Etnobiologi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Etnobiologi adalah studi ilmiah antardisiplin mengenai bagaimana makhluk hidup lain diperlakukan atau dipergunakan dalam berbagai macam kebudayaan manusia. Bidang ini mempelajari hubungan dinamis antara manusia, biota, dan lingkungan, dari masa lalu yang jauh hingga saat ini.[1] Interaksi "manusia-biota-lingkungan" di seluruh dunia didokumentasikan dan dipelajari dari masa ke masa, melintasi kebudayaan, dan melintasi disiplin ilmu guna mencari jawaban yang andal untuk dua pertanyaan 'penting': "Bagaimana umat manusia memanfaatkan alam? " dan "Bagaimana umat masyarakat manusia memandang alam?"[2]

Etnobiologi merupakan bidang kecil, padu, dan lebih spesifik yang berkembang dari kajian-kajian di etnobotani dan etnozoologi. Namun spektrum keilmiahannya mencakup berbagai pendekatan, dari studi budaya dan linguistik yang cermat hingga studi biologi yang teliti. Diujung spektrum linguistik, studi berfokus pada semantik: kosakata, konsep linguistik, makna dan simbol, serta seni dan agama. Spektrum tengah, di mana antropologi dan biologi menyatu, adalah studi tentang bagaimana orang benar-benar berpikir tentang penggunaan dan pengelolaan tanaman: etnomedis, produksi dan konsumsi pangan, dan etnoekologi. Lebih jauh ke biologi, tetapi masih menggunakan pendekatan antropologis, adalah bidang arkeologi; arkeozoologi dan arkeobotani, yang merekonstruksi kehidupan masa lalu dari data biotik.[3]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Awal mula[sunting | sunting sumber]

Studi Etnobiologi mendapatkan definisi resmi pertamanya dari etnobotanis Amerika Edward F. Castetter pada tahun 1944, dia menjelaskan Etnobiologi sebagai "...pemanfaatan kehidupan tumbuhan dan hewan oleh masyarakat primitif..." tujuannya adalah membangun integrasi antara dua studi etnosains yang berbasis keilmiahan biologi, etnobotani dan etnozoologi. Kedua studi tersebut telah dimulai tanpa nama pada peradaban kuno di Asia dan Lembah Mediterania, hal tersebut merupakan catatan pengamatan budaya “yang berbeda”, dari budaya urban, yang dilakukan oleh para penjelajah, para pedagang, dan para petugas pemerintah. Beberapa yang awal berada di Mesir, Tiongkok, dan India, terutama obat-obatan dan makanan nabati dan hewani.[3]

Ilustrasi durian dalam Herbarium Amboinense.

Saat masyarakat Eropa mulai melakukan penjajahan pada awal abad ke-15 hingga abad ke-19, mereka membawa serta para ilmuan biologi yang semakin tertarik dengan kearifan hayati lokal masyarakat di daerah jajahan. Kearifan hayati lokal, yang dikumpulkan dan diambil sampelnya selama abad-abad awal ini secara signifikan menginformasikan perkembangan awal biologi modern,[4] diantaranya:

  • Georg Eberhard Rumphius, pada abad ke-17 memanfaatkan kearifan hayati lokal dalam memproduksi katalognya, "Herbarium Amboinense", yang mencakup lebih dari 1.200 spesies tumbuhan di Indonesia;
  • Carolus Linnaeus 'Bapak Taksonomi Modern', pada abad ke-18 mengandalkan karya Rumphius, dan juga berkorespondensi dengan orang lain di seluruh dunia ketika mengembangkan skema klasifikasi biologis yang sekarang dikenal sebagai sistem taksonomi "Binomial Nomenklatur" dan mendasari pengaturan banyak akumulasi pengetahuan ilmu biologi;
  • Charles Darwin 'Bapak Teori Evolusi', pada abad ke-19 menaruh minat pada kearifan hayati lokal dari orang-orang yang ditemuinya dan mencatatnya dalam buku "Voyage of the Beagle".

Tahap I (1900-an - 1940-an)[sunting | sunting sumber]

Etnobiologi sebagai ilmu tersendiri baru muncul pada abad ke-20 sebagai bagian dari catatan yang kemudian dibuat mengenai bangsa asing dan budaya asing yang dikunjungi para ilmuan barat. Sebagai sebuah praktik, dia mendukung kegiatan lain ketika mendokumentasikan bahasa, cerita rakyat, dan penggunaan sumber daya alam masyarakat lokal.

'Tahap pertama' dalam pengembangan etnobiologi sebagai praktik masih memiliki tujuan pemanfaatan yang esensial, sering kali berfokus pada mengidentifikasi tanaman, hewan, dan teknologi 'asli' dari beberapa potensi penggunaan dan nilai dalam sistem ekonomi barat yang semakin dominan.[5]

Tahap II (1950-an- 1970-an)[sunting | sunting sumber]

Setelah perjalanan Tahap I, mulailah 'tahap kedua' dalam pengembangan 'etnobiologi', para peneliti mulai berusaha untuk lebih mendokumentasikan dan lebih memahami bagaimana masyarakat asing "mengkonseptualisasikan dan mengkategorikan" dunia alami di sekitar mereka.[5]

Fase 'kedua' ini ditandai dengan terbitnya beberapa karya ilmiah:

  • Di Amerika Utara (pertengahan 1950-an) dengan Harold Conklin menyelesaikan gelar doktornya dengan penelitian "Hubungan budaya Hanunóo dengan dunia tumbuhan";
  • Di Inggris (pertengahan 1960-an) dengan penerbitan buku Claude Lévi-Strauss, The Savage Mind yang melegitimasi "klasifikasi biologi folk" sebagai upaya penelitian lintas budaya yang layak;
  • Di Prancis (pertengahan 1970-an) dengan studi linguistik André-Georges Haudricourt tentang tata nama botani dan karya R. Porteres dan lainnya dalam biologi ekonomi.

Sekarang (1990-an - 2000-an)[sunting | sunting sumber]

Bersama pergantian abad ke-21, praktik, penelitian, dan temuan etnobiologi memiliki dampak dan pengaruh yang signifikan di sejumlah bidang penyelidikan biologi termasuk ekologi,[6] biologi konservasi,[7][8] studi pembangunan,[9] dan ekologi politik.[10]

Etnobiologi telah muncul dari tempatnya sebagai praktik tambahan di bawah bayang-bayang pengejaran inti lainnya, muncul sebagai keseluruhan bidang penyelidikan dan penelitian dalam dirinya sendiri: diajarkan di banyak institusi tersier dan program pendidikan di seluruh dunia;[5] dengan manual metodenya sendiri,[11] pembacanya sendiri, dan buku teksnya sendiri.

Subjek pemahaman[sunting | sunting sumber]

Penggunaan[sunting | sunting sumber]

Semua masyarakat memanfaatkan sumber hayati di mana pun mereka berada, tetapi ada perbedaan dalam hal penggunaan, karena didasari oleh kebutuhan yang dirasakan, teknologi yang tersedia, serta rasa moralitas dan keberlanjutan budaya. Ahli etnobiologi menyelidiki sumber hayati apa yang digunakan, untuk tujuan apa, teknik penggunaan tertentu, alasan memilih sumber hayati tersebut, dan implikasi simbolis dan spiritualnya.

Taksonomi[sunting | sunting sumber]

Masyarakat yang berbeda mengklasifikasikan sumber hayati mereka dengan cara yang berbeda pula. Ahli etnobiologi berusaha untuk mencatat kata-kata yang digunakan dalam budaya tertentu untuk makhluk hidup, dari istilah yang paling spesifik (analog dengan nama spesies dalam biologi Linnean) hingga istilah yang lebih umum (seperti 'pohon' dan bahkan lebih umum lagi 'tanaman'). Mereka juga mencoba untuk memahami keseluruhan struktur atau hierarki sistem klasifikasi (jika ada; ada perdebatan mengenai apakah harus selalu ada sebuah hierarki).[12]

Pemaknaan[sunting | sunting sumber]

Tatanan masyarakat menanamkan pemaknaan akan hidup dan dunia mereka pada pertanyaan seperti 'bagaimana dunia terbentuk?', 'mengapa manusia diciptakan?', 'mana cara melakukan yang lebih tepat dan mengapa?', dan 'apa realitas ada di luar atau di belakang pengalaman fisik kita?'. Memahami pemaknaan kosmologi, moralitas, atau spiritualitas dari perspektif masyarakat adalah penting untuk penelitian budaya secara umum, dan ahli etnobiologi menyelidiki bagaimana pandangan masyarakat tentang dunia alami memberi tahu dan diinformasikan oleh mereka.

Kearifan hayati lokal[sunting | sunting sumber]

Agar dapat hidup secara efektif di suatu tempat, suatu masyarakat memahami hal-hal dari lingkungan, dan banyak masyarakat tradisional memiliki pemahaman yang kompleks dan bijak tentang tempat di mana mereka tinggal. Ahli etnobiologi berusaha untuk berbagi pemahaman tersebut, tunduk pada masalah etika mengenai kekayaan intelektual dan perampasan budaya.

Cabang keilmuan[sunting | sunting sumber]

Etnobotani[sunting | sunting sumber]

Etnobotani menyelidiki hubungan antara masyarakat dan tumbuhan: bagaimana manusia menggunakan tumbuhan–sebagai makanan, teknologi, obat-obatan, dan dalam konteks ritual; bagaimana manusia memandang dan memahaminya; dan peran simbolis dan spiritual mereka dalam suatu budaya.

Etnozoologi[sunting | sunting sumber]

Etnozoologi berfokus pada hubungan antara hewan dan manusia sepanjang sejarah manusia. Ini mempelajari praktik manusia seperti berburu, memancing dan peternakan dalam ruang dan waktu, dan perspektif manusia tentang hewan seperti tempat mereka di alam moral dan spiritual.

Etnoekologi[sunting | sunting sumber]

Etnoekologi mengacu pada paradigma penelitian 'etnobiologis' yang semakin dominan yang berfokus, terutama, pada pendokumentasian, penggambaran, dan pemahaman bagaimana orang lain memandang, mengelola, dan menggunakan keseluruhan ekosistem.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "What is Ethnobiology? | Society of Ethnobiology". ethnobiology.org. Diakses tanggal 2022-03-28. 
  2. ^ Berlin, Brent (1992). Ethnobiological classification : principles of categorization of plants and animals in traditional societies. Princeton, N.J.: Princeton University Press. hlm. 4. ISBN 0-691-09469-1. OCLC 24067509. 
  3. ^ a b Ethnobiology. E. N. Anderson, Deborah M. Pearsall, Eugene S. Hunn, Nancy J. Turner. Hoboken, N.J. 2011. ISBN 978-1-118-01585-8. OCLC 754717779. 
  4. ^ Local science vs. global science : approaches to indigenous knowledge in international development. Paul Sillitoe. New York. 2007. ISBN 978-1-78238-210-2. OCLC 860712105. 
  5. ^ a b c Ethnobiology and the science of humankind. R. F. Ellen, Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. Oxford: Blackwell. 2006. ISBN 1-4051-4589-7. OCLC 74519782. 
  6. ^ Ethnobotany : evolution of a discipline. Richard Evans Schultes, Siri Von Reis. Portland, Or.: Dioscorides Press. 1995. ISBN 0-931146-28-3. OCLC 30357640. 
  7. ^ O’Neill, Alexander R.; Badola, Hemant K.; Dhyani, Pitamber P.; Rana, Santosh K. (2017-03-29). "Integrating ethnobiological knowledge into biodiversity conservation in the Eastern Himalayas". Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine. 13 (1): 21. doi:10.1186/s13002-017-0148-9. ISSN 1746-4269. PMC 5372287alt=Dapat diakses gratis. PMID 28356115. 
  8. ^ Tuxill, John D. (2001). People, plants, and protected areas : a guide to in situ management. Gary Paul Nabhan, World Wide Fund for Nature, Unesco, Kew Royal Botanic Gardens. London: Earthscan. ISBN 1-85383-782-2. OCLC 45854332. 
  9. ^ The cultural dimension of development : indigenous knowledge systems. Dennis M. Warren, L. J. Slikkerveer, David Brokensha, Wim Dechering. London: Intermediate Technology Publications. 1995. ISBN 1-85339-264-2. OCLC 59818080. 
  10. ^ Political ecology : an integrative approach to geography and environment-development studies. Karl S. Zimmerer, Thomas J. Bassett. New York: Guilford Press. 2003. ISBN 1-57230-916-4. OCLC 52728954. 
  11. ^ Methods and techniques in ethnobiology and ethnoecology. Ulysses Paulino de Albuquerque. New York, NY. 2014. ISBN 978-1-4614-8636-7. OCLC 868297260. 
  12. ^ Understanding witchcraft and sorcery in Southeast Asia. C. W. Watson, R. F. Ellen, Canterbury International Symposium on Southeast Asian Studies. Honolulu: University of Hawaii Press. 1993. ISBN 0-8248-1515-7. OCLC 28338230.