Dewan Banteng

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Letnan Kolonel Ahmad Husein

Dewan Banteng adalah suatu dewan yang dibentuk oleh beberapa orang tokoh militer mantan pimpinan dan anggota Komando Divisi IX Banteng yang telah dibubarkan beserta tokoh sipil yang berasal dari Sumatra Tengah. Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng) dan dibentuk pada tanggal 20 Desember 1956 dengan ketua Letnan Kolonel Ahmad Husein. Tujuan dari pembentukan Dewan Banteng adalah untuk pembangunan daerah yang dianggap tertinggal dibanding pembangunan di pulau Jawa.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Ketidakpuasan Daerah[sunting | sunting sumber]

Sejumlah perwira aktif dan perwira pensiunan mantan anggota Divisi IX Banteng di Sumatra Tengah menggagas pembentukan Dewan Banteng di Jakarta pada 21 September 1956. Gagasan itu didorong oleh kenyataan yang mereka lihat bahwa setelah kemerdekaan nasib para prajurit sangat mengenaskan, padahal mereka itu dulunya adalah para pejuang yang bertaruh nyawa ketika merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1945 - 1950. Begitupun kondisi masyarakat pada umumnya yang jauh dari sejahtera. Kondisi yang ada di daerah mereka pandang jauh berbeda dibanding pembangunan di pulau Jawa, padahal sumber devisa terbanyak berasal dari daerah.

Hal lain yang menimbulkan ketidakpuasan adalah perlakuan pemerintah pusat terhadap Komando Divisi IX Banteng. Divisi IX Banteng adalah suatu divisi dalam Angkatan Perang Republik Indonesia yang dibentuk pada masa Perang Kemerdekaan tahun 1945 - 1950 melawan kolonialis Belanda, dan membawahi teritorial Sumatra Tengah, yang terdiri dari Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau serta Jambi sekarang ini. Divisi IX Banteng mempunyai pasukan yang banyak karena adanya Sekolah Pendidikan Opsir di Bukittinggi, bahkan salah satu pasukannya yaitu Resimen 6 dianggap sebagai pasukan terbaik di Sumatra.

Penciutan Divisi Banteng dilakukan dengan mengirim pasukan-pasukannya ke berbagai daerah diantaranya ke Jawa Barat, Aceh, Ambon dan lain-lain. Salah satu pasukan Divisi Banteng yaitu Batalyon Pagaruyung mengalami nasib yang lebih menyedihkan dibanding batalyon lainnya. Seusai bertugas di Ambon, lima dari delapan kompinya dipindahkan dan dilebur kedalam Divisi Siliwangi, Jawa Barat sehingga menyebabkan terputusnya hubungan dengan divisi induknya yaitu Divisi Banteng di Sumatra Tengah. Penciutan itu berlanjut terus sehingga akhirnya menyisakan satu brigade. Brigade yang kecil itu masih menyandang nama Brigade Banteng yang dipimpin Letnan Kolonel Ahmad Husein. Selanjutnya brigade itupun diciutkan lagi sehingga hanya berbentuk resimen yaitu Resimen Infanteri 4 yang kemudian dilebur kedalam Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan (TT I BB) yang berkedudukan di Medan. Ahmad Husein-pun hanya menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB.

Perlakuan pemerintah pusat yang memecahbelah batalyon-batalyon dan pembubaran Divisi IX Banteng menimbulkan rasa sakit hati pada perwira-perwira dan anggota pasukan lainnya dari Divisi Banteng yang telah berjuang mati-matian dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pertemuan para perwira yang pertama di Jakarta pada 21 September 1956 kemudian dilanjutkan dengan pertemuan kedua di Padang pada tanggal 20 sampai 24 Nopember 1956. Pertemuan tersebut dihadiri tidak kurang dari 612 perwira aktif dan pensiunan yang berasal dari Divisi Banteng yang telah dibubarkan itu. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang situasi sosial, politik dan ekonomi rakyat Sumatra Tengah yang dianggap memprihatinkan. Pertemuan itu akhirnya menghasilkan beberapa keputusan dalam bentuk tuntutan.

Pada tanggal 20 Desember 1956 dibentuklah suatu dewan untuk mengujudkan hasil-hasil pertemuan yang kedua itu. Dewan itu dinamakan "Dewan Banteng", yang tetap mengambil nama dari Divisi Banteng yang telah dibubarkan. Dewan Banteng tidak hanya didukung oleh para perwira militer mantan anggota Divisi Banteng, tetapi juga oleh semua partai politik yang ada di Sumatra Tengah kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan Dewan itu juga didukung oleh semua elemen masyarakat Sumatra Tengah, seperti ulama, kaum intelektual, pemuda, kaum adat, sehingga melahirkan semboyan ketika itu yang berbunyi: "Timbul Tenggelam Bersama Dewan Banteng". Namun dalam pendiriannya Dewan Banteng tetap mengakui Pemerintahan Republik Indonesia dibawah Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda serta Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Tuntutan Dewan Banteng[sunting | sunting sumber]

  • Pemberian serta pengisian otonomi luas bagi daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang wajar, layak dan adil.
  • Dihapuskannya segera sistem sentralisme yang dalam kenyataannya mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat dan juga menjadi pokok pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan daerah, hilangnya inisiatif dan kegiatan daerah serta kontrol.
  • Pembentukan kembali Komando Pertahanan Daerah dalam arti teritorial, operatif dan administratif yang sesuai dengan pembagian administratif dari Negara Republik Indonesia dewasa ini dan merupakan komando utama dalam Angkatan Darat.
  • Ditetapkannya eks. Divisi IX Banteng Sumatra Tengah sebagai kesatuan militer yang menjadi satu korps dalam Angkatan Darat.

Setelah itu Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Banteng, mengambil alih jabatan Gubernur Sumatra Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Mulyoharjo. Tindakan Ahmad Husein itu tidak mendapatkan hukuman, malah Pemerintah Pusat memenuhi tuntutan Dewan Banteng dengan membentuk Komando Militer di Sumatra Tengah yaitu Komando Militer Daerah Sumatra Tengah (KMDST) yang terlepas dari Komando Tentara Teritorium (TT) I Bukit Barisan yang berkedudukan di Medan, sedangkan Ahmad Husein diangkat menjadi Panglima KMDST dengan pangkat Kolonel. Dalam hal ini beberapa tuntutan Dewan Banteng dipenuhi oleh pemerintah pusat.

Di Stadion Benteng (kini bernama Lapangan Imam Bonjol), Kepala Staf TNI Angkatan Darat Abdul Haris Nasution melantik Letkol Ahmad Husein sebagai Panglima Komando Militer Daerah Sumatera Tengah.[1]

Pada tanggal 22 Desember 1956, dua hari sesudah terbentuknya Dewan Banteng, Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan mengumumkan pembentukan Dewan Gajah di Medan dan menyatakan melepaskan diri dari Pemerintahan PM Djuanda lalu menyatakan wilayah teritorialnya dalam keadaan Darurat Perang (SOB). Aksi Kolonel Maludin Simbolon itu mendapat reaksi keras dari pemerintah pusat dengan memerintahkan KSAD Jenderal A.H. Nasution untuk memecat Kolonel Simbolon dan menggantinya dengan Letnan Kolonel Djamin Ginting.

Selanjutnya langkah tersebut-pun diikuti oleh pembentukan Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Barlian dan Dewan Manguni di Sulawesi dibawah pimpinan Letnan Kolonel Ventje Sumual.

Tuntutan lainnya dari Dewan Banteng tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat, diantaranya otonomi atau sistem pemerintahan desentralisasi serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang adil. Hal ini mengakibatkan Dewan Banteng tidak lagi mengirimkan penghasilan Daerah Sumatra Tengah ke Pemerintah Pusat, tetapi dipakai untuk pembangunan daerah. Bahkan Dewan Banteng juga melakukan barter hasil-hasil alam Sumatra Tengah dengan pihak luar negeri. Seluruh dana yang didapat dari hasil bumi itu digunakan untuk pembangunan daerah. Hanya dalam beberapa bulan saja terlihat hasil yang nyata berbeda dengan keadaan sebelumnya, bahkan pembangunan Sumatra Tengah di bawah Dewan Banteng dianggap sebagai yang terbaik di Indonesia pada waktu itu.

Apa yang dilakukan Dewan Banteng tersebut membuat hubungan daerah Sumatra Tengah dengan pemerintah pusat menjadi tegang. Puncak dari ketegangan itu berujung pada terbentuknya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 oleh Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husein di Padang.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Djalal, Nasrul; Hendrik, Makmur (2018). Pelaku dan saksi sejarah angkatan 66 Sumatera Barat bertutur tentang Tritura. Erka. ISBN 978-602-0738-03-1.