Lompat ke isi

Kopi di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kopi Aceh)
Kopi pada saat disangrai di Bandung, Indonesia

Kopi Indonesia, yaitu kopi yang dibudidayakan dan diekspor dari Indonesia, saat ini menempati peringkat keempat terbesar di dunia dari segi hasil produksi sebanyak 648.000 ton, setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia.[1]

Biji kopi yang tumbuh di Indonesia, pada dasarnya hanya terdiri atas tiga macam, yaitu biji kopi arabika, biji kopi robusta, dan biji kopi liberika.[2] Kopi di Indonesia memiliki sejarah panjang dan memiliki peranan penting bagi pertumbuhan perekonomian masyarakat di Indonesia. Indonesia diberkati dengan letak geografisnya yang sangat cocok difungsikan sebagai lahan perkebunan kopi. Letak Indonesia sangat ideal bagi iklim mikro untuk pertumbuhan dan produksi kopi.

Abad ke-18

[sunting | sunting sumber]
Tanaman kopi Arabika yang tidak terawat dengan baik pada zaman pendudukan Belanda

Benih kopi arabika untuk pertama kalinya ditanam di pulau Jawa, tepatnya di daerah Kedawung, sebuah perkebunan berlokasi dekat dengan Batavia (kelak menjadi Jakarta) oleh pemerintahan Belanda pada tahun 1696,[3][4] dibawa langsung oleh pimpinan kapal dagang Belanda, Adrian van Ommen dari Malabar, India. Usaha ini mengalami kegagalan, karena bencana gempa bumi dan banjir, yang terjadi pada masa itu.[5] Pemerintahan Belanda melakukan usaha penanaman kedua dengan mendatangkan setek pohon kopi dari Malabar dan mengalami kesuksesan, dan kopi yang dihasilkan berkualitas sangat baik sehingga dijadikan bibit bagi semua perkebunan yang dikembangkan di Indonesia. Pemerintah Belanda akhirnya meluaskan areal budi dayanya ke Sumatra, Sulawesi, Bali, Timor, dan pulau-pulau lainnya di Indonesia.[4]

Pada tahun 1706, saat kopi tumbuh dengan lambak di Jawa, oleh pemerintah Belanda, benih kopi yang tumbuh di bantaran Ciliwung, dikirimkan ke kebun botani di Amsterdam untuk dilakukan penelitian, dimana hasilnya, kopi tersebut berkualitas bagus.[3]

Lima belas tahun kemudian, atau kurang lebih pada tahun 1711, Bupati Cianjur, Raden Aria Wira Tanu III, mengapalkan sekitar 4 kuintal kopi ke Amsterdam, dan ekspor kopi perdana tersebut memecahkan rekor harga lelang di sana. Pada tahun 1714, Raja Louis XIV dari Prancis, meminta benih Coffea arabica var. Arabica atau disebut sebagai Coffea arabica L. var. typica (untuk selanjutnya disebut sebagai tipika) dari Wali Kota Amsterdam Nicolaes Witsen. Hal ini dikarenakan raja Prancis tersebut mendapatkan fakta bahwa kopi asal pulau Jawa mendapatkan harga tertinggi dalam lelang di Amsterdam, Belanda, sehingga dia menginginkan varietas kopi itu dapat menjadi bagian dari kebun raya Jardin des Plantes di kota Paris, Prancis.[3] Benih kopi Jawa yang ada di kebun raya Jardin des Plantes dibawa oleh perwira angkatan laut Prancis ke Martinique, salah satu koloni Prancis di Karibia.

Pada tahun 1726, tidak kurang dari 2.145 ton kopi yang berasal dari pulau Jawa, membanjiri benua Eropa, mengalahkan kopi mocha dari Yaman yang sebelumnya menjadi penguasa pasar. Dan karena itu pula, kopi yang berasal dari pulau Jawa mulai dikenal dengan nama Java coffee.[3]

Benih yang diberikan oleh Nicolaes Witsen, aslinya tumbuh di bantaran Ciliwung, seperti Kampung Melayu dan Jatinegara atau dahulu dikenal dengan nama Meester Cornelis, yang merupakan area awal perkebunan kopi di Jawa dan bibitnya dibawa orang Belanda dari Sri Lanka.

Selain itu, di awal tahun 1720-an, Belanda juga mengirimkan benih kopi jawa ke Suriname, karena tergiur dengan harganya yang tinggi, untuk membuka perkebunan di sana. Dari dua tempat tersebut, benih kopi jawa menyebar ke Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Jejaknya terlihat di Amerika Latin, yaitu di Ethiopia. Di sana ada varietas tipika yang sekarang sudah memiliki merek Blue Mountain yang ditanam di Jamaika dan Geisha atau Gesha, dimana nama itu mengacu pada nama dusun penghasil kopi di Ethiopia yang tumbuh di Panama.[6]

Abad ke-19

[sunting | sunting sumber]
Biji kopi yang telah digoreng

Pada era Tanam Paksa atau Cultuurstelsel sekitar tahun (18301870) di masa penjajahan pemerintah Belanda di nusantara, mereka membuka sebuah perkebunan komersial pada koloninya di Hindia Belanda, khususnya di pulau Jawa, pulau Sumatra dan sebagian Indonesia Timur. Jenis kopi yang dibudidayakan adalah arabika yang didatangkan langsung dari Yaman. Pada awalnya pemerintah Belanda menanam kopi di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, Mandailing dan Sidikalang. Kopi juga ditanam di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra, Sulawesi, Timor dan Flores.

Pada tahun 1878, di hampir semua area perkebunan kopi Indonesia, terutama yang terletak di dataran rendah, rusak terkena hama penyakit karat daun (Hemileia vastatrix - HV), yang pada masa itu kopinya berjenis arabika. Penyakit ini berupa jamur yang memakan daun layaknya karat yang menggerus besi, sehingga para petani kemudian menyebutnya sebagai penyakit karat daun.[6] Pada sekitar tahun 1880-an tersebut, Jawa kehilangan potensi untuk mengirimkan kopi ke luar negeri hingga 120.000 ton dan mengakibatkan pasar kopi dunia menjadi panik.[6]

Pemerintah Belanda menanggulanginya dengan mendatangkan spesies kopi Liberika (Coffea Liberica) yang diharapkan lebih tahan terhadap hama ini. Namun upaya ini juga mengalami kegagalan, karena mereka juga terkena hama yang sama.[4]

Baru pada tahun 1907, pemerintahan Belanda mendatangkan spesies lainnya, yaitu kopi robusta (Coffea canephora). Dan usaha mereka kali ini berhasil dan hampir semua perkebunan yang terletak di dataran rendah tidak terkena lagi hama penyakit karat daun.[4]

Di pasar dunia, kopi ‘Blue Mountain’ yang berasal dari Gesha, yang sesungguhnya keturunan dari kopi jawa, sempat menjadi primadona. Satu kilogramnya bisa mencapai harga di atas USD1.000 dalam kurs yang berlaku saat ini.[6] Bahkan salah satu kafe di Los Angeles, Amerika Serikat, sempat menjual secangkir Gesha hingga USD55. Geisha ini sendiri merupakan persilangan antara kopi tipika dan varietas lainnya. Biji ini sering kali juga menjadi andalan para peracik dalam ajang kompetisi para peracik kopi internasional.

Pada permulaan abad ke-20, perkebunan kopi di nusantara mulai terserang hama, yang hampir memusnahkan seluruh tanaman kopi. Akhirnya pemerintah penjajahan Belanda sempat memutuskan untuk mencoba menggantinya dengan jenis kopi yang lebih kuat terhadap serangan penyakit yaitu kopi Liberika dan Ekselsa. Menariknya, di daerah Timor dan Flores yang pada saat itu berada di bawah pemerintahan bangsa Portugis tidak terserang hama meskipun jenis kopi yang dibudidayakan di sana juga kopi arabica.

Pemerintah Belanda kemudian menanam kopi Liberika untuk menanggulangi hama tersebut. Varietas ini tidak begitu lama populer dan juga terserang hama. Kopi Liberika masih dapat ditemui di pulau Jawa, walau jarang ditanam sebagai bahan produksi komersial. Biji kopi liberika sedikit lebih besar ukurannya daripada biji kopi arabika dan kopi robusta.

Sebenarnya, perkebunan kopi ini tidak terserang hama, namun ada revolusi perkebunan dan buruh perkebunan kopi menebang seluruh perkebunan kopi di Jawa pada khususnya dan di seluruh Indonesia pada umumnya.

Status Industri

[sunting | sunting sumber]
Pengolahan kopi di Sumatra, Indonesia.

Pengembangan sektor pertanian, sangat diperlukan oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia, karena sektor ini memiliki kontribusi yang besar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) dibandingkan dari sektor lainnya. Di Indonesia sendiri, sektor ini berkontribusi sekitar 15% terhadap total (PDB).[7][8][9]

Kopi dari Indonesia diekspor ke berbagai negara di dunia, antara lain:

Di Indonesia, kopi robusta merupakan kopi yang terbanyak diproduksi, dan Lampung merupakan gudang kopi utama di Indonesia.[10] Robusta menggantikan kopi liberika. Walaupun ini bukan kopi yang khas bagi Indonesia, kopi ini menjadi komoditas ekspor yang penting di Indonesia.

Bencana alam, Perang Dunia II, dan perjuangan kemerdekaan mempunyai peranan penting bagi kopi di Indonesia. Pada awal abad ke-20 perkebunan kopi berada di bawah kontrol pemerintahan Belanda. Infrastruktur dikembangkan untuk mempermudah perdagangan kopi. Sebelum Perang Dunia II di Jawa Tengah terdapat jalur rel kereta api yang digunakan untuk mengangkut hasil bumi, seperti kopi, gula, merica, teh, dan tembakau ke Semarang yang kemudian diangkut dengan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas. Kopi yang ditanam di Jawa Tengah pada umumnya adalah kopi robusta, seperti Temanggung, Muria, Ambarawa dan Wonosobo, sementara itu di Jawa Timur banyak ditanam kopi arabika, terutama di Kayumas, Blawan, Kalisat atau Jampit di pegunungan Ijen serta banyak juga dari jenis kopi robusta yang diproduksi dari perkebunan seperti Ngrangkah Pawon (Kediri), Bangelan (Malang), Malangsari, Kalibaru, Kaliselogiri (Banyuwangi). Di daerah pegunungan dari Jember hingga Banyuwangi terdapat banyak perkebunan kopi arabika dan robusta. Kopi robusta tumbuh di daerah dataran rendah sedangkan kopi arabika tumbuh di daerah dataran tinggi.

Pasca-Kemerdekaan, banyak perkebunan kopi yang ditinggalkan atau diambil alih oleh pemerintah yang baru. Saat ini, sekitar 92 persen produksi kopi berada di bawah petani-petani kecil atau koperasi.

Kebiasaan masyarakat minum kopi di Indonesia masih belumlah sebesar bangsa Barat, dan masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, serupa Singapura dan Filipina, yang merupakan negara tujuan utama ekspor kopi Indonesia saat ini.[11] Kisaran konsumsi kopi di negara ini umumnya antara 1-3 cangkir sehari.[11]

Jenis-jenis kopi di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Kopi Sumatra

[sunting | sunting sumber]

Kopi Sumatra merupakan salah satu varietas kopi yang berasal dari Sumatra yang bertekstur paling halus dan bercita rasa paling berat dan kompleks di antara beragam kopi di dunia. Sebagian besar kopi Sumatra diproses secara kering (dry-processed), tetapi sebagian lagi melalui proses pencucian ringan (semi-washed). Salah satu pengolahan yang terkenal di dunia yaitu Pengolahan "Giling Basah".

Kopi gayo

[sunting | sunting sumber]

Kopi gayo (bahasa Inggris: Gayo coffee) merupakan salah satu varietas kopi arabika yang ditanam di daerah Dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah, Indonesia.[12]

Kopi luwak

[sunting | sunting sumber]

Kopi luwak adalah seduhan kopi menggunakan biji kopi yang diambil dari sisa kotoran luwak/musang kelapa. Biji kopi ini diyakini memiliki rasa yang berbeda setelah dimakan dan melewati saluran pencernaan luwak. Kemasyhuran kopi ini di kawasan Asia Tenggara telah lama diketahui, namun baru menjadi terkenal luas di peminat kopi gourmet setelah publikasi pada tahun 1980-an. Biji kopi luwak adalah yang termahal di dunia, mencapai USD100 per 450 gram.

Kopi jawa

[sunting | sunting sumber]

Kopi jawa (Java coffee) adalah kopi yang berasal dari Pulau Jawa. Kopi ini sangatlah terkenal sehingga nama Jawa menjadi nama identitas untuk kopi ini. Kopi jawa tidak memiliki bentuk yang sama dengan kopi asal Sumatra dan Sulawesi, cita rasa juga tidak terlalu kaya sebagaimana kopi dari Sumatra atau Sulawesi karena sebagian besar kopi jawa diproses secara basah (wet process). Meskipun begitu, sebagian kopi jawa mengeluarkan aroma tipis rempah sehingga membuatnya lebih baik dari jenis kopi lainnya. Kopi jawa memiliki keasaman yang rendah yang dipengaruhi oleh kondisi tanah, suhu udara, cuaca, serta kelembapan udara.

Kopi jawa yang paling terkenal adalah Jampit dan Blawan. Biji kopi Jawa yang tua (disebut old-brown) berbentuk besar dan rendah kadar asam.[13]

Kopi ini dengan rasa kuat, pekat, rasa kopi manis. Produksi kopi jawa arabika dipusatkan di tengah Pegunungan Ijen, di bagian ujung timur pulau Jawa, di ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut. Kopi ini dibudidayakan pertama kali di perkebunan dengan sekala besar oleh kolonial Belanda pada abad ke-18.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Taufiqurohman 2018, hlm. 59.
  2. ^ Wira, Ni Nyoman (2018-01-20), "Crazy about Indonesian coffee? Here are the basics of java", The Jakarta Post 
  3. ^ a b c d Taufiqurohman 2018, hlm. 8.
  4. ^ a b c d [Rusman] (2018-03-17), "Asal Mula Masuknya Kopi di Indonesia", sindonews.com  Periksa nilai |author-link1= (bantuan);
  5. ^ Taufiqurohman 2018, hlm. 33.
  6. ^ a b c d Taufiqurohman 2018, hlm. 9.
  7. ^ Wahyudi 2016, hlm. 1.
  8. ^ Agriculture for Development. World Development Report 2008. Washington DC: World Bank. 2007. 
  9. ^ Statistik Perdagangan Ekspor Kopi. Jakarta: Badan Pusat Statistik. 2009. 
  10. ^ Astawan 2004, hlm. 64.
  11. ^ a b Astawan 2004, hlm. 63.
  12. ^ Market Brief Kopi di Pasar Jerman (PDF), Januari, diakses tanggal 2018-12-26 
  13. ^ "Perbandingan Kopi Jawa". 30 March 2013. 

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • Astawan, Made (2004). Solusi Sehat: Sehat Bersama Aneka Serat Pangan Alami. Solo: Tiga Serangkai. ISBN 979-668-443-8. 
  • Taufiqurohman, Muhammad (2018). Kopi: Aroma, Rasa, Cerita. Pusat Data dan Analisis Tempo Publishers. ISBN 978-602-6773-23-4. 
  • Wahyudi, Teguh; Misnawi (2016). Kopi: Sejarah, Botani, Proses Produksi, Pengolahan, Produk Hilir dan Sistem Kemitraan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]