Ibnu Sutowo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ibnu Sutowo
Menteri Minyak, dan Gas Bumi Indonesia ke-3
Masa jabatan
28 Maret 1966 – 25 Juli 1966
PresidenSoekarno
Sebelum
Pendahulu
Armunanto
Sebelum
Panglima Komando Daerah Militer Sriwijaya ke-4
Masa jabatan
5 September 1955 – 2 Juli 1956
Sebelum
Pendahulu
Kolonel Inf Bambang Utoyo
Pengganti
Letkol Inf Barlian
Sebelum
Direktur Utama Pertamina
Masa jabatan
9 Oktober 1968 – 3 Maret 1976
Sebelum
Pendahulu
Tidak diketahui
Pengganti
Piet Haryono
Sebelum
Ketua Umum Palang Merah Indonesia Ke-9
Masa jabatan
1986–1992
Sebelum
Pendahulu
Soeyoso Soemodimedjo
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1914-09-23)23 September 1914
Yogyakarta, Hindia Belanda
Meninggal12 Januari 2001(2001-01-12) (umur 86)
Jakarta, Indonesia
Suami/istriZaleha binti Sjafe'ie
AnakPontjo Sutowo dan 6 lainnya
ProfesiTentara
Dokter
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Masa dinas1946–1976
Pangkat Letnan Jenderal TNI
SatuanKesehatan (CKM)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Letnan Jenderal TNI (Purn.) dr. H. Ibnu Sutowo, D.Sc. (23 September 1914 – 12 Januari 2001) adalah mantan tokoh militer Indonesia dan tokoh yang mengembangkan Pertamina, perusahaan minyak negara yang kemudian berubah menjadi Pertamina serta pernah menjabat sebagai Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral). Ia dikenal sebagai sosok yang melakukan korupsi pada era Soeharto ketika menjadi Direktur sebanyak 15 Milliar Dollar ditahun 1978 dan kemudian dipensiunkan oleh Soeharto diam-diam dan menjadi ketua PMI.

Riwayat Hidup[sunting | sunting sumber]

Kisah cinta[sunting | sunting sumber]

Ibnu bertemu dengan Zaleha pertama kali di Martapura, sewaktu ia bekerja di sana sebagai dokter. Setelah menyelesaikan pendidikan kedokteran Belanda di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya tahun 1940 pada usia 26 tahun. Ia kemudian ditugaskan Pemerintah Hindia-Belanda bertugas di daerah Sumatera Selatan. Persisnya di daerah Belitung yang merupakan wilayah kolonisasi.

Belitung adalah daerah transmigrasi. Tugasnya adalah untuk membasmi penyakit malaria yang terkenal di sana pada masa itu, serta untuk memperbaiki gizi masyarakat. Selain di Belitung, ia juga kemudian ditugaskan sebagai dokter untuk wilayah Martapura secara keseluruhan.

Sebagai dokter yang masih berstatus bujangan, ia kemudian berkenalan dengan seorang gadis bernama Zaleha, yang biasa dipanggil Saly, putri pasirah Haji Syafe'ie, tokoh masyarakat yang sangat disegani di Martapura saat itu. Ibunya adalah seorang guru tamatan MULO di Palembang.

Setelah lulus MULO di Palembang, Zaleha pulang ke Martapura. Zaman perang ketika itu menyebabkan Zaleha tinggal di rumah saja sambil secara sukarela menolong anak-anak belajar. Ketika Jepang datang, Zaleha mengajar anak-anak perempuan bersekolah. Kebetulan sekolah Zaleha berada di depan polikliniknya, sehingga ada banyak kesempatan buat mereka berdua untuk saling memandang, dan akhirnya saling jatuh cinta dan berpacaran.

Mereka selalu bercakap-cakap dalam bahasa Belanda. Ibnu bahkan lebih terbiasa berbicara dalam bahasa Belanda, atau kalau tidak bahasa Jawa. Ia mulai terbiasa berbahasa Indonesia setelah berkenalan dengan Zaleha.

Meskipun sudah berpacaran dan sudah disetujui kedua orangtua, Pak Haji Syafe'ie dan Ibu Haji, tetapi jalan menuju pernikahan tidaklah terlalu mulus. Masih ada tanggapan yang kurang menggembirakan dari keluarga besar Pak Syafe'ie karena Ibnu berasal dari suku lain, yakni suku Jawa. Waktu itu orang Jawa yang berada di Sumatera Selatan kurang dihargai oleh masyarakat setempat. Mereka yang kebanyakan berasal dari Banyumas umumnya adalah orang-orang transmigran, atau bekerja sebagai kuli kereta api.

Oleh karena Zaleha memang sudah jatuh hati sama Ibnu, dan kedua orangtuanya juga sudah tidak berkeberatan, keluarga besar Pak Syafe'ie pun akhirnya mengalah. Mereka akhirnya menikah pada 12 Desember 1943 di Martapura. Acara syukuran pernikahan diadakan secara sederhana pada malam harinya. Resepsi pernikahan baru diadakan sebulan kemudian. Maklum, adat-istiadat di Sumatera Selatan waktu itu memerlukan persiapan ini dan itu. Meskipun waktu itu masih zaman Jepang, tetapi resepsinya berjalan lancar.

Karier[sunting | sunting sumber]

Selepas pendidikan kedokteran di Surabaya, pada tahun 1940 Ibnu Sutowo bekerja sebagai dokter di Palembang dan Martapura. Setelah masa kemerdekaan, ia sempat bertugas sebagai Kepala Jawatan Kesehatan Tentara se-Sumatera Selatan (1946-1947). Pada tahun 1955, Sutowo ditunjuk sebagai Panglima TT-II Sriwijaya.

Perjalanan Karier [1][sunting | sunting sumber]

  1. Dokter pada Gouverment Indische Arts Malariabestrijding di Batavia (2 Juli 1940-31 Agustus 1940).
  2. Dokter pada Rumah Sakit Plaju, Sungai Gerong, Palembang (31 Agustus 1940-16 September 1945).
  3. Kepala Rumah Sakit Plaju, Sungai Gerong, Palembang (16 September 1945-16 Desember 1945).
  4. Kepala Rumah Sakit Umum Palembang (16 Desember 1945-1947).
  5. Bergabung dengan TRI Darat kemudian menjadi TNI Angkatan Darat (5 Desember 1946).
  6. Kepala Jawatan Kesehatan Tentara Divisi II / Garuda kemudian pada tahun 1948 berganti nama menjadi Sub Komandemen Sumatera Selatan serta pada tahun 1950 berganti nama menjadi Tentara Teritorium II / Sriwijaya (5 Desember 1946-16 Juni 1951).
  7. Kepala Staf Sub Komandemen Sumatera Selatan (18 Februari 1948-9 Juni 1949).
  8. Kepala Staf Daerah Militer Istimewa Sumatera Selatan (9 Juni 1949-9 Desember 1949).
  9. Kepala Staf Tentara Teritorium II / Sriwijaya (9 Desember 1949-11 Juni 1955).
  10. Kepala DKAD Teritorium II merangkap Kepala DKAD Teritorium I (17 Juni 1951-11 Juni 1955).
  11. Panglima Tentara Teritorium II / Sriwijaya (11 Juni 1955-2 Juli 1956).
  12. Asisten IV Kepala Staf Angkatan Darat (2 Juli 1956-25 Agustus 1958).
  13. Deputi II Bidang Operasi Kepala Staf Angkatan Darat merangkap Deputi Pelaksana Perang Pusat (29 Desember 1956-Juli 1959).
  14. Direktur Utama PT Permina (10 Desember 1957-9 Oktober 1968).
  15. Inspektur Teritorial & Perlawanan Rakyat Markas Besar Angkatan Darat (25 Agustus 1958-Juli 1959).
  16. Kepala Jawatan Minyak Gas & Bumi kemudian menjadi Biro Minyak Gas & Bumi Departemen Perindustrian Dasar & Pertambangan (18 Oktober 1960-13 November 1963).
  17. Kepala Direktorat Minyak Gas & Bumi pada Pembantu Menteri Perindustrian Dasar & Pertambangan Bidang Pertambangan dan Urusan Perusahaan Tambang Negara (13 November 1963-27 Agustus 1964).
  18. Gubernur Indonesia untuk Organization of the Petroleum Exporting Countries / Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) (1965).
  19. Menteri Urusan Minyak Gas dan Bumi pada Kabinet Dwikora II dan Dwikora III (21 Februari 1966-25 Juli 1966).
  20. Direktur Jenderal Minyak Gas & Bumi di Departemen Pertambangan pada Kabinet Ampera I, Kabinet Ampera II serta Kabinet Pembangunan I merangkap Penasihat Presiden R.I Bidang Industri / Pembangunan (25 Juli 1966-6 Juni 1968)
  21. Direktur Utama PT Pertamina (9 Oktober 1968-3 Maret 1976)
  22. Ketua Otorita Batam[2]
  23. Pensiun (1976).

Riwayat Pangkat Militer : [1]

  1. Mayor (5 Desember 1946-21 Februari 1947).
  2. Letnan Kolonel (21 Februari 1947-18 Februari 1948).
  3. Mayor (18 Februari 1948-9 Desember 1949), diturunkan pangkat karena adanya kebijakan Re-Ra (Reorganisasi dan Rasionalisasi) dalam TNI.
  4. Letnan Kolonel (9 Desember 1949-29 Desember 1956).
  5. Kolonel (29 Desember 1956-18 Oktober 1960).
  6. Brigadir Jenderal (18 Oktober 1960-1964).
  7. Mayor Jenderal (1964-1 November 1969).
  8. Letnan Jenderal (1 November 1969-Maret 1976).
  9. Pensiun (1976).

Permina & Pertamina[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1957, A.H. Nasution (saat itu KSAD) menunjuk Sutowo untuk mengelola PT Tambang Minyak Sumatera Utara (PT Permina). Pada tahun 1968, perusahaan ini digabung dengan perusahaan minyak milik negara lainnya menjadi PT Pertamina.

Harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis pada tanggal 30 Januari 1970 memberitakan bahwa simpanan Ibnu Sutowo pada saat itu mencapai Rp 90,48 miliar (kurs rupiah saat itu Rp 400/dolar), dan melaporkan kerugian negara akibat kongkalikong Ibnu dan pihak Jepang mencapai US$1.554.590,28. Saat itu, pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto membentuk tim yang bernama Komisi Empat untuk menyelidiki dugaan korupsi di Pertamina. Tim ini menghasilkan laporan yang menyimpulkan terjadinya beberapa penyimpangan-penyimpangan, tetapi tanpa tindakan hukum apa pun terhadap pelaku korupsi.

Pada tahun 1975, Pertamina jatuh krisis. Pada tahun 1976, Ibnu mengundurkan diri sebagai Dirut Pertamina, dan meninggalkan Pertamina dalam kondisi utang sebesar US$ 10,5 miliar. Ibnu lalu masuk ke PT Golden Mississippi.

Selain menjadi Direktur Utama Pertamina, Ibnu juga dipercaya oleh Presiden Soeharto dalam sejumlah proyek-proyek besar yang terkait pemerintah maupun Keluarga Soeharto seperti Pembangunan Gedung Bina Graha Istana Merdeka, Proyek Laboratorium USAID di Jonggol, Proyek Rumah Sakit Pertamina di Jakarta Selatan dan Pembangunan Lapangan Golf di sejumlah tempat.

Aqua & Petronas[sunting | sunting sumber]

Tirto Utomo, bawahan Ibnu, yang sedang membuat produk air mineral pada tahun 1973, dengan merek Aqua, berkunjung ke Bangkok, Thailand. Ibnu juga diajak oleh Tirto, untuk mempelajari cara pembuatan air mineral di pabrik air mineral Polaris di Thailand, karena di Indonesia, sama sekali belum ada. Sampai akhirnya, ia berkata kepada Tirto: "Aneh Tirto iki. Banyu banjir kok diobokke dalam botol".

Setelah Aqua semakin terkenal ketika pertandingan bulu tangkis Piala Thomas & Uber 1988 di Kuala Lumpur dan pertandingan golf, ia berpendapat bahwa Aqua harus dikelola oleh yang lebih muda. Maka, ia mengundurkan diri dari jabatan direktur utama PT Golden Mississippi dan digantikan oleh Willy Sidharta.

Pada masa kepemimpinan Willy Sidharta, yang jabatannya diletakkan oleh Ibnu, PT Golden Mississippi juga memperluas bisnisnya ke dalam bidang taman kota dengan membangun Taman Aqua di setiap Ruang Terbuka Hijau di Jakarta dan taman wisata Aqua KLCC yang dikelola oleh air minum merek "Sehat" (produk Aqua di Malaysia, Brunei, dan Singapura) di Kuala Lumpur, dan Ibnu mendirikan Bank Aqua pada 1988, meski bisnis perbankan ini akhirnya gagal.

Setelah meninggalkan Pertamina dengan kondisi hutang yang sangat tinggi, Ibnu lalu mulai mengelola Petronas, pertambangan minyak Malaysia pada 1976. Walaupun Petronas baru 2 tahun berdiri, Ibnu menanggapi pesatnya pertumbuhan pertambangan minyak yang dikelola sendiri oleh umat Islam, sehingga kekayaan umat Islam selalu disumbang dari pertambangan minyak, walaupun minyak sendiri termasuk dalam Sumber Daya Alam yang tidak dapat diperbaharui, seperti halnya bahan tambang lainnya.

Kasus Hilton Senayan[sunting | sunting sumber]

Ali Sadikin, mantan Gubernur Jakarta, saat diperiksa tahun 2005 mengaku tertipu oleh PT Indobuildco yang dikiranya merupakan anak perusahaan Pertamina. Saat itu Ibnu Sutowo sebagai Direktur Pertamina diminta untuk membangun hotel Pertamina di Senayan dengan hak guna bangunan 30 tahun, tetapi ternyata hotel tersebut dimiliki oleh perusahaan pribadi Ibnu Sutowo.

Hilton Hotel di Senayan kini berganti nama menjadi Sultan Hotel, hingga hari ini tetap dimiliki oleh keluarga Sutowo. Perpanjangan HGB dilanjutkan setelah HGB lama berakhir 2002.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Karma, Mara (2001). Ibnu Sutowo Mengemban Misi Revolusi Sebagai Dokter, Tentara, Pejuang Minyak Bumi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. ISBN 979-416-686-3. 
  2. ^ "6 Sosok Ketua Otorita Batam-BP Batam yang Sukses Sulap Hutan Belantara Jadi Kota Industri". BatamNes. 31 Desember 2015. Diakses tanggal 26 November 2019. 
Jabatan politik
Didahului oleh:
Armunanto
Menteri Minyak dan Gas Bumi Indonesia
1966
Diteruskan oleh:
Slamet Bratanata
Jabatan militer
Didahului oleh:
Bambang Utoyo
Pangdam Sriwijaya
1955–1956
Diteruskan oleh:
Barlian
Jabatan pemerintahan
Posisi baru Ketua Otorita Batam
1971–1976
Diteruskan oleh:
J.B. Sumarlin
Jabatan bisnis
Jabatan baru
Didahului oleh:
Tidak diketahui
Direktur Utama Pertamina
1968–1976
Diteruskan oleh:
Piet Haryono
Direktur utama PT Aqua Golden Mississippi Tbk
1976–1998
Diteruskan oleh:
Willy Sidharta
Jabatan lain
Didahului oleh:
Soeyoso Soemodimedjo
Ketua Umum Palang Merah Indonesia
1986–1992
Diteruskan oleh:
Siti Hardijanti Rukmana