Majapahit: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 754: Baris 754:


=== Daftar pustaka ===
=== Daftar pustaka ===
* {{Cite book |last=Hall |first=D.G.E. |title=A History of South-East Asia |publisher=The Macmillan Press Ltd |year=1981 |isbn=978-1-349-16521-6 |edition=4th |location=London}}
* {{cite book |last=Komandoko |first=Gamal |title=Gajah Mada: menangkis ancaman pemberontakan Ra Kuti: kisah ketangguhan seorang patih Majapahit dalam menjaga keutuhan takhta sang raja |publisher=Penerbit Narasi |language=Indonesia|year=2009 |page=122|ref=harvnb |isbn=978-979-164-145-2 |url=http://books.google.co.id/books?id=8oeCIXs8sjkC&pg=PA16&dq=Berdiri+Majapahit&hl=id&sa=X&ei=zCnhT_OmLdHRrQer8sTODg&ved=0CF4QuwUwCDgK#v=onepage&q=Berdiri%20Majapahit&f=false}}
* {{cite book |last=Komandoko |first=Gamal |title=Gajah Mada: menangkis ancaman pemberontakan Ra Kuti: kisah ketangguhan seorang patih Majapahit dalam menjaga keutuhan takhta sang raja |publisher=Penerbit Narasi |language=Indonesia|year=2009 |page=122|ref=harvnb |isbn=978-979-164-145-2 |url=http://books.google.co.id/books?id=8oeCIXs8sjkC&pg=PA16&dq=Berdiri+Majapahit&hl=id&sa=X&ei=zCnhT_OmLdHRrQer8sTODg&ved=0CF4QuwUwCDgK#v=onepage&q=Berdiri%20Majapahit&f=false}}
* {{Cite book |last=Muljana |first=Raden Benedictus Slamet |title=Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit |year=2005 |editor-last1=Al-Fayyadl |editor-first1=Muhammad |location=Yogyakarta |publisher=LKiS Pelangi Aksara}}
* {{cite book |last=Mulyana |first=Slamet |title=Tafsir sejarah nagarakretagama |publisher=PT LKiS Pelangi Aksara |language=Indonesia|year=2006 |pages=122|ref=harvnb|isbn=978-979-2552-546|url=http://books.google.co.id/books?id=ZdZNN4iMab0C&pg=PA121&dq=sejarah+sumenep&hl=id&sa=X&ei=rnbgT5SnEobUrQewq732DA&ved=0CF8Q6AEwCA#v=onepage&q&f=false}}
* {{cite book |last=Mulyana |first=Slamet |title=Tafsir sejarah nagarakretagama |publisher=PT LKiS Pelangi Aksara |language=Indonesia|year=2006 |pages=122|ref=harvnb|isbn=978-979-2552-546|url=http://books.google.co.id/books?id=ZdZNN4iMab0C&pg=PA121&dq=sejarah+sumenep&hl=id&sa=X&ei=rnbgT5SnEobUrQewq732DA&ved=0CF8Q6AEwCA#v=onepage&q&f=false}}
* {{citation|first=Irawan Djoko |last=Nugroho |title=Meluruskan Sejarah Majapahit |publisher=Ragam Media |year=2009}}
* {{Cite book |last=Nugroho |first=Irawan Djoko |title=Meluruskan Sejarah Majapahit |year=2009 |publisher=Ragam Media}}
* {{citation|first=Irawan Djoko |last=Nugroho |title=Majapahit Peradaban Maritim |publisher=Suluh Nuswantara Bakti |year=2011 |isbn=978-602-9346-00-8}}
* {{Cite book |last=Nugroho |first=Irawan Djoko |title=Majapahit Peradaban Maritim |year=2011 |publisher=Suluh Nuswantara Bakti |isbn=978-602-9346-00-8}}
* {{Cite book |last=Pigeaud |first=Theodoor Gautier Thomas |title=Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume I: Javanese Texts in Transcription |year=1960a |edition=3rd (revised) |location=The Hague |publisher=Martinus Nijhoff}}
* {{Cite book |last=Pigeaud |first=Theodoor Gautier Thomas |title=Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume II: Notes on the Texts and the Translations |year=1960b |edition=3rd (revised) |location=The Hague |publisher=Martinus Nijhoff |isbn=978-94-011-8774-9}}
* {{Cite book |last=Pigeaud |first=Theodoor Gautier Thomas |title=Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume III: Translations |year=1960c |edition=3rd (revised) |location=The Hague |publisher=Martinus Nijhoff |isbn=978-94-011-8772-5}}
* {{Cite book |last=Pigeaud |first=Theodoor Gautier Thomas |title=Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume IV: Commentaries and Recapitulations |year=1962 |edition=3rd (revised) |location=The Hague |publisher=Martinus Nijhoff |isbn=978-94-017-7133-7}}
* {{Cite book |last=Pigeaud |first=Theodoor Gautier Thomas |title=Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume V: Glossary, General Index |year=1963 |edition=3rd (revised) |location=The Hague |publisher=Martinus Nijhoff |isbn=978-94-011-8778-7}}
* {{Cite book |last=Prapanca |first=Mpu |title=Kakawin Nagarakertagama: Teks Asli dan Terjemahan |year=2018 |editor=Isidora |edition=2nd (revised) |location=Yogyakarta |publisher=Narasi |isbn=978-979-168-553-5 |translator-last1=Saktiani |translator-first1=Damaika |translator-last2=Widya |translator-first2=Kartika |translator-last3=Aminullah |translator-first3=Zakaria Pamuji |translator-last4=Marginingrum |translator-first4=Novi |translator-last5=Septi |translator-first5=Neda}}


== Pranala luar ==
== Pranala luar ==

Revisi per 17 Oktober 2022 22.48

Kemaharajaan Majapahit

ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦩꦗꦥꦲꦶꦠ꧀ (Jawa)
ᬧ᭄ᬭᬚᬫᬚᬧᬳᬶᬢ᭄ (Bali)
ᮊᮛᮏᮃᮔ᮪ᮙᮏᮕᮠᮤᮒ᮪ (Sunda)
滿者伯夷王國 (Mandarin)
1293–1527
Peta wilayah kekuasaan Majapahit berdasarkan Nagarakertagama[1]
Peta wilayah kekuasaan Majapahit berdasarkan Nagarakertagama[1]
StatusKemaharajaan
Ibu kotaTarik, Sidoarjo (masa Raden Wijaya)
Bahasa yang umum digunakanJawa Kuno (utama), Kawi (alternatif), Sanskerta
Agama
Siwa-Buddha (Hindu dan Buddha), Kapitayan, Animisme
PemerintahanMonarki
Sri Maharaja 
• 1293–1309
Raden Wijaya
• 1309–1328
Jayanagara
• 1328–1350
Tribhuwana Wijayatunggadewi
• 1350–1389
Hayam Wuruk
• 1389–1429
Wikramawardhana
• 1429–1447
Suhita
• 1447–1451
Kertawijaya
• 1451–1453
Rajasawardhana
• 1456–1466
Girishawardhana
• 1466–1468
Suraprabhawa
• 1474–1498
Girindrawardhana
Sejarah 
• Penobatan Raden Wijaya
10 November 1293
1334
1357
1404–1406
• Dibawah kekuasaan Bhre Kertabhumi
1468–1474
• Invasi Kesultanan Demak
1518– 1527
Mata uangKoin emas, koin perak, koin kepeng, koin gobog
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Tumapel
krjKerajaan
Melayu
krjKerajaan
Kutai
krjKerajaan
Singapura
kslKesultanan
Samudera Pasai
krjKerajaan
Bali
krjKerajaan
Tanjungpura
kslKesultanan
Demak
krjKerajaan
Blambangan
kslKesultanan
Malaka
kslKesultanan
Pagaruyung
kslKesultanan
Makassar
kslKesultanan
Bima
kslKesultanan
Ternate
kslKesultanan
Tidore
ksrKekaisaran
Brunei
kslKesultanan
Kutai
kslKesultanan
Aceh
Sekarang bagian dari Indonesia
 Malaysia
 Singapura
 Brunei Darussalam
 Timor Leste
 Filipina
 Kamboja
  1. ^ Merah putih adalah warna kebesaran yang digunakan Majapahit. Bagaimana warna itu digunakan oleh Majapahit masih dipertentangkan, lihat artikel terkait untuk keterangannya.
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Majapahit (Sanskerta: Wilwatikta)[Catatan 1] adalah sebuah kemaharajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah berdiri sekitar tahun 1293-1527 M. Kemaharajaan ini didirikan oleh Raden Wijaya menantu Kertanagara, raja di raja Singhasari terakhir, dan mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa kekuasaan raja Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350-1389.

Kemaharajaan Majapahit adalah kemaharajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai monarki terbesar dalam sejarah Indonesia.[2] Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang dari Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Filipina (Kepulauan Sulu, Manila (Saludung), Sulawesi, Papua, dan lainnya.[3]

Historiografi

Sejarah mengenai kemaharajaan Majapahit masih menjadi salah satu subjek penelitian yang menarik untuk dibahas dan ditelusuri lebih jauh lagi.[4][5] Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan diantaranya adalah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno.[6] Pararaton menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Kakawin Nagarakretagama pada tahun 2008 diakui sebagai bagian dalam Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World Programme) oleh UNESCO.[7] Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.[8]

Beberapa sarjana seperti C.C. Berg menganggap sebagian naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan.[9] Namun, banyak pula sarjana yang beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang cukup meyakinkan.[5] Pada tahun 2010, sekelompok pengusaha Jepang dipimpin Takajo Yoshiaki membiayai pembuatan kapal Majapahit atau Spirit of Majapahit yang akan berlayar ke Asia. Menurut Takajo, hal ini dilakukan untuk mengenang kerjasama Majapahit dan Kerajaan Jepang melawan Kerajaan China (Mongol) dalam perang di Samudera Pasifik.[10] Menurut Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore John N. Miksic, jangkauan kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra dan Singapura bahkan Thailand yang dibuktikan dengan pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni.[11] Bahkan ada perguruan silat bernama Kali Majapahit yang populer di Filipina dengan anggotanya dari Asia dan Amerika. Silat Kali Majapahit ini mengklaim berakar dari Kemaharajaan Majapahit kuno yang disebut menguasai Filipina, Singapura, Malaysia dan Selatan Thailand.[12]

Sejarah

Pendirian

Arca Harihara (paduan Siwa dan Wisnu) perwujudan Kertarajasa dari Candi Simping, Blitar, kini koleksi Museum Nasional.

Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi[13] ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya.[13][14] Kubilai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.

Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha, yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang.[15] Jawaban dari surat di atas disambut dengan senang hati.[15] Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing.[16][17] Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.

Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang tepercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut disebutkan dalam Pararaton.[18] Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati.[17] Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.

Putra dan penerus Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.

Puncak Kejayaan

Perkembangan Kemaharajaan Majapahit, bermula di Trowulan, Majapahit, Jawa Timur, pada abad ke-13, kemudian mengembangkan pengaruhnya atas kepulauan Nusantara, hingga surut dan runtuh pada awal abad ke-16.

Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350–1389) dengan Mahapatih Gajah Mada (?–1364), Majapahit mencapai puncak kejayaannya.

Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII–XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina.[19] Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.

Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi (Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya.[20]

Pihak Sunda menganggap lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta keluarga dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan, keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara kejam.[21] Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk redam melakukan "bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya.[22]

Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam naskah Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian di Bali dan juga naskah Carita Parahiyangan. Kisah ini disinggung dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam Nagarakretagama.

Pada tahun 1377,[Catatan 2] beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang.[23]

Kemunduran

Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Kematian Hayam Wuruk dan adanya konflik perebutan takhta menyebabkan daerah-daerah Majapahit di bagian utara Sumatra dan Semenanjung Malaya memerdekakan diri, dimana semenanjung Malaya menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Ayutthaya hingga nantinya muncul Kesultanan Melaka yang didukung oleh Dinasti Ming.[24]

Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta.[5] Perang saudara yang disebut Perang Regreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405–1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana, sementara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dihukum mati. Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas wilayah-wilayah taklukannya di daerah-daerah lain.

Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.[25]

Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara.[26] Di bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatra. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri.

Pada masa pemerintahan Wikramawardhana, daerah kekuasaan Majapahit di pulau Sumatra hanya tinggal Indragiri, Jambi dan Palembang, sebagaimana ditulis pada catatan Yingyai Shenglan ciptaan Ma Huan, salah satu penerjemah laksamana Cheng Ho. Dan setelah kematian Wikramawardhana dan masa pemerintahan penerusnya, daerah Indragiri diberikan kepada Mansur Syah dari Malaka sebagai hadiah pernikahannya dengan putri Majapahit, yang semakin mengurangi kendali Majapahit di Sumatra.

Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua Bhre Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 M.

Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan tahta antara putra Rajasawardhana dengan Girisawardhana, adik Rajasawardhana, putra Kertawijaya. Girishawardhana menang dan naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh Suraprabhawa (Singhawikramawardhana), adiknya, anak bungsu Kertawijaya.

Kemudian pada tahun 1468, Bhre Kertabhumi putra bungsu Rajasawardhana memberontak terhadap Singhawikramawardhana.[8] Setelah mengalami kekalahan dalam perebutan kekuasaan dengan Bhre Kertabumi, Singhawikramawardhana melarikan diri ke pedalaman di daerah Keling, Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri). Setelah Singhawikramawardhana meninggal, ia digantikan oleh putranya Ranawijaya.

Pada 1474, Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dengan memanfaatkan ketidakpuasan umat Hindu dan Budha atas kebijakan Bhre Kertabumi serta mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Hal ini diperkuat oleh prasasti Trailokyapuri (Jiyu) dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa pada tahun 1474, ia telah mengalahkan Kertabhumi [27] Ranawijaya kemudian memindahkan ibukota Majapahit ke Daha dan memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1498 dengan gelar Girindrawardhana hingga ia digantikan oleh Patih Udara. Akibat konflik dinasti ini, Majapahit menjadi lemah dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan Demak.

Keruntuhan

Kekalahan Bhre Kertabhumi dari Ranawijaya pada tahun 1474, memicu perang antara Kerajaan Majapahit dengan Demak, karena Demak sudah menjadi penguasa pesisir Jawa yang dominan, dan mereka mengambil alih daerah Jambi dan Palembang dari kekuasaan Majapahit[28](hlm.154-155) yang telah terpukul dan berfokus di pedalaman pulau Jawa.

Konon, waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka,[Catatan 3] berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan) hingga tahun 1527.[29]:36 Tetapi dalam tradisi Jawa yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala atau kronogram tersebut adalah wafatnya Bhre Kertabhumi pada tahun 1478.[27]

Sebenarnya perang Majapahit-Demak ini sudah mulai mereda ketika Patih Udara menggantikan Girindrawardhana dan mengakui kekuasan Demak, tetapi peperangan berkecamuk kembali ketika Patih Udara meminta bantuan Portugis untuk mengalahkan Demak. Sehingga pada tahun 1527, Demak melakukan serangan ke Daha yang mengakhiri sejarah Majapahit.[29]:54-55

Dengan jatuhnya ibukota Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, pada awal abad ke-16 kekuatan kerajaan Demak akhirnya mengalahkan sisa-sisa Majapahit dan menjadi akhir dari Kerajaan Majapahit.[30] Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tomé Pires), dan Italia (Antonio Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Pati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.[27] Sisa-sisa keluarga Majapahit keturunan Girindrawardhana kemudian melarikan diri ke daerah Panarukan, Blambangan (sekarang daerah Kabupaten Banyuwangi). Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi kepulau Bali.

Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Pasuruan, Panarukan, Blambangan di ujung timur,[31]:7 serta Kerajaan Sunda yang beribu kota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.

Militer

Pada zaman Majapahit terjadi perkembangan, pelestarian, dan penyebaran teknik pembuatan keris. Teknik pembuatan keris mengalami penghalusan dan pemilihan bahan menjadi semakin selektif. Keris pra-Majapahit dikenal berat namun semenjak masa ini dan seterusnya, bilah keris yang ringan tetapi kuat menjadi petunjuk kualitas sebuah keris. Penggunaan keris sebagai tanda kebesaran kalangan aristokrat juga berkembang pada masa ini dan meluas ke berbagai penjuru Nusantara, terutama di bagian barat.

Tentara Majapahit dibagi menjadi 2 jenis utama, yaitu prajurit (pasukan profesional) dan pasukan wajib militer yang diambil dari petani. Senjata utamanya adalah tombak.[32]:84–85, 130 Kavaleri ada dalam jumlah terbatas, mereka digunakan untuk pengintaian dan patroli, mungkin dipersenjatai dengan tombak.[32]:90, 94 Setelah serangan Mongol, penggunaan kuda semakin meluas terutama untuk perang.[33]:12–13 Kereta perang digunakan untuk mengangkut para prajurit ke medan perang.[32]:96 Gajah perang digunakan terutama untuk transportasi, atau sebagai tunggangan untuk bangsawan dan tentara berpangkat lebih tinggi.[32]:101

Senjata mesiu yang digunakan oleh Majapahit:
  • Cetbang berjenis meriam tangan, ditemukan di sungai Brantas, Jombang.
  • Sebuah cetbang berlaras ganda di atas pedati meriam (gun carriage), dengan garpu putar, sekitar tahun 1522. Mulut meriam berbentuk Nāga Jawa.

Selain keris, berkembang pula teknik pembuatan dan penggunaan tombak dan meriam kapal sederhana yang disebut cetbang. Majapahit di bawah Mahapatih (perdana menteri) Gajah Mada memanfaatkan teknologi senjata bubuk mesiu yang diperoleh dari dinasti Yuan untuk digunakan dalam armada laut.[34]:57 Cetbang awal (disebut cetbang bergaya timur) bentuknya mirip meriam dan meriam tangan Cina. Cetbang bergaya timur kebanyakan dibuat dari bahan perunggu dan merupakan meriam isian depan. Ia menembakkan proyektil berupa panah, namun peluru bulat dan proyektil co-viative[Catatan 4] juga dapat digunakan. Panah ini dapat berujung pejal tanpa peledak, maupun disertai bahan peledak dan pembakar di belakang ujungnya. Di bagian dekat belakang, terdapat kamar atau bilik bakar, yang merujuk kepada bagian yang menggelembung dekat belakang meriam, dimana mesiu ditempatkan. Cetbang ini dipasang pada dudukan tetap, ataupun sebagai meriam tangan yang diletakkan di ujung galah. Ada bagian mirip tabung di bagian belakang meriam. Pada cetbang jenis meriam tangan, tabung ini digunakan sebagai tempat untuk menancapkan galah.[35]:94

Karena dekatnya hubungan maritim Nusantara dengan wilayah India Barat, setelah tahun 1460 jenis senjata bubuk mesiu baru masuk ke Nusantara melalui perantara orang Arab. Senjata ini sepertinya adalah meriam dan bedil tradisi Turki Usmani, misalnya prangi, yang merupakan meriam putar isian belakang.[35]:94-95 Ia menghasilkan cetbang jenis baru, disebut "cetbang bergaya barat". Ia dapat dipasang sebagai meriam tetap atau meriam putar, yang kecil dapat dengan mudah dipasang di kapal-kapal kecil. Meriam ini dipergunakan sebagai senjata anti personil, bukan anti kapal. Pada zaman ini, bahkan sampai abad ke-17, prajurit angkatan laut Nusantara bertempur di panggung yang biasa disebut balai. Ditembakan pada kumpulan prajurit dengan peluru scattershot (peluru sebar atau peluru gotri, dapat berupa grapeshot, case shot, atau paku dan batu), cetbang sangat efektif untuk pertempuran jenis ini.[36]:241[37]:162

Majapahit memiliki pasukan elit yang disebut Bhayangkara. Tugas utama pasukan ini adalah untuk melindung raja dan kaum bangsawan, namun mereka juga dapat diterjunkan ke pertempuran jika diperlukan. Hikayat Banjar mencatat perlengkapan Bhayangkara di istana Majapahit:

Maka kaluar dangan parhiasannya orang barbaju-rantai ampat puluh sarta padangnya barkupiah taranggos sakhlat merah, orang mambawa astenggar [senapan sundut] ampat puluh, orang mambawa parisai sarta padangnya ampat puluh, orang mambawa dadap [sejenis perisai][Catatan 5] sarta sodoknya [senjata mirip tombak dengan mata lebar][Catatan 6] sapuluh, orang mambawa panah sarta anaknya sapuluh, yang mambawa tumbak parampukan[Catatan 7] barsulam amas ampat puluh, yang mambawa tameng Bali bartulis air mas ampat puluh.
— Hikayat Banjar, 6.3[38]:Baris 1209–1214[39]:204–205

Prajurit yang lebih kaya menggunakan baju pelindung yang disebut kawaca.[Catatan 8][32]:78 Menurut Irawan Djoko Nugroho, baju pelindung ini mungkin berbentuk seperti tabung panjang dan terbuat dari tembaga yang dicetak.[39]:202, 386 Sebaliknya, infanteri biasa mengenakan zirah sisik yang disebut siping-siping.[32]:75, 78, 79 Jenis baju zirah lain yang digunakan di Jawa era Majapahit adalah waju rante (zirah rantai) dan karambalangan (lapisan logam yang dikenakan di depan dada).[39]:202[40][41][42]:111-113 Dalam Kidung Sunda pupuh 2 bait 85 dijelaskan bahwa mantri-mantri (menteri atau perwira) Gajah Mada mengenakan baju besi dalam bentuk zirah rantai atau plastron dengan hiasan emas dan mengenakan pakaian kuning,[43]:103 sedangkan dalam Kidung Sundayana pupuh 1 bait 95 disebutkan bahwa Gajah Mada mengenakan karambalangan berhias timbul dari emas, bersenjata tombak berlapis emas, dan perisai penuh dengan hiasan dari intan berlian.[40][41]

Majapahit juga mengawali penggunaan senjata api di Nusantara. Meskipun pengetahuan membuat senjata berbasis serbuk mesiu di Nusantara sudah dikenal setelah serangan Mongol ke Jawa, dan pendahulu senjata api, yaitu meriam galah (bedil tombak), dicatat digunakan oleh Jawa pada tahun 1413,[36]:245[44] pengetahuan membuat senjata api sejati datang jauh kemudian, setelah pertengahan abad ke-15. Ia dibawa oleh negara-negara Islam di Asia Barat, kemungkinan besar oleh orang Arab. Tahun pengenalan yang tepat tidak diketahui, tetapi dapat dengan aman disimpulkan tidak lebih awal dari tahun 1460.[45]:23

Catatan Tome Pires tahun 1513 menyebutkan pasukan tentara Gusti Pati (Patih Udara), wakil raja Batara Vojyaya (mungkin Brawijaya atau Ranawijaya), berjumlah 200.000 orang, 2.000 diantaranya adalah prajurit berkuda dan 4.000 adalah musketir.[28]:175-176 Duarte Barbosa sekitar tahun 1514 mengatakan bahwa penduduk Jawa sangat ahli dalam membuat artileri dan merupakan penembak artileri yang baik. Mereka membuat banyak meriam 1 pon (cetbang atau rentaka), senapan lontak panjang, spingarde (arquebus), schioppi (meriam tangan), api Yunani, gun (bedil besar atau meriam), dan senjata api atau kembang api lainnya.[46]:198[47]:224 Setiap tempat disana dianggap sangat baik dalam mencetak/mengecor artileri, dan juga dalam ilmu penggunaanya.[46]:198[48]:254

Relief di candi Penataran.

Kavaleri sejati pertama, unit terorganisir dari penunggang kuda yang kooperatif, mungkin telah muncul di Jawa selama abad ke-12 M.[49] Naskah Jawa kuno kakawin Bhomāntaka menyebutkan kisah kuda Jawa awal dan sejarah menunggang kuda.[50]:436 Naskah tersebut mungkin mencerminkan konflik (secara alegoris) antara kavaleri Jawa yang baru jadi dan infanteri elit mapan yang membentuk inti dari pasukan Jawa sampai abad ke-12.[51]:113 Pada abad ke-14 M, Jawa menjadi peternak kuda yang penting dan pulau ini bahkan terdaftar di antara pemasok kuda ke Cina.[52]:208 Selama masa Majapahit, jumlah kuda dan kualitas kuda keturunan Jawa terus berkembang sehingga pada tahun 1513 masehi Tomé Pires memuji kuda-kuda yang sangat dihiasi dari bangsawan Jawa, dilengkapi dengan sanggurdi bertatahkan emas dan pelana yang dihiasi dengan mewah yang "tidak ditemukan di tempat lain di dunia".[28]:174-175[53]:196–197 Kuda poni Sumbawa tampaknya berasal dari kuda domestikasi Jawa yang diperkenalkan oleh Majapahit sejak abad ke-14 M.[54]:52–53

Majapahit memiliki pasukan angkatan laut yang berbeda dengan satuan pasukan darat, yang disebut wwang jaladhi. Pasukan laut mendapat perlakuan istimewa dalam hal fasilitas. Personel angkatan laut Majapahit Majapahit berjumlah besar, sebagaimana dicatat Nagarakretagama pupuh 16 bait 5:[39]:178-179[55]:281

irika tang anyabhumi sakhahemban ing Yawapuri, (Kemudian Anyabhumi [tanah-tanah lain] di mana saja semuanya disatukan di kerajaan Jawa,)

amateh i sajna sang nrpati khapwa satya ring ulah, (mematuhi setiap perintah dari sang raja. Semuanya setia dalam sikap,)

pituwi sing ajñalanghyana dinon wiśirnna sahana, (kendati ada para pelanggar perjanjian, mereka diserang oleh tentara yang dikirim ke luar negeri dan dihancurkan semuanya,)

tekap ikang watek jaladhi mantry aneka suyaśa. (dengan pekerjaan itu, kelompok mantri jaladhi [perwira angkatan laut] berjumlah banyak, agung.)

Prajurit dan perlengkapannya sebagaimana digambarkan di candi Penataran.

Untuk angkatan laut, armada Majapahit menggunakan jong secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya. Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah total jong yang dimiliki Majapahit, tetapi jumlah terbesar yang pernah digunakan dalam satu ekspedisi adalah berjumlah 400 buah, tepatnya saat Majapahit menyerang Pasai.[56] Setiap kapal berukuran panjang keseluruhan sekitar 28.99–88.56 meter, berat mati (deadweight) sekitar 100–2000 ton dan dapat membawa 50–1000 orang. Sebuah jong dari tahun 1420 hampir saja menyeberangi samudera Atlantik.[57] Jenis jong besar sembilan tingkat yang tercatat di Kidung Panji Wijayakrama-Rangga Lawe (sekitar 1334) disebut jong sasangawangunan, ia membawa 1000 prajurit dengan layar merah.[58]:91 Jong yang umum digunakan oleh Majapahit rata-ratanya dapat membawa 600–700 orang, berbobot mati 1200–1400 ton, dengan panjang keseluruhan sekitar 76,18–79,81 m.[59]:60-62 Sebelum tragedi Bubat tahun 1357, raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut Jawa dalam armada dengan 200 kapal besar dan 2000 kapal yang lebih kecil.[43]:16-17, 76-77 Kapal yang dinaiki keluarga kerajaan adalah sebuah jong hibrida Cina-Asia tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno: Jong sasanga wangunan ring Tatarnagari tiniru). Kapal hibrida ini mencampurkan teknik China dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan sekat kedap air (watertight bulkhead), dan penambahan kemudi sentral.[60]:270[61]:272-276 Jenis kapal lain yang digunakan Majapahit adalah malangbang, kelulus, jongkong, cerucuh, tongkang, dan pelang.[56][62][63] Pada abad ke-16 lancaran dan penjajap juga digunakan.[28]:195[64]:282 Penggambaran angkatan laut Majapahit pada masa modern sering kali menggambarkan kapal-kapal bercadik, namun pada kenyataannya kapal ini berasal dari abad ke-8 yaitu kapal Borobudur, yang digunakan dinasti Sailendra. Penelitian oleh Nugroho menyimpulkan bahwa jenis kapal utama yang digunakan oleh Majapahit tidak menggunakan cadik, dan menggunakan ukiran Borobudur sebagai dasar rekonstruksi kapal Majapahit adalah salah.[39]:266-267[65]

Penjelajahan dan navigasi

Selama era Majapahit penjelajahan orang-orang Nusantara mencapai prestasi terbesarnya. Ludovico di Varthema (1470–1517), dalam bukunya Itinerario de Ludouico de Varthema Bolognese menyatakan bahwa orang Jawa Selatan berlayar ke "negeri jauh di selatan" hingga mereka tiba di sebuah pulau di mana satu hari hanya berlangsung selama empat jam dan "lebih dingin daripada di bagian dunia mana pun". Penelitian modern telah menentukan bahwa tempat tersebut terletak setidaknya 900 mil laut (1666 km) selatan dari titik paling selatan Tasmania.[66]:248-251

Orang Jawa, seperti suku-suku Austronesia lainnya, menggunakan sistem navigasi yang mantap: Orientasi di laut dilakukan menggunakan berbagai tanda alam yang berbeda-beda, dan dengan memakai suatu teknik perbintangan sangat khas yang dinamakan star path navigation. Pada dasarnya, para navigator menentukan haluan kapal ke pulau-pulau yang dikenali dengan menggunakan posisi terbitnya dan terbenamnya bintang-bintang tertentu di atas cakrawala.[67]:10 Pada zaman Majapahit, kompas dan magnet telah digunakan, selain itu kartografi (ilmu pemetaan) telah berkembang. Pada tahun 1293 Raden Wijaya memberikan sebuah peta dan catatan sensus penduduk pada pasukan Mongol dinasti Yuan, menunjukkan bahwa pembuatan peta telah menjadi bagian formal dari urusan pemerintahan di Jawa.[68]:53 Penggunaan peta yang penuh garis-garis memanjang dan melintang, garis rhumb, dan garis rute langsung yang dilalui kapal dicatat oleh orang Eropa, sampai-sampai orang Portugis menilai peta Jawa merupakan peta terbaik pada awal tahun 1500-an.[66][69]

Ketika Afonso de Albuquerque menaklukkan Malaka (1511), orang Portugis mendapatkan sebuah peta dari seorang mualim Jawa, yang juga menampilkan bagian dari benua Amerika. Mengenai peta itu, Albuquerque berkata:[70]

... peta besar seorang mualim Jawa, yang berisi Tanjung Harapan, Portugal dan tanah Brazil, Laut Merah dan Laut Persia, Kepulauan Cengkih, navigasi orang Cina dan Gom, dengan garis rhumb dan rute langsung yang bisa ditempuh oleh kapal, dan dataran gigir (hinterland), dan bagaimana kerajaan berbatasan satu sama lain. Bagiku, Tuan, ini adalah hal terbaik yang pernah saya lihat, dan Yang Mulia akan sangat senang melihatnya memiliki nama-nama dalam tulisan Jawa, tetapi saya punya saya orang Jawa yang bisa membaca dan menulis, saya mengirimkan karya ini kepada Yang Mulia, yang ditelusuri Francisco Rodrigues dari yang lain, di mana Yang Mulia dapat benar-benar melihat di mana orang Cina dan Gore (Jepang) datang, dan tentu saja kapal Anda harus pergi ke Kepulauan Cengkih, dan di mana tambang emas ada, dan pulau Jawa dan Banda.
– Surat Albuquerque untuk raja Manuel I dari Portugal, 1 April 1512.

Kebudayaan

Gapura Bajang Ratu, gerbang masuk salah satu kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri di Trowulan.

"Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus dan warna indah" [Dalam lingkungan dikelilingi tembok] "terdapat pendopo anggun beratap ijuk, indah bagai pemandangan dalam lukisan... Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa saja yang memandangnya".

— Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama.

Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret–April) ketika semua utusan dari semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi luas.[71]

Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu.[2]

Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya.[72] Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto. Beberapa elemen arsitektur berasal dari masa Majapahit, antara lain gerbang terbelah candi bentar, gapura paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan pendopo berdasar struktur bata. Gaya bangunan seperti ini masih dapat ditemukan dalam arsitektur Jawa dan Bali.

".... Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak, merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada.... Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas dan perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China beberapa kali berperang melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil mengalahkannya."

— Gambaran Majapahit menurut Mattiussi (Pendeta Odorico da Pordenone).[73][Catatan 9]

Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: "Perjalanan Pendeta Odorico da Pordenone". Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatra, Jawa, dan Banjarmasin di Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia Tengah. Pada 1318 ia berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia, terus hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga mencapai Sumatra, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui jalan darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.

Raja Jawa (Majapahit) dan 7 raja bawahannya, seperti yang dibayangkan dalam manuskrip Inggris abad ke-15 yang berisi catatan pendeta Odoric.

Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci nama tempat yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini terdapat banyak cengkih, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan istana raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga menyebutkan raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan di sini tak lain adalah Majapahit yang dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318–1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.

Diplomat Portugis Tomé Pires, yang mengunjungi Nusantara pada 1512, mencatat kebudayaan Jawa pada akhir zaman Majapahit setelah kunjungannya ke Jawa antara Maret–Juni 1513.[28]:xxv Kisah Pires menceritakan tentang para tuan dan bangsawan di Jawa. Mereka digambarkan sebagai:

... tinggi dan tampan, dengan dekorasi mewah, dan mereka memiliki banyak kuda yang sangat dihiasi. Mereka menggunakan keris, pedang, dan tombak dari berbagai jenis, semuanya bertatahkan emas. Mereka adalah pemburu dan penunggang kuda yang hebat—kuda itu memiliki sanggurdi semua bertatahkan emas dan pelana yang juga bertatahkan, yang tidak dapat ditemukan di tempat lain di dunia. Penguasa Jawa begitu mulia dan agung sehingga tidak ada bangsa yang bisa dibandingkan dengan mereka di wilayah yang luas di bagian ini. Kepala mereka dicukur—setengah dicukur—sebagai tanda keindahan, dan mereka selalu mengusap rambut mereka dari dahi ke atas tidak seperti yang dilakukan orang Eropa. Penguasa Jawa dipuja seperti dewa, dengan rasa hormat yang tinggi dan penghormatan yang dalam.
Para bangsawan pergi berburu atau mencari kesenangan dengan gaya yang agung. Mereka menghabiskan seluruh waktu mereka dalam kesenangan, pengiring memiliki begitu banyak tombak dengan gagang emas dan perak, begitu kaya tatahannya, dengan begitu banyak anjing jenis harrier, greyhound dan anjing lainnya; dan mereka memiliki begitu banyak gambar yang dilukis dengan pemandangan dan pemandangan berburu. Pakaian mereka dihiasi dengan emas, keris, pedang, pisau, kelewang mereka semua bertatahkan emas; mereka memiliki sejumlah selir, kuda jennet, gajah, lembu untuk menarik kereta dari kayu yang dicat dan bersepuh emas. Para bangsawan pergi dengan kereta kemenangan, dan jika mereka pergi melalui laut mereka pergi dengan kelulus yang dicat dan dihiasi; ada apartemen indah untuk wanita mereka, tempat lain untuk para bangsawan yang menemaninya.[28]:174–175 dan 200

Kesusasteraan

Pada zaman Majapahit ditulis berbagai kakawin (puisi berbahasa Jawa Kuno), seperti Negarakertagama, prosa, seperti Pararaton, dan juga muncul berbagai cerita kembangan (carangan, spin off) dari epos raya India dalam bentuk kidung (seperti Tantu Panggelaran, Garudeya, dan Sudhamala) maupun cerita lisan yang populer hingga masa kini, seperti lingkaran cerita Panji, kisah Sri Tanjung, dan kisah Bhubuksah dan Gagangaking. Berbagai ukiran batu candi dari masa ini banyak mengabadikan fragmen cerita-cerita tersebut.[74]

Ekonomi

Celengan zaman Majapahit, abad 14–15 Masehi Trowulan, Jawa Timur. (Koleksi Museum Gajah, Jakarta)

Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan.[75] Pajak dan denda dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8 pada masa kerajaan Medang yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak. Sekitar tahun 1300, pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter penting terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang "kepeng" yaitu keping uang tembaga impor dari China. Pada November 2008 sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat sekitar 40 kilogram digali dari halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa koin tersebut berasal dari era Majapahit.[76] Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan dalam catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin kompleksnya ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh dalam sistem mata uang Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit. Peran ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh uang emas dan perak yang mahal.[77]

Daoyi Zhi, yang ditulis sekitar 1339 M, menyebutkan tentang kekayaan dan kemakmuran Jawa pada masa itu:

"Ladang-ladang di Jawa kaya dan tanahnya rata dan berair baik, maka dari itu gandum dan beras berlimpah, dua kali lipat di negara lain. Orang-orang tidak mencuri, dan apa yang dijatuhkan di jalan tidak diambil. Pepatah umum: "Jawa yang makmur" berarti negara ini. Pria dan wanita menutup kepala mereka dan mengenakan pakaian panjang."[78]:124

Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu dikumpulkan dari berbagai data dan prasasti. Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 menyebutkan sebanyak 78 titik perlintasan berupa tempat perahu penyeberangan di dalam negeri (mandala Jawa).[71] Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan spesialisasi karier, mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual minuman, dan jagal atau tukang daging. Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman sebelumnya, namun proporsi populasi yang mencari pendapatan dan bermata pencarian di luar pertanian semakin meningkat pada era Majapahit.

Menurut catatan Wang Ta-Yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung Kakaktua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga.[79] Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata.[80]

Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama adalah kesuburan lahan di lembah Sungai Brantas dan Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur utara mendukung pertanian padi. Pada masa jayanya Majapahit membangun berbagai infrastruktur irigasi, sebagian dengan dukungan pemerintah. Faktor kedua adalah pelabuhan-pelabuhan Majapahit di pantai utara Jawa yang berperan penting sebagai ekspor-impor serta transit bagi komoditas rempah-rempah dari timur (Maluku). Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan sumber pemasukan penting bagi Majapahit.[71]

Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemasyhuran penguasa Wilwatikta telah menarik banyak pedagang asing, di antaranya pedagang dari India, Khmer, Siam, dan Tiongkok. Pajak khusus dikenakan pada orang asing terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan pekerjaan selain perdagangan internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa.[81]

Selama era Majapahit, hampir semua komoditas dari Asia ditemukan di Jawa. Ini dikarenakan perdagangan laut ekstensif yang dilakukan oleh kerajaan Majapahit yang menggunakan berbagai jenis kapal, terutamanya jong, untuk berdagang ke tempat-tempat yang jauh.[39]:267-293 Ma Huan (penerjemah Cheng Ho) yang mengunjungi Jawa pada 1413, menyatakan bahwa pelabuhan di Jawa adalah memperdagangkan barang dan menawarkan layanan yang lebih banyak dan lebih lengkap daripada pelabuhan lain di Asia Tenggara.[39]:241

Struktur pemerintahan

Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya.[82] Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi.

Aparat birokrasi

Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:

  • Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
  • Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
  • Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
  • Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan

Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.

Pembagian wilayah

Kawasan inti Majapahit dan provinsinya (Mancanagara) di kawasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk pulau Madura dan Bali.

Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan Singhasari,[17] terdiri atas beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh uparaja yang disebut Paduka Bhattara yang bergelar Bhre atau "Bhatara i". Gelar ini adalah gelar tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka adalah untuk mengelola kerajaan mereka, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang mereka pimpin.

Hierarki dalam pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:

  1. Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja
  2. Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau bhre (pangeran atau bangsawan)
  3. Watek: dikelola oleh wiyasa,
  4. Kuwu: dikelola oleh lurah,
  5. Wanua: dikelola oleh thani,
  6. Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.

Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat pemerintahan Gajah Mada, beberapa negara bagian di luar negeri juga termasuk dalam lingkaran pengaruh Majapahit, sebagai hasilnya, konsep teritorial yang lebih besar pun terbentuk:

  • Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit atau Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum memasuki era kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibu kota kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan semua provinsinya yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat dekat raja.
  • Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara langsung dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, dan wajib membayar upeti tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya memiliki penguasa atau raja pribumi, yang kemungkinan membentuk persekutuan atau menikah dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya di tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan mengumpulkan pajak, namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup besar. Wilayah Mancanegara termasuk di dalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan juga Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung dan Palembang di Sumatra.
  • Nusantara, adalah area yang tidak mencerminkan kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka menikmati otonomi yang cukup luas dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan birokratnya atau tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat mengancam ketuanan Majapahit atas wilayah itu akan menuai reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah kerajaan kecil dan koloni di Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.

Ketiga kategori tersebut masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan Majapahit. Akan tetapi Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang didefinisikan sebagai hubungan diplomatik luar negeri.

Luas wilayah

Menurut kitab Negarakretagama

Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII–XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina.[83] Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.

Menurut prasasti Jayanegara II

Prasasti Tuhañaru/Jayanagara II, berasal dari tahun 1245 Saka/1323 Masehi, mencatat aneksasi wilayah di luar Jawa:

... seperti bulan yang membuka kembang tunjung-jantung dari perkampungan segala orang baik-baik; yang membinasakan segala musuh; seperti matahari yang melenyapkan kegelapan pada waktu malam hari, yang digembirakan Wipra dan Satria, yang berbahagia dapat bertegak nama penobatan raja, berbunyi: Iswara Sundarapandyadewa, ...

Menurut H.B. Sarkar, gelar raja Jayanegara ini menandakan bahwa Majapahit memegang kekuasaan tinggi (suzerainty) atas raja Pandia di India Selatan.[84]

Menurut Kidung Sunda

Berdasarkan Kidung Sunda pupuh 1 bait 54b dan 65a, kekuasaan Majapahit meliputi Palembang, Tumasik (Singapura), Sampit, Madura, Bali, Koci (Cochinchina, Vietnam), Wandan (Banda, Maluku Tengah), Tanjungpura (Kalimantan) dan Sawakung (Pulau Sebuku).[85]:20, 23[86]

Menurut Kidung Harsa-Wijaya

Kidung Harsa Wijaya mencatat wilayah Majapahit di luar Jawa antara lain Bali, Tatar, Tumasik, Sampi, Gurun, Wandan, Tanjung-pura, Dompo, Palembang, Makasar, dan Koci.[39]:152

Menurut Serat Pararaton

Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah pusat Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat raja.

No Provinsi Gelar Penguasa Hubungan dengan Raja
1 Kahuripan (sekarang Sidoarjo) Bhre Kahuripan Tribhuwanatunggadewi ibu suri
2 Daha (sekarang Kediri) Bhre Daha Rajadewi Maharajasa bibi sekaligus ibu mertua
3 Tumapel (sekarang Malang) Bhre Tumapel Kertawardhana ayah
4 Wengker (sekarang Ponorogo) Bhre Wengker Wijayarajasa paman sekaligus ayah mertua
5 Matahun (sekarang Bojonegoro) Bhre Matahun Rajasawardhana suami dari Putri Lasem, sepupu raja
6 Wirabhumi (sekarang Blambangan) Bhre Wirabhumi Bhre Wirabhumi[Catatan 10]1 anak
7 Paguhan Bhre Paguhan Singhawardhana saudara laki-laki ipar
8 Kabalan Bhre Kabalan Kusumawardhani[Catatan 11]2 anak perempuan
9 Pawanuan Bhre Pawanuan Surawardhani keponakan perempuan
10 Lasem (sekarang Rembang) Bhre Lasem Rajasaduhita Indudewi sepupu
11 Pajang (sekarang Surakarta) Bhre Pajang Rajasaduhita Iswari saudara perempuan
12 Mataram (sekarang Yogyakarta) Bhre Mataram Wikramawardhana[Catatan 11]2 keponakan laki - laki

Catatan:
1 Bhre Wirabhumi sebenarnya adalah gelar: Pangeran Wirabhumi (blambangan), nama aslinya tidak diketahui dan sering disebut sebagai Bhre Wirabhumi dari Pararaton. Dia menikah dengan Nagawardhani, keponakan perempuan raja.
2 Kusumawardhani (putri raja) menikah dengan Wikramawardhana (keponakan laki-laki raja), pasangan ini lalu menjadi pewaris tahta.

Arca dewi Parwati sebagai perwujudan anumerta Tribhuwanattunggadewi, ratu Majapahit ibunda Hayam Wuruk.

Menurut prasasti Waringin Pitu

Sedangkan dalam Prasasti Waringin Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre.[87] Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:

Menurut kitab Sulalatus Salatin dan buku Suma Oriental

Berdasarkan sumber-sumber luar, seperti Sulalatus Salatin dan buku Suma Oriental ciptaan Tome Pires. Daerah-daerah ini termasuk :

  • Indragiri di Sumatra dan Siantan (sekarang Pontianak pada pesisir barat Kalimantan), yang menurut Sulalatus Salatin, diberikan sebagai hadiah pernikahan kepada Kesultanan Malaka atas pernihkahan sultan Mansur Syah dari Malaka dengan putri Majapahit. Sultan Mansur Syah memerintah pada tahun 1459–1477, sehingga pada tahun 1447 artinya Indragiri dan Siantan masih dibawah kekuasaan Majapahit.
  • Jambi dan Palembang, yang hanya mulai lepas dari genggaman Majapahit ketika diambil-alih oleh Kesultanan Demak[28](hlm.154-155) pada saat masa perangnya melawan Majapahit yang diperintah Ranawijaya.
  • Dan Bali yang merupakan daerah pengungsian terakhir para bangsawan, seniman, pendeta dan penduduk agama Hindu di Jawa ketika Majapahit runtuh oleh Demak.

Menurut Hikayat Banjar

Wilayah Majapahit yang dicatat Hikayat Banjar adalah: Jawa, Bantan (Banten), Palembang, Mangkasar (Makassar), Pahang, Patani, Bali, Pasai, Champa, dan Minangkabau.[88]

Hubungan diplomatik

Hubungan diplomatik dengan negara lain dijelaskan dari Kakawin Nagarakretagama pupuh 15, bait 1.[89] Lengkapnya ialah:

Jawa Kuno Alih bahasa inggris
nahan / lwir ning deçantara kacaya de çri narapati, tuhn / tang synakayodyapura kimutang darmmanagari, marutma mwang ring rajapura nuniweh sinhanagari, ri campa kambojanyat i yawana mitreka satata Such is the aspect of the other countries, protected by the Illustrious Prince;

verily, to be sure: Syangkayodhyapura, together with Dharmanagari, Marutma and Rajapura, and Singhanagari too, Campa, Kamboja. Different is Yawana, that is a friend, regular

kunong tekang nusa madura tatan ilwing parapuri, ri denyan tungal / mwang yawadarani rakwaikana danu, samudra(1) nangung(2) bhumi(3) kta ça- (98b) ka kalanya karnö, teweknyan dadyapantara sasiki tatwanya tan adoh Concerning now this island of Madura, this is not at all of the same aspect as the foreign kingdoms,

because of the fact that it has been one with the Yawa-country, so it is said, at that time in the past: "The oceans carry a country" (124 = 202 A.D.), such is their Shaka-year, one hears, their moment to become provided with an interstice; (nevertheless) they are one in essence, not far away (from each other).

huwus rabdang dwipantara sumiwi ri çri narapati, padasthity awwat / pahudama wijil anken / pratimasa, sake kotsahan / sang prabhu ri sakhahaywanyan iniwö, bhujanga mwang mantrinutus umahalot / patti satata. Already the other continents are getting ready to show obedience to the Illustrious Prince,

alike orderly they bring in all kinds of products every ordained season. As an instance of the honoured Prabhu's exertion for all the good that is taken care of by him, ecclesiastical officers and mandarins are sent to fetch the produce regularly.

Pola kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba seperti ini kemudian diidentifikasi oleh sejarahwan modern sebagai "mandala", yaitu kesatuan yang politik ditentukan oleh pusat atau inti kekuasaannya daripada perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit politik bawahan tanpa integrasi administratif lebih lanjut.[90] Daerah-daerah bawahan yang termasuk dalam lingkup mandala Majapahit, yaitu wilayah Mancanegara dan Nusantara, umumnya memiliki pemimpin asli penguasa daerah tersebut yang menikmati kebebasan internal cukup luas. Wilayah-wilayah bawahan ini meskipun sedikit-banyak dipengaruhi Majapahit, tetap menjalankan sistem pemerintahannya sendiri tanpa terintegrasi lebih lanjut oleh kekuasaan pusat di ibu kota Majapahit. Pola kekuasaan mandala ini juga ditemukan dalam kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Sriwijaya dan Angkor, serta mandala-mandala tetangga Majapahit yang sezaman; Ayutthaya dan Champa.

Wilayah mancanegara atau luar negeri disebut pada Nagarakretagama pupuh 15 bait 1. Wilayah-wilayah itu antara lain Syangka (Siam), Ayodyapura (Ayutthaya), Dharmmanagari (Ligor), Marutma (Martaban atau Mergui), Rajapura (Rajpuri di selatan Siam), Singhanagari (Singhapuri di cabang sungai Menam), Campa, dan Kamboja.[91]:35-36 Hubungan antara Majapahit dengan wilayah-wilayah ini disebut kachaya, yang berarti "terkena cahaya". Ini diartikan sebagai dilindungi atau dinaungi. Istilah "wilayah dilindungi" dalam tatanegara modern disebut sebagai wilayah protektorat.[92]:234-235

Selain itu, pada pupuh 83 bait 4 dan 93 bait 1 disebut tempat-tempat yang menjadi asal para saudagar dan cendekiawan. Wilayah-wilayah itu adalah Jambudwipa (India), Cina, Karnataka (India Selatan), dan Goda (Gauḍa).[91]:35-36 Yang berbeda sendiri adalah Yawana, sebagaimana dikatakan anyat i yawana mitreka satata (yang lain adalah Yawana yang merupakan sekutu tetap).[92]:234 Kern dan Pigeaud menganggap Yawana adalah Annam, tetapi mencatat bahwa Yawana adalah istilah Sanskerta untuk Yunani (Ionian), yang digunakan orang India untuk merujuk pada orang barbar. Kern mencatat orang India menyebut orang Muslim sebagai Yawana. Menurut Pigeaud, agak tidak mungkin Yawana merujuk pada orang Muslim. Ia menganggap Yawana sebagai Annam, karena pada waktu itu raja-raja Annam sangat kuat dan sangat aneh jika meminta perlindungan kepada Jawa.[91]:35 Nugroho menolak pendapat ini, karena Nagarakretagama dibuat tahun 1365, dan kekuatan Champa melebihi Annam (yang waktu itu merujuk pada Dai Viet). Majapahit yang mengalahkan Mongol tidak mungkin memiliki sekutu tetap yang lemah. Selain itu, Annam dalam bahasa Jawa kuno memiliki nama sendiri yakni Koci (sekarang disebut Cochinchina untuk membedakannya dari Kochi di India). Koci berasal dari bahasa Cina Jiāozhǐ, dalam bahasa Kanton Kawci, dan disebut Giao Chỉ di Vietnam. Oleh karena itu, Yawana lebih tepat diartikan sebagai Arab.[39]:141-142[93][94]

Daftar Pejabat Majapahit

Raja-raja Majapahit

Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam gambar ini.[95]

Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari, yang dirintis oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok.[8]

Nama Raja Gelar Tahun
Raden Wijaya Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana 12931309
Jayanagara Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara 13091328
Tribhuwana Wijayatunggadewi Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani 13281350
Hayam Wuruk Maharaja Sri Rajasanagara 13501389
Wikramawardhana Bhra Hyang Wisesa Aji Wikramawardhana 13891429
Suhita Prabu Sri Suhita 14291447
Kertawijaya Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana
14471451
Rajasawardhana Rajasawardhana Sang Sinagara 14511453
Girishawardhana Girishawardhana Dyah Suryawikrama 14561466
Suraprabhawa Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta 14661468
Bhre Kertabhumi 14681474
Dyah Ranawijaya Prabhu Natha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya
14741498

Daftar Perdana Menteri

1. Patih Nambi (Prasasti Penanggungan, 1296 M)

2. Patih Dyah Halayudha (Prasasti Sidateka, 1323 M)

3. Patih Arya Tadah (Prasasti Berumbung, 1329 M)

4. Patih Gajah Mada (Prasasti Batur dan Bendasari) (1357 – 1368) tiga tahun lamanya terjadi kekosongan jabatan Patih

5. Patih Gajah Enggon (1371 – 1398)

6. Patih Gajah Manguri (1398 – 1410)

7. Patih Gajah Lembana (1410 – 1413)

8. Patih Tuan Kanaka (1413–.....ada kerancuan dalam penulisan kitab Pararaton dalam hal ini)

9. Patih..... ????

10. Patih Gajah Geger (Prasasti Waringin Pitu, 1447 M)

11. Patih.... ????

12. Patih.... ????

13. Patih Wahan

14. Patih Udara

Keterangan: Nama Patih dari no. 4 Sampai no. 8, tertulis dalam Kitab Pararaton.

Dharmaputra

Anggota Dharmaputra tersebut adalah Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa.

Pejabat Lain Yang Terkenal[96]

Nama Jabatan Termuat Dalam
Arya Wiraraja Adipati Madura


Merangkap Jabatan
Pasangguhan

Prasasti Kudadu (1294)
Ranggalawe
(Arya Adikara)
Adipati Tuban


Merangkap Jabatan
Pasangguhan

Prasasti Kudadu (1294)
Lembu Sora Patih Daha Prasasti Penanggungan (1296)
Adityawarman
(Mpu Aditya)
Mantri Praudhatara

(Wredda Menteri)

Prasasti Manjusri (1343),

Prasasti Blitar (1330)

Mpu Nala Tumenggung Prasasti O.J.O. LXXXIV,

Prasasti Batur,Prasasti Bendasari (O.J.O. LXXXV),Prasasti Sekar

Daftar Istilah

Nusantara

Hasta Mandala

Mitreka Satata

Bhinneka Tunggal Ika

Girindrawarddhana

Girīndrawarddhana adalah gelar raja Majapahit terakhir. Raja Majapahit yang menggunakan gelar ini adalah anak-anak dari Suraprabhawa (Singhawikramawardhana) (Raja Majapahit ke-10), yaitu : Dyah Wijayakarana, Dyah Wijayakusuma dan Dyah Raṇawijaya Gelar ini ditemukan dalam Prasasti Waringinpitu yang bertahun 1369 Saka (1447 M), serta Prasasti Ptak (OJO XCI) dan Prasasti Jiwu (OJO XCII–XCV) yang keduanya bertahun 1408 Saka (1486 M).[97]

Brawijaya

Brawijaya atau Bhra Wijaya atau Prabu Brawijaya adalah gelar yang dianggap melekat pada penguasa Majapahit. Di Mojokerto ditemukan situs makam Putri Champa yang diyakini sebagai istri Brawijaya. Batu nisan makam tersebut berangka tahun 1448, jatuh pada masa pemerintahan Kertawijaya. Hal ini menimbulkan pendapat bahwa, tokoh Brawijaya identik dengan Kertawijaya. Bahkan, dalam bagan silsilah yang ditemukan pada pemakaman Ratu Kalinyamat di Jepara, ditulis nama Kertawijaya sebagai nama ayah Raden Patah.

Tokoh lain yang dianggap identik dengan Brawijaya adalah Dyah Ranawijaya, yang namanya terdapat dalam penutupan naskah Pararaton. Seringkali Kertawijaya disebut Brawijaya I, sedangkan Dyah Ranawijaya disebut Brawijaya V.

Sebagai gelar historis, gelar ini diragukan karena sampai saat ini tidak ada sumber dari masa Majapahit yang menyebutkan adanya gelar Brawijaya.

Warisan sejarah

Arca pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Meriam Cetbang Majapahit, dari The Metropolitan Museum of Art, yang diperkirakan berasal dari tahun 1470–1478.[98] Perhatikan adanya lambang Surya Majapahit.
Bidadari Majapahit, arca emas apsara gaya Majapahit menggambarkan zaman kerajaan Majapahit sebagai "zaman keemasan" Nusantara.
Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.

Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa-bangsa Nusantara pada abad-abad berikutnya.

Legitimasi politik

Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi atas kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar istana sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibu kota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan keluarga kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit, dan masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.[72]

Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit, disamping Sriwijaya, sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik negara Republik Indonesia saat ini.[75] Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali dari Majapahit yang diromantiskan.[99] Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde Baru menggunakannya untuk kepentingan perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara.[100] Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.[101]

Beberapa simbol dan atribut kenegaraan Indonesia berasal dari elemen-elemen Majapahit. Bendera kebangsaan Indonesia "Sang Merah Putih" atau kadang disebut "Dwiwarna" ("dua warna"), berasal dari warna Panji Kerajaan Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal perang TNI Angkatan Laut berupa garis-garis merah dan putih juga berasal dari warna Majapahit. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika", dikutip dari "Kakawin Sutasoma" yang ditulis oleh Mpu Tantular, seorang pujangga Majapahit.

Arsitektur

Sepasang patung penjaga gerbang abad ke-14 dari kuil Majapahit di Jawa Timur (Museum of Asian Art, San Francisco)

Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur di Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di ibu kota Majapahit dalam kitab Negarakretagama telah menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa serta Pura dan kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini. Meskipun bata merah sudah digunakan jauh lebih awal, para arsitek Majapahitlah yang menyempurnakan teknik pembuatan struktur bangunan bata ini.

Beberapa elemen arsitektur kompleks bangunan di Jawa dan Bali diketahui berasal dari masa Majapahit. Misalnya gerbang terbelah candi bentar yang kini cenderung dikaitkan dengan arsitektur Bali, sesungguhnya merupakan pengaruh Majapahit, sebagaimana ditemukan pada Candi Wringin Lawang, salah satu candi bentar tertua di Indonesia. Demikian pula dengan gapura paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan pendopo berlandaskan struktur bata. Pengaruh citarasa estetika dan gaya bangunan Majapahit dapat dilihat pada kompleks Keraton Kasepuhan di Cirebon, Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah, dan Pura Maospait di Bali. Tata letak kompleks bangunan berupa halaman-halaman berpagar bata yang dihubungkan dengan gerbang dan ditengahnya terdapat pendopo, merupakan warisan arsitektur Majapahit yang dapat ditemukan dalam tata letak beberapa kompleks keraton di Jawa serta kompleks puri (istana) dan pura di Bali.

Kesenian modern

Kebesaran kerajaan ini dan berbagai intrik politik yang terjadi pada masa itu menjadi sumber inspirasi tidak henti-hentinya bagi para seniman masa selanjutnya untuk menuangkan kreasinya, terutama di Indonesia. Berikut adalah daftar beberapa karya seni yang berkaitan dengan masa tersebut.

Puisi lama

  • Serat Darmagandhul, sebuah kitab yang tidak jelas penulisnya karena menggunakan nama pena Ki Kalamwadi, namun diperkirakan dari masa Kasunanan Surakarta. Kitab ini berkisah tentang hal-hal yang berkaitan dengan perubahan keyakinan orang Majapahit dari agama sinkretis "Hindu" ke Islam dan sejumlah ibadah yang perlu dilakukan sebagai umat Islam.

Komik dan strip komik

Roman/novel sejarah

Film/sinetron

Permainan video

  • Civilization V: Brave New World yang terbit pada Juli 2013, terdapat peradaban Indonesia dengan tokoh pemimpinnya Gajah Mada. Meskipun dinamakan peradaban 'Indonesia', namun perdaban ini menggunakan Surya Majapahit sebagai simbolnya. Peradaban ini memiliki bangunan unik yaitu Candi, yang memiliki ikon bergambar Candi bentar di Trowulan, Mojokerto.
  • Kemudian pada Civilization VI sebuah DLC memiliki salah satu pemimpin Majapahit, Dyah Gitarja sebagai pemimpin peradaban Indonesia dengan simbolnya berupa Surya Majapahit yang lebih sederhana. Unit unik untuk peradaban ini adalah jong, yang menggantikan frigate.
  • Age of Empires II: The Age of Kings ekspansi keempat Rise of Rajas yang terbit pada Desember 2016, menampilkan misi sebagai Gajah Mada, dari awal pendirian Majapahit mengusir tentara Mongolia dan Kediri (Kerajaan Singhasari), menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di kepulauan Nusantara setelah Sumpah Palapa hingga peristiwa Perang Bubat yang mengakhiri karier Gajah Mada sebagai Mahapatih kerajaan Majapahit. Bangunan Candi bentar, Gapura Bajang Ratu serta Candi Kalasan ditampilkan secara visual pada misi Gajah Mada. Gajah Mada juga muncul di Age of Empires II Definitive Edition yang dirilis pada November 2019.
  • Bendera Majapahit, Getih-Getah Samudra atau Gula Kelapa, ada dalam Age of Empires III Definitive Edition (rilis Oktober 2020) sebagai bendera untuk Indonesia, sebuah negara revolusioner yang hadir bagi peradaban Belanda dan Portugis. Sebuah unit bernama Cetbang Cannon tersedia untuk Indonesia.

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Literatur istana yang terpengaruh budaya India menggunakan nama Sanskerta ini, yang berarti sama dengan kata "Majapahit", contohnya pada Nagarakretagama pupuh 1 bait 2 dan Kidung Harsawijaya. Kadang-kadang juga ditulis secara terbalik sebagai Tiktawilwa, contohnya pada Nagarakretagama pupuh 18 bait 4. Meskipun begitu kekaisaran ini tetap dikenal dengan nama Jawanya, seperti yang dicatat dalam hikayat-hikayat dari Aceh, Banjar, Melayu, Palembang, dan lain-lain.
  2. ^ Menurut sumber Cina, terjadi pada 1376 atau 1377, menurut sumber Jawa sekitar tahun 1361. Lihat Krom, N. J. (1931). Hindoe-Javaansche Geschiedenis (Sejarah Hindu-Jawa) (edisi ke-2). The Hague. Hal. 412.
  3. ^ Tahunnya ditandai dengan candrasengkala "sirna ilang kertaning bumi" (sirna = 0, ilang = 0, kerta = 4, bumi = 1). Berarti tahun 1400 saka atau 1478 masehi.
  4. ^ Salah satu jenis peluru sebar—saat ditembak mengeluarkan semburan api, serpihan dan butiran peluru, dan bisa juga panah. Ciri-ciri proyektil ini adalah pelurunya tidak menutupi keseluruhan lubang laras. Needham, Joseph (1986). Science and Civilisation in China, Volume 5: Chemistry and Chemical Technology, Part 7, Military Technology: The Gunpowder Epic. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 9 dan 220.
  5. ^ Dadap memiliki 2 arti: Dalam bahasa Indonesia, ia merujuk pada perisai bulat yang terbuat dari kulit atau rotan (Departemen Pendidikan Nasional (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Dapat diakses secara daring di https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/dadap), sedangkan dalam bahasa Jawa kuno ia merujuk pada pada perisai penangkis panjang dan sempit (lihat Zoetmulder, Petrus Josephus (1982). Old Javanese-English dictionary. The Hague: Martinus Nijhoff. hlm. 345). Dadap di Jawa sepertinya merujuk pada perisai panjang yang cukup berat, mungkin dengan ujung menonjol (Jákl, 2014: 77–78).
  6. ^ Untuk arti sodok, lihat Gardner, Gerald Brosseau (1936). Keris and Other Malay Weapons Singapore: Progressive Publishing Company. hlm. 85.
  7. ^ Rampuk kemungkinan berasal dari bahasa Jawa Kuno rampog dan ngrampog, yang artinya “menyerang dalam jumlah besar”. Watang parampogan dalam bahasa Jawa kuno berarti tombak yang digunakan dalam parampogan, yaitu penombakan harimau (rampokan macan). Lihat Zoetmulder, Petrus Josephus (1982). Old Javanese-English dictionary. The Hague: Martinus Nijhoff. h. 1499.
  8. ^ Kawaca memiliki dua makna. Yang pertama adalah kemeja yang dikenakan oleh para rohaniawan, yang lainnya berarti baju besi. Lihat Nugroho, Irawan Djoko (2011). Hal. 386.
  9. ^ Pordenone menyebutkan bahwa Raja Jawa memerintah atas "tujuh raja yang bermahkota", mungkin merujuk pada Bhattara Saptaprabhu atau tujuh Bhattara atau Bhre (Adipati / Adipati Wanita), yang merupakan tujuh penatua berpengaruh yang memerintah tujuh nagara atau kerajaan daerah, sesuai dengan provinsi Majapahit di Jawa Timur dan Tengah; yaitu Kahuripan, Daha, Tumapel, Wengker, Lasem, Pajang, dan Mataram.
  10. ^ Bhre Wirabhumi sebenarnya adalah gelar: Adipati dari Wirabhumi (Blambangan), nama aslinya tidak diketahui. Ia disebut sebagai Bhre Wirabhumi di Pararaton. Dia menikahi Nagawardhani, keponakan raja.
  11. ^ a b Kusumawardhani (putri raja) menikah dengan Wikramawardhana (keponakan raja), pasangan ini menjadi ahli waris bersama.

Referensi

  1. ^ D.G.E. Hall (1956). "Problems of Indonesian Historiography". Pacific Affairs. 38 (3/4): 353—359. 
  2. ^ a b Ricklefs (1991), halaman 19
  3. ^ Prapantja, Rakawi, trans. by Theodore Gauthier Pigeaud, Java in the 14th Century, A Study in Cultural History: The Negara-Kertagama by Pakawi Parakanca of Majapahit, 1365 AD (The Hague, Martinus Nijhoff, 1962), vol. 4, hlm. 29. 34; G.J. Resink, Indonesia’s History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (The Hague: W. van Hoeve, 1968), hal. 21.
  4. ^ Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. hlm. 29. ISBN 0-300-10518-5. 
  5. ^ a b c Ricklefs (1991), page 18
  6. ^ Johns, A.H. (1964). "The Role of Structural Organisation and Myth in Javanese Historiography". The Journal of Asian Studies. 24 (1): 91–99. 
  7. ^ Nagarakretagama Diakui sebagai Memori Dunia, kompas.com
  8. ^ a b c M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Edisi ke-3. Diterjemahkan oleh S. Wahono dkk. Jakarta: Serambi, 2005, hal. 55.
  9. ^ C. C. Berg. Het rijk van de vijfvoudige Buddha (Verhandelingen der Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Afd. Letterkunde, vol. 69, no. 1) Ansterdam: N.V. Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij, 1962; cited in M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2nd ed. Stanford: Stanford University Press, 1993, pages 18 and 311
  10. ^ http://www.tempo.co/read/news/2010/07/01/061260022/Indonesia-Jepang-Buat-Kapal-Majapahit/ Tempo/
  11. ^ http://sains.kompas.com/read/2012/12/05/19045066/Majapahit-Jajah-hingga-Semenanjung-Malaya. Kompas/
  12. ^ http://www.kali-majapahit.com/
  13. ^ a b Setiono, Benny. "Kehancuran dan Kebangkitan Martabat/ Jati Diri Etnis Tionghoa Di Indonesia (bagian 1)". Diakses tanggal 16 Juni. 
  14. ^ David Bor - Khubilai khan and Beautiful princesses of Tumapel 2006
  15. ^ a b Mulyana 2006, hlm. 122
  16. ^ Groeneveldt, W.P. Historical Notes on Indonesia and Malaya: Compiled from Chinese Sources. Djakarta: Bhratara, 1960.
  17. ^ a b c Slamet Muljana. Menuju Puncak Kemegahan (LKIS, 2005)
  18. ^ Komandoko 2009, hlm. 16
  19. ^ Poesponegoro, M.D., Notosusanto, N. (editor utama). Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hal. 436.
  20. ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. 279. ISBN 9814155675. 
  21. ^ Drs. R. Soekmono, (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 72. 
  22. ^ Y. Achadiati S, Soeroso M.P., (1988). Sejarah Peradaban Manusia: Zaman Majapahit. Jakarta: PT Gita Karya. hlm. 13. 
  23. ^ Ricklefs (1991), halaman 19
  24. ^ Groeneveldt, Willem Pieter (1876). "Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Sources". Batavia: W. Bruining.
  25. ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 63. ISBN 9798451163. ISBN 978-979-8451-16-4
  26. ^ Ricklefs (2005), hal. 57.
  27. ^ a b c Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 448-451.
  28. ^ a b c d e f g Cortesão, Armando (1944). The Suma oriental of Tomé Pires : an account of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515 ; and, the book of Francisco Rodrigues, rutter of a voyage in the Red Sea, nautical rules, almanack and maps, written and drawn in the East before 1515 volume I. London: The Hakluyt Society. ISBN 9784000085052.  Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik.
  29. ^ a b Ricklefs, Merle Calvin (2008). A History of Modern Indonesia Since c. 1200 Fourth Edition (E-Book version). New York: Palgrave Macmillan. ISBN 9780230546851. 
  30. ^ Robert W. Hefner (1983). "Ritual and Cultural Reproduction in Non-Islamic Java". American Ethnologist. 10 (1983): 665––683. doi:10.1525/ae.1983.10.4.02a00030. Diakses tanggal 2008-10-23. 
  31. ^ Poesponegoro, Marwati Djoened; Notosusanto, Nugroho (2019) [2008]. Sejarah Nasional Indonesia Edisi Pemutakhiran Jilid 3: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  32. ^ a b c d e f Jákl, Jiří (2014). Literary Representations of War and Warfare in Old Javanese Kakawin Poetry (Tesis). The University of Queensland. 
  33. ^ Bankoff, Greg; Swart, Sandra (2007). "1. Breeds of Empire and the 'Invention' of the Horse". Breeds of Empire: The 'Invention' of the Horse in Southern Africa and Maritime Southeast Asia, 1500–1950. 42 (NIAS studies in Asian topics). Copenhagen: NIAS. hlm. 1–20. ISBN 978-8-7769-4014-0. 
  34. ^ Pramono, Djoko (2005). Budaya Bahari. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 9789792213768. 
  35. ^ a b Averoes, Muhammad (2020). Antara Cerita dan Sejarah: Meriam Cetbang Majapahit. Jurnal Sejarah, 3(2), 89 - 100.
  36. ^ a b Manguin, Pierre-Yves (1976). "L'Artillerie legere nousantarienne: A propos de six canons conserves dans des collections portugaises". Arts Asiatiques. 32: 233–268. 
  37. ^ Manguin, Pierre-Yves (2012). Lancaran, Ghurab and Ghali. Dalam G. Wade & L. Tana (Ed.), Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past (hlm. 146–182). Singapore: ISEAS Publishing.
  38. ^ Ras, Johannes Jacobus, 1968, Hikayat Bandjar. A Study in Malay Historiography. The Hague (Bibliotheca Indonesica, 1)
  39. ^ a b c d e f g h i Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 978-602-9346-00-8. 
  40. ^ a b Nugroho, Irawan Djoko (6 August 2018). "Baju Baja Emas Gajah Mada". Nusantara Review. Diakses tanggal 14 August 2019. 
  41. ^ a b Berg, Kindung Sundāyana (Kidung Sunda C), Soerakarta, Drukkerij “De Bliksem”, 1928.
  42. ^ Oktorino, Nino (2020). Hikayat Majapahit - Kebangkitan dan Keruntuhan Kerajaan Terbesar di Nusantara. Jakarta: Elex Media Komputindo. ISBN 978-623-00-1741-4. 
  43. ^ a b Berg, C. C., 1927, Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen, BKI LXXXIII : 1-161.
  44. ^ Mayers (1876). "Chinese explorations of the Indian Ocean during the fifteenth century". The China Review. IV: hlm. 178.
  45. ^ Crawfurd, John (1856). A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries. Bradbury and Evans. 
  46. ^ a b Stanley, Henry Edward John (1866). A Description of the Coasts of East Africa and Malabar in the Beginning of the Sixteenth Century by Duarte Barbosa. The Hakluyt Society. 
  47. ^ Partington, J. R. (1999). A History of Greek Fire and Gunpowder (dalam bahasa Inggris). JHU Press. ISBN 978-0-8018-5954-0. 
  48. ^ Jones, John Winter (1863). The travels of Ludovico di Varthema in Egypt, Syria, Arabia Deserta and Arabia Felix, in Persia, India, and Ethiopia, A.D. 1503 to 1508. Hakluyt Society. 
  49. ^ Wade, G., 2009, “The horse in Southeast Asia prior to 1500 CE: Some vignettes,” in: B. G. Fragner, R. Kauz, R. Ptak and A. Schottenhammer (eds), Pferde in Asien: Geschichte, Handel und Kultur/Horses in Asia: History, Trade and Culture. Vienna, Verlag der Österreichischen Akademie der Wissenschaften: 161-177.
  50. ^ Teeuw, A. and S. O. Robson (2005). Bhomāntaka. The Death of Bhoma. Leiden: KITLV Press. ISBN 9789067182539. 
  51. ^ Jákl, Jiří. "The Whale in Old Javanese kakawin: timiṅgila, 'elephant fish', and lĕmbwara revisited". Pandanus (dalam bahasa Inggris). 8 (2): 103–118. 
  52. ^ Ptak, Roderich (1999). China’s Seaborne Trade with South and Southeast Asia, 1200-1750. Ashgate. ISBN 9780860787761. 
  53. ^ Jákl, Jiří (2016-05-15). "The Loincloth, Trousers, and Horse-riders in Pre-Islamic Java: Notes on the Old Javanese Term Lañciṅan". Archipel (91): 185–202. doi:10.4000/archipel.312. ISSN 0044-8613. 
  54. ^ de Jong Boers, Bernice (2007). "4. The 'Arab' of the Indonesian Archipelago: The Famed Horse Breeds of Sumbawa". Breeds of Empire: The 'Invention' of the Horse in Southern Africa and Maritime Southeast Asia, 1500–1950. 42 (NIAS studies in Asian topics). Copenhagen: NIAS. hlm. 51–64. ISBN 978-8-7769-4014-0. 
  55. ^ Muljana, Raden Benedictus Slamet (1979). Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Bhratara Karya Aksara. 
  56. ^ a b Nugroho (2011). h. 286, mengutip Hikayat Raja-Raja Pasai", 3: 98: "Sa-telah itu, maka di-suroh baginda musta'idkan segala kelengkapan dan segala alat senjata peperangan akan mendatangi negeri Pasai itu, sa-kira-kira empat ratus jong yang besar-besar dan lain daripada itu banyak lagi daripada malangbang dan kelulus.". Juga lihat Hill, A. H. (Juni 1960). "Hikayat Raja-Raja Pasai". Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. 33: h. 98 dan 157: Then he directed them to make ready all the equipment and munitions of war needed for an attack on the land of Pasai - about four hundred of the largest junks, and also many barges (malangbang) and galleys.
  57. ^ Tulisan dari peta Fra Mauro, 10-A13, bahasa Italia aslinya: "Circa hi ani del Signor 1420 una naue ouer çoncho de india discorse per una trauersa per el mar de india a la uia de le isole de hi homeni e de le done de fuora dal cauo de diab e tra le isole uerde e le oscuritade a la uia de ponente e de garbin per 40 çornade, non trouando mai altro che aiere e aqua, e per suo arbitrio iscorse 2000 mia e declinata la fortuna i fece suo retorno in çorni 70 fina al sopradito cauo de diab. E acostandose la naue a le riue per suo bisogno, i marinari uedeno uno ouo de uno oselo nominato chrocho, el qual ouo era de la grandeça de una bota d'anfora." [1]
  58. ^ Berg, C.C. (1930). Rangga Lawe: Middeljavaansche Historische Roman: Critisch uitgegeven. Batavia: Kon. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Bibliotheca Javanica, 1).
  59. ^ Averoes, Muhammad (2022). "Re-Estimating the Size of Javanese Jong Ship". HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah. 5 (1): 57–64. 
  60. ^ Lombard, Denys (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 2: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan bahasa Indonesia dari Lombard, Denys (1990). Le carrefour javanais. Essai d'histoire globale (The Javanese Crossroads: Towards a Global History) vol. 2. Paris: Éditions de l'École des Hautes Études en Sciences Sociales.
  61. ^ Manguin, Pierre-Yves (September 1980). "The Southeast Asian Ship: An Historical Approach". Journal of Southeast Asian Studies. 11 (2): 266–276. doi:10.1017/S002246340000446X. JSTOR 20070359. 
  62. ^ Nugroho (2011). hlm. 271, 399–400, mengutip Sejarah Melayu, 5.4: 47: "Maka betara Majapahitpun menitahkan hulubalangnya berlengkap perahu akan menyerang Singapura itu, seratus buah jung; lain dari itu beberapa melangbing dan kelulus, jongkong, cerucuh, tongkang, tiada terhisabkan lagi banyaknya."
  63. ^ Nugroho (2011). hlm. 271, 399–400, mengutip Sejarah Melayu, 10.4: 77: "... maka bagindapun segera menyuruh berlengkap tiga ratus buah jung, lain dari pada itu kelulus, pelang, jongkong, tiada terbilang lagi."
  64. ^ Cortesão, Armando (1944). The Suma oriental of Tomé Pires : an account of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515 ; and, the book of Francisco Rodrigues, rutter of a voyage in the Red Sea, nautical rules, almanack and maps, written and drawn in the East before 1515 volume II. London: The Hakluyt Society.  Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik.
  65. ^ Nugroho, Irawan Djoko (30 Juli 2018). "Replika Kapal Majapahit, Replika Untuk Menghancurkan Sejarah Bangsa". Nusantara Review. Diakses tanggal 14 Agustus 2020. 
  66. ^ a b Jones, John Winter (1863). The travels of Ludovico di Varthema in Egypt, Syria, Arabia Deserta and Arabia Felix, in Persia, India, and Ethiopia, A.D. 1503 to 1508. Hakluyt Society. 
  67. ^ Liebner, Horst H. (2002). Perahu-Perahu Tradisional Nusantara. Jakarta. 
  68. ^ Suarez, Thomas (2012). Early Mapping of Southeast Asia: The Epic Story of Seafarers, Adventurers, and Cartographers Who First Mapped the Regions Between China and India. Tuttle Publishing.
  69. ^ "Teknologi Era Majapahit". Nusantara Review (dalam bahasa Inggris). 2018-10-02. Diakses tanggal 2020-06-11. 
  70. ^ Carta IX, 1 April 1512. Dalam Pato, Raymundo Antonio de Bulhão (1884). Cartas de Affonso de Albuquerque, Seguidas de Documentos que as Elucidam tomo I (pp. 29–65). Lisboa: Typographia da Academia Real das Sciencas. hlm. 64.
  71. ^ a b c Millet, Didier (August 2003). John Miksic, ed. Indonesian Heritage Series: Ancient History. Singapore 169641: Archipelago Press. hlm. 107. ISBN 981-3018-26-7. 
  72. ^ a b Schoppert, P., Damais, S. (1997). Di dalam Didier Millet (editor):, ed. Java Style. Paris: Periplus Editions. hlm. 33–34. ISBN 962-593-232-1. 
  73. ^ "Ritual Networks and Royal Power in Majapahit Java, page:100". Persee. 1996. Diakses tanggal 2010-07-14. 
  74. ^ Munandar AA. 2004. KARYA SASTRA JAWA KUNO YANG DIABADIKAN PADA RELIEF CANDI-CANDI ABAD KE-13—15 M. MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 2, AGUSTUS 2004: 54-60.
  75. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Ricklefs_56
  76. ^ "Uang Kuno Temuan Rohimin Peninggalan Majapahit". 2008. 
  77. ^ Millet, Didier (Hardcover edition — August 2003). John Miksic, ed. Indonesian Heritage Series: Ancient History. Singapore 169641: Archipelago Press. hlm. 107. ISBN 981-3018-26-7. 
  78. ^ Groeneveldt, Willem Pieter (1896). "Supplementary Jottings to the "Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources" by W. P. Groeneveldt". T'oung Pao. 7: 113–134. doi:10.1163/156853296X00131. 
  79. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 434-435.
  80. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 431-432.
  81. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 220.
  82. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 451-456.
  83. ^ Poesponegoro, M.D., Notosusanto, N. (editor utama). Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hal. 436.
  84. ^ Nugroho 2009, hlm. 142.
  85. ^ Berg, C.C. (1927). Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen. BKI 83: 1 – 161.
  86. ^ Nugroho 2009, hlm. 136-138.
  87. ^ Nastiti, Titi Surti. Prasasti Majapahit, dalam situs www.Majapahit-Kingdom.com Diarsipkan 2008-12-22 di Wayback Machine. dari Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Jumat, 22 Juni 2007.
  88. ^ Nugroho 2009, hlm. 140.
  89. ^ "Materials for the Medieval History of Indonesia". 
  90. ^ Dellios, Rosita (2003-1-1). "Mandala: from sacred origins to sovereign affairs in traditional Southeast Asia" (dalam bahasa Inggris). Bond University Australia. Diakses tanggal 2011-12-11. 
  91. ^ a b c Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1962). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume IV: Commentaries and Recapitulations (edisi ke-3 (revisi)). The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 978-94-017-7133-7. 
  92. ^ a b Nugroho, Irawan Djoko (2009). Meluruskan Sejarah Majapahit. Ragam Media. 
  93. ^ Reid, Anthony. Southeast Asia in the Age of Commerce. Vol 2: Expansion and Crisis. New Haven: Yale University Press, 1993. p211n.
  94. ^ Gordon, Alijah (2001). The Propagation of Islam in the Indonesian-Malay Archipelago. Malaysian Sociological Research Institute. hlm. 316. ISBN 9789839986624. 
  95. ^ Bullough, Nigel (1995). P. H., Mujiyono, ed. Historic East Java: Remains in Stone. Jakarta: ADLine Communications. hlm. 116–117. 
  96. ^ Mulyana, Slamet (2006). Tafsir sejarah nagarakretagama (dalam bahasa Indonesia). PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 173 – 209. ISBN 978-979-2552-546. 
  97. ^ Djaraf 1977.
  98. ^ "Cannon | Indonesia (Java) | Majapahit period (1296–1520) | The Met". The Metropolitan Museum of Art, i.e. The Met Museum. Diakses tanggal 6 August 2017. 
  99. ^ Ricklefs, hal. 363
  100. ^ Friend, Theodore (2003). Indonesian Destinies. Cambridge, Massachusetts and London: Belknap Press, Harvard University Press. hlm. p.19. ISBN 0-674-01137-6. 
  101. ^ "Kerajaan Majapahit". Sejarah Kerajaan. Diakses tanggal 8 August 2021. 

Daftar pustaka

  • Hall, D.G.E. (1981). A History of South-East Asia (edisi ke-4th). London: The Macmillan Press Ltd. ISBN 978-1-349-16521-6. 
  • Komandoko, Gamal (2009). Gajah Mada: menangkis ancaman pemberontakan Ra Kuti: kisah ketangguhan seorang patih Majapahit dalam menjaga keutuhan takhta sang raja (dalam bahasa Indonesia). Penerbit Narasi. hlm. 122. ISBN 978-979-164-145-2 Periksa nilai: checksum |isbn= (bantuan). 
  • Muljana, Raden Benedictus Slamet (2005). Al-Fayyadl, Muhammad, ed. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. 
  • Mulyana, Slamet (2006). Tafsir sejarah nagarakretagama (dalam bahasa Indonesia). PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 122. ISBN 978-979-2552-546. 
  • Nugroho, Irawan Djoko (2009). Meluruskan Sejarah Majapahit. Ragam Media. 
  • Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 978-602-9346-00-8. 
  • Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1960a). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume I: Javanese Texts in Transcription (edisi ke-3rd (revised)). The Hague: Martinus Nijhoff. 
  • Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1960b). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume II: Notes on the Texts and the Translations (edisi ke-3rd (revised)). The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 978-94-011-8774-9. 
  • Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1960c). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume III: Translations (edisi ke-3rd (revised)). The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 978-94-011-8772-5. 
  • Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1962). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume IV: Commentaries and Recapitulations (edisi ke-3rd (revised)). The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 978-94-017-7133-7. 
  • Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1963). Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, Volume V: Glossary, General Index (edisi ke-3rd (revised)). The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 978-94-011-8778-7. 
  • Prapanca, Mpu (2018). Isidora, ed. Kakawin Nagarakertagama: Teks Asli dan Terjemahan. Diterjemahkan oleh Saktiani, Damaika; Widya, Kartika; Aminullah, Zakaria Pamuji; Marginingrum, Novi; Septi, Neda (edisi ke-2nd (revised)). Yogyakarta: Narasi. ISBN 978-979-168-553-5. 

Pranala luar

Didahului oleh:
Singhasari
Kerajaan Hindu-Budha
1293–1527
Diteruskan oleh:
Demak