Lompat ke isi

Malaria

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Malaria
Sebuah Plasmodium dari air ludah nyamuk betina bergerak melalui sel nyamuk
Informasi umum
SpesialisasiPenyakit infeksi

Malaria adalah penyakit yang ditularkan oleh nyamuk dari manusia dan hewan lain yang disebabkan oleh protozoa parasit (sekelompok mikroorganisme bersel tunggal) dalam tipe Plasmodium.[1] Malaria menyebabkan gejala yang biasanya termasuk demam, kelelahan, muntah, dan sakit kepala.[2] Dalam kasus yang parah dapat menyebabkan kulit kuning, kejang, koma, atau kematian.[2] Gejala biasanya muncul sepuluh sampai lima belas hari setelah digigit.[1] Jika tidak diobati, penyakit mungkin kambuh beberapa bulan kemudian.[1] Pada mereka yang baru selamat dari infeksi, infeksi ulang biasanya menyebabkan gejala ringan.[2] Imunitas parsial ini menghilang selama beberapa bulan hingga beberapa tahun jika orang tersebut tidak terpapar terus-menerus dengan malaria.[2]

Penyakit ini paling sering ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi.[1] Gigitan nyamuk memasukkan parasit dari air liur nyamuk ke dalam darah seseorang.[1] Parasit bergerak ke hati di mana mereka dewasa dan bereproduksi.[2] Lima spesies Plasmodium dapat menginfeksi dan disebarkan oleh manusia.[2] Sebagian besar kematian disebabkan oleh P. falciparum karena P. vivax, P. ovale, and P. malariae umumnya menyebabkan bentuk yang lebih ringan dari malaria.[1][2] Spesies P. knowlesi jarang menyebabkan penyakit pada manusia.[1] Malaria biasanya didiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis darah menggunakan film darah, atau dengan uji diagnostik cepat berdasarkan-antigen.[2] Metode yang menggunakan reaksi berantai polimerase untuk mendeteksi DNA parasit telah dikembangkan, tetapi tidak banyak digunakan di daerah di mana malaria umum (endemis) karena biaya dan kerumitannya.[3]

Risiko penyakit dapat dikurangi dengan mencegah gigitan nyamuk dengan menggunakan kelambu dan penolak serangga, atau dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) seperti penyemprotan insektisida dan menguras genangan air.[2] Beberapa obat tersedia untuk mencegah malaria pada wisatawan ke daerah di mana penyakit umum.[1] Dosis tunggal sulfadoksin/pirimetamin direkomendasikan pada bayi dan setelah trimester pertama kehamilan di daerah dengan tingkat malaria tinggi. Meskipun adanya kebutuhan, tidak ada vaksin yang efektif, meskipun upaya untuk mengembangkannya sedang berlangsung.[1] Pengobatan yang direkomendasikan untuk malaria adalah kombinasi obat antimalaria yang mencakup artemisinin.[1][2] Obat lini kedua yaitumeflokuin, lumefantrin, atau sulfadoksin/pirimetamin.[4] Kuinin bersama dengan doksisiklin dapat digunakan jika artemisinin tidak tersedia.[4] Direkomendasikan bahwa di daerah endemis, malaria terkonfirmasi sedini mungkin sebelum pengobatan untuk mencegah peningkatan resistansi obat. Beberapa parasit telah resisten untuk beberapa obat antimalaria; misalnya, P. falciparum resisten-klorokuin telah menyebar ke sebagian besar wilayah malaria, dan ketahanan terhadap artemisinin telah menjadi masalah di beberapa bagian Asia Tenggara.[1]

Penyakit ini tersebar luas di daerah tropis dan subtropis yang ada di pita lebar sekitar khatulistiwa.[2] Ini termasuk banyak dari Afrika Sub-Sahara, Asia, dan Amerika Latin. Pada 2015, ada 214 juta kasus malaria di seluruh dunia.[5] Hal ini mengakibatkan sekitar 438.000 kematian, 90% di antaranya terjadi di Afrika.[5] Tingkat penyakit menurun dari tahun 2000 hingga 2015 sebesar 37%,[5] namun meningkat dari 2014 di mana ada 198 juta kasus.[6] Malaria umumnya terkait dengan kemiskinan dan memiliki efek negatif yang besar pada pembangunan ekonomi.[7][8] Di Afrika, malaria diperkirakan mengakibatkan kerugian sebesar US$12 miliar setahun karena meningkatnya biaya kesehatan, kehilangan kemampuan untuk bekerja, dan efek negatif pada pariwisata.[9]

Tanda-tanda dan gejala

[sunting | sunting sumber]
Gejala utama dari malaria[10]

Tanda-tanda dan gejala malaria biasanya mulai 8-25 hari setelah terinfeksi.[10] Namun, gejala dapat terjadi kemudian pada orang-orang yang telah mengambil obat antimalaria sebagai pencegahan.[3] Manifestasi awal dari penyakit—berlaku umum untuk semua spesies malaria—mirip dengan gejala flu,[11] dan dapat menyerupai kondisi lain seperti sepsis, gastroenteritis, dan penyakit virus.[3] Gejala yang timbul termasuk sakit kepala, demam, menggigil, nyeri sendi, muntah, anemia hemolitik, penyakit kuning, hemoglobin dalam urin, kerusakan retina, dan kejang-kejang.[12]

Gejala klasik malaria adalah paroksismal—kejadian demam menggigil yang hilang timbul berulang sesuai siklus dan kemudian demam dan berkeringat, terjadi setiap dua hari (demam tertiana) di infeksi P. vivax dan P. ovale, dan setiap tiga hari (demam kuartana) untuk P. malariae. Infeksi P. falciparum dapat menyebabkan demam berulang setiap 36-48 jam, atau demam kurang menonjol dan hampir terus menerus.[13]

Malaria berat biasanya disebabkan oleh P. falciparum (sering disebut sebagai malaria falciparum). Gejala malaria falciparum timbul 9-30 hari setelah terinfeksi.[11] Individu dengan malaria serebral sering menunjukkan gejala neurologis, termasuk postur abnormal, nistagmus, kelumpuhan tatapan konjugat (kegagalan mata untuk bergerak bersama-sama dalam arah yang sama), opistotonus, kejang, atau koma.[11]

Komplikasi

[sunting | sunting sumber]

Malaria memiliki beberapa komplikasi yang serius. Di antaranya dapat terjadi gangguan pernapasan, 25% dari orang dewasa dan 40% dari anak-anak, pada malaria P. falciparum berat. Kemungkinan penyebab termasuk kompensasi pernapasan terhadap asidosis metabolik, edema paru nonkardiogenik, pneumonia yang terjadi bersamaan, serta anemia berat. Meskipun jarang terjadi pada anak-anak dengan malaria berat, sindrom gangguan pernapasan akut terjadi pada 5-25% dari orang dewasa dan sampai 29% dari wanita hamil.[14] Koinfeksi HIV dengan malaria meningkatkan angka kematian.[15] Gagal ginjal adalah tanda dari komplikasi malaria yang disebut demam air hitam, di mana hemoglobin dari sel darah merah yang pecah bocor ke dalam urin.[11]

Infeksi P. falciparum dapat mengakibatkan malaria serebral, bentuk malaria berat yang melibatkan ensefalopati. Hal ini terkait dengan memutihnya retina, yang mungkin merupakan tanda klinis yang berguna dalam membedakan malaria dari penyakit lain yang juga memiliki keluhan demam.[16] Splenomegali, sakit kepala parah, hepatomegali (pembesaran hati), hipoglikemia, dan hemoglobinuria dengan gagal ginjal dapat terjadi.[11] Komplikasi dapat mencakup perdarahan spontan dan koagulopati (gangguan pembekuan darah) hingga menyebabkan syok.[17]

Malaria pada ibu hamil merupakan penyebab penting dari lahir mati, kematian bayi, aborsi dan berat badan lahir rendah,[18] terutama pada infeksi P. falciparum, walau dapat terjadi juga dengan P. vivax.[19]

Parasit malaria termasuk dalam genus Plasmodium (filum Apicomplexa). Pada manusia, malaria disebabkan oleh P. falciparum, P. malariae, P. ovale, P. vivax dan P. knowlesi.[20][21] Di antara mereka yang terinfeksi, P. falciparum merupakan spesies yang paling umum diidentifikasi (~75%) diikuti oleh P. vivax (~20%).[3] Meskipun P. falciparum biasanya menyumbang sebagian besar kematian,[22] bukti terbaru menunjukkan bahwa malaria P. vivax terkait dengan kondisi yang berpotensi mengancam jiwa hampir sesering infeksi P. falciparum.[23] P. vivax secara proporsional lebih umum di luar Afrika.[24] Telah terdokumentasikan infeksi beberapa spesies Plasmodium pada manusia dari kera yang lebih tinggi; khusus untuk P. knowlesi—spesies zoonotik yang menyebabkan malaria pada makaka[21]—hal ini dianggap tidak begitu penting bagi kesehatan masyarakat.[25]

Pemanasan global kemungkinan akan memengaruhi penyebaran malaria, tetapi tingkat keparahan dan distribusi geografis dari efek tersebut belum pasti.[26][27]

Siklus hidup

[sunting | sunting sumber]
Siklus hidup parasit malaria. Seekor nyamuk menyebabkan infeksi oleh gigitan. Pertama, sporozoit memasuki aliran darah, dan bermigrasi ke hati. Mereka menginfeksi sel-sel hati, di mana mereka berkembang biak menjadi merozoit, memecahkan sel-sel hati, dan kembali ke aliran darah. Merozoit menginfeksi sel darah merah, di mana mereka berkembang menjadi bentuk cincin, trofozoit dan skizon yang pada gilirannya menghasilkan lebih banyak merozoit. Bentuk seksual juga diproduksi, yang, jika diambil oleh nyamuk, akan menginfeksi serangga dan melanjutkan siklus hidup.

Dalam siklus hidup Plasmodium, sebuah nyamuk Anopheles betina (inang definitif) mentransmisikan bentuk infektif motil (disebut sporozoit) ke inang vertebrata seperti manusia (inang sekunder), sehingga bertindak sebagai vektor transmisi. Sebuah sporozoit berjalan melalui pembuluh darah ke sel-sel hati (hepatosit), di mana ia bereproduksi secara aseksual (skizogoni jaringan), menghasilkan ribuan merozoit. Merozoit-merozoit ini menginfeksi sel-sel darah merah baru dan memulai serangkaian siklus multiplikasi aseksual (skizogoni darah) yang menghasilkan 8 sampai 24 merozoit infektif baru, pada titik itu sel pecah dan siklus infektif dimulai lagi.[28]

Merozoit lainnya berkembang menjadi gametosit belum matang, yang merupakan prekursor dari gamet jantan dan betina. Ketika nyamuk yang telah dibuahi menggigit orang yang terinfeksi, gametosit diambil dengan darah dan matang dalam usus nyamuk. Gametosit jantan dan betina menyatu dan membentuk ookinet—sebuah zigot motil yang telah dibuahi. Ookinet berkembang menjadi sporozoit baru yang bermigrasi ke kelenjar ludah serangga, siap untuk menginfeksi inang vertebrata baru. Sporozoit-sporozoit disuntikkan ke dalam kulit, dalam air liur, saat nyamuk memakan darah berikutnya.[29]

Hanya nyamuk betina yang menghisap darah, sedangkan nyamuk jantan memakan nektar tanaman, dan tidak menularkan penyakit. Betina dari genus nyamuk Anopheles lebih suka makan pada malam hari. Mereka biasanya mulai mencari makan pada sore hari, dan akan terus berlanjut sepanjang malam sampai mendapatkan makanan.[30] Parasit malaria juga dapat ditularkan oleh transfusi darah, meskipun hal ini jarang terjadi.[31]

Malaria yang kambuh

[sunting | sunting sumber]

Gejala malaria dapat kambuh setelah beberapa periode bebas gejala. Tergantung pada penyebabnya, kekambuhan dapat diklasifikasikan sebagai recrudescence, relapse, atau reinfeksi. Recrudescence adalah ketika gejala kembali setelah periode bebas gejala. Hal ini disebabkan oleh parasit hidup dalam darah dari pengobatan yang tidak memadai atau tidak efektif.[32] Relapse adalah ketika gejala muncul kembali setelah parasit tereliminasi dari darah tetapi tetap aktif sebagai hipnozoit dalam sel-sel hati. Relapse umumnya terjadi antara 8-24 minggu dan umumnya terjadi dengan infeksi P. vivax dan P. ovale.[3] Kasus malaria P. vivax di daerah beriklim sedang sering melibatkan overwintering oleh hipnozoit, dengan relapse dimulai setahun setelah gigitan nyamuk.[33] Reinfeksi berarti parasit yang menyebabkan infeksi sebelumnya telah tersingkir dari tubuh, tetapi terinfeksi kembali oleh parasit baru. Reinfeksi sulit dibedakan dari recrudescence, meskipun kambuhnya infeksi dalam waktu dua minggu pengobatan. Infeksi awal setelah sebelumnya sakit biasanya dikaitkan dengan kegagalan pengobatan.[34] Orang-orang yang telah terinfeksi sebelumnya masih memiliki sedikit kekebalan terhadap infeksi baru bila sering terpapar.[35]

Patofisiologi

[sunting | sunting sumber]
Mikrograf dari plasenta dari bayi lahir mati akibat malaria ibu. Pewarnaan H&E. Sel-sel darah merah tidak berinti; pewarnaan biru/hitam dalam struktur merah terang (sel darah merah) menunjukkan inti asing dari parasit.

Infeksi malaria berkembang melalui dua tahap: melalui tahap yang melibatkan hati (fase eksoeritrositik), dan melalui tahap yang melibatkan sel-sel darah merah, atau eritrosit (fase eritrositik). Ketika nyamuk yang terinfeksi menembus kulit seseorang untuk mengambil makan darah, sporozoit dalam air liur nyamuk memasuki aliran darah dan bermigrasi ke hati di mana mereka menginfeksi hepatosit, bereproduksi secara aseksual dan tanpa gejala untuk jangka waktu 8-30 hari.[36]

Setelah masa dorman potensial dalam hati, organisme ini berdiferensiasi untuk menghasilkan ribuan merozoit. Setelah pecahnya sel inang mereka, merozoit masuk ke dalam darah dan menginfeksi sel-sel darah merah untuk memulai tahap eritrositik dari siklus hidup.[36] Parasit yang telah keluar dari hati menjadi tidak terdeteksi dengan membungkus dirinya dalam membran sel dari sel inang hati yang terinfeksi.[37]

Dalam sel darah merah, parasit berkembang biak lebih lanjut, secara aseksual lagi, secara berkala keluar dari sel inang mereka untuk menyerang sel-sel darah merah segar. Beberapa siklus amplifikasi tersebut terjadi. Dengan demikian, deskripsi klasik gelombang demam timbul dari gelombang simultan merozoit melarikan diri dan menginfeksi sel-sel darah merah.[36]

Beberapa sporozoit P. vivax tidak segera berkembang menjadi merozoit fase-eksoeritrositik, melainkan menghasilkan hipnozoit yang dorman untuk periode tertentu mulai dari beberapa bulan (7-10 bulan khas) hingga beberapa tahun. Setelah masa dormansi, mereka aktif kembali dan menghasilkan merozoit. Hipnozoit bertanggung jawab untuk inkubasi yang panjang dan relapse akhir infeksi P. vivax,[33] meskipun keberadaannya pada P. ovale tidak pasti.[38]

Parasit ini relatif terlindungi dari serangan sistem kekebalan tubuh karena pada sebagian besar siklus hidup manusia parasit itu berada di dalam sel-sel hati dan darah dan relatif tidak terlihat bagi surveilans kekebalan tubuh. Namun, sel darah yang beredar yang terinfeksi hancur di limpa. Untuk menghindari hal ini, parasit P. falciparum menampilkan protein perekat pada permukaan sel-sel darah yang terinfeksi, menyebabkan sel-sel darah menempel pada dinding pembuluh darah kecil, sehingga parasit tidak melalui sirkulasi umum dan limpa.[39] Penyumbatan mikrovaskulatur menyebabkan gejala seperti malaria plasenta.[40] Sel darah merah bisa menembus penghalang darah-otak dan menyebabkan malaria serebral.[41]

Resistensi genetik

[sunting | sunting sumber]

Menurut sebuah ulasan tahun 2005, karena tingginya tingkat mortalitas dan morbiditas yang disebabkan oleh malaria—terutama spesies P. falciparum—malaria telah memberikan tekanan selektif terbesar pada genom manusia dalam sejarah terkini. Beberapa faktor genetik memberikan beberapa perlawanan untuk itu termasuk sifat sel sabit, sifat-sifat talasemia, defisiensi dehidrogenase glukosa-6-fosfat, dan tidak adanya antigen Duffy pada sel darah merah.[42][43]

Dampak dari sifat sel sabit pada kekebalan malaria menggambarkan beberapa pertukaran evolusi yang terjadi karena malaria endemik. Sifat sel sabit menyebabkan perubahan pada molekul hemoglobin dalam darah. Biasanya, sel-sel darah merah memiliki bentuk bikonkaf yang sangat fleksibel yang memungkinkan mereka untuk bergerak melalui kapiler yang sempit; Namun, ketika molekul hemoglobin S yang dimodifikasi terkena jumlah rendah oksigen, atau berkerumun bersama-sama karena dehidrasi, mereka bisa menyatu membentuk untaian yang menyebabkan sel berbentuk sabit atau berdistorsi menjadi bentuk melengkung. Dalam bentuk untaian molekul hemoglobin tidak efektif dalam mengambil atau melepaskan oksigen, dan sel tidak cukup fleksibel untuk beredar secara bebas. Pada tahap awal malaria, parasit dapat menyebabkan sel darah merah yang terinfeksi menjadi berbentuk sabit, dan sehingga mereka dihapus dari peredaran dengan cepat. Hal ini akan mengurangi frekuensi parasit malaria menyelesaikan siklus hidupnya di dalam sel. Individu yang homozigot (dengan dua salinan dari alel hemoglobin beta abnormal) memiliki anemia sel sabit, sementara mereka yang heterozigot (dengan satu alel abnormal dan satu alel normal) memiliki resistansi terhadap malaria tanpa anemia berat. Meskipun harapan hidup yang lebih pendek bagi mereka dengan kondisi homozigot akan cenderung merugikan kelangsungan hidup sifat ini, sifat ini dipertahankan di daerah rawan malaria karena manfaat yang diberikan oleh bentuk heterozigot.[43][44]

Disfungsi hati

[sunting | sunting sumber]

Disfungsi hati akibat malaria jarang dan biasanya hanya terjadi pada orang-orang dengan kondisi hati lainnya seperti hepatitis viral atau penyakit hati kronis. Sindrom ini kadang-kadang disebut hepatitis malaria.[45] Meskipun telah dianggap sebagai kejadian langka, hepatopati malaria telah mengalami peningkatan, terutama di Asia Tenggara dan India. Kompromi hati pada orang dengan malaria berkorelasi dengan kemungkinan komplikasi dan kematian yang lebih besar.[45]

Diagnostik

[sunting | sunting sumber]
Film darah adalah standar emas untuk diagnosis malaria.
Bentuk-cincin dan gametosit Plasmodium falciparum dalam darah manusia

Karena sifat non-spesifik dari gejala malaria, diagnosis malaria di daerah non-endemik membutuhkan tingkat kecurigaan yang tinggi, yang mungkin ditimbulkan oleh salah satu dari berikut: riwayat perjalanan baru-baru ini, pembesaran limpa, demam, jumlah rendah trombosit dalam darah, dan tingkat bilirubin yang lebih tinggi dari normal dalam darah dikombinasikan dengan tingkat normal sel darah putih.[3]

Malaria biasanya dikonfirmasi oleh pemeriksaan mikroskopis dari film darah atau uji diagnostik cepat (rapid diagnostic tests, RDT) berdasarkan-antigen.[46][47] Mikroskop adalah metode yang paling umum digunakan untuk mendeteksi parasit malaria—sekitar 165 juta film darah diperiksa untuk malaria pada tahun 2010.[48] Meskipun penggunaan secara luas, diagnosis dengan mikroskop memiliki dua kelemahan utama: banyak keadaan (terutama di pedesaan) tidak dilengkapi untuk melakukan tes, dan keakuratan hasil bergantung pada keterampilan orang yang memeriksa film darah dan kadar parasit dalam darah. Sensitivitas film darah berkisar 75-90% dalam kondisi optimum, hingga serendah 50%. RDT yang tersedia secara komersial sering lebih akurat daripada film darah dalam memprediksi adanya parasit malaria, tetapi mereka sangat beragam dalam sensitivitas diagnostik dan spesifisitas tergantung pada produsen, dan tidak dapat mengatakan berapa banyak parasit yang hadir.[48]

Di daerah di mana tes laboratorium sudah tersedia, malaria harus dicurigai, dan diuji, dalam setiap orang sehat yang pernah ke daerah endemik malaria. Di daerah yang tidak mampu tes diagnostik laboratorium, telah menjadi umum untuk menggunakan hanya riwayat demam sebagai indikasi untuk mengobati malaria—sehingga pengajaran umum "demam sama dengan malaria kecuali jika terbukti sebaliknya". Kelemahan dari praktik ini adalah overdiagnosis malaria dan salah urus demam non-malaria, yang membuang sumber daya yang terbatas, mengikis kepercayaan dalam sistem perawatan kesehatan, dan memberikan kontribusi untuk resistansi obat.[49] Meskipun tes berdasarkan reaksi berantai polimerase telah dikembangkan, mereka tidak banyak digunakan di daerah di mana malaria adalah umum pada 2012, karena kompleksitasnya.[3]

Klasifikasi

[sunting | sunting sumber]

Malaria diklasifikasikan menjadi "parah" atau "tidak berkomplikasi" oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO).[3] Malaria dianggap parah ketika terdapat salah satu kriteria berikut ini, jika tidak maka dianggap tidak berkomplikasi.[50]

Malaria serebral didefinisikan sebagai malaria P. falciparum parah dengan gejala neurologis, termasuk koma (dengan skala koma Glasgow kurang dari 11, atau skala koma Blantyre lebih dari 3), atau dengan koma yang bertahan lebih dari 30 menit setelah kejang-kejang.[51]

Berbagai tipe malaria disebut dengan nama di bawah ini:[52]

NamaPatogenCatatan
MalariaPlasmodium falciparummalaria parah yang memengaruhi sistem kardiovaskular dan menyebabkan kedinginan dan kejutan sirkulasi
Malaria biliousPlasmodium falciparummalaria parah yang memengaruhi hati dan menyebabkan muntah dan penyakit kuning
Malaria serebralPlasmodium falciparummalaria parah yang memengaruhi otak besar
Malaria kongenitalberbagai plasmodiaplasmodium yang menginfeksi dari ibu melalui sirkulasi fetal
Malaria falciparum, malaria Plasmodium falciparum, malaria pernisiosaPlasmodium falciparum
Malaria ovale, malaria Plasmodium ovalePlasmodium ovale
Malaria kuartana, malaria malariae, malaria Plasmodium malariaePlasmodium malariaehilang timbul setiap hari keempat (quartan), menghitung hari kejadian sebagai hari pertama
Malaria quotidianPlasmodium falciparum, Plasmodium vivaxhilang timbul setiap hari (quotidian)
Malaria tertianaPlasmodium falciparum, Plasmodium ovale, Plasmodium vivaxhilang timbul setiap hari ketiga (tertian), menghitung hari kejadian sebagai hari pertama
Malaria transfusiberbagai plasmodiaplasmodium yang menginfeksi melalui transfusi darah, berbagi jarum, atau perlukaan jarum suntik
Malaria vivax, malaria Plasmodium vivaxPlasmodium vivax

Pencegahan

[sunting | sunting sumber]
Sebuah nyamuk Anopheles stephensi tak lama setelah mendapat darah dari manusia (tetesan darah dikeluarkan sebagai surplus). Nyamuk ini adalah vektor malaria, dan pengendalian nyamuk adalah cara yang efektif untuk mengurangi insiden malaria.

Metode yang digunakan untuk mencegah malaria termasuk obat-obatan, eliminasi nyamuk dan pencegahan gigitan. Tidak ada vaksin untuk malaria. Kehadiran malaria di suatu daerah membutuhkan kombinasi dari kepadatan tinggi populasi manusia, kepadatan populasi nyamuk anopheles tinggi dan tingginya tingkat penularan dari manusia ke nyamuk dan dari nyamuk ke manusia. Jika salah satunya dapat diturunkan, parasit akhirnya akan menghilang dari daerah itu, seperti yang terjadi di Amerika Utara, Eropa dan beberapa bagian di Timur Tengah. Namun, parasit bisa kembali lagi jika kondisi kembali menguntungkan bagi reproduksi parasit. Selain itu, biaya per orang untuk memberantas nyamuk Anopheles meningkat dengan menurunnya kepadatan penduduk, sehingga secara ekonomi tidak layak di beberapa daerah.[53]

Pencegahan malaria mungkin lebih hemat biaya daripada pengobatan penyakit dalam jangka panjang, tetapi biaya awal yang diperlukan berada di luar jangkauan banyak orang miskin di dunia. Ada perbedaan luas dalam biaya program kontrol (yaitu pemeliharaan endemisitas rendah) dan eliminasi antar negara. Misalnya, di Tiongkok—yang pemerintahnya pada 2010 mengumumkan strategi untuk mengejar eliminasi malaria di provinsi-provinsi Tiongkok-investasi yang dibutuhkan adalah sebagian kecil dari pengeluaran pemerintah untuk kesehatan. Sebaliknya, program serupa di Tanzania akan biaya sekitar seperlima dari anggaran kesehatan masyarakat.[54]

Di daerah di mana malaria menjadi penyakik endemis atau umum terjadi, anak-anak di bawah lima tahun sering mengalami anemia yang kadang-kadang dikarenakan malaria. Memberikan obat pencegahan antimalaria kepada anak-anak dengan anemia di daerah ini meningkatkan kadar sel darah merah sedikit tetapi tidak memengaruhi risiko kematian atau kebutuhan untuk rawat inap.[55]

Pengendalian nyamuk

[sunting | sunting sumber]
Seseorang menyemprot minyak tanah di genangan air, Zona Terusan Panama 1912

Pengendalian vektor mengacu pada metode yang digunakan untuk menurunkan malaria dengan mengurangi tingkat penularan oleh nyamuk. Untuk perlindungan individu, penolak serangga yang paling efektif didasarkan pada DEET atau pikaridin.[56] Kelambu berinsektisida (insecticide-treated mosquito net, ITN) dan penyemprotan residu dalam ruangan (indoor residual spraying, IRS) telah terbukti sangat efektif dalam mencegah malaria pada anak di daerah di mana malaria endemis.[57][58] Pengobatan cepat dari kasus yang terkonfirmasi dengan terapi kombinasi berbasis artemisinin (artemisinin-based combination therapy, ACT) juga dapat mengurangi penularan.[59]

Dinding di mana penyemprotan residu dalam ruangan DDT telah diterapkan. Nyamuk tetap di dinding sampai mereka jatuh mati di lantai.
Sebuah kelambu digunakan.

Kelambu membantu menjauhkan nyamuk dari manusia dan mengurangi tingkat infeksi dan penularan malaria. Kelambu bukan penghalang sempurna dan sering diberi insektisida yang dirancang untuk membunuh nyamuk sebelum memiliki waktu untuk menemukan cara melewati kelambu. Kelambu berinsektisida diperkirakan dua kali lebih efektif daripada jaring yang tidak diberi insektisida dan menawarkan lebih dari 70% perlindungan dibandingkan dengan tidak ada kelambu.[60] Antara tahun 2000 dan 2008, penggunaan kelambu berinsektisida menyelamatkan nyawa sekitar 250.000 bayi di Afrika Sub-Sahara.[61] Sekitar 13% rumah tangga di negara-negara Sub-Sahara memiliki kelambu berinsektisida pada tahun 2007[62] dan 31% dari rumah tangga Afrika diperkirakan memiliki setidaknya satu kelambu berinsektisidap ada tahun 2008. Pada tahun 2000, 1,7 juta (1,8%) anak-anak Afrika yang tinggal di daerah di dunia di mana malaria endemis, terlindungi dengan kelambu berinsektisida. Angka itu meningkat menjadi 20,3 juta (18,5%) anak-anak Afrika menggunakan kelambu berinsektisida pada tahun 2007, meninggalkan 89,6 juta anak tidak terlindungi[63] dan untuk anak-anak Afrika 68% menggunakan kelambu pada tahun 2015.[64] Kebanyakan kelambu dilapisi dengan piretroid, kelas insektisida dengan toksisitas rendah. Mereka adalah paling efektif bila digunakan dari senja hingga fajar.[65] Dianjurkan untuk menggantung "kelambu" besar di atas pusat tempat tidur dan menyelipkan tepi kelambu secara baik ke bawah kasur atau pastikan kelambu cukup besar sehingga menyentuh tanah (tidak ada celah).[66]

Penyemprotan residu dalam ruangan adalah penyemprotan insektisida pada dinding di dalam rumah. Setelah makan, banyak nyamuk beristirahat di permukaan yang terdekat sementara mencerna darah. Jika dinding rumah telah dilapisi dengan insektisida, nyamuk yang beristirahat dapat dibunuh sebelum mereka dapat menggigit orang lain dan mentransfer parasit malaria.[67] Mulai tahun 2006, Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan 12 insektisida dalam operasi penyemprotan residu dalam ruangan, termasuk DDT dan piretroid siflutrin dan deltametrin.[68] Penggunaan sejumlah kecil DDT ini dalam bidang keseharan masyarakat diperbolehkan di bawah Konvensi Stockholm, yang melarang penggunaan pada pertanian.[69] Satu masalah dengan semua bentuk penyemprotan residu dalam ruangan adalah resistansi insektisida. Nyamuk yang terkena penyemprotan residu dalam ruangan cenderung untuk beristirahat dan hidup di dalam ruangan, dan karena iritasi yang disebabkan oleh penyemprotan, keturunan mereka cenderung untuk beristirahat dan hidup di luar ruangan, yang berarti bahwa penyemprotan residu dalam ruangan kurang berefek pada nyamuk.[70]

Ada sejumlah metode lain untuk mengurangi gigitan nyamuk dan memperlambat penyebaran malaria. Upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) untuk mengurangi jentik-jentik nyamuk dengan mengurangi ketersediaan air terbuka di mana mereka berkembang atau dengan menambahkan zat-zat untuk mengurangi perkembangan mereka efektif di beberapa lokasi (seperti bubuk abate).[71] Perangkat anti nyamuk elektronik yang membuat suara frekuensi sangat tinggi yang dianggap mampu mengusir nyamuk betina, tidak memiliki bukti yang mendukung.[72]

Pengobatan

[sunting | sunting sumber]
Advertisement entitled "The Mosquito Danger". Includes 6 panel cartoon: #1 breadwinner has malaria, family starving; #2 wife selling ornaments; #3 doctor administers quinine; #4 patient recovers; #5 doctor indicating that quinine can be obtained from post office if needed again; #6 man who refused quinine, dead on stretcher.
Sebuah iklan untuk kuinina sebagai obat malaria dari tahun 1927.

Malaria diobati dengan obat antimalaria; yang digunakan tergantung pada jenis dan tingkat keparahan penyakit. Meskipun obat terhadap demam umum digunakan, efek obat itu tidak jelas.[73]

Malaria tanpa komplikasi dapat diobati dengan obat oral. Pengobatan yang paling efektif untuk infeksi P. falciparum adalah penggunaan artemisinin dalam kombinasi dengan obat antimalaria lainnya (dikenal sebagai terapi artemisinin-kombinasi, atau artemisinin-combination therapy [ACT]), yang menurunkan resistansi terhadap komponen obat tunggal.[74] Obat antimalaria tambahan ini meliputi: amodiakuin, lumefantrin, meflokuin atau sulfadoksin/pirimetamin.[75] Kombinasi lain yang direkomendasikan adalah dihidroartemisinin dengan piperakuin.[76][77] ACT ini efektif pada 90% kasus malaria tanpa komplikasi.[61] Untuk mengobati malaria selama kehamilan, WHO merekomendasikan penggunaan kuinin ditambah klindamisin di awal kehamilan (trimester 1), dan ACT di tahap akhir (trimester 2 dan 3).[78] Pada awal 2000-an, malaria dengan resistansi parsial terhadap artemisin muncul di Asia Tenggara.[79][80]

Infeksi P. vivax, P. ovale atau P. malariae biasanya diobati tanpa perlu rawat inap. Pengobatan P. vivax membutuhkan baik pengobatan tahapan parasit dalam darah (dengan klorokuin atau ACT) dan pembersihan bentuk parasit dalam hati dengan primakuin.[81]

Pengobatan yang direkomendasikan untuk malaria berat adalah penggunaan obat antimalaria intravena. Untuk malaria berat, artesunat lebih unggul dari kuinina pada anak-anak dan orang dewasa.[82] Pengobatan malaria berat melibatkan unit perawatan intensif, termasuk pengelolaan demam tinggi, kejang, gagal napas, gula darah rendah, dan kalium darah rendah.[22]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 "Malaria Fact sheet N°94". WHO. March 2014. Diakses tanggal 28 August 2014.
  2. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Caraballo H (2014). "Emergency department management of mosquito-borne illness: Malaria, dengue, and west nile virus". Emergency Medicine Practice. 16 (5).
  3. 1 2 3 4 5 6 7 8 Nadjm B, Behrens RH (2012). "Malaria: An update for physicians". Infectious Disease Clinics of North America. 26 (2): 243–59. doi:10.1016/j.idc.2012.03.010. PMID 22632637.
  4. 1 2 Organization, World Health (2010). Guidelines for the treatment of malaria (Edisi 2nd). Geneva: World Health Organization. hlm. ix. ISBN 9789241547925.
  5. 1 2 3 "Malaria Fact sheet N°94". WHO. Diakses tanggal 2 February 2016.
  6. WHO (2014). World Malaria Report 2014. Geneva, Switzerland: World Health Organization. hlm. 32–42. ISBN 978-92-4156483-0.
  7. Gollin D, Zimmermann C (August 2007). Malaria: Disease Impacts and Long-Run Income Differences (PDF) (Report). Institute for the Study of Labor.
  8. Worrall E, Basu S, Hanson K (2005). "Is malaria a disease of poverty? A review of the literature". Tropical Health and Medicine. 10 (10): 1047–59. doi:10.1111/j.1365-3156.2005.01476.x. PMID 16185240. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  9. Greenwood BM, Bojang K, Whitty CJ, Targett GA (2005). "Malaria". Lancet. 365 (9469): 1487–98. doi:10.1016/S0140-6736(05)66420-3. PMID 15850634. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  10. 1 2 Fairhurst RM, Wellems TE (2010). "Chapter 275. Plasmodium species (malaria)". Dalam Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (eds) (ed.). Mandell, Douglas, and Bennett's Principles and Practice of Infectious Diseases. Vol. 2 (Edisi 7th). Philadelphia, Pennsylvania: Churchill Livingstone/Elsevier. hlm. 3437–62. ISBN 978-0-443-06839-3. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: editors list (link)
  11. 1 2 3 4 5 Bartoloni A, Zammarchi L (2012). "Clinical aspects of uncomplicated and severe malaria". Mediterranean Journal of Hematology and Infectious Diseases. 4 (1): e2012026. doi:10.4084/MJHID.2012.026. PMC 3375727. PMID 22708041. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  12. Beare NA, Taylor TE, Harding SP, Lewallen S, Molyneux ME (2006). "Malarial retinopathy: A newly established diagnostic sign in severe malaria". American Journal of Tropical Medicine and Hygiene. 75 (5): 790–7. PMC 2367432. PMID 17123967. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  13. Ferri FF (2009). "Chapter 332. Protozoal infections". Ferri's Color Atlas and Text of Clinical Medicine. Elsevier Health Sciences. hlm. 1159. ISBN 978-1-4160-4919-7.
  14. Taylor WR, Hanson J, Turner GD, White NJ, Dondorp AM (2012). "Respiratory manifestations of malaria". Chest. 142 (2): 492–505. doi:10.1378/chest.11-2655. PMID 22871759. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  15. Korenromp E, Williams B, de Vlas S, Gouws E, Gilks C, Ghys P, Nahlen B (2005). "Malaria attributable to the HIV-1 epidemic, sub-Saharan Africa". Emerging Infectious Diseases. 11 (9): 1410–9. doi:10.3201/eid1109.050337. PMC 3310631. PMID 16229771. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  16. Beare NA, Lewallen S, Taylor TE, Molyneux ME (2011). "Redefining cerebral malaria by including malaria retinopathy". Future Microbiology. 6 (3): 349–55. doi:10.2217/fmb.11.3. PMC 3139111. PMID 21449844. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  17. Davidson's Principles and Practice of Medicine/21st/351
  18. Hartman TK, Rogerson SJ, Fischer PR (2010). "The impact of maternal malaria on newborns". Annals of Tropical Paediatrics. 30 (4): 271–82. doi:10.1179/146532810X12858955921032. PMID 21118620. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  19. Rijken MJ, McGready R, Boel ME, Poespoprodjo R, Singh N, Syafruddin D, Rogerson S, Nosten F (2012). "Malaria in pregnancy in the Asia-Pacific region". Lancet Infectious Diseases. 12 (1): 75–88. doi:10.1016/S1473-3099(11)70315-2. PMID 22192132. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  20. Mueller I, Zimmerman PA, Reeder JC (2007). "Plasmodium malariae and Plasmodium ovale—the "bashful" malaria parasites". Trends in Parasitology. 23 (6): 278–83. doi:10.1016/j.pt.2007.04.009. PMC 3728836. PMID 17459775. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  21. 1 2 Collins WE (2012). "Plasmodium knowlesi: A malaria parasite of monkeys and humans". Annual Review of Entomology. 57: 107–21. doi:10.1146/annurev-ento-121510-133540. PMID 22149265.
  22. 1 2 Sarkar PK, Ahluwalia G, Vijayan VK, Talwar A (2009). "Critical care aspects of malaria". Journal of Intensive Care Medicine. 25 (2): 93–103. doi:10.1177/0885066609356052. PMID 20018606. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  23. Baird JK (2013). "Evidence and implications of mortality associated with acute Plasmodium vivax malaria". Clinical Microbiology Reviews. 26 (1): 36–57. doi:10.1128/CMR.00074-12. PMC 3553673. PMID 23297258.
  24. Arnott A, Barry AE, Reeder JC (2012). "Understanding the population genetics of Plasmodium vivax is essential for malaria control and elimination". Malaria Journal. 11: 14. doi:10.1186/1475-2875-11-14. PMC 3298510. PMID 22233585. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: DOI bebas tanpa ditandai (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  25. Collins WE, Barnwell JW (2009). "Plasmodium knowlesi: finally being recognized". Journal of Infectious Diseases. 199 (8): 1107–8. doi:10.1086/597415. PMID 19284287. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  26. Parham PE, Christiansen-Jucht C, Pople D, Michael E (2011). "Understanding and modelling the impact of climate change on infectious diseases". Dalam Blanco J, Kheradmand H (eds.) (ed.). Climate Change – Socioeconomic Effects. hlm. 43–66. ISBN 978-9533074115. Diarsipkan dari asli tanggal 2014-03-13. Diakses tanggal 2016-02-13. ; Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  27. "Climate Change And Infectious Diseases" (PDF). CLIMATE CHANGE AND HUMAN HEALTH—RISK AND RESPONSES. World Health Organization.
  28. Schlagenhauf-Lawlor 2008, hlm. 70–1
  29. Cowman AF, Berry D, Baum J (2012). "The cellular and molecular basis for malaria parasite invasion of the human red blood cell". Journal of Cell Biology. 198 (6): 961–71. doi:10.1083/jcb.201206112. PMC 3444787. PMID 22986493. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  30. Arrow KJ, Panosian C, Gelband H, Institute of Medicine (U.S.). Committee on the Economics of Antimalarial Drugs (2004). Saving Lives, Buying Time: Economics of Malaria Drugs in an Age of Resistance. National Academies Press. hlm. 141. ISBN 978-0-309-09218-0. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  31. Owusu-Ofori AK, Parry C, Bates I (2010). "Transfusion-transmitted malaria in countries where malaria is endemic: A review of the literature from sub-Saharan Africa". Clinical Infectious Diseases. 51 (10): 1192–8. doi:10.1086/656806. PMID 20929356. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  32. WHO 2010, hlm. vi
  33. 1 2 White NJ (2011). "Determinants of relapse periodicity in Plasmodium vivax malaria". Malaria Journal. 10: 297. doi:10.1186/1475-2875-10-297. PMC 3228849. PMID 21989376. Pemeliharaan CS1: DOI bebas tanpa ditandai (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  34. WHO 2010, hlm. 17
  35. Tran TM, Samal B, Kirkness E, Crompton PD (2012). "Systems immunology of human malaria". Trends in Parasitology. 28 (6): 248–57. doi:10.1016/j.pt.2012.03.006. PMC 3361535. PMID 22592005. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  36. 1 2 3 Bledsoe GH (2005). "Malaria primer for clinicians in the United States". Southern Medical Journal. 98 (12): 1197–204, quiz 1205, 1230. doi:10.1097/01.smj.0000189904.50838.eb. PMID 16440920.
  37. Vaughan AM, Aly AS, Kappe SH (2008). "Malaria parasite pre-erythrocytic stage infection: Gliding and hiding". Cell Host & Microbe. 4 (3): 209–18. doi:10.1016/j.chom.2008.08.010. PMC 2610487. PMID 18779047. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  38. Richter J, Franken G, Mehlhorn H, Labisch A, Häussinger D (2010). "What is the evidence for the existence of Plasmodium ovale hypnozoites?". Parasitology Research. 107 (6): 1285–90. doi:10.1007/s00436-010-2071-z. PMID 20922429. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  39. Tilley L, Dixon MW, Kirk K (2011). "The Plasmodium falciparum-infected red blood cell". International Journal of Biochemistry and Cell Biology. 43 (6): 839–42. doi:10.1016/j.biocel.2011.03.012. PMID 21458590. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  40. Mens PF, Bojtor EC, Schallig HDFH (2012). "Molecular interactions in the placenta during malaria infection". European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology. 152 (2): 126–32. doi:10.1016/j.ejogrb.2010.05.013. PMID 20933151. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  41. Rénia L, Wu Howland S, Claser C, Charlotte Gruner A, Suwanarusk R, Hui Teo T, Russell B, Ng LF (2012). "Cerebral malaria: mysteries at the blood-brain barrier". Virulence. 3 (2): 193–201. doi:10.4161/viru.19013. PMC 3396698. PMID 22460644. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  42. Kwiatkowski DP (2005). "How malaria has affected the human genome and what human genetics can teach us about malaria". American Journal of Human Genetics. 77 (2): 171–92. doi:10.1086/432519. PMC 1224522. PMID 16001361. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  43. 1 2 Hedrick PW (2011). "Population genetics of malaria resistance in humans". Heredity. 107 (4): 283–304. doi:10.1038/hdy.2011.16. PMC 3182497. PMID 21427751. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  44. Weatherall DJ (2008). "Genetic variation and susceptibility to infection: The red cell and malaria". British Journal of Haematology. 141 (3): 276–86. doi:10.1111/j.1365-2141.2008.07085.x. PMID 18410566.
  45. 1 2 Bhalla A, Suri V, Singh V (2006). "Malarial hepatopathy". Journal of Postgraduate Medicine. 52 (4): 315–20. PMID 17102560. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  46. Abba K, Deeks JJ, Olliaro P, Naing CM, Jackson SM, Takwoingi Y, Donegan S, Garner P (2011). Abba, Katharine (ed.). "Rapid diagnostic tests for diagnosing uncomplicated P. falciparum malaria in endemic countries". Cochrane Database of Systematic Reviews (7): CD008122. doi:10.1002/14651858.CD008122.pub2. PMID 21735422. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  47. Kattenberg JH, Ochodo EA, Boer KR, Schallig HD, Mens PF, Leeflang MM (2011). "Systematic review and meta-analysis: Rapid diagnostic tests versus placental histology, microscopy and PCR for malaria in pregnant women". Malaria Journal. 10: 321. doi:10.1186/1475-2875-10-321. PMC 3228868. PMID 22035448. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: DOI bebas tanpa ditandai (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  48. 1 2 Wilson ML (2012). "Malaria rapid diagnostic tests". Clinical Infectious Diseases. 54 (11): 1637–41. doi:10.1093/cid/cis228. PMID 22550113.
  49. Perkins MD, Bell DR (2008). "Working without a blindfold: The critical role of diagnostics in malaria control". Malaria Journal. 1 (Suppl 1): S5. doi:10.1186/1475-2875-7-S1-S5. PMC 2604880. PMID 19091039. Pemeliharaan CS1: DOI bebas tanpa ditandai (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  50. WHO 2010, hlm. 35
  51. WHO 2010, hlm. v
  52. Elsevier, Dorland's Illustrated Medical Dictionary, Elsevier, diarsipkan dari asli tanggal 2014-01-11, diakses tanggal 2016-04-27.
  53. World Health Organization (1958). "Malaria". The First Ten Years of the World Health Organization (PDF). World Health Organization. hlm. 172–87. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2011-07-08. Diakses tanggal 2016-02-13.
  54. Sabot O, Cohen JM, Hsiang MS, Kahn JG, Basu S, Tang L, Zheng B, Gao Q, Zou L, Tatarsky A, Aboobakar S, Usas J, Barrett S, Cohen JL, Jamison DT, Feachem RG (2010). "Costs and financial feasibility of malaria elimination". Lancet. 376 (9752): 1604–15. doi:10.1016/S0140-6736(10)61355-4. PMC 3044845. PMID 21035839. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  55. Athuman, M; Kabanywanyi, AM; Rohwer, AC (13 January 2015). "Intermittent preventive antimalarial treatment for children with anaemia". The Cochrane database of systematic reviews. 1: CD010767. doi:10.1002/14651858.CD010767.pub2. PMID 25582096.
  56. Kajfasz P (2009). "Malaria prevention". International Maritime Health. 60 (1–2): 67–70. PMID 20205131. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  57. Lengeler C (2004). Lengeler, Christian (ed.). "Insecticide-treated bed nets and curtains for preventing malaria". Cochrane Database of Systematic Reviews (2): CD000363. doi:10.1002/14651858.CD000363.pub2. PMID 15106149.
  58. Tanser FC, Lengeler C, Sharp BL (2010). Lengeler, Christian (ed.). "Indoor residual spraying for preventing malaria". Cochrane Database of Systematic Reviews (4): CD006657. doi:10.1002/14651858.CD006657.pub2. PMID 20393950. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  59. Palmer, J. "WHO gives indoor use of DDT a clean bill of health for controlling malaria". WHO.
  60. Raghavendra K, Barik TK, Reddy BP, Sharma P, Dash AP (2011). "Malaria vector control: From past to future". Parasitology Research. 108 (4): 757–79. doi:10.1007/s00436-010-2232-0. PMID 21229263. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)[pranala nonaktif permanen] publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  61. 1 2 Howitt P, Darzi A, Yang GZ, Ashrafian H, Atun R, Barlow J, Blakemore A, Bull AM, Car J, Conteh L, Cooke GS, Ford N, Gregson SA, Kerr K, King D, Kulendran M, Malkin RA, Majeed A, Matlin S, Merrifield R, Penfold HA, Reid SD, Smith PC, Stevens MM, Templeton MR, Vincent C, Wilson E (2012). "Technologies for global health". The Lancet. 380 (9840): 507–35. doi:10.1016/S0140-6736(12)61127-1. PMID 22857974. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  62. Miller JM, Korenromp EL, Nahlen BL, W Steketee R (2007). "Estimating the number of insecticide-treated nets required by African households to reach continent-wide malaria coverage targets". Journal of the American Medical Association. 297 (20): 2241–50. doi:10.1001/jama.297.20.2241. PMID 17519414. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  63. Noor AM, Mutheu JJ, Tatem AJ, Hay SI, Snow RW (2009). "Insecticide-treated net coverage in Africa: Mapping progress in 2000–07". Lancet. 373 (9657): 58–67. doi:10.1016/S0140-6736(08)61596-2. PMC 2652031. PMID 19019422. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  64. Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama UNICEF2015
  65. Schlagenhauf-Lawlor 2008, hlm. 215
  66. Instructions for treatment and use of insecticide-treated mosquito nets (pdf). World Health Organization. 2002. hlm. 34.
  67. Enayati A, Hemingway J (2010). "Malaria management: Past, present, and future". Annual Review of Entomology. 55: 569–91. doi:10.1146/annurev-ento-112408-085423. PMID 19754246.
  68. Indoor Residual Spraying: Use of Indoor Residual Spraying for Scaling Up Global Malaria Control and Elimination. WHO Position Statement (PDF) (Report). World Health Organization. 2006.
  69. van den Berg H (2009). "Global status of DDT and its alternatives for use in vector control to prevent disease". Environmental Health Perspectives. 117 (11): 1656–63. doi:10.1289/ehp.0900785. PMC 2801202. PMID 20049114.
  70. Pates H, Curtis C (2005). "Mosquito behaviour and vector control". Annual Review of Entomology. 50: 53–70. doi:10.1146/annurev.ento.50.071803.130439. PMID 15355233.
  71. Tusting LS, Thwing J, Sinclair D, Fillinger U, Gimnig J, Bonner KE, Bottomley C, Lindsay SW (2013). "Mosquito larval source management for controlling malaria". Cochrane Database of Systematic Reviews. 8: CD008923. doi:10.1002/14651858.CD008923.pub2. PMID 23986463. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  72. Enayati AA, Hemingway J, Garner P. (2007). Enayati, Ahmadali (ed.). "Electronic mosquito repellents for preventing mosquito bites and malaria infection" (PDF). Cochrane Database of Systematic Reviews (2): CD005434. doi:10.1002/14651858.CD005434.pub2. PMID 17443590. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  73. Meremikwu MM, Odigwe CC, Akudo Nwagbara B, Udoh EE (2012). Meremikwu, Martin M (ed.). "Antipyretic measures for treating fever in malaria". Cochrane Database of Systematic Reviews. 9: CD002151. doi:10.1002/14651858.CD002151.pub2. PMID 22972057. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  74. Kokwaro G (2009). "Ongoing challenges in the management of malaria". Malaria Journal. 8 (Suppl 1): S2. doi:10.1186/1475-2875-8-S1-S2. PMC 2760237. PMID 19818169. Pemeliharaan CS1: DOI bebas tanpa ditandai (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  75. WHO 2010, hlm. 75–86
  76. WHO 2010, hlm. 21
  77. Keating GM (2012). "Dihydroartemisinin/piperaquine: A review of its use in the treatment of uncomplicated Plasmodium falciparum malaria". Drugs. 72 (7): 937–61. doi:10.2165/11203910-000000000-00000. PMID 22515619.
  78. Manyando C, Kayentao K, D'Alessandro U, Okafor HU, Juma E, Hamed K (2011). "A systematic review of the safety and efficacy of artemether-lumefantrine against uncomplicated Plasmodium falciparum malaria during pregnancy". Malaria Journal. 11: 141. doi:10.1186/1475-2875-11-141. PMC 3405476. PMID 22548983. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: DOI bebas tanpa ditandai (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  79. O'Brien C, Henrich PP, Passi N, Fidock DA (2011). "Recent clinical and molecular insights into emerging artemisinin resistance in Plasmodium falciparum". Current Opinion in Infectious Diseases. 24 (6): 570–7. doi:10.1097/QCO.0b013e32834cd3ed. PMC 3268008. PMID 22001944. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  80. Fairhurst RM, Nayyar GM, Breman JG, Hallett R, Vennerstrom JL, Duong S, Ringwald P, Wellems TE, Plowe CV, Dondorp AM (2012). "Artemisinin-resistant malaria: research challenges, opportunities, and public health implications". American Journal of Tropical Medicine and Hygiene. 87 (2): 231–41. doi:10.4269/ajtmh.2012.12-0025. PMC 3414557. PMID 22855752. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  81. Waters NC, Edstein MD (2012). "8-Aminoquinolines: Primaquine and tafenoquine". Dalam Staines HM, Krishna S (eds) (ed.). Treatment and Prevention of Malaria: Antimalarial Drug Chemistry, Action and Use. Springer. hlm. 69–93. ISBN 978-3-0346-0479-6.
  82. Sinclair D, Donegan S, Isba R, Lalloo DG (2012). Sinclair, David (ed.). "Artesunate versus quinine for treating severe malaria". Cochrane Database of Systematic Reviews. 6: CD005967. doi:10.1002/14651858.CD005967.pub4. PMID 22696354. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  83. Abeku TA (2007). "Response to malaria epidemics in Africa". Emerging Infectious Diseases. 14 (5): 681–6. doi:10.3201/eid1305.061333. PMC 2738452. PMID 17553244. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  84. Achan J, Talisuna AO, Erhart A, Yeka A, Tibenderana JK, Baliraine FN, Rosenthal PJ, D'Alessandro U (2011). "Quinine, an old anti-malarial drug in a modern world: Role in the treatment of malaria". Malaria Journal. 10 (1): 144. doi:10.1186/1475-2875-10-144. PMC 3121651. PMID 21609473. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: DOI bebas tanpa ditandai (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  85. Ameri M (2010). "Laboratory diagnosis of malaria in nonhuman primates". Veterinary Clinical Pathology. 39 (1): 5–19. doi:10.1111/j.1939-165X.2010.00217.x. PMID 20456124.
  86. Ashley EA, Dhorda M, Fairhurst RM, Amaratunga C, Lim P, et al. (2014). "Spread of artemisinin resistance in Plasmodium falciparum malaria". New England Journal of Medicine. 371 (5): 411–23. doi:10.1056/NEJMoa1314981. PMID 25075834.
  87. Aultman KS, Gottlieb M, Giovanni MY, Fauci AS (2002). "Anopheles gambiae genome: completing the malaria triad". Science. 298 (5591): 13. doi:10.1126/science.298.5591.13. PMID 12364752. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  88. "History | CDC Malaria". Cdc.gov. February 8, 2010. Diakses tanggal 2012-05-15.
  89. Baird JK. (2009). "Malaria zoonoses". Travel Medicine and Infectious Disease. 7 (5): 269–77. doi:10.1016/j.tmaid.2009.06.004. PMID 19747661.
  90. Bardají A, Bassat Q, Alonso PL, Menéndez C (2012). "Intermittent preventive treatment of malaria in pregnant women and infants: making best use of the available evidence". Expert Opinion on Pharmacotherapy. 13 (12): 1719–36. doi:10.1517/14656566.2012.703651. PMID 22775553. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  91. Biot C, Castro W, Botté CY, Navarro M (2012). "The therapeutic potential of metal-based antimalarial agents: Implications for the mechanism of action". Dalton Transactions. 41 (21): 6335–49. doi:10.1039/C2DT12247B. PMID 22362072. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  92. Bray RS (2004). Armies of Pestilence: The Effects of Pandemics on History. James Clarke. hlm. 102. ISBN 978-0-227-17240-7.
  93. Breeveld FJV, Vreden SGS, Grobusch MP (2012). "History of malaria research and its contribution to the malaria control success in Suriname: A review". Malaria Journal. 11: 95. doi:10.1186/1475-2875-11-95. PMC 3337231. PMID 22458802. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: DOI bebas tanpa ditandai (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  94. Byrne JP (2008). Encyclopedia of Pestilence, Pandemics, and Plagues: A-M. ABC-CLIO. hlm. 383. ISBN 978-0-313-34102-1.[pranala nonaktif permanen]
  95. Caudron J-M, Ford N, Henkens M, Macé, Kidle-Monroe R, Pinel J (2008). "Substandard medicines in resource-poor settings: A problem that can no longer be ignored". Tropical Medicine & International Health. 13 (8): 1062–72. doi:10.1111/j.1365-3156.2008.02106.x. PMID 18631318. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  96. "Frequently Asked Questions (FAQs): If I get malaria, will I have it for the rest of my life?". US Centers for Disease Control and Prevention. February 8, 2010. Diakses tanggal 2012-05-14.
  97. Chernin E (1977). "Patrick Manson (1844–1922) and the transmission of filariasis". American Journal of Tropical Medicine and Hygiene. 26 (5 Pt 2 Suppl): 1065–70. PMID 20786.
  98. Chernin E (1983). "Josiah Clark Nott, insects, and yellow fever". Bulletin of the New York Academy of Medicine. 59 (9): 790–802. PMC 1911699. PMID 6140039.
  99. "Eradication of Malaria in the United States (1947–1951)". US Centers for Disease Control and Prevention. February 8, 2010. Diakses tanggal 2012-05-02.
  100. "Malaria". US Centers for Disease Control and Prevention. April 15, 2010. Diarsipkan dari asli tanggal 2012-04-16. Diakses tanggal 2012-05-02.
  101. "Ross and the Discovery that Mosquitoes Transmit Malaria Parasites". CDC Malaria website. Diarsipkan dari asli tanggal 2007-06-02. Diakses tanggal 2012-06-14.
  102. Cox F (2002). "History of human parasitology". Clinical Microbiology Reviews. 15 (4): 595–612. doi:10.1128/CMR.15.4.595-612.2002. PMC 126866. PMID 12364371. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  103. Crompton PD, Pierce SK, Miller LH (2010). "Advances and challenges in malaria vaccine development". Journal of Clinical Investigation. 120 (12): 4168–78. doi:10.1172/JCI44423. PMC 2994342. PMID 21123952. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  104. Cui L, Yan G, Sattabongkot J, Cao Y, Chen B, Chen X, Fan Q, Fang Q, Jongwutiwes S, Parker D, Sirichaisinthop J, Kyaw MP, Su XZ, Yang H, Yang Z, Wang B, Xu J, Zheng B, Zhong D, Zhou G (2012). "Malaria in the Greater Mekong Subregion: Heterogeneity and complexity". Acta Tropica. 121 (3): 227–39. doi:10.1016/j.actatropica.2011.02.016. PMC 3132579. PMID 21382335. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  105. Dondorp AM, Yeung S, White L, Nguon C, Day NPJ, Socheat D, von Seidlein L (2010). "Artemisinin resistance: Current status and scenarios for containment". Nature Reviews Microbiology. 8 (4): 272–80. doi:10.1038/nrmicro2331. PMID 20208550. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  106. Du Q, Wang H, Xie J (2011). "Thiamin (vitamin B1) biosynthesis and regulation: A rich source of antimicrobial drug targets?". International Journal of Biological Sciences. 7 (1): 41–52. doi:10.7150/ijbs.7.41. PMC 3020362. PMID 21234302. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  107. Feachem RG, Phillips AA, Hwang J, Cotter C, Wielgosz B, Greenwood BM, Sabot O, Rodriguez MH, Abeyasinghe RR, Ghebreyesus TA, Snow RW (2010). "Shrinking the malaria map: progress and prospects". Lancet. 376 (9752): 1566–78. doi:10.1016/S0140-6736(10)61270-6. PMC 3044848. PMID 21035842. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  108. Fernando SD, Rodrigo C, Rajapakse S (2010). "The 'hidden' burden of malaria: Cognitive impairment following infection". Malaria Journal. 9: 366. doi:10.1186/1475-2875-9-366. PMC 3018393. PMID 21171998. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: DOI bebas tanpa ditandai (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  109. Fernando SD, Rodrigo C, Rajapakse S (2011). "Chemoprophylaxis in malaria: Drugs, evidence of efficacy and costs". Asian Pacific Journal of Tropical Medicine. 4 (4): 330–6. doi:10.1016/S1995-7645(11)60098-9. PMID 21771482. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  110. Freedman DO (2008). "Clinical practice. Malaria prevention in short-term travelers". New England Journal of Medicine. 359 (6): 603–12. doi:10.1056/NEJMcp0803572. PMID 18687641. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  111. Gething PW, Patil AP, Smith DL, Guerra CA, Elyazar IR, Johnston GL, Tatem AJ, Hay SI (2011). "A new world malaria map: Plasmodium falciparum endemicity in 2010". Malaria Journal. 10 (1): 378. doi:10.1186/1475-2875-10-378. PMC 3274487. PMID 22185615. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: DOI bebas tanpa ditandai (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  112. Gratz NG, World Health Organization (2006). The Vector- and Rodent-borne Diseases of Europe and North America: Their Distribution and Public Health Burden. Cambridge University Press. hlm. 33. ISBN 978-0-521-85447-4.
  113. Graves P, Gelband H (2006). Graves PM (ed.). "Vaccines for preventing malaria (SPf66)". Cochrane Database of Systematic Reviews (2): CD005966. doi:10.1002/14651858.CD005966. PMID 16625647.publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  114. Greenwood B, Mutabingwa T (2002). "Malaria in 2002". Nature. 415 (6872): 670–2. doi:10.1038/415670a. PMID 11832954.
  115. Gautam CS, Utreja A, Singal GL (2009). "Spurious and counterfeit drugs: A growing industry in the developing world". Postgraduate Medical Journal. 85 (1003): 251–6. doi:10.1136/pgmj.2008.073213. PMID 19520877. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  116. Geels MJ, Imoukhuede EB, Imbault N, van Schooten H, McWade T, Troye-Blomberg M, Dobbelaer R, Craig AG, Leroy O (2011). "European Vaccine Initiative: Lessons from developing malaria vaccines" (PDF). Expert Review of Vaccines. 10 (12): 1697–708. doi:10.1586/erv.11.158. PMID 22085173. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  117. "Fighting AIDS, Tuberculosis and Malaria". The Global Fund. Diarsipkan dari asli tanggal 2011-07-03. Diakses tanggal 2012-05-09.
  118. Graves P, Gelband H (2006). Graves PM (ed.). "Vaccines for preventing malaria (blood-stage)". Cochrane Database of Systematic Reviews (4): CD006199. doi:10.1002/14651858.CD006199. PMID 17054281. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  119. Guerra CA, Hay SI, Lucioparedes LS, Gikandi PW, Tatem AJ, Noor AM, Snow RW (2007). "Assembling a global database of malaria parasite prevalence for the Malaria Atlas Project". Malaria Journal. 6 (1): 17. doi:10.1186/1475-2875-6-17. PMC 1805762. PMID 17306022. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: DOI bebas tanpa ditandai (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  120. Harper K, Armelagos G (2011). "The changing disease-scape in the third epidemiological transition". International Journal of Environmental Research and Public Health. 7 (2): 675–97. doi:10.3390/ijerph7020675. PMC 2872288. PMID 20616997. Pemeliharaan CS1: DOI bebas tanpa ditandai (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  121. Hays JN (2005). Epidemics and Pandemics: Their Impacts on Human History. Santa Barbara, California: ABC-CLIO. hlm. 11. ISBN 978-1-85109-658-9.
  122. Hay SI, Okiro EA, Gething PW, Patil AP, Tatem AJ, Guerra CA, Snow RW (2010). Mueller, Ivo (ed.). "Estimating the global clinical burden of Plasmodium falciparum malaria in 2007". PLoS Medicine. 7 (6): e1000290. doi:10.1371/journal.pmed.1000290. PMC 2885984. PMID 20563310. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: DOI bebas tanpa ditandai (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  123. Hill AVS (2011). "Vaccines against malaria". Philosophical Transactions of the Royal Society B. 366 (1579): 2806–14. doi:10.1098/rstb.2011.0091. PMC 3146776. PMID 21893544. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  124. Hoffman SL, Billingsley PF, James E, Richman A, Loyevsky M, Li T, Chakravarty S, Gunasekera A, Chattopadhyay R, Li M, Stafford R, Ahumada A, Epstein JE, Sedegah M, Reyes S, Richie TL, Lyke KE, Edelman R, Laurens MB, Plowe CV, Sim BK (2010). "Development of a metabolically active, non-replicating sporozoite vaccine to prevent Plasmodium falciparum malaria". Human Vaccines. 6 (1): 97–106. doi:10.4161/hv.6.1.10396. PMID 19946222. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  125. Hsu E (2006). "Reflections on the 'discovery' of the antimalarial qinghao". British Journal of Clinical Pharmacology. 61 (3): 666–70. doi:10.1111/j.1365-2125.2006.02673.x. PMC 1885105. PMID 16722826. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  126. Humphreys M (2001). Malaria: Poverty, Race, and Public Health in the United States. Johns Hopkins University Press. hlm. 256. ISBN 0-8018-6637-5.
  127. Idro R, Marsh K, John CC, Newton CRJ (2010). "Cerebral malaria: Mechanisms of brain injury and strategies for improved neuro-cognitive outcome". Pediatric Research. 68 (4): 267–74. doi:10.1203/PDR.0b013e3181eee738. PMC 3056312. PMID 20606600. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  128. Ito J, Ghosh A, Moreira LA, Wimmer EA, Jacobs-Lorena M (2002). "Transgenic anopheline mosquitoes impaired in transmission of a malaria parasite". Nature. 417 (6887): 452–5. doi:10.1038/417452a. PMID 12024215. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  129. Jacquerioz FA, Croft AM (2009). Jacquerioz FA (ed.). "Drugs for preventing malaria in travellers". Cochrane Database of Systematic Reviews (4): CD006491. doi:10.1002/14651858.CD006491.pub2. PMID 19821371. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  130. Jamieson A, Toovey S, Maurel M (2006). Malaria: A Traveller's Guide. Struik. hlm. 30. ISBN 978-1-77007-353-1. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  131. Kalanon M, McFadden GI (2010). "Malaria, Plasmodium falciparum and its apicoplast". Biochemical Society Transactions. 38 (3): 775–82. doi:10.1042/BST0380775. PMID 20491664.
  132. Kaufman TS, Rúveda EA (2005). "The quest for quinine: Those who won the battles and those who won the war". Angewandte Chemie (International Edition in English). 44 (6): 854–85. doi:10.1002/anie.200400663. PMID 15669029.
  133. Killeen G, Fillinger U, Kiche I, Gouagna L, Knols B (2002). "Eradication of Anopheles gambiae from Brazil: Lessons for malaria control in Africa?". Lancet Infectious Diseases. 2 (10): 618–27. doi:10.1016/S1473-3099(02)00397-3. PMID 12383612. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  134. Kyle R, Shampe M (1974). "Discoverers of quinine". Journal of the American Medical Association. 229 (4): 462. doi:10.1001/jama.229.4.462. PMID 4600403.
  135. Lalloo DG, Olukoya P, Olliaro P (2006). "Malaria in adolescence: Burden of disease, consequences, and opportunities for intervention". Lancet Infectious Diseases. 6 (12): 780–93. doi:10.1016/S1473-3099(06)70655-7. PMID 17123898. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  136. Murray CJ, Rosenfeld LC, Lim SS, Andrews KG, Foreman KJ, Haring D, Fullman N, Naghavi M, Lozano R, Lopez AD (2012). "Global malaria mortality between 1980 and 2010: A systematic analysis". Lancet. 379 (9814): 413–31. doi:10.1016/S0140-6736(12)60034-8. PMID 22305225. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  137. "The Nobel Prize in Physiology or Medicine 1907: Alphonse Laveran". The Nobel Foundation. Diakses tanggal 2012-05-14.
  138. Layne SP. "Principles of Infectious Disease Epidemiology" (PDF). EPI 220. UCLA Department of Epidemiology. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2006-02-20. Diakses tanggal 2007-06-15.
  139. Lapointe DA, Atkinson CT, Samuel MD (2012). "Ecology and conservation biology of avian malaria". Annals of the New York Academy of Sciences. 1249: 211–26. doi:10.1111/j.1749-6632.2011.06431.x. PMID 22320256. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  140. Lindemann M (1999). Medicine and Society in Early Modern Europe. Cambridge University Press. hlm. 62. ISBN 978-0-521-42354-0.
  141. Lon CT, Tsuyuoka R, Phanouvong S, Nivanna N, Socheat D, Sokhan C, Blum N, Christophel EM, Smine A (2006). "Counterfeit and substandard antimalarial drugs in Cambodia". Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene. 100 (11): 1019–24. doi:10.1016/j.trstmh.2006.01.003. PMID 16765399. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  142. Lozano R, et al. (2012). "Global and regional mortality from 235 causes of death for 20 age groups in 1990 and 2010: A systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2010". Lancet. 380 (9859): 2095–128. doi:10.1016/S0140-6736(12)61728-0. PMID 23245604.
  143. Machault V, Vignolles C, Borchi F, Vounatsou P, Pages F, Briolant S, Lacaux JP, Rogier C (2011). "The use of remotely sensed environmental data in the study of malaria" (PDF). Geospatial Health. 5 (2): 151–68. doi:10.4081/gh.2011.167. PMID 21590665. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2013-03-12. Diakses tanggal 2016-02-13. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  144. Kakkilaya BS (April 14, 2006). "History of Malaria During Wars". Malariasite.com. Diarsipkan dari asli tanggal 2012-04-03. Diakses tanggal 2012-05-03.
  145. Meade MS, Emch M. (2010). Medical Geography (Edisi 3rd). Guilford Press. hlm. 120–3. ISBN 978-1-60623-016-9.
  146. Mehlhorn H, ed. (2008). "Disease Control, Methods". Encyclopedia of Parasitology (Edisi 3rd). Springer. hlm. 362–6. ISBN 978-3-540-48997-9.
  147. Meremikwu MM, Donegan S, Sinclair D, Esu E, Oringanje C (2012). Meremikwu, Martin M (ed.). "Intermittent preventive treatment for malaria in children living in areas with seasonal transmission". Cochrane Database of Systematic Reviews. 2 (2): CD003756. doi:10.1002/14651858.CD003756.pub4. PMID 22336792. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  148. Mlambo G, Kumar N. (2008). "Transgenic rodent Plasmodium berghei parasites as tools for assessment of functional immunogenicity and optimization of human malaria vaccines". Eukaryotic Cell. 7 (11): 1875–9. doi:10.1128/EC.00242-08. PMC 2583535. PMID 18806208. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  149. Müller IB, Hyde JE, Wrenger C (2010). "Vitamin B metabolism in Plasmodium falciparum as a source of drug targets". Trends in Parasitology. 26 (1): 35–43. doi:10.1016/j.pt.2009.10.006. PMID 19939733. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  150. Nayyar GML, Breman JG, Newton PN, Herrington J (2012). "Poor-quality antimalarial drugs in southeast Asia and sub-Saharan Africa". Lancet Infectious Diseases. 12 (6): 488–96. doi:10.1016/S1473-3099(12)70064-6. PMID 22632187. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  151. Newton PN Green MD, Fernández FM, Day NPJ, White NJ (2006). "Counterfeit anti-infective drugs". Lancet Infectious Diseases. 6 (9): 602–13. doi:10.1016/S1473-3099(06)70581-3. PMID 16931411. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  152. Newton PN, Fernández FM, Plançon A, Mildenhall DC, Green MD, Ziyong L, Christophel EM, Phanouvong S, Howells S, McIntosh E, Laurin P, Blum N, Hampton CY, Faure K, Nyadong L, Soong CW, Santoso B, Zhiguang W, Newton J, Palmer K (2008). "A collaborative epidemiological investigation into the criminal fake artesunate trade in South East Asia". PLoS Medicine. 5 (2): e32. doi:10.1371/journal.pmed.0050032. PMC 2235893. PMID 18271620. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: DOI bebas tanpa ditandai (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  153. Olupot-Olupot P, Maitland, K (2013). "Management of severe malaria: Results from recent trials". Advances in Experimental Medicine and Biology. Advances in Experimental Medicine and Biology. 764: 241–50. doi:10.1007/978-1-4614-4726-9_20. ISBN 978-1-4614-4725-2. PMID 23654072. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  154. Parry J (2005). "WHO combats counterfeit malaria drugs in Asia". British Medical Journal. 330 (7499): 1044. doi:10.1136/bmj.330.7499.1044-d. PMC 557259. PMID 15879383. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  155. Pelletier PJ, Caventou JB (1820). "Des recherches chimiques sur les Quinquinas". Annales de Chimie et de Physique (dalam bahasa French). 15: 337–65. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  156. Provost C (April 25, 2011). "World Malaria Day: Which countries are the hardest hit? Get the full data". The Guardian. Diakses tanggal 2012-05-03.
  157. Prugnolle F, Durand P, Ollomo B, Duval L, Ariey F, Arnathau C, Gonzalez JP, Leroy E, Renaud F (2011). Manchester, Marianne (ed.). "A fresh look at the origin of Plasmodium falciparum, the most malignant malaria agent". PLoS Pathogens. 7 (2): e1001283. doi:10.1371/journal.ppat.1001283. PMC 3044689. PMID 21383971. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: DOI bebas tanpa ditandai (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  158. Ricci F (2012). "Social implications of malaria and their relationships with poverty". Mediterranean Journal of Hematology and Infectious Diseases. 4 (1): e2012048. doi:10.4084/MJHID.2012.048. PMC 3435125. PMID 22973492. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  159. Rich SM, Ayala FJ. (2006). "Evolutionary origins of human malaria parasites". Dalam Dronamraju KR, Arese P (ed.). Malaria: Genetic and Evolutionary Aspects. New York, New York: Springer. hlm. 125–46. ISBN 978-0-387-28294-7.
  160. Riley EM, Stewart VA (2013). "Immune mechanisms in malaria: New insights in vaccine development". Nature Medicine. 19 (2): 168–78. doi:10.1038/nm.3083. PMID 23389617.
  161. Malaria Vaccine Advisory Committee (2006). Malaria Vaccine Technology Roadmap (PDF) (Report). PATH Malaria Vaccine Initiative (MVI). hlm. 2. Diarsipkan dari asli (PDF) tanggal 2013-05-13. Diakses tanggal 2016-02-13.
  162. Roll Back Malaria WHO partnership (2003). "Economic costs of malaria" (PDF). WHO.
  163. "The Nobel Prize in Physiology or Medicine 1902: Ronald Ross". The Nobel Foundation. Diakses tanggal 2012-05-14.
  164. Melville CH (1910). "The prevention of malaria in war". Dalam Ross R (ed.). The Prevention of Malaria. New York, New York: E.P. Dutton. hlm. 577.
  165. Roux C, Biot C (2012). "Ferrocene-based antimalarials". Future Medicinal Chemistry. 4 (6): 783–97. doi:10.4155/fmc.12.26. PMID 22530641.
  166. Russell PF (January 6, 2009). "Communicable diseases. Malaria". Medical Department of the United States Army in World War II. U.S. Army Medical Department. Office of Medical History. Diarsipkan dari asli tanggal 2012-10-09. Diakses tanggal 2012-09-24.
  167. Sachs J, Malaney P (2002). "The economic and social burden of malaria". Nature. 415 (6872): 680–5. doi:10.1038/415680a. PMID 11832956.
  168. "DNA clues to malaria in ancient Rome". BBC News. February 20, 2001., in reference to Sallares R, Gomzi S (2001). "Biomolecular archaeology of malaria". Ancient Biomolecules. 3 (3): 195–213. OCLC 538284457.
  169. Sallares R (2002). Malaria and Rome: A History of Malaria in Ancient Italy. Oxford University Press. doi:10.1093/acprof:oso/9780199248506.001.0001. ISBN 978-0-19-924850-6.
  170. Simmons JS (1979). Malaria in Panama. Ayer Publishing. ISBN 978-0-405-10628-6.
  171. Sinha, Shweta; Medhi, Bikash; Sehgal, Rakesh (2014). "Challenges of drug-resistant malaria". Parasite. 21: 61. doi:10.1051/parasite/2014059. ISSN 1776-1042. PMID 25402734. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  172. Strom S (April 1, 2011). "Mission Accomplished, Nonprofits Go Out of Business". The New York Times. nytimes.com. OCLC 292231852. Diakses tanggal 2012-05-09.
  173. Tan SY, Sung H (2008). "Carlos Juan Finlay (1833–1915): Of mosquitoes and yellow fever" (PDF). Singapore Medical Journal. 49 (5): 370–1. PMID 18465043.
  174. Trampuz A, Jereb M, Muzlovic I, Prabhu R (2003). "Clinical review: Severe malaria". Critical Care. 7 (4): 315–23. doi:10.1186/cc2183. PMC 270697. PMID 12930555. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: DOI bebas tanpa ditandai (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  175. Turschner S, Efferth T (2009). "Drug resistance in Plasmodium: Natural products in the fight against malaria". Mini Reviews in Medicinal Chemistry. 9 (2): 206–14. doi:10.2174/138955709787316074. PMID 19200025.
  176. Vanderberg JP (2009). "Reflections on early malaria vaccine studies, the first successful human malaria vaccination, and beyond". Vaccine. 27 (1): 2–9. doi:10.1016/j.vaccine.2008.10.028. PMC 2637529. PMID 18973784. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  177. Vogel V (2013). "Malaria as a lifesaving therapy". Science. 342 (6159): 684–7. doi:10.1126/science.342.6159.684.
  178. Webb Jr JLA (2009). Humanity's Burden: A Global History of Malaria. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-67012-8.
  179. White NJ (2008). "Qinghaosu (artemisinin): The price of success". Science. 320 (5874): 330–4. doi:10.1126/science.1155165. PMID 18420924.
  180. Williams LL (1963). "Malaria eradication in the United States". American Journal of Public Health and the Nation's Health. 53 (1): 17–21. doi:10.2105/AJPH.53.1.17. PMC 1253858. PMID 14000898. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  181. Wongsrichanalai C, Meshnick SR (2008). "Declining artesunate-mefloquine efficacy against falciparum malaria on the Cambodia–Thailand border". Emerging Infectious Diseases. 14 (5): 716–9. doi:10.3201/eid1405.071601. PMC 2600243. PMID 18439351.
  182. World Malaria Report 2012 (PDF) (Report). World Health Organization.
  183. Schoofs M (July 17, 2008). "Clinton foundation sets up malaria-drug price plan". Wall Street Journal. Diakses tanggal 2012-05-14.
  184. Yangzom T, Gueye CS, Namgay R, Galappaththy GN, Thimasarn K, Gosling R, Murugasampillay S, Dev V (2012). "Malaria control in Bhutan: Case study of a country embarking on elimination". Malaria Journal. 11: 9. doi:10.1186/1475-2875-11-9. PMC 3278342. PMID 22230355. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) Pemeliharaan CS1: DOI bebas tanpa ditandai (link) publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
Literatur yang dikutip

Bacaan lebih lanjut

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]

Templat:Malaria

Templat:Penyakit kemiskinan