Gamaliel

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 6 April 2013 03.40 oleh EmausBot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 24 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:Q310584)

Gamaliel (gəmā'lēəl) atau Gamaliel I adalah seorang Guru atau Rabi Yahudi pada zaman dahulu yang sangat terkemuka dan sangat disegani di antara tiga aliran Yahudi, yaitu Farisi, Saduki, dan Essen. Pemikirannya turut memberikan kontribusi bagi terbentuknya cara hidup orang-orang Yahudi pada akhir abad pertama hingga sekarang pada abad ke-21. Gamaliel juga adalah guru Rasul Paulus.

Latar Belakang Gamaliel

Gamaliel adalah cucu dari Hilel sang Penatua, yang telah mengembangkan pemikiran yang menjadi cikal-bakal kaum Farisi. Metode pengajaran Hilel dianggap lebih lunak dengan metode saingannya, Syamai. Setelah Bait Allah di Yerusalem di hancurkan pada tahun 70 M, Bet Hilel (Rumah Hilel) lebih disukai dibandingkan dengan Bet Syamai (Rumah Syamai). Rumah Hilel menjadi wakil resmi dari Yudaisme, karena semua sekte lain lenyap bersamaan dengan kehancuran Bait Allah. Keputusan-keputusan Bet Hilel sering kali menjadi dasar bagi hukum Yahudi dalam Misynah, yang menjadi fondasi dari Talmud, dan pengaruh Gamaliel tampaknya merupakan faktor utama dalam dominasi Rumah Hilel.

Gamaliel sebegitu dihormati sehingga ia menjadi orang pertama yang dijuluki raban, sebuah gelar yang lebih tinggi daripada rabi. Setelah suatu waktu, Gamaliel menjadi orang yang sangat dihormati sehingga Misynah berkat tentang dia, "Sewaktu Raban Gamaliel sang penatua wafat, kemuliaan dari Torah berakhir, dan kemurnian serta kekudusan pun lenyap" (Sotah 9:15).

Pengajaran Gamaliel

Rasul Paulus memberi tahu orang banyak di Yerusalem bahwa ia 'dididik di kaki Gamaliel'. Menurut Profesor Dov Zlotnick dari Seminari Teologi Yahudi di Amerika Serikat menulis, "Keseksamaan dari hukum lisan, jadi keterandalan hukum tersebut, hampir seluruhnya bergantung pada hubungan antara guru dan murid: perhatian yang diberikan oleh sang guru dalam mengajarkan hukum dan kesungguhan dari murid untuk mempelajarinya. . . . Oleh karena itu, murid-murid didesak untuk duduk di kaki para cendekiawan tersebut . . . 'dan dengan rasa dahaga meminum kata-katanya'" (Avot 1:4).

Dalam bukunya A History of the Jewish People in the Time of Jesus Christ, Emil Schürer menjelaskan metode-metode pengajaran para rabi pengajar pada abad pertama. Ia menulis, "Rabi-rabi yang lebih terkenal sering kali mengumpulkan di sekitar mereka sejumlah besar pria muda yang berhasrat untuk diajar, dengan tujuan membuat mereka mengenal dengan saksama 'hukum lisan' yang begitu beraneka ragam dan banyak jumlahnya. . . . Pengajaran tersebut terdiri dari pelatihan daya ingat secara terus-menerus tanpa kenal lelah. . . . Sang guru mengajukan beberapa pertanyaan tentang hukum kepada murid-muridnya yang keputusannya harus mereka ambil dan membiarkan mereka memberi jawaban atau ia yang menjawabnya sendiri. Murid-murid juga diperbolehkan untuk mengajukan pertanyaan kepada sang guru".

Dari sudut pandangan para rabi, apa yang dipertaruhkan murid-murid itu jauh lebih penting daripada sekadar menerima suatu tanda lulus. Mereka yang belajar di bawah bimbingan para guru demikian diberi peringatan, "Siapa saja yang melupakan satu hal dari apa yang telah ia pelajari—menurut Tulisan-Tulisan Kudus, itu adalah soal hidup atau mati". (Avot 3:8) Pujian terbesar dianugerahkan ke atas siswa yang seperti "sebuah sumur yang diplester, yang tidak kehilangan setetes air pun". (Avot 2:8) Jenis pelatihan demikianlah yang diterima Paulus, yang pada waktu itu dikenal dengan nama Ibraninya, Saulus dari Tarsus, dari Gamaliel.

Semangat dari Pengajaran Gamaliel

Selaras dengan pengajaran kaum Farisi, Gamaliel menganjurkan kepercayaan akan hukum lisan. Dengan demikian ia memberikan penekanan yang lebih besar kepada tradisi para rabi daripada kepada Tulisan-Tulisan Kudus yang terilham. (Matius 15:3-9) Misynah yang mengutip kata-kata Gamaliel sebagai berikut, "Dapatkan seorang guru [seorang rabi] dan bebaskan dirimu dari keraguan, karena kamu tidak boleh memberikan sepersepuluhan yang melebihi batas melalui dugaan". (Avot 1:16) Ini berarti bahwa bila Kitab-Kitab Ibrani tidak secara eksplisit mengatakan apa yang harus dilakukan, seseorang tidak boleh menggunakan daya nalarnya sendiri atau mengikuti hati nuraninya untuk membuat keputusan baginya. Menurut Gamaliel, hanya dengan cara demikianlah seseorang menghindari berbuat dosa. (Bandingkan dengan kitab Roma 14:1-12).

Akan tetapi, pada dasarnya Gamaliel dikenal karena sikapnya yang lebih toleran dan liberal dalam keputusannya dalam segi hukum keagamaan. Misalnya, ia memperlihatkan timbang rasa kepada para wanita ketika ia memutuskan bahwa ia "mengizinkan seorang istri untuk menikah kembali atas dasar kesaksian satu orang saksi [mengenai kematian suaminya]". (Yevamot 16:7) Selain itu, untuk melindungi mereka yang diceraikan, Gamaliel mengajukan sejumlah pembatasan dalam hal dikeluarkannya surat perceraian.

Semangat ini juga terlihat dalam cara Gamaliel berurusan dengan para pengikut Yesus Kristus pada masa awal. Buku Kisah Para Rasul menceritakan bahwa sewaktu para pemimpin Yahudi lain berupaya membunuh rasul-rasul Yesus yang telah mereka tangkap karena melakukan pengabaran, "seseorang bangkit dalam Sanhedrin, seorang Farisi bernama Gamaliel, guru Hukum yang dihormati oleh segenap umat, dan memberi perintah untuk membawa keluar pria-pria itu sejenak. Dan ia mengatakan kepada mereka, 'Pria-pria Israel, perhatikanlah dirimu sendiri sehubungan dengan apa yang kamu berniat lakukan berkenaan orang-orang ini. . . .aku mengatakan kepadamu: Jangan mencampuri perkara orang-orang ini, tetapi biarkan mereka; . . .sebaliknya, kamu mungkin akan didapati benar-benar melawan Allah'"(Kisah 5:34-40). Saran Gamaliel diindahkan, dan para rasul dibebaskan.

Gamaliel dan Paulus

Paulus telah dilatih dan dididik oleh salah satu rabi terbesar pada abad pertama. Tidak diragukan, dengan menyebutkan Gamaliel sang rasul membuat orang banyak memberikan perhatian istimewa kepada ucapannya. Tetapi ia berbicara kepada mereka tentang seorang Guru yang jauh lebih unggul daripada Gamaliel, yaitu Yesus, sang Mesias. Sekarang, sebagai murid Yesus, bukan murid Gamaliel, Paulus berbicara kepada kumpulan orang banyak.

Tampaknya, pengajaran yang ketat dalam Tulisan-Tulisan Kudus dan hukum Yahudi terbukti bermanfaat bagi Paulus sebagai seorang guru Kristen. Namun, surat-surat Paulus yang diilhamkan ilahi yang terdapat dalam Alkitab dengan jelas memperlihatkan bahwa ia menolak inti kepercayaan Farisi dari Gamaliel. Paulus mengarahkan rekan-rekan sesama bangsa Yahudinya dan orang-orang lain, bukan kepada para rabi dari Yudaisme atau kepada tradisi-tradisi buatan manusia, melainkan kepada Yesus Kristus.

Jika Paulus terus menjadi murid Gamaliel, ia bisa menikmati kehormatan besar. Orang-orang lain dari kelompok Gamaliel membantu menentukan masa depan Yudaisme. Misalnya, putra Gamaliel, Simeon, yang bisa jadi teman pelajar Paulus, memainkan peranan penting dalam pemberontakan orang Yahudi melawan Kekaisaran Roma. Setelah kehancuran bait Yerusalem pada tahun 70 M di bawah pimpinan seorang Jenderal Roma, Titus, cucu Gamaliel, Gamaliel II, memulihkan kekuasaan Sanhedrin, dengan memindahkannya ke Yavneh. Cucu Gamaliel II, Judah Ha-Nasi, adalah penyusun Misynah, yang telah menjadi batu fondasi dari konsep Yahudi sampai saat ini.

Referensi