Kedudukan akal dalam Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kedudukan akal dalam Islam merupakan masalah yang masih diperdebatkan hingga saat ini. Dalam Islam, kepenggunaan akal terutama dalam agama tidak mendapat kedudukan secara pasti. Bagi sebagian kelompok, penggunaan akal dalam beragama itu adalah Haram, sebab hal itu akan menimbulkan pertentangan dengan beberapa dalil di dalam hadis maupun Al-Qur'an. Sedangkan di sisi lain, ada pula beberapa kelompok yang memandang penggunaan akal dalam beragama itu boleh, bahkan dianjurkan. Hal itu didasarkan pada asas manfaat yang diperoleh ketika umat menggunakan akalnya, maka akan lahirlah peradaban besar. Selain itu, penggunaan akal menurut kelompok ini sangatlah didukung oleh beberapa dalil Al-Qur'an yang memerintahkan umat Islam untuk menggunakan akalnya.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Perdebatan tentang posisi akal dalam agama Islam bukanlah sebuah masalah yang baru, sebab sejak Rasulullah meninggal, terjadi perpecahan dalam umat Islam ketika memandang posisi akal dalam beragama. Contoh terkenal dalam kasus ini yaitu perdebatan antara Ahlur Ra’yi dengan Ahlul Hadits. Ahlur Ra’yi berpandangan bahwa penggunaan akal itu merupakan sebuah kebaikan dan dianggap bisa memecahkan masalah,[1] sedangkan bagi Ahlul Hadits, penggunaan akal itu tidak diperbolehkan sebab Rasulullah menurut mereka tidak memerintahkan umatnya untuk menggunakan akal dan juga dikhawatirkan akan menimbulkan banyak pertentangan dalam agama.[2]

Selain itu, contoh yang lebih ekstrem terjadi pada masa Kekhalifahan Abbasiyah antara Muktazilah dengan sebagian golongan Sunni terutama yang bermazhab Hanbaliyah. Ketika Khalifah Al-Ma'mun memegang jabatan Khalifah, dia memerintahkan Muktazilah sebagai mazhab resmi negara dan memerintahkan mihnah. Hal itu kemudian menimbulkan banyak tentangan dari sebagian golongan Sunni kepada Khalifah Al-Ma'mun sehingga beberapa orang dari golongan Sunni mengalami penindasan. Keadaan kemudian cepat berbalik ketika Khalifah Al-Mutawakkil naik takhta menggantikan Al-Watsiq. Khalifah Al-Mutawakkil kemudian memerintahkan untuk pemurnian kembali agama Islam dengan melakukan inkuisisi paksa kepada seluruh umat Islam untuk memeluk aliran Sunni dan sempat melarang praktek ilmiah dalam kegiatan umum.[3]

Hingga saat ini, perdebatan posisi akal dalam beragama masih menjadi polemik dalam tubuh umat Islam.

Perbedaan pendapat[sunting | sunting sumber]

Kelompok yang setuju penggunaan akal[sunting | sunting sumber]

Abdullah ibn Mas'ud: Salah satu sahabat Nabi yang sering menggunakan akal dalam metode ijtihadnya.

Kelompok yang setuju penggunaan akal beranggapan, bahwa penggunaan akal dalam agama Islam tidaklah ditentang bahkan mendapat dukungan dari berbagai dalil yang ada dalam Al-Qur'an, di samping manfaat yang di dapat karena akal merupakan sarana dalam pemecahan masalah.[4] Akal dalam agama Islam sangatlah dihargai, bahkan diperintahkan penggunaannya oleh Allah sendiri.[5] Hal itu tercantum oleh beberapa ayat berikut ini :

Kelompok ini biasanya diwakili oleh aliran Muktazilah. Namun, bukan berarti semua orang yang berada di kelompok ini adalah orang Muktazilah, sebab untuk menjadi seorang Muktazilah, orang itu harus mempercayai lima ajaran utama dari aliran ini. Ada juga beberapa orang dari golongan Ahlussunnah yang mendukung penggunaan akal (terutama mereka yang mengikuti mazhab akidah Maturidi). Aliran lain yang juga mendukung penggunaan akal yaitu Ahlul Qur'an. Kelompok yang mengutamakan penggunaan akal dalam agama Islam disebut Ahlur Ra’yi.

Meskipun menggunakan akal, kelompok ini tidak sama sekali bisa dikatakan menyimpang dari ajaran Islam. Beberapa fatwa yang dikeluarkan dari kelompok ini tidak menyimpang dari nilai-nilai keislaman,[6] karena mereka memposisikan akal sebagai pendukung wahyu. Penggunaan akal dalam agama dimaksudkan untuk memperkuat hukum-hukum Islam dan dijadikan sebagai tolak ukur pemecahan masalah seperti dalam ijtihad, bukan sebagai sumber dalam mencari kebenaran baru untuk menentang kebenaran agama.[7]

Tokoh terkenal dari kelompok ini antara lain: Abdullah bin Mas'ud, Abu Hanifah (Imam Hanafi), Ibnu Rusyd, dll. Selain itu, di Indonesia juga ada beberapa tokoh terkenal dari kelompok ini, seperti Harun Nasution dan Agus Mustofa.

Kelompok yang tidak setuju penggunaan akal[sunting | sunting sumber]

Kelompok yang tidak setuju akan penggunaan akal beranggapan, bahwa penggunaan akal itu dapat membuat pertentangan antara dalil yang ada dalam Al-Qur'an dan Hadits. Mereka berpendapat, bahwa tidak semua masalah agama itu rasional. Jika penggunaan akal manusia sangat ditekankan, maka dikhawatirkan akan ada perselisihan antara akal dengan beberapa dalil yang ada. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa Rasulullah sebagai teladan umat Islam sekali pun, tak pernah memerintahkan umatnya untuk menggunakan akal ketika memecahkan masalah. Justru yang ada malah melarang penggunaan akal. Hal itu dapat dilihat dalam hadits berikut :

Kelompok ini biasanya berasal dari golongan Salafiyah, meski tidak semua orang yang beraliran ini melarang penggunaan akal. Lebih umumnya, kelompok ini diwakili oleh mereka yang berpaham Jabariyah, dan Khawarij. Ahlul Hadits merupakan sebutan oleh mereka yang lebih mengutamakan hadits daripada akal, bahkan cenderung untuk menjauhi akal. Jarang sekali ada tokoh yang mewakili kelompok ini, meskipun secara kuantitas, kelompok ini banyak diikuti oleh kebanyakan umat Islam sebelum zaman pembaruan Islam maupun untuk saat ini. Tokoh besar dari golongan ini salah satunya adalah Ahmad bin Hambal (Imam Hambali).[8]

Dampak[sunting | sunting sumber]

Terhadap Filsafat[sunting | sunting sumber]

Ibnu Rusyd: Salah seorang pemikir Islam yang mendukung penggunaan filsafat dalam ranah agama

Filsafat sebagai produk dari akal budi manusia tak luput dari polemik dalam agama Islam. Filsafat yang asalnya dari Yunani ini bagi beberapa orang dianggap bagian dari kekafiran. Contoh paling nyata dari pengharaman filsafat ini bermula dari buku Tahafut al-Falasifah karya Imam Al-Ghazali yang kemudian membuat tidak populernya filsafat di kalangan Islam belahan Timur. Akan tetapi, banyak juga dari umat Islam yang memandang filsafat sebagai suatu jalan untuk memperkukuh keimanan dan membawa kebaikan, selagi tidak diarahkan kepada hal yang tidak bertentangan terhadap ajaran Islam. Hal itu dapat dilihat dari buku Tahafut at-Tahafut karangan Ibnu Rusyd yang bertujuan untuk membantah buku Tahafut al-Falasifah milik Imam Al-Ghazali.[9]

Terhadap Ilmu Pengetahuan[sunting | sunting sumber]

Perdebatan panjang tentang kedudukan akal dalam agama Islam membawa dampak yang besar bagi sendi-sendi kehidupan umat Islam. Salah satunya terhadap pandangan mereka kepada Ilmu Pengetahuan. Bagi sebagian umat Islam, ilmu pengetahuan adalah momok terbesar bagi agama, apalagi ketika gencarnya stigma yang dihembuskan bahwa ilmu pengetahuan itu bertentangan dengan agama dan tak mungkin untuk dipersatukan. Ilmu pengetahuan bagi beberapa orang di umat Islam dianggap sebagai produk budaya dari Barat yang berasal dari perlawanan orang-orang Liberal terhadap gereja, maka dari itu Haram hukumnya untuk memasukkan ilmu pengetahuan dalam urusan keagamaan. Namun bagi sebagian umat Islam yang lainnya, ilmu pengetahuan banyak membantu membuktikan kebenaran Al-Qur'an serta dapat membuat keimanan mereka semakin bertambah. Menurut kelompok ini, ilmu pengetahuan dipandang secara positif, sebab salah satu hal yang membuat Islam meraih kejayaannya adalah dengan keberadaan ilmu pengetahuan.[9]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Sayis, Muhammad Ali (1999). Tarikh al-Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah. ISBN 9781575475769. 
  2. ^ Shadily, Hassan. Ensiklopedia Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. hlm. 115. 
  3. ^ Akyol, Mustafa (2014). Islam Tanpa Ekstrimisme : Potrer Seorang Muslim untuk Kebebasan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. ISBN 9786020244846. 
  4. ^ Mustofa, Agus (2006). Membonsai Islam. Surabaya: Padma Press. ISBN 9791070008. 
  5. ^ Nasution, Harun (1986). Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. ISBN 9798034074. 
  6. ^ Yatim, Badri (1994). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 
  7. ^ Mustofa, Agus (2010). Salah Kaprah dalam Beragama Islam. Surabaya: Padma Press. ISBN 9789791070317. 
  8. ^ Katsir, Ibnu (2010). Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim. Ibnu Jauzi. 
  9. ^ a b Madjid, Nurcholish (1984). Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang. ISBN 9786024337377.