Kearifan lokal

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal biasanya diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut. Kearifan lokal ada di dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu, dan permainan rakyat. Kearifan lokal sebagai suatu pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal tertentu melalui kumpulan pengalaman dalam mencoba dan diintegrasikan dengan pemahaman terhadap budaya dan keadaan alam suatu tempat.[1][2][3]

Beberapa Bentuk Kearifan Lokal di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Indonesia memiliki berbagai macam kearifan lokal yang sangat berperan strategis dalam membangun peradaban suatu masyarakat. Bentuk kearifan lokal ini diantaranya dapat dilihat dalam bentuk sebagai berikut.

  1. Motif Batik Parang memiliki makna petuah untuk tidak pernah menyerah. Hal ini terlihat dari motifnya yang berisi jalunan yang tidak terputus.
    Kearifan lokal dalam karya-karya masyarakat, bentuk kearifakan lokal seperti ini misalnya dapat kita temui dalam seni batik yang motifnya tidak hanya indah, tetapi juga menyimpan makna yang mendalam dalam tiap motifnya.
  2. Kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam, bentuk kearifan lokal seperti ini dapat kita jumpai dalam konsep Tana' Ulen pada masyarakat Dayak di Kalimantan. Pada wilayah Tana' Ulen, penduduk dilarang menebang pohon, membakar hutan, membuat ladang , serta melakukan aktivitas lain yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.
  3. Kearifan lokal dalam bidang pertanian , bentuk kearifan lokal seperti ini dapat kita temui dalam sistem pertanian Nyabuk Gunung di daerah Jawa . Sistem pertanian ini dilakukan di dataran tinggi tanpa harus mengubah kontur tanah. Jadi ketika lahan diubah menjadi area pertanian, kontur tanah tetap dipertahankan sebagaimana aslinya.[4]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ahmad Baedowi (2 Maret 2015). Calak Edu 4: Esai-esai Pendidikan 2012-2014. Pustaka Alvabet. hlm. 61. ISBN 978-602-9193-65-7. Diakses tanggal 2 April 2016. 
  2. ^ A.S.Padmanugraha, ‘Common Sense Outlook on Local Wisdom and Identity: A Contemporary Javanese Natives’ Experience’ Paper Presented in International Conference on “Local Wisdom for Character Building”, (Yogyakarta: 2010), h. 12
  3. ^ Damanik, Rado (2018-09-01). "Membangun Manajemen Kearifan Lokal (Studi pada Kearifan Lokal Orang Banjar)". Jurnal Riset Inspirasi Manajemen dan Kewirausahaan. 2 (2): 120–129. doi:10.35130/jrimk.v2i2.33. ISSN 2623-1077. 
  4. ^ Maryati, Kun,. Sosiologi : Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial untuk SMA/MA. 3, [Schülerband] Kelas XII. Suryawati, Juju, (edisi ke-Kurikulum 2013, Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah). Jakarta. ISBN 978-602-254-135-6. OCLC 958874412. , hlm. 132-133: Motif Batik Parang memiliki makna petuah untuk tidak pernah menyerah. Hal ini terlihat dari motifnya yang berisi jalunan yang tidak terputus.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]