Lompat ke isi

Candi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kompleks candi Prambanan, candi Hindu terbesar di Indonesia.

Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan keagamaan tempat ibadah peninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha.[1] Bangunan ini digunakan sebagai tempat ritual ibadah, pemujaan dewa-dewi, penghormatan leluhur ataupun memuliakan Sang Buddha. Akan tetapi, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-Buddha Indonesia klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya, disebut dengan istilah candi.

Candi merupakan bangunan replika tempat tinggal para dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung Mahameru.[2] Oleh karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa pola hias yang disesuaikan dengan alam Gunung Mahameru.[2] Candi-candi dan pesan yang disampaikan lewat arsitektur, relief, serta arca-arcanya tak pernah lepas dari unsur spiritualitas, daya cipta, dan keterampilan para pembuatnya.[3]

Beberapa candi, seperti Candi Borobudur dan Prambanan dibangun amat megah, detail, kaya akan hiasan yang mewah, bercitarasa estetika yang luhur, dengan menggunakan teknologi arsitektur yang maju pada zamannya. Bangunan-bangunan ini hingga kini menjadi bukti betapa tingginya kebudayaan dan peradaban nenek moyang bangsa Indonesia.[4]

Terminologi

[sunting | sunting sumber]

"Antara abad ke-7 dan ke-15 masehi, ratusan bangunan keagamaan dibangun dari bahan bata merah atau batu andesit di pulau Jawa, Sumatra, dan Bali. Bangunan ini disebut candi. Istilah ini juga merujuk kepada berbagai bangunan pra-Islam termasuk gerbang, dan bahkan pemandian, akan tetapi manifestasi utamanya tetap adalah bangunan suci keagamaan."

— Soekmono, R. "Candi:Symbol of the Universe".

[5]

Istilah "Candi" diduga berasal dari kata “Candika” yang berarti nama salah satu perwujudan Dewi Durga sebagai dewi kematian.[6] Candi selalu dihubungkan dengan monumen tempat pedharmaan untuk memuliakan raja anumerta (yang sudah meninggal) contohnya candi Kidal untuk memuliakan Raja Anusapati.

Penafsiran yang berkembang di luar negeri — terutama di antara penutur bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya — adalah; istilah candi hanya merujuk kepada bangunan peninggalan era Hindu-Buddha di Indonesia, sedangkan dalam bahasa Melayu disebut dengan istilah kuil. Sama halnya dengan istilah wat yang dikaitkan dengan candi di Kamboja dan Thailand. Akan tetapi dari sudut pandang Bahasa Indonesia, istilah 'candi' juga merujuk kepada semua bangunan bersejarah Hindu-Buddha di seluruh dunia; tidak hanya di Nusantara, tetapi juga Kamboja, Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam, Sri Lanka, India, dan Nepal; seperti candi Angkor Wat di Kamboja dan candi Khajuraho di India. Istilah candi juga terdengar mirip dengan istilah chedi dalam bahasa Thailand yang berarti 'stupa'.

Candi di Indonesia

[sunting | sunting sumber]
Candi Borobudur merupakan monumen Buddha terbesar di dunia
Sebaran candi Hindu dan Buddha di Indonesia.

Di Indonesia, candi dapat ditemukan di pulau Jawa, Bali, Sumatra, dan Kalimantan, akan tetapi candi paling banyak ditemukan di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebanyakan orang Indonesia mengetahui adanya candi-candi di Indonesia yang termasyhur seperti Borobudur, Prambanan, dan Mendut.[7]

Pada suatu era dalam sejarah Indonesia, yaitu dalam kurun abad ke-8 hingga ke-10 tercatat sebagai masa paling produktif dalam pembangunan candi. Pada kurun kerajaan Medang Mataram ini candi-candi besar dan kecil memenuhi dataran Kedu dan dataran Kewu di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hanya peradaban yang cukup makmur dan terpenuhi kebutuhan sandang dan pangannya sajalah yang mampu menciptakan karya cipta arsitektur bernilai seni tinggi seperti ini. Beberapa candi yang bercorak Hindu di Indonesia adalah Candi Prambanan, Candi Jajaghu (Candi Jago), Candi Gedongsongo, Candi Dieng, Candi Panataran, Candi Angin, Candi Selogrio, Candi Pringapus, Candi Singhasari, dan Candi Kidal.[8] Candi yang bercorak Buddha antara lain Candi Borobudur dan Candi Sewu.[8] Candi Prambanan di Jawa Tengah adalah salah satu candi Hindu-Siwa yang paling indah.[9] Candi itu didirikan pada abad ke-9 Masehi pada masa Kerajaan Mataram Kuno.[9]

Nama candi

[sunting | sunting sumber]

Kebanyakan candi-candi yang ditemukan di Indonesia tidak diketahui nama aslinya. Kesepakatan di dunia arkeologi adalah menamai candi itu berdasarkan nama desa tempat ditemukannya candi tersebut. Candi-candi yang sudah diketahui masyarakat sejak dulu, kadang kala juga disertai dengan legenda yang terkait dengannya. Ditambah lagi dengan temuan prasasti atau mungkin disebut dalam naskah kuno yang diduga merujuk kepada candi tersebut. Akibatnya nama candi dapat bermacam-macam, misalnya candi Prambanan, candi Rara Jonggrang, dan candi Siwagrha merujuk kepada kompleks candi yang sama. Prambanan adalah nama desa tempat candi itu berdiri. Rara Jonggrang adalah legenda rakyat setempat yang terkait candi tersebut. Sedangkan Siwagrha (Sanskerta: "rumah Siwa") adalah nama bangunan suci yang dipersembahkan untuk Siwa yang disebut dalam Prasasti Siwagrha dan merujuk kepada candi yang sama. Berikut adalah sebagian kecil candi-candi yang dapat diketahui kemungkinan nama aslinya:

Nama Candi Dusun dan Desa Nama Asli Nama Lain
Angin Tempur, Keling, Jepara Bayu (?) (berdasarkan warga)
Gunung Wukir (Jawa: "gunung berukir") Canggal, Kadiluwih Siwalingga (?) (berdasarkan prasasti Canggal)
Borobudur Bumisegoro, Borobudur Bhumisambharabudhara (Sanskerta:"sepuluh tingkatan kebajikan bodhisatwa", berdasarkan prasasti Tri Tepusan) Jinalaya (berdasarkan prasasti Karangtengah), Budur (berdasarkan Nagarakretagama)
Mendut Mendut, Mungkid Venuvana (Sanskerta: "hutan bambu" berdasarkan prasasti Karangtengah)
Pawon (Jawa: "dapur" atau "pa-awu-an", tempat abu) Brojonalan, Wanurejo Vajranala (?) (Sanskerta: "api halilintar" berdasarkan nama desa)
Prambanan Bokoharjo, Prambanan Shivagrha (Sanskerta:"rumah Siwa", berdasarkan prasasti Siwagrha) Rara Jonggrang (legenda setempat)
Sewu (Jawa: "seribu", terkait legenda Rara Jonggrang) Bener, Bugisan Manjusrigrha (Sanskerta:"rumah Manjusri", berdasarkan prasasti Kelurak dan prasasti Manjusrigrha)
Ratu Boko (Jawa: "raja Boko", terkait legenda Rara Jonggrang) Gatak, Bokoharjo Abhayagiri (Sanskerta:"gunung yang aman dari bahaya", prasasti Abhayagiri Wihara)
Kalasan Kalibening, Tirtomartani Tārābhavanaṃ (Sanskerta: "Buana Tara", berdasarkan prasasti Kalasan candi ini dipersembahkan untuk dewi Tara) Kalaça (nama desa berdasarkan prasasti Kalasan)
Penataran Penataran, Nglegok Palah (Nagarakretagama)
Jawi Jawi, Candi Wates Jajawa (Nagarakretagama)
Jago Jago, Tumpang Jajaghu (Nagarakretagama)
Bajang Ratu (Jawa:"raja cacat") Temon, Trowulan Çrenggapura atau Sri Ranggapura (Sanskerta:"Istana Sri Rangga", berdasarkan Nagarakretagama, pedharmaan raja Jayanegara)
Jabung Jabung Candi, Paiton Vajrajinaparamitapura (Sanskerta:"Istana Wajra Jina (Buddha) Paramita", berdasarkan Nagarakretagama) Sajabung (Pararaton)

Selebihnya, nama candi-candi lain biasanya dinamakan berdasarkan nama desanya.

Jenis dan fungsi

[sunting | sunting sumber]

Jenis berdasarkan agama

[sunting | sunting sumber]
Candi Jawi yang bersifat paduan Siwa-Buddha tempat pedharmaan raja Kertanegara.

Berdasarkan latar belakang keagamaannya, candi dapat dibedakan menjadi candi Hindu, candi Buddha, paduan sinkretis Siwa-Buddha, atau bangunan yang tidak jelas sifat keagamaanya dan mungkin bukan bangunan keagamaan.

  1. Candi Hindu, yaitu candi untuk memuliakan dewa-dewa Hindu seperti Siwa atau Wisnu, contoh: candi Prambanan, candi Gebang, kelompok candi Dieng, candi Gedong Songo, candi Panataran, dan candi Cangkuang.
  2. Candi Buddha, candi yang berfungsi untuk pemuliaan Buddha atau keperluan biksu sanggha, contoh candi Borobudur, candi Sewu, candi Kalasan, candi Sari, candi Plaosan, candi Banyunibo, candi Sumberawan, candi Jabung, kelompok candi Muaro Jambi, candi Muara Takus, dan candi Biaro Bahal.
  3. Candi Siwa-Buddha, candi sinkretis perpaduan Siwa dan Buddha, contoh: candi Jawi.
  4. Candi non-religius, candi sekuler atau tidak jelas sifat atau tujuan keagamaan-nya, contoh: candi Ratu Boko, Candi Angin, gapura Bajang Ratu, candi Tikus, candi Wringin Lawang.

Jenis berdasarkan hierarki dan ukuran

[sunting | sunting sumber]

Dari ukuran, kerumitan, dan kemegahannya candi terbagi atas beberapa hierarki, dari candi terpenting yang biasanya sangat megah, hingga candi sederhana. Dari tingkat skala kepentingannya atau peruntukannya, candi terbagi menjadi:

  1. Candi Kerajaan, yaitu candi yang digunakan oleh seluruh warga kerajaan, tempat digelarnya upacara-upacara keagamaan penting kerajaan. Candi kerajaan biasanya dibangun mewah, besar, dan luas. Contoh: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi Panataran.
  2. Candi Wanua atau Watak, yaitu candi yang digunakan oleh masyarakat pada daerah atau desa tertentu pada suatu kerajaan. Candi ini biasanya kecil dan hanya bangunan tunggal yang tidak berkelompok. Contoh: candi yang berasal dari masa Majapahit, Candi Sanggrahan di Tulung Agung, Candi Gebang di Yogyakarta, dan Candi Pringapus.
  3. Candi Pribadi, yaitu candi yang digunakan untuk mendharmakan seorang tokoh, dapat dikatakan memiliki fungsi mirip makam. Contoh: Candi Kidal (pendharmaan Anusapati, raja Singhasari), candi Jajaghu (Pendharmaan Wisnuwardhana, raja Singhasari), Candi Rimbi (pendharmaan Tribhuwana Wijayatunggadewi, ibu Hayam Wuruk), Candi Tegowangi (pendharmaan Bhre Matahun), dan Candi Surawana (pendharmaan Bhre Wengker).
Candi Jalatunda yang berfungsi sebagai petirtaan.

Candi dapat berfungsi sebagai berikut.

  1. Candi Pemujaan: candi Hindu yang paling umum, dibangun untuk memuja dewa, dewi, atau bodhisatwa tertentu, contoh: candi Prambanan, candi Canggal, candi Sambisari, dan candi Ijo yang menyimpan lingga dan dipersembahkan utamanya untuk Siwa, candi Kalasan dibangun untuk memuliakan Dewi Tara, sedangkan candi Sewu untuk memuja Manjusri.
  2. Candi Stupa: didirikan sebagai lambang Budha atau menyimpan relik buddhis, atau sarana ziarah agama Buddha. Secara tradisional stupa digunakan untuk menyimpan relikui buddhis seperti abu jenazah, kerangka, potongan kuku, rambut, atau gigi yang dipercaya milik Buddha Gautama, atau biksu Buddha terkemuka, atau keluarga kerajaan penganut Buddha. Beberapa stupa lainnya dibangun sebagai sarana ziarah dan ritual, contoh: candi Borobudur, candi Sumberawan, dan candi Muara Takus.
  3. Candi Pedharmaan: sama dengan kategori candi pribadi, yakni candi yang dibangun untuk memuliakan arwah raja atau tokoh penting yang telah meninggal. Candi ini kadang berfungsi sebagai candi pemujaan juga karena arwah raja yang telah meninggal sering kali dianggap bersatu dengan dewa perwujudannya, contoh: candi Belahan tempat Airlangga dicandikan, arca perwujudannya adalah sebagai Wishnu menunggang Garuda. Candi Simping di Blitar, tempat Raden Wijaya didharmakan sebagai dewa Harihara.
  4. Candi Pertapaan: didirikan di lereng-lereng gunung tempat bertapa, contoh: candi-candi di lereng Gunung Penanggungan, kelompok candi Dieng dan candi Gedong Songo, serta Candi Liyangan di lereng timur Gunung Sundoro, diduga selain berfungsi sebagai pemujaan, juga merupakan tempat pertapaan sekaligus situs permukiman.
  5. Candi Wihara: didirikan untuk tempat para biksu atau pendeta tinggal dan bersemadi, candi seperti ini memiliki fungsi sebagai permukiman atau asrama, contoh: candi Sari dan Plaosan
  6. Candi Gerbang: didirikan sebagai gapura atau pintu masuk, contoh: gerbang di kompleks Ratu Boko, Bajang Ratu, Wringin Lawang, dan candi Plumbangan.
  7. Candi Petirtaan: didirikan didekat sumber air atau di tengah kolam dan fungsinya sebagai pemandian, contoh: Petirtaan Belahan, Jalatunda, dan candi Tikus

Beberapa bangunan purbakala, seperti batur-batur landasan pendopo berumpak, tembok dan gerbang, dan bangunan lain yang sesungguhnya bukan merupakan candi, sering kali secara keliru disebut pula sebagai candi. Bangunan seperti ini banyak ditemukan di situs Trowulan, ataupun paseban atau pendopo di kompleks Ratu Boko yang bukan merupakan bangunan keagamaan.

Arsitektur

[sunting | sunting sumber]
Sebaran candi Hindu dan Buddha di dataran Kewu, sekitar Prambanan.

Pembangunan candi dibuat berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam suatu kitab Vastusastra atau Silpasastra yang dikerjakan oleh silpin, yaitu seniman yang membuat candi (arsitek zaman dahulu). Salah satu bagian dari kitab Vastusastra adalah Manasara yang berasal dari India Selatan, yang tidak hanya berisi pedoman-pedoman membuat kuil beserta seluruh komponennya saja, melainkan juga arsitektur profan, bentuk kota, desa, benteng, penempatan kuil-kuil di kompleks kota dan desa.

Kitab-kitab ini juga memberikan pedoman mengenai pemilihan lokasi tempat candi akan dibangun. Hal ini terkait dengan pembiayaan candi, karena biasanya untuk pemeliharaan candi maka ditentukanlah tanah sima, yaitu tanah swatantra bebas pajak yang penghasilan panen berasnya diperuntukkan bagi pembangunan dan pemeliharaan candi. Beberapa prasasti menyebutkan hubungan antara bangunan suci dengan tanah sima ini. Selain itu pembangunan tata letak candi juga sering kali memperhitungkan letak astronomi (perbintangan).

Beberapa ketentuan dari kitab selain Manasara namun sangat penting di Indonesia adalah syarat bahwa bangunan suci sebaiknya didirikan di dekat air, baik air sungai, terutama di dekat pertemuan dua buah sungai, danau, laut, bahkan kalau tidak ada harus dibuat kolam buatan atau meletakkan sebuah jambangan berisi air di dekat pintu masuk bangunan suci tersebut. Selain di dekat air, tempat terbaik mendirikan sebuah candi, yaitu di puncak bukit, di lereng gunung, di hutan, atau di lembah. Seperti kita ketahui, candi-candi pada umumnya didirikan di dekat sungai, bahkan candi Borobudur terletak di dekat pertemuan sungai Elo dan sungai Progo. Sedangkan candi Prambanan terletak di dekat sungai Opak. Sebaran candi-candi di Jawa Tengah banyak tersebar di kawasan subur dataran Kedu dan dataran Kewu.

Kaki, tubuh, dan atap candi Prambanan.

Kebanyakan bentuk bangunan candi meniru tempat tinggal para dewa yang sesungguhnya, yaitu Gunung Mahameru. Oleh karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa pola yang menggambarkan alam Gunung Mahameru.[2]

Peninggalan-peninggalan purbakala, seperti bangunan-bangunan candi, patung-patung, prasasti-prasasti, dan ukiran-ukiran pada umumnya menunjukkan sifat kebudayaan Indonesia yang dilapisi oleh unsur-unsur Hindu-Budha.[10] Pada hakikatnya, bentuk candi-candi di Indonesia adalah punden berundak, di mana punden berundak sendiri merupakan unsur asli Indonesia.[11]

Berdasarkan bagian-bagiannya, bangunan candi terdiri atas tiga bagian penting, antara lain, kaki, tubuh, dan atap.[12]

  1. Kaki candi merupakan bagian bawah candi. Bagian ini melambangkan dunia bawah atau bhurloka. Pada konsep Buddha disebut kamadhatu, yaitu menggambarkan dunia hewan, alam makhluk halus seperti iblis, raksasa dan asura, serta tempat manusia biasa yang masih terikat nafsu rendah. Bentuknya berupa bujur sangkar yang dilengkapi dengan jenjang pada salah satu sisinya. Bagian dasar candi ini sekaligus membentuk denahnya, dapat berbentuk persegi empat atau bujur sangkar. Tangga masuk candi terletak pada bagian ini, pada candi kecil tangga masuk hanya terdapat pada bagian depan, pada candi besar tangga masuk terdapat di empat penjuru mata angin. Biasanya pada kiri-kanan tangga masuk dihiasi ukiran makara. Pada dinding kaki candi biasanya dihiasi relief flora dan fauna berupa sulur-sulur tumbuhan, atau pada candi tertentu dihiasi figur penjaga seperti dwarapala. Pada bagian tengah alas candi, tepat di bawah ruang utama biasanya terdapat sumur yang didasarnya terdapat pripih (peti batu). Sumur ini biasanya diisi sisa hewan kurban yang dikremasi, lalu diatasnya diletakkan pripih. Di dalam pripih ini biasanya terdapat abu jenazah raja serta relik benda-benda suci seperti lembaran emas bertuliskan mantra, kepingan uang kuno, permata, kaca, potongan emas, lembaran perak, dan cangkang kerang.
  2. Tubuh candi adalah bagian tengah candi yang berbentuk kubus yang dianggap sebagai dunia antara atau bhuwarloka. Pada konsep Buddha disebut rupadhatu, yaitu menggambarkan dunia tempat manusia suci yang berupaya mencapai pencerahan dan kesempurnaan batiniah. Pada bagian depan terdapat gawang pintu menuju ruangan dalam candi. Gawang pintu candi ini biasanya dihiasi ukiran kepala kala tepat di atas-tengah pintu dan diapit pola makara di kiri dan kanan pintu. Tubuh candi terdiri dari garbagriha, yaitu sebuah bilik (kamar) yang ditengahnya berisi arca utama, misalnya arca dewa-dewi, bodhisatwa, atau Buddha yang dipuja di candi itu. Di bagian luar dinding di ketiga penjuru lainnya biasanya diberi relung-relung yang berukir relief atau diisi arca. Pada candi besar, relung keliling ini diperluas menjadi ruangan tersendiri selain ruangan utama di tengah. Terdapat jalan selasar keliling untuk menghubungkan ruang-ruang ini sekaligus untuk melakukan ritual yang disebut pradakshina. Pada lorong keliling ini dipasangi pagar langkan, dan pada galeri dinding tubuh candi maupun dinding pagar langkan biasanya dihiasi relief, baik yang bersifat naratif (berkisah) ataupun dekoratif (hiasan).
  3. Atap candi adalah bagian atas candi yang menjadi simbol dunia atas atau swarloka. Pada konsep Buddha disebut arupadhatu, yaitu menggambarkan ranah surgawi tempat para dewa dan jiwa yang telah mencapai kesempurnaan bersemayam. Pada umumnya, atap candi terdiri dari tiga tingkatan yang semakin atas semakin kecil ukurannya. Sedangkan atap langgam Jawa Timur terdiri atas banyak tingkatan yang membentuk kurva limas yang menimbulkan efek ilusi perspektif yang mengesankan bangunan terlihat lebih tinggi. Pada puncak atap dimahkotai stupa, ratna, wajra, atau lingga semu. Pada candi-candi langgam Jawa Timur, kemuncak atau mastakanya berbentuk kubus atau silinder dagoba. Pada bagian sudut dan tengah atap biasanya dihiasi ornamen antefiks, yaitu ornamen dengan tiga bagian runcing penghias sudut. Kebanyakan dinding bagian atap dibiarkan polos, akan tetapi pada candi-candi besar, atap candi ada yang dihiasi berbagai ukiran, seperti relung berisi kepala dewa-dewa, relief dewa atau bodhisatwa, pola hias berbentuk permata atau kala, atau sulur-sulur untaian roncean bunga.

Tata letak

[sunting | sunting sumber]
Tata letak Candi Sewu yang konsentris memperlihatkan bentuk mandala wajradhatu.

Bangunan candi ada yang berdiri sendiri ada pula yang berkelompok. Ada dua sistem dalam pengelompokan atau tata letak kompleks candi, yaitu:

  1. Sistem konsentris, sistem gugusan terpusat; yaitu posisi candi induk berada di tengah–tengah anak candi (candi perwara). Candi perwara disusun rapi berbaris mengelilingi candi induk. Sistem ini dipengaruhi tata letak denah mandala dari India. Contohnya kelompok Candi Prambanan dan Candi Sewu.
  2. Sistem berurutan, sistem gugusan linear berurutan; yaitu posisi candi perwara berada di depan candi induk. Ada yang disusun berurutan simetris, ada yang asimetris. Urutan pengunjung memasuki kawasan yang dianggap kurang suci berupa gerbang dan bangunan tambahan, sebelum memasuki kawasan tersuci tempat candi induk berdiri. Sistem ini merupakan sistem tata letak asli Nusantara yang memuliakan tempat yang tinggi, sehingga bangunan induk atau tersuci diletakkan paling tinggi di belakang mengikuti topografi alami ketinggian tanah tempat candi dibangun. Contohnya Candi Penataran dan Candi Sukuh. Sistem ini kemudian dilanjutkan dalam tata letak Pura Bali.

Bahan bangunan

[sunting | sunting sumber]
Tumpukan susunan balok batu andesit di Borobudur yang rapi dan saling kunci menyerupai balok permainan lego.
Candi Blandongan di kompleks percandian Batujaya, Karawang, Jawa Barat, berbahan bata merah.

Bahan material bangunan pembuat candi bergantung kepada lokasi dan ketersediaan bahan serta teknologi arsitektur masyarakat pendukungnya. Candi-candi di Jawa Tengah menggunakan batu andesit, sedangkan candi-candi pada masa Majapahit di Jawa Timur banyak menggunakan bata merah. Demikian pula candi-candi di Sumatra seperti Biaro Bahal, Muaro Jambi, dan Muara Takus yang berbahan bata merah. Bahan-bahan untuk membuat candi antara lain:

  1. Batu andesit, batu bekuan vulkanik yang ditatah membentuk kotak-kotak yang saling kunci. Batu andesit bahan candi harus dibedakan dari batu kali. Batu kali meskipun mirip andesit tetapi keras dan mudah pecah jika ditatah (sukar dibentuk). Batu andesit yang cocok untuk candi adalah yang terpendam di dalam tanah sehingga harus ditambang di tebing bukit.
  2. Batu putih (tuff), batu endapan piroklastik berwarna putih, digunakan di Candi Pembakaran di kompleks Ratu Boko. Bahan batu putih ini juga ditemukan dijadikan sebagai bahan isi candi, di mana bagian luarnya dilapis batu andesit.
  3. Bata merah, dicetak dari lempung tanah merah yang dikeringkan dan dibakar. Candi Majapahit dan Sumatra banyak menggunakan bata merah.
  4. Stuko (stucco), yaitu bahan semacam beton dari tumbukan batu dan pasir. Bahan stuko ditemukan di percandian Batu Jaya.
  5. Bajralepa (vajralepa), yaitu bahan lepa pelapis dinding candi semacam plaster putih kekuningan untuk memperhalus dan memperindah sekaligus untuk melindungi dinding dari kerusakan. Bajralepa dibuat dari campuran pasir vulkanik dan kapur halus. Konon campuran bahan lain juga digunakan seperti getah tumbuhan, putih telur, dan lain-lain. Bekas-bekas bajralepa ditemukan di candi Sari dan candi Kalasan. Kini pelapis bajralepa telah banyak yang mengelupas.
  6. Kayu, beberapa candi diduga terbuat dari kayu atau memiliki komponen kayu. Candi kayu serupa dengan Pura Bali yang ditemukan kini. Beberapa candi tertinggal hanya batu umpak atau batur landasannya saja yang terbuat dari batu andesit atau bata, sedangkan atasnya yang terbuat dari bahan organik kayu telah lama musnah. Beberapa dasar batur di Trowulan Majapahit disebut candi, meskipun sesungguhnya merupakan landasan pendopo yang bertiang kayu. Candi Sambisari dan candi Kimpulan memiliki umpak yang diduga candi induknya dinaungi bangunan atap kayu. Beberapa candi seperti Candi Sari dan Candi Plaosan memiliki komponen kayu karena pada struktur batu ditemukan bekas lubang-lubang untuk meletakkan kayu gelagar penyangga lantai atas, serta lubang untuk menyisipkan daun pintu dan jeruji jendela.

Gaya arsitektur

[sunting | sunting sumber]
Candi Pawon dekat Borobudur, contoh Langgam Jawa Tengah.
Gerbang Bajang Ratu di Trowulan, contoh Langgam Jawa Timur.
Candi Biaro Bahal, di Padang Lawas, Sumatera Utara.

Soekmono, seorang arkeolog terkemuka di Indonesia, mengidentifikasi perbedaan gaya arsitektur (langgam) antara candi Jawa tengah dengan candi Jawa Timur. Langgam Jawa Tengahan umumnya adalah candi yang berasal dari sebelum tahun 1000 masehi, sedangkan langgam Jawa Timuran umumnya adalah candi yang berasal dari sesudah tahun 1000 masehi. Candi-candi di Sumatra dan Bali karena kemiripannya dikelompokkan ke dalam langgam Jawa Timur.[2][13][14]

Bagian dari Candi Langgam Jawa Tengah Langgam Jawa Timur
Bentuk bangunan Cenderung tambun Cenderung tinggi dan ramping
Atap Jelas menunjukkan undakan, umumnya terdiri atas 3 tingkatan Atapnya merupakan kesatuan tingkatan. Undakan-undakan kecil yang sangat banyak membentuk kesatuan atap yang melengkung halus. Atap ini menimbulkan ilusi perspektif sehingga bangunan berkesan lebih tinggi
Kemuncak atau mastaka Stupa (candi Buddha), Ratna, Wajra, atau Lingga Semu (candi Hindu) Kubus (kebanyakan candi Hindu), terkadang Dagoba yang berbentuk tabung (candi Buddha)
Gawang pintu dan hiasan relung Gaya Kala-Makara; kepala Kala dengan mulut menganga tanpa rahang bawah terletak di atas pintu, terhubung dengan Makara ganda di masing-masing sisi pintu Hanya kepala Kala tengah menyeringai lengkap dengan rahang bawah terletak di atas pintu, Makara tidak ada
Relief Ukiran lebih tinggi dan menonjol dengan gambar bergaya naturalis Ukiran lebih rendah (tipis) dan kurang menonjol, gambar bergaya seperti wayang Bali
Kaki Undakan jelas, biasanya terdiri atas satu bagian kaki kecil dan satu bagian kaki lebih besar. Peralihan antara kaki dan tubuh jelas membentuk selasar keliling tubuh candi Undakan kaki lebih banyak, terdiri atas beberapa bagian batur-batur yang membentuk kaki candi yang mengesankan ilusi perspektif agar bangunan terlihat lebih tinggi. Peralihan antara kaki dan tubuh lebih halus dengan selasar keliling tubuh candi lebih sempit
Tata letak dan lokasi candi utama Mandala konsentris, simetris, formal; dengan candi utama terletak tepat di tengah halaman kompleks candi, dikelilingi jajaran candi-candi perwara yang lebih kecil dalam barisan yang rapi Linear, asimetris, mengikuti topografi (penampang ketinggian) lokasi; dengan candi utama terletak di belakang, paling jauh dari pintu masuk, dan sering kali terletak di tanah yang paling tinggi dalam kompleks candi, candi perwara terletak di depan candi utama
Arah hadap bangunan Kebanyakan menghadap ke timur Kebanyakan menghadap ke barat
Bahan bangunan Kebanyakan batu andesit Kebanyakan bata merah

Meskipun demikian terdapat beberapa pengecualian dalam pengelompokkan langgam candi ini. Sebagai contoh candi Penataran, Jawi, Jago, Kidal, dan candi Singhasari jelas masuk dalam kelompok langgam Jawa Timur, akan tetapi bahan bangunannya adalah batu andesit, sama dengan ciri candi langgam Jawa Tengah; dikontraskan dengan reruntuhan Trowulan seperti candi Brahu, serta candi Majapahit lainnya seperti candi Jabung dan candi Pari yang berbahan bata merah. Bentuk candi Prambanan adalah ramping serupa candi Jawa Timur, tetapi susunan dan bentuk atapnya adalah langgam Jawa Tengahan. Lokasi candi juga tidak menjamin kelompok langgamnya, misalnya candi Badut terletak di Malang, Jawa Timur, akan tetapi candi ini berlanggam Jawa Tengah yang berasal dari kurun waktu yang lebih tua pada abad ke-8 masehi.

Bahkan dalam kelompok langgam Jawa Tengahan terdapat perbedaan tersendiri dan terbagi lebih lanjut antara langgam Jawa Tengah Utara (misalnya kelompok Candi Dieng) dengan Jawa Tengah Selatan (misalnya kelompok Candi Sewu). Candi Jawa Tengah Utara ukirannya lebih sederhana, bangunannya lebih kecil, dan kelompok candinya lebih sedikit; sedangkan langgam candi Jawa Tengah Selatan ukirannya lebih raya dan mewah, bangunannya lebih megah, serta candi dalam kompleksnya lebih banyak dengan tata letak yang teratur.

Pada kurun akhir Majapahit, gaya arsitektur candi ditandai dengan kembalinya unsur-unsur langgam asli Nusantara bangsa Austronesia, seperti kembalinya bentuk punden berundak. Bentuk bangunan seperti ini tampak jelas pada candi Sukuh dan candi Cetho di lereng gunung Lawu, selain itu beberapa bangunan suci di lereng Gunung Penanggungan juga menampilkan ciri-ciri piramida berundak mirip bangunan piramida Amerika Tengah.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Jacques Dumarçay, "Candi Sewu: dan arsitektur bangunan agama buda di Jawa Tengah: and buddhist architecture of Central Java", Kepustakaan Populer Gramedia, 2007, 9799100887, 9789799100887.
  2. ^ a b c d Nana Supriatna, "Sejarah", PT Grafindo Media Pratama, 9797586006, 9789797586003.
  3. ^ Thomas Wendoris, "Mengenal Candi-candi Nusantara", Pustaka Widyatama, 9796102366, 9789796102365.
  4. ^ F. X. Gabriel, "Api nan Apik", BPK Gunung Mulia, 2000, 9799290007, 9789799290007.
  5. ^ Soekmono, R. "Candi:Symbol of the Universe", pp.58-59 in Miksic, John, ed. Ancient History Volume 1 of Indonesian Heritage Series Archipelago Press, Singapore (1996) ISBN 978-981-3018-26-6
  6. ^ Soekmono, Dr R. (1973). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Kanisius. hlm. 81. ISBN 979-413-290-X. 
  7. ^ Curriculum Corporation (Australia), "Suara siswa, Jilid 3", Curriculum Corporation, 1993, 1863661352, 9781863661355.
  8. ^ a b Sri Pujiastuti, Dkk, "IPS TERPADU: - Jilid 1B", ESIS, 9797346943, 9789797346942.
  9. ^ a b Nana Supriatna, "Kenali Lingkungan Sosialmu", PT Grafindo Media Pratama, 9799281253, 9789799281258.
  10. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, "Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia", PT Balai Pustaka, 1992, 9794074098, 9789794074091.
  11. ^ "Sejarah 2", Yudhistira Ghalia Indonesia, 9797469069, 9789797469061.
  12. ^ "Seri IPS SEJARAH", Yudhistira Ghalia Indonesia, 9797468003, 9789797468002.
  13. ^ Soekmono, Dr R. (1973). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Kanisius. hlm. 86. ISBN 979-413-290-X. 
  14. ^ Dedi Nurhadiat, "Pend Seni Rupa SMA Kls 2 (K-04)", Grasindo, 979732740X, 9789797327408.