Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Wic2020 (bicara | kontrib)
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 56: Baris 56:


== Pasca PRRI ==
== Pasca PRRI ==
Peristiwa ini belakangan menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran [[suku Minangkabau]] ke daerah lain.<ref name="Syam">Syamdani, (2009), ''PRRI, pemberontakan atau bukan'', Media Pressindo, ISBN 978-979-788-032-3.</ref> Menurut catatan Dr. Mochtar Naim dalam bukunya, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau(1984), sebelum terjadinya peristiwa PRRI, jumlah orang Minang di Jakarta diperkirakan kurang dari seratus ribu orang, namun setelah peristiwa tersebut, jumlahnya meningkat menjadi beberapa ratus ribu. Bahkan menurut perkiraan Gubernur jakarta pada tahun 1971 sudah terdapat sekitar setengah juta orang Minang di Jakarta.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/311495382|title=PRRI, pemberontakan atau bukan?|last=Syamdani.|date=2009|publisher=Media Pressindo|isbn=9789797880323|edition=Cet. 1|location=Yogyakarta|oclc=311495382}}</ref>
Peristiwa ini belakangan menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran [[suku Minangkabau]] ke daerah lain.<ref name="Syam">Syamdani, (2009), ''PRRI, pemberontakan atau bukan'', Media Pressindo, ISBN 978-979-788-032-3.</ref> Menurut catatan Dr. Mochtar Naim dalam bukunya, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau(1984), sebelum terjadinya peristiwa PRRI, jumlah orang Minang di Jakarta diperkirakan kurang dari seratus ribu orang, namun setelah peristiwa tersebut, jumlahnya meningkat menjadi beberapa ratus ribu. Bahkan menurut perkiraan Gubernur jakarta pada tahun 1971 sudah terdapat sekitar setengah juta orang Minang di Jakarta.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/311495382|title=PRRI, pemberontakan atau bukan?|last=Syamdani.|date=2009|publisher=Media Pressindo|isbn=9789797880323|edition=Cet. 1|location=Yogyakarta|oclc=311495382}}</ref>


Selain itu juga menimbulkan efek [[psikologi]]s yang besar pada sebagian besar masyarakat Minangkabau masa tersebut, yaitu melekatnya stigma ''pemberontak''<ref>Kahin, Audrey R.,(2005), ''Dari pemberontakan ke integrasi: Sumatera Barat dan politik Indonesia, 1926-1998'', Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-519-5.</ref>, padahal kawasan Minangkabau sejak zaman [[Belanda]] termasuk kawasan yang gigih menentang kolonial serta kawasan Indonesia yang setia dan banyak melahirkan pemimpin-pemimpin nasionalis yang penting selama masa pra kemerdekaan. Selain beberapa tindakan kekerasan yang dialami oleh masyarakat juga menguncang harga diri, harkat dan martabat yang begitu terhina dan dihinggapi mentalitas orang kalah <ref>{{cite book |last=Hidayat |first=Komaruddin |coauthors=Widjanarko, Putut |editor= |others= |title=Reinventing Indonesia: menemukan kembali masa depan bangsa |edition= |year=2008 |publisher=PT Mizan Publika |location=Jakarta |id= ISBN 979-433-516-9 |doi = |pages= |chapter= }}</ref> serta trauma atas kekalahan PRRI. Sampai hari ini para pelaku peristiwa PRRI tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang mereka lakukan.<ref name="Syam" />
Selain itu juga menimbulkan efek [[psikologi]]s yang besar pada sebagian besar masyarakat Minangkabau masa tersebut, yaitu melekatnya stigma ''pemberontak''<ref>Kahin, Audrey R.,(2005), ''Dari pemberontakan ke integrasi: Sumatera Barat dan politik Indonesia, 1926-1998'', Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-519-5.</ref>, padahal kawasan Minangkabau sejak zaman [[Belanda]] termasuk kawasan yang gigih menentang kolonial serta kawasan Indonesia yang setia dan banyak melahirkan pemimpin-pemimpin nasionalis yang penting selama masa pra kemerdekaan. Selain beberapa tindakan kekerasan yang dialami oleh masyarakat juga menguncang harga diri, harkat dan martabat yang begitu terhina dan dihinggapi mentalitas orang kalah <ref>{{cite book |last=Hidayat |first=Komaruddin |coauthors=Widjanarko, Putut |editor= |others= |title=Reinventing Indonesia: menemukan kembali masa depan bangsa |edition= |year=2008 |publisher=PT Mizan Publika |location=Jakarta |id= ISBN 979-433-516-9 |doi = |pages= |chapter= }}</ref> serta trauma atas kekalahan PRRI. Sampai hari ini para pelaku peristiwa PRRI tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang mereka lakukan.<ref name="Syam" />

Revisi per 30 Oktober 2017 22.11

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang, Sumatera Barat, Indonesia.

Gerakan ini mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, di mana pada tanggal 17 Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI.[1]

Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan pemberlakuan otonomi daerah yang lebih luas. Ultimatum tersebut bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi lebih merupakan protes mengenai bagaimana konstitusi dijalankan.[2] Pada masa bersamaan kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca agresi Belanda. Hal ini juga memengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa.

Bibit-bibit konflik tersebut mulai terjadi sejak dikeluarkannya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom oleh provinsi Sumatera Tengah waktu itu yang mencakup wilayah provinsi Sumatera Barat, Riau yang kala itu masih mencakup wilayah Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang.[3]

Bagaimanapun, pertentangan ini dianggap sebagai sebuah pemberontakan[1] oleh pemerintah pusat, yang menganggap ultimatum itu merupakan proklamasi pemerintahan tandingan, dan kemudian ditumpas dengan pengerahan kekuatan militer terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia. Semua tokoh PRRI adalah para pejuang kemerdekaan, pendiri dan pembela NKRI. Sebagaimana ditegaskan Ahmad Husein dalam rapat Penguasa Militer di Istana Negara April 1957; Landasan perjuangan daerah tetap Republik Proklamasi dan berkewajiban untuk menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta.

Awal Gerakan

Gerakan ini bermula dari acara reuni Divisi Banteng di Padang pada tanggal 20-25 November 1956. Dari pertemuan tersebut di hasilkan perlunya Otonomi Daerah agar bisa menggali potensi dan kekayaan Daerah dan disetujui pula pembetukan Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Hussein komandan resimen IV dan tetorium I yang berkedudukan di Padang. Namun upaya ini gagal.

Pada tanggal 20 Desember 1956.Letkol Ahmad Hussein merebut kekuasaan Pemerintah Daerah dari Gubernur Ruslan Nuljohardjo. Dalihnya Gubernur yang ditunjuk Pemerintah tidak berhasil menjalankan pembangunan Daerah. Di samping itu di berbagai Daerah muncul pula dewan-dewan lain yakni :

Untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi pemerintah pusat mengadakan musyawarah nasional pada September tahun 1957. Kemudian Musyawarah Nasional Pembangunan pada November 1957 yang bertujuan mempersiapkan pembangunan di daerah secara integral. Namun tetap saja gagal bahkan semakin memanas.

Pengumuman berdirinya PRRI

Pengumumannya

Selanjutnya diadakan rapat raksasa di Padang. Letkol Ahmad Husein selaku pimpinan mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Kabinet Juanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden dengan waktu 5 X 24 jam dan Presiden diminta kembali kepada kedudukan konstitusionalnya. Ultimatum ini ditolak oleh Pemerintah Pusat, bahkan Ahmad Husein dan kawan kawannya di pecat dari Angkatan Darat. Pada tanggal 15 Februari 1958 Letkol Ahmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia di Padang. Pemerintah tersebut membuat Kabinet dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menterinya

Sebab berdirinya PRRI

Sebab berdirinya PRRI adalah tuntutan otonomi luas.

Operasi Militer

Pemerintah Pusat menganggap gerakan tersebut harus segera ditumpas dengan kekuatan senjata. Lantas Pemerintah melakukan operasi gabungan yang terdiri dari Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Operasi pun dilancarkan sebagai berikut :

1. Operasi tegas dengan sasaran Riau

2. Operasi 17 Agustus pimpinan Kolonel Ahmad Yani

3. Operasi sapta maraga

4. Operasi sadar di bawah pimpinan letkol Dr. Ibnu Sutowo

Dalam waktu singkat banyak pimpinan PRRI yang menyerahkan diri pada 29 Mei 1961 Ahmad Husein menyerahkan diri dan berakhirlah pemberontakan PRRI

Kabinet PRRI

Kabinet PRRI terdiri dari:

Pasca PRRI

Peristiwa ini belakangan menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain.[4] Menurut catatan Dr. Mochtar Naim dalam bukunya, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau(1984), sebelum terjadinya peristiwa PRRI, jumlah orang Minang di Jakarta diperkirakan kurang dari seratus ribu orang, namun setelah peristiwa tersebut, jumlahnya meningkat menjadi beberapa ratus ribu. Bahkan menurut perkiraan Gubernur jakarta pada tahun 1971 sudah terdapat sekitar setengah juta orang Minang di Jakarta.[5]

Selain itu juga menimbulkan efek psikologis yang besar pada sebagian besar masyarakat Minangkabau masa tersebut, yaitu melekatnya stigma pemberontak[6], padahal kawasan Minangkabau sejak zaman Belanda termasuk kawasan yang gigih menentang kolonial serta kawasan Indonesia yang setia dan banyak melahirkan pemimpin-pemimpin nasionalis yang penting selama masa pra kemerdekaan. Selain beberapa tindakan kekerasan yang dialami oleh masyarakat juga menguncang harga diri, harkat dan martabat yang begitu terhina dan dihinggapi mentalitas orang kalah [7] serta trauma atas kekalahan PRRI. Sampai hari ini para pelaku peristiwa PRRI tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang mereka lakukan.[4]

Referensi

  1. ^ a b Poesponegoro. Marwati Djoened, Notosusanto. Nugroho, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman Jepang dan zaman Republik Indonesia, PT Balai Pustaka, ISBN 978-979-407-412-1.
  2. ^ Lukman Hakiem, (2008), M. Natsir di panggung sejarah republik, Penerbit Republika, ISBN 978-979-1102-43-8.
  3. ^ Asnan, Gusti, (2007), Memikir ulang regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-640-6.
  4. ^ a b Syamdani, (2009), PRRI, pemberontakan atau bukan, Media Pressindo, ISBN 978-979-788-032-3.
  5. ^ Syamdani. (2009). PRRI, pemberontakan atau bukan? (edisi ke-Cet. 1). Yogyakarta: Media Pressindo. ISBN 9789797880323. OCLC 311495382. 
  6. ^ Kahin, Audrey R.,(2005), Dari pemberontakan ke integrasi: Sumatera Barat dan politik Indonesia, 1926-1998, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-519-5.
  7. ^ Hidayat, Komaruddin (2008). Reinventing Indonesia: menemukan kembali masa depan bangsa. Jakarta: PT Mizan Publika. ISBN 979-433-516-9.