak hidup hingga dewasa, 14 anak meninggal ketika masih bayi/muda dan 5 anak yang tidak berputra.[1]

Karier Kemiliteran[sunting | sunting sumber]

BRM. Sarengat memasuki pendidikan Kadet Mangkunegaran semenjak berusia 15 tahun. Beliau diangkat menjadi Letnan Kolonel di Legiun Mangkunegaran pada hari Sabtu Pon tanggal 14 Dulkangidah Jimakir 1746 windu Adi atau pada tanggal 4 September 1819, dan mendapat gelar Kangjeng Pangeran Riya.

Ketika berusia 19 tahun, beliau resmi disiapkan oleh kakeknya sebagai calon penerus Pengageng Pura selanjutnya dan diberikan gelar wisuda sebagai Kangjeng Pangeran Arya Prabu Prangwadana pada hari Kamis Pon, 8 Jumadilawal Jimawal 1749 windu Kunthara atau pada tanggal 31 Januari 1822.

Kangjeng Pangeran Arya Prabu Prangwadana ikut serta bersama kakeknya, KGPAA. Mangkunegara II, terlibat dalam Perang Jawa menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830). Beliau ditempatkan di perbatasan antara wilayah Pura Mangkunegaran dan Kesultanan Yogyakarta tepatnya di Desa Jatinom dan Desa Kepurun (Klaten). Beliau juga mendapat penghargaan bintang militer Willems Order kelas 4 atas kontribusinya dalam perang tersebut.[1]

Pemerintahan[sunting | sunting sumber]

Seusai Perang Jawa dan setelah sekitar 3 bulan pasca meninggalnya KGPAA. Mangkunegara II, tampuk kepemimpinan Pura Mangkunegaran diwariskan kepada KPA. Prabu Prangwadana. Beliau diangkat sebagai Pengageng Pura Mangkunegaran dengan memakai gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Prabu Prangwadana III" pada hari Kamis Wage tanggal 30 Pasa Jimakir 1762 windu Sengara atau tanggal 29 Januari 1835, menggantikan kakeknya yang telah mangkat di usia 32 tahun. Beliau baru dinobatkan dengan sematan gelar KGPAA. Mangkunegara III pada hari Senin Pon tanggal 15 Besar Djimakir 1770 windu Sancaya atau tanggal 16 Januari 1843, bertepatan dengan hari kelahirannya dan pada waktu itu usianya telah menginjak 40 tahun sebagai syarat utama untuk pergantian gelar Pengageng Pura Mangkunegaran tersebut. Pemerintahan KGPAA. Mangkunegara III ini berlangsung dari tahun 1835 hingga tahun 1853.

Wafat[sunting | sunting sumber]

[2] Beliau wafat pada hari Kamis Legi tanggal 25 Mulud Jimawal 1781 windu Kunthara atau tanggal 6 Januari 1853 dalam usia 49 tahun. Lalu beliau dimakamkan di Astana Mangadeg, Matesih disamping kakeknya dalam satu cungkup. Setelah beliau wafat kemudian digantikan oleh adik sepupu yang juga menjadi menantunya bernama KPH. Gandakusuma sebagai KGPAA. Mangkunegara IV nantinya.

Minat Terhadap Kesenian Jawa[sunting | sunting sumber]

KGPAA. Mangkunegara III juga memiliki minat besar terhadap kesenian, terutama pada wayang purwa. Bahkan pada masa pemerintahannya, beliau memerintahkan untuk menyalin kembali naskah Serat Dewa Ruci yang sarat akan kepemimpinan dan cita-cita yang luhur. Minat terhadap kesenian ini kemudian dilanjutkan oleh para penguasa Pura Mangkunegaran selanjutnya dengan semangat untuk terus mengembangkan kebudayaan Jawa, terutama pewayangan dan pedhalangan gagrag Mangkunegaran.

Petuah dan Wasiat KGPAA. Mangkunegara III[3][sunting | sunting sumber]

Selain memiliki minat pada kesenian Jawa, KGPAA. Mangkunegara III juga memiliki pemikiran filosofis yang dinamakan Panca Mutiara[4], berisikan lima sifat yang perlu dimiliki orang Jawa dan masih relevan hingga masa kini, antara lain :

  1. Temen, artinya bersungguh-sungguh.
  2. Mantep, artinya setia atau teguh.
  3. Gelem Nglakoni, artinya mau melakukan dan menerima konsekuensi.
  4. Aja Kagetan, artinya jangan mudah kaget atau terperanjat.
  5. Aja Gumunan, artinya jangan mudah heran.

Selain itu Panca Mutiara di atas, KGPAA. Mangkunegara III juga membuat suatu petuah yang sangat baik dan memberikan suatu gambaran bagaimana kerukunan bisa terjalin baik dalam keluarga dan selebihnya kepada masyarakat umumnya. Petuah tersebut dituangkan dalam bentuk tembang macapat Gambuh Wewarah Marang Kerukunan. Terdiri dari 3 bait sebagai berikut :

1. Lamun sirarsa rukun, lawan kadang sanak miwah karuh, hangluberna sih marma marang sasami, kang anom kudu miturut, kang tuwa wajib angemong.

Artinya : Jikalau dapat hidup rukun terhadap sanak saudara, agar supaya memberikan perhatian / cinta kasih terhadap sesama, yang muda hendaknya menurut (pada yang lebih tua), dan yang tua harus bisa merawat (memberi arahan).

2. Tegese ngemong iku, amot mengku anuju mrih sarju, aywa ladak ing ulat wuwus lan wengis, manis arum yen pitutur, hangungak wenganing batos.

Artinya : Maksud dari merawat itu mampu menampung supaya dapat menyenangkan hati orang, janganlah bermuka angkuh apalagi suka menghardik secara bengis, namun hendaknya manis dalam bertutur kata, agar hatinya dapat lebih terbuka.

3. Tegese kang miturut, nuting pangreh ing bener rahayu, eling-eling wong urip tan lawas lalis, den gayuh hayuning kayun, ywa tinggal ganda lir bosok.

Artinya : Maksud dari yang menurut adalah menuruti pemimpin yang benar dan selamat, harus selalu ingat bahwa orang hidup itu tidak lama dan akan mati, capailah mimpi yang menjadi tujuan, jangan hanya meninggalkan bau yang tidak sedap (tidak memiliki kebaikan).

TAMBAHAN :[sunting | sunting sumber]

Terdapat kemiripan namun tetap ada bedanya, antara gelar Adipati Pura Mangkunegaran dan Adipati Anom Karaton Kasunanan Surakarta.

Adipati Mangkunegaran bergelar : "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Amengkunegara Senapati ing Ayudha Sudibyaningprang".

Adipati Anom Karaton Kasunanan Surakarta bergelar : "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara Sudibya Rajaputra Narendra Mataram".

sumber : Pustaka Sri Radyalaksana[5] dan Serat Centhini[6].

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e Sumahatmaka et al. 1973. Pratelan Para Darah Dalem Soewargi Kangdjeng Goesti Pangeran Adipati Arja Mangkoenagara I hing Soerakarta Hadiningrat: Asalsilah Djilid I. Mangkunegaran. Surakarta.
  2. ^ "Jejak Sejarah Mataram". www.facebook.com. Diakses tanggal 2023-07-26. 
  3. ^ Serat Wasiat Dalem Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara III
  4. ^ Buku Pengetan Khol Tahunan Sri Mangkunegara III
  5. ^ "Pustaka Sri Radyalaksana, Prajaduta, 1939, #272 (Hlm. 001–103)". Sastra Jawa (dalam bahasa Jawa). Diakses tanggal 2023-07-22. 
  6. ^ "Cênthini, Kamajaya, 1985–91, #761 (Jilid 01: Pupuh 001–023)". Sastra Jawa (dalam bahasa Jawa). Diakses tanggal 2023-07-22. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Mangkunegara II
Raja Mangkunegaran
1835-1853
Diteruskan oleh:
Mangkunegara IV