Salafiyah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Salafiyah (bahasa Arab: السلفية, translit. as-Salafīyyah, bentuk adjektival Salafi), juga disebut Salafisme, adalah sebuah gerakan reformasi ultra-konservatif[1] di dalam Islam Sunni.[2][3][4] Nama ini diambil dari anjuran untuk kembali ke pemahaman leluhur (salaf), tiga generasi awal Muslim yang mengetahui ajaran Islam yang murni tanpa adanya tambahan dan pengurangan. Generasi-generasi itu termasuk Nabi Islam Muhammad dan para sahabat yang diajarkannya sendiri (para Sahabat), penerus mereka (Tabiin), dan penerus penerus (Tabi'ut Tabi'in). Secara praktis, Salafi berpendapat bahwa umat Islam harus bergantung pada Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma' (konsensus) salaf, memberikan mereka prioritas atas interpretasi agama kemudian.[5] Gerakan ini bertujuan untuk memperbarui kehidupan Muslim dan ia telah memberikan pengaruh besar pada banyak pemikir dan gerakan Muslim di seluruh Dunia Islam.[6] Sejak awal, Salafisme telah berkembang melalui upaya berbagai reformis Islam, yang kegiatannya tersebar di berbagai wilayah.[7]

Istilah Salafi dibuat oleh Ibnu Taimiyah pada abad ke-8 Hijriyah, dan Muhammad bin Abdul Wahhab menghidupkan kembali istilah ini di wilayah Najd pada abad ke-12 H, yang menjadikan Salafi sebagai sebuah gerakan reformasi yang didirikan oleh salah satu perwakilan paling terkemuka di era modern.[8][9]

Doktrin Salafi didasarkan pada melihat kembali ke tahun-tahun awal agama Islam untuk memahami bagaimana Muslim kontemporer harus mempraktikkan iman mereka.[10] Salafi menolak inovasi agama atau bid'ah dan mendukung penerapan syariat (hukum Islam).[11] Dalam pendekatannya terhadap politik, gerakan Salafiyah kadang-kadang dibagi oleh akademisi dan jurnalis Barat menjadi tiga kategori: kelompok terbesar adalah kaum puritan (atau pendiam), yang menghindari politik; kelompok terbesar kedua adalah para aktivis, yang mempertahankan keterlibatan reguler dalam politik; dan kelompok ketiga adalah para jihadis, yang membentuk minoritas dan menganjurkan perjuangan bersenjata untuk memulihkan gerakan Islam awal.[11] Dalam masalah hukum, Muslim Salafi terbagi antara mereka yang menganjurkan penilaian hukum independen (ijtihad) dan menolak kepatuhan yang ketat (taklid) ke empat mazhab hukum Sunni dan lainnya yang tetap setia pada ini, terutama para ulama Saudi, yang tidak mengikuti Mazhab tertentu.[12]

Di era kontemporer, Salafisme mengacu pada sekelompok gerakan pembaruan dan reformasi Sunni yang berbeda dan tetap menjadi tren signifikan dalam pemikiran Islam selama lebih dari satu abad.[13][14] Salafiyah kontemporer terbentuk sebagai gerakan revivalis di seluruh Dunia Muslim selama akhir abad ke-19 dalam konteks Imperialisme Eropa.[15][16]

Etimologi[sunting | sunting sumber]

Kata salafiyah diambil dari kata "Salaf" adalah kependekan dari "Salaf al-Ṣhāliḥ" (Arab: السلف الصالح), yang berarti "pendahulu yang sholih". Dalam terminologi Islam secara umum, digunakan untuk menunjuk kepada tiga generasi terbaik umat muslim yaitu sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in. Ketiga generasi inilah dianggap sebagai contoh terbaik dalam menjalankan syariat Islam.[17][18][19]

Penggunaan istilah salafiyah[sunting | sunting sumber]

Kata salafi sering dihubungkan dengan Wahhabisme (bagi sebagian besar pengikutnya, nama Wahabi ini dianggap menghina; mereka lebih memilih istilah Salafisme), sehingga dua istilah ini sering dipandang sebagai sinonim.[20] Biasanya, penganutnya dari gerakan salafy menjelaskan dirinya sebagai Muwahidin, Ahlul Hadits,[21] atau Ahlu Tauhid.[22]

Pokok ajaran dari ideologi dasar salafi adalah bahwa Islam telah sempurna dan selesai pada waktu masa Muhammad dan para sahabatnya, oleh karena itu tidak diperbolehkan adanya inovasi atau tambahan serta pengurangan dalam syariat Islam karena pengaruh adat dan budaya. Paham ideologi Salafi berusaha untuk menghidupkan kembali praktik Islam yang sesuai dengan agama Muhammad pertama kali berdakwah.[23]

Salafisme juga telah digambarkan sebagai sebuah versi sederhana dan pengetahuan Islam. Penganutnya mengikuti beberapa perintah dan praktik yang hanya sesuai dengan petunjuk Muhammad.[24]

Pada zaman modern, kata salafy memiliki dua definisi yang kadang-kadang berbeda. Yang pertama, digunakan oleh akademisi dan sejarawan, merujuk pada "aliran pemikiran yang muncul pada paruh kedua abad ke-19 sebagai reaksi atas penyebaran ide-ide dari Eropa," dan "orang-orang yang mencoba memurnikan kembali ajaran yang telah dibawa Nabi Islam serta menjauhi berbagai ke-bid'ah-an, khurafat, syirik dalam agama Islam"[25]

Penggunaan "yang cukup berbeda" kedua yang lebih disenangi oleh para salafy kontemporer secara sepihak, mendefinisikan seorang salafi sebagai Muslim yang mengikuti "perintah kitab suci ... secara literal, tradisional" dan bukannya "penafsiran yang tampak tak berbatas" dari "salafi" awal. Para Salafi ini melihat ke Ibnu Taimiyah, bukan ke figur abad ke-19 Muhammad Abduh, Jamaluddin, dan Rashid Rida.[25]

Doktrin[sunting | sunting sumber]

Menurut Bernard Haykel, "kedekatan temporal terhadap sunnah Muhammad dikaitkan dengan bentuk Islam yang paling benar" di antara kelompok Sunni.[26]

Salafi adalah gerakan pembaharu agama dan sosial yang pertama dan banyak terlibat dalam menciptakan dan mereproduksi bentuk otoritas dan identitas tertentu, baik secara pribadi maupun komunal. Mereka mendefinisikan proyek reformis pertama [mereka] terutama melalui prinsip-prinsip akidah. Yang lebih penting lagi, metodologinya yang dikenal sebagai manhaj salaf adalah seperangkat hukum-hukum serta bentuk sosial-politik.[27]

Dakwah salafi adalah manhaj, bukan mazhab fikih, sebagaimana masyarakat awam mengira. Salafi dapat berasal dari mazhab Maliki, Syafii, Hanbali, Hanafi, atau Zhahiri. Secara akidah, Salafi banyak merujuk kepada pemikiran dari mazhab Hanbali.[butuh rujukan] Pengikut-pengikut manhaj ini mengeklaim dirinya sebagai Ahlussunnah wal-Jama'ah dan juga Ahli Hadis.[28] Gerakan ini juga menganut teologi tradisionalis, yaitu mazhab akidah Atsariyah.[29]

Salafi sangat menekankan amalan sesuai hadis-hadis shahih dan hasan Nabi Islam Muhammad, tidak hanya dalam ibadah mahdah seperti salat, juga dalam ibadah gairu mahdah, serta setiap aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, banyak menggunakan tiga jari saat makan, minum air dalam tiga tegukan, dan memegangnya dengan tangan kanan sambil duduk.[30]

Pandangan terhadap taklid[sunting | sunting sumber]

Pemikiran Salafi mencari re-orientasi fikih (yurisprudensi Islam) jauh dari taklid (ketaatan pada preseden hukum Madhhab tertentu) dan langsung kembali ke Nabi, sahabatnya, dan salafusshalih. Pengembalian yang lebih disukai ke jalan murni Nabi disebut "ittiba'" (mengikuti Nabi dengan langsung merujuk pada Kitab Suci).[31] Dalam pendekatan hukum, Salafi terbagi antara mereka yang, atas nama penilaian hukum independen (ijtihad), menolak kepatuhan yang ketat (taqlid) terhadap empat mazhab dan lainnya yang tetap setia pada ini.[12][32][33]

Meskipun Muhammad bin Abdul Wahhab secara pribadi menolak praktik Taqlid, ulama Wahhabi dan Salafi lebih memilih mengikuti madzhab Hanbali dan umumnya mengizinkan Taqlid mengikuti Fatwa (pendapat hukum hukum) dan mendorong mengikuti mazhab.[34] Sementara mereka secara doktrinal mengutuk Taqlid dan menganjurkan Ijtihad, secara historis praktik hukum Wahhabisme sebagian besar didasarkan dalam batas-batas mazhab Hanbali, sampai saat ini. Penolakan doktrin Taqlid oleh Salafi akan menyebabkan munculnya ulama Salafisme terkemuka seperti Sa'ad bin Atiq, Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, Ibnu Utsaimin, Ibnu Baz, dan yang lainnya; yang akan menyimpang secara signifikan dari hukum fiqih Hanbali .[12][35][36][37][38]

Gerakan Salafi lainnya, bagaimanapun, percaya bahwa taqlid adalah melanggar hukum dan menantang otoritas sekolah hukum. Dalam perspektif mereka, sejak mazhab muncul setelah era Salafus Shalih (pendahulu yang saleh); orang-orang Muslim yang mengikuti madzhab tanpa langsung mencari dalil-dalil Kitab Suci akan menyimpang.[39][40] Ini termasuk ulama gerakan Ahlul Hadits seperti Muhammad Nashiruddin al-Albani, Muḥammad Ḥayāt al-Sindzī, Ibnu Amir al-Ṣanʿānī, asy-Syaukānī, dan yang lainnya; yang sama sekali mengutuk taqlid (peniruan), menolak otoritas mazhab, dan mewajibkan umat Islam untuk mencari fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para ulama yang hanya berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis; tanpa melibatkan perantara.[36][41][42] Ulama Ahlul Hadits akan membedakan diri mereka dari Wahhabi yang mengikuti mazhab Hanbali sementara mereka menganggap diri mereka tidak mengikuti mazhab tertentu. Di era kontemporer, Albani dan murid-muridnya, khususnya, akan langsung mengkritik Wahhabi dalam masalah Taqlid. karena afinitas mereka terhadap mazhab Hanbali dan menyerukan regenerasi Wahhabisme yang dimurnikan dari unsur-unsur yang bertentangan dengan doktrin Salaf.[43]

Ulama Salafi lainnya seperti Rasyid Ridha mengikuti jalan tengah, mengizinkan orang awam untuk melakukan Taklid hanya jika diperlukan, mewajibkan dia untuk melakukan Ittiba ketika bukti-bukti Kitab Suci diketahui olehnya. Metodologi hukum mereka menolak keberpihakan pada risalah mazhab tertentu mana pun, dan mengacu pada kitab-kitab semua mazhab. Mengikuti Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim, para ulama ini menerima warisan sastra yang kaya dari Fiqih Sunni dan menganggap literatur dari empat mazhab Sunni sebagai sumber yang bermanfaat untuk mengeluarkan keputusan untuk era kontemporer.[41][44][45] Di ujung spektrum, beberapa Salafi berpendapat bahwa berpegang pada taqlid adalah tindakan syirik (politeisme).

Salafi kontemporer umumnya membuang praktik mengikuti aturan mapan dari setiap Madzhab tertentu, mengutuk prinsip Taqlid (peniruan buta) sebagai bid'ah (inovasi) dan secara signifikan dipengaruhi oleh prinsip-prinsip hukum mazhab, yang secara historis terkait dengan doktrin anti madzhab yang menentang kanonisasi mazhab hukum. Kecaman ulama Zahir awal Ibnu Hazm terhadap Taqlid dan seruan untuk membebaskan diri dari sistem penafsiran dari berbagai aliran yang dikanonisasi dengan mendukung Fiqih yang langsung didasarkan pada Qur'an dan Hadits; telah memberikan dampak besar pada gerakan Salafiyya .[36][46] Legalisme Salafi paling sering ditandai dengan keberangkatannya dari aturan mapan ( mu'tamad ) dari empat mazhab Sunni, serta sering menyelaraskan dengan pandangan Zahir yang disebutkan oleh Ibn Hazm dalam ringkasan hukumnya Al-Muhalla.[36][47][48]

Perbedaan dengan ilmu kalam[sunting | sunting sumber]

Pendukung mazhab Atsariyah pada zaman modern banyak yang berasal dari kelompok ini; mereka menjunjung tinggi karya-karya tokoh Atsariyah dari Ibnu Taimiyyah.[49] Ibnu Taimiyyah merupakan sosok ulama yang sering diperdebatkan dan bahkan ditentang, serta menjadi ulama yang sangat dihormati di antara pengikut gerakan Salafi dan sering digelari Syaikhul-Islam. Tokoh penting lainnya termasuk ulama besar penting dalam sejarah Islam, seperti Ahmad bin Hanbal.[50]

Pengikut gerakan Salafi menganggap sumber hukum utama Islam, Al-Qur'an dan Sunnah, sudah cukup jelas, serta sering menolak penggunaan penafsiran dan penalaran manusia. Salafi menyukai implementasi praktis daripada perselisihan makna, karena dapat dianggap jelas atau berada di luar nalar manusia.[51] Mereka menganggap bahwa mengikuti teologi ilmu kalam, bahkan jika terbukti benar sekali pun, mutlak dilarang.[52] Atsariyah memaknai Al-Qur'an dan hadis secara literal dan amodal, serta mengakui pemaknaan yang sudah dianggap jelas dalam hal akidah. Hal ini berbeda dengan penganut takwil (penafsiran metaforis), penganut Salafi tidak mengkonseptualisasikan makna Al-Qur'an secara rasional; dan percaya bahwa makna sebenarnya harus diserahkan kepada Allah saja (tafwidh).[53] Secara hermeunistik, Salafi berbeda dari non-Salafi dalam beberapa hal kebolehan.[54]

Ibnu Taimiyyah dikenal karena menulis beberapa tentangan terhadap firkah-firkah dan mazhab akidah Islam lainnya seperti Sufi, Jahmiyah, Asy'ariyah, Syiah, Filsafat, dll., melalui fatwa-fatwanya.[55] Untuk menjelaskan pendekatan teologis Salafiyah, Ibnu Taimiyyah mengeluarkan fatwa:

Manhaj Salaf adalah menafsirkan secara literal ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis yang berhubungan dengan sifat-sifat Ilahi [ijra' ayat aṣ-ṣifat wa ahadiṡ aṣ-ṣifat 'ala ẓahiriha], dan tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk [ma' nafi al-kaifiyyah wat-tasybih]."

— Taqiyuddin bin Taimiyyah, Al-Fatawa al-Kubra, juz 5, hlm. 152, [55]

Banyak sistem keyakinan yang berkaitan dengan dunia spiritual yang dipraktikkan oleh umat Islam di beberapa tempat dan wilayah, dianggap syirik oleh pengikut Salafi. Pengikut gerakan Salafi menganggap sejumlah praktik yang berkaitan dengan jin atau roh wali dan orang-orang saleh sebagai bid'ah dan syirik. Demikian pula, Salafisme berbeda terkait pemahaman teologis dan penafsiran tentang jin, setan, dan malaikat, terhadap penganut Islam secara umum.[56] Keyakinan yang luas tentang roh dan malaikat yang banyak diterima oleh penganut Islam Klasik dipangkas mengikuti Al-Qur'an dan hadis, tanpa bahan tafsir lebih lanjut serta referensi anekdotal.[57][58]

Ajaran Ibnu Taimiyyah[sunting | sunting sumber]

Para pengikut Salafi banyak mengikuti ajaran-ajaran dari Ibnu Taimiyyah, terutama dalam masalah teologi dan spiritual. Ajaran-ajaran Ibnu Taimiyyah banyak memberi pengaruh kepada Wahabisme, Ahli Hadis, dan gerakan Salafi yang lain. Menurut doktrin monoteistik Ibnu Taimiyyah, Tauhid dibagi menjadi tiga: ar-rubūbiyyah (Tauhid Ketuhanan), al-ulūhiyyah (Tauhid Sesembahan), dan al-asmā' waṣ-ṣifāt (Tauhid Nama dan Sifat). Penafsiran syahadat tauhid oleh Ibnu Taimiyyah adalah menegaskan bahwa "tidak ada Tuhan (Ilah yang disembah) selain Allah", tanpa sekutu bagi-Nya, serta menjadi dasar penting dalam akidah Salafi. Pada zaman kontemporer, tulisan-tulisan Ibnu Taimiyyah tentang teologi dan kebaruan dalam praktiknya telah mengilhami gerakan Salafi dalam berbagai jenis.[59][60] Berkembangnya gerakan-gerakan ini pada abad ke-20 telah menyebabkan minat terhadap tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah semakin meningkat. Salafi umumnya menggelari Ibnu Taimiyah sebagai Syekhul Islam. Selain Ibnu Taimiyyah, murid-muridnya seperti Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu Katsir, adz-Dzahabi, dll. banyak menjadi ulama rujukan Salafi.[61][62][63][64][65]

Karya-karya ilmiah Ibnu Taimiyyah, yang menganjurkan akidah Atsariyah dan secara intens mengkritik mazhab akidah yang lain, menjadi landasan teologi Salafiyah.[66] Ibnu Taimiyyah juga mengutip sebuah konsensus (Ijma'), tentang diperbolehkannya menganggap diri seseorang berasal dari keyakinan Salaf, yang menyatakan:

“Tidaklah mengapa menyatakan diri (Anda) sebagai pengikut salaf, termasuk padanya dan merasa bangga padanya; melainkan harus diterima darinya, menurut ijmak. Manhaj salaf tidak dapat lari dari kebenaran. Jika seseorang berpegang padanya secara lahir dan batin, maka ia seperti orang mukmin yang selalu mengikuti kebenaran lahir dan batin.”[67][68]

Salafisme menurut Barat[sunting | sunting sumber]

Salafiyah telah dikaitkan dengan pendekatan Islam yang literalis, ketat, dan puritan menurut beberapa akademisi Barat. Beberapa pengamat dan analis Barat cenderung menyamakan gerakan ini dengan jihadisme salafi, sebuah ideologi hibrida yang mendukung serangan kekerasan terhadap mereka yang dianggap musuh Islam (termasuk Salafi) sebagai ekspresi Islam yang sah.[69]

Pejabat pemerintah Jerman[70] telah menuduh Salafisme memiliki hubungan yang kuat dengan terorisme tetapi kemudian mengklarifikasi bahwa tidak semua Salafi adalah teroris. Pernyataan pejabat pemerintah Jerman yang mengkritik Salafisme disiarkan oleh Deutsche Welle selama April 2012.[71][72] Menurut ilmuwan politik Jerman Thorsten Gerald Schneiders, meskipun Salafi mengklaim untuk membangun kembali nilai-nilai Islam dan membela budaya Islam, beberapa anggota gerakan menafsirkannya dengan cara yang tidak sesuai dengan tradisi Islam dan menganggap unsur-unsur tertentu dari budaya Muslim seperti puisi, sastra, nyanyian, filsafat, dll sebagai karya setan.[73] Menurut ilmuwan politik Prancis Olivier Roy, sebagian besar generasi ketiga imigran Muslim Barat cenderung mengadopsi Salafisme dan beberapa dari mereka mungkin memutuskan dari warisan keluarga mereka, menikahi mualaf lain, daripada pengantin dari negara asal mereka, yang dipilih oleh orang tua mereka.[74] Menurut Marc Sageman, bagian dari gerakan Salafi terkait dengan beberapa kelompok teroris di seluruh dunia, seperti Al-Qaeda.[75]

Namun, menurut analis lain, Salafi pada dasarnya tidak politis. Salafi dapat menunjukkan segala macam hubungan yang beragam dengan negara tergantung pada lingkungan, seperti populasi umum di mana mereka berasal. Mereka tidak menunjukkan kecenderungan yang dapat dibuktikan terhadap kekerasan sebagai kelompok monolitik. Salafi yang terlibat dalam partisipasi politik atau pemberontakan bersenjata, melakukannya sebagai bagian dari payung proyek politik yang lebih luas.[76] Menurut Roel Meijer, asosiasi Barat Salafisme dengan kekerasan berasal dari tulisan-tulisan melalui prisma studi keamanan yang dilakukan pada awal 2000-an dan dari penggambaran Orientalis populer yang menyamakan revivalis Islam dengan kekerasan selama era kolonial.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Esposito, John (2004). The Oxford Dictionary of Islam. Oxford University Press. hlm. 275. ISBN 9780195125597. Diakses tanggal 5 December 2015. 
  2. ^ Joppke, Christian (1 April 2013). Legal Integration of Islam (dalam bahasa Inggris). Harvard University Press. hlm. 27. ISBN 9780674074910. Salafism, which is a largely pietistic, apolitical sect favoring a literalist reading of the Quran and Sunna. 
  3. ^ Joas Wagemakers (2016). Salafism in Jordan: Political Islam in a Quietist Community. Cambridge University Press. hlm. 227. ISBN 9781107163669. These men adhere to the Salafi branch of Islam 
  4. ^ "The Rise of European Colonialism". Harvard Divinity School. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 April 2018. Diakses tanggal 9 April 2018. 
  5. ^ Bin Ali Mohamed Roots Of Religious Extremism, The: Understanding The Salafi Doctrine Of Al-wala' Wal Bara World Scientific, 14.09.2015 9781783263943 p. 61
  6. ^ L. Esposito, John (1995). The Oxford encyclopedia of the modern Islamic world vol.3. 200 Madison Avenue, New York, NY 10016: Oxford University Press. hlm. 463. ISBN 0-19-509614-2. SALAFIYAH... It aimed at the renewal of Muslim life and had a formative impact on many Muslim thinkers and movements across the Islamic world. 
  7. ^ L. Esposito, El-Din Shahin, John, Emad, ed. (2013). The Oxford Handbook of Islam and Politics. 198 Madison Avenue, New York, NY 10016: Oxford University Press. hlm. 38. ISBN 978-0-19-539589-1. Salafism has evolved under a number of key reformers, each of whom has brought his own unique insights and vision to the movement in response to the challenges of his national context. 
  8. ^ مقال على ماذا يتنازع السلفيون .. ومن يمثل السلفية منهم؟ موقع عربي 21 Diarsipkan 16 ديسمبر 2017 di Wayback Machine.
  9. ^ Botobekov, Uran (2021). "How Central Asian Salafi-Jihadi Groups are Exploiting the Covid-19 Pandemic: New Opportunities and Challenges". Dalam Käsehage, Nina. Religious Fundamentalism in the Age of Pandemic. Religionswissenschaft. 21. Bielefeld: Transcript Verlag. hlm. 107–148. doi:10.14361/9783839454855-005alt=Dapat diakses gratis. ISBN 978-3-8376-5485-1. 
  10. ^ Turner, J. (26 August 2014). Religious Ideology and the Roots of the Global Jihad: Salafi Jihadism and International Order (dalam bahasa Inggris). Springer. ISBN 9781137409577. 
  11. ^ a b "Salafism: Politics and the puritanical". The Economist. 27 June 2015. Diakses tanggal 29 June 2015. 
  12. ^ a b c Al-Yaqoubi, Muhammad (2015). Refuting ISIS: A Rebuttal Of Its Religious And Ideological Foundations. Sacred Knowledge. hlm. xiii. ISBN 978-1908224125. 
  13. ^ E. Campo, Juan (2009). Encyclopedia of Islam. 132 West 31st Street, New York, NY 10001: Infobase Publishing. hlm. 601. ISBN 978-0-8160-5454-1. Salafism (Arabic: al-Salafiyya) Salafism refers to a cluster of different Sunni renewal and reform movements and ideologies in contemporary Islam 
  14. ^ L. Esposito, El-Din Shahin, John, Emad, ed. (2013). The Oxford Handbook of Islam and Politics. 198 Madison Avenue, New York, NY 10016: Oxford University Press. hlm. 38. ISBN 978-0-19-539589-1. Salafism, in its varying guises, has been an important trend in Islamic thought for more than a century. 
  15. ^ Mahmood, Saba (2012). "Chapter 2: Topography of the Piety movement". Politics of piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject. Princeton University Press. hlm. 61. ISBN 9780691149806. The Salafi movement emerged at the end of the nineteenth century and the beginning of the twentieth in the context of European intellectual and political dominance in the Muslim World 
  16. ^ E. Curtis, Edward (2010). Encyclopedia of Muslim-American History (dalam bahasa English). Infobase Publishing. hlm. 499. ISBN 9781438130408. Salafi Muslims: As a social movement within Sunni Islam, Salafi Muslims ARE a global revivalism movement 
  17. ^ "مقال". www.ikhwanonline.com (dalam bahasa Arab). Diakses tanggal 2022-08-13. 
  18. ^ الجذور التاريخية لظهور مصطلح السلفية علاء بكر-صوت السلف، كتبه/ 27 Juni 2009 Diarsipkan 08 November 2013 di Wayback Machine.
  19. ^ Meijer, Roel; Lacroix, Stéphane (2013). "Between Revolution and Apoliticism: On the Nature of Salafi thought and Action". Global Salafism: Islam's New Religious Movement. New York: Oxford University Press. hlm. 38. ISBN 978-0-19-933343-1. 
  20. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-29. Diakses tanggal 2012-08-04. 
  21. ^ The Muslim World After 9/11 By Angel M. Rabasa, pg. 275
  22. ^ GlobalSecurity.org Salafi Islam
  23. ^ Sheikh al-Islam Ibn Taymiyah - One of the best Muslim scholars.
  24. ^ The Idea of Pakistan, By Stephen P. Cohen ISBN 0-8157-1502-1 - Page 183.
  25. ^ a b Jihad By Gilles Kepel, Anthony F. Roberts
  26. ^ Haykel, Bernard (2009). "Chapter 1: On the Nature of Salafi Thought and Action". Dalam Meijer, Roel. Global Salafism: Islam's New Religious Movement. Columbia University Press. hlm. 34. ISBN 978-0-231-15420-8. 
  27. ^ Haykel, Bernard (2009). "Chapter 1: On the Nature of Salafi Thought and Action". Dalam Meijer, Roel. Global Salafism: Islam's New Religious Movement. Columbia University Press. hlm. 34–35. ISBN 978-0-231-15420-8. Salafis are first and foremost religious and social reformers who are engaged in creating and reproducing particular forms of authority and identity, both personal and communal. Indeed, Salafis are determined to create a distinct Muslim subjectivity, one with profound social and political implications.It is important to understand Salafis as constituting a group that defines its reformist project first and foremost through credal tenets (i.e., a theology).Also important, though secondary, for their self-definition are certain legal teachings as well as forms of sociability and politics. I hope to show in this study that Salafism is a term that is heuristically useful because it is a marker of a distinctive form of engagement with the world, and one that is identifiable as such to many Muslims 
  28. ^ Asadullah al-Ghalib, Muhammad (2012). AHLE HADEETH MOVEMENT What and Why?. Kajla, Rajshahi, Bangladesh H.F.B. Publication: 35: Oxford University Press. hlm. 625–643. ISBN 978-984-33-4799-2. In different books of Hadeeth and in reliable books of Fiqh, the Ahle hadeeth have been described as Ahle hadeeth, Ashabul Hadeeth, Ahle Sunnah wal Jama‘at, Ahlul Athar, Ahlul Haq, Muhadditheen etc. As the followers of Salaf-i-Saleheen, they are also known as Salafi. 
  29. ^ Schmidtke, Sabine (2016). The Oxford Handbook of Islamic Theology. New York: Oxford University Press. hlm. 625–643. ISBN 978-0-19-969670-3. 
  30. ^ Roy, Olivier (2004). Globalized Islam: The Search for a New Ummah. Columbia University Press. hlm. 266. ISBN 9780231134996. Diakses tanggal 13 October 2016. 
  31. ^ ElMasry, Shadee (2010). "The Salafis in America". Journal of Muslim Minority Affairs. Koninklijke Brill NV, Leiden: Routledge Publishers. 56: 219–220. doi:10.1080/13602004.2010.494072 – via tandfonline. 
  32. ^ Hamdeh, Emad (9 June 2017). "Qurʾān and Sunna or the Madhhabs?: A Salafi Polemic Against Islamic Legal Tradition". Islamic Law and Society (dalam bahasa Inggris). 24 (3): 211–253. doi:10.1163/15685195-00240A01. ISSN 1568-5195. 
  33. ^ The Princeton Encyclopedia of Islamic Political Thought, p. 484
  34. ^ H. Warren, David (2021). Rivals in the Gulf. Abingdon, Oxon: Routledge: Taylor & Francis. hlm. 5. ISBN 978-0-367-28062-8. While Wahhab personally rejected the practice of adhering (taqlīd) to a particular legal school, the Wahhabi ʿulamāʾ who follow his thought do, in effect, practice a taqlīd of the Hanbali school.. 
  35. ^ Lacroix, Stéphane (2011). "Chapter 3: Resistance to Sahwa Ascendancy". Awakening Islam: The Politics of Religious Dissent in Contemporary Saudi Arabia. Cambridge, Massachusetts, London, England: Harvard University Press. hlm. 83–84. ISBN 978-0-674-04964-2. 
  36. ^ a b c d Qadhi, Dr. Yasir (22 April 2014). "On Salafi Islam". Muslimmatters. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 January 2017. 
  37. ^ Meijer, Roel (2014). "Between Revolution and Apoliticism: Nasir al-Din al-Albani and his Impact on the Shaping of Contemporary Salafism". Global Salafism: Islam's New Religious Movement. New York: Oxford University Press. hlm. 43, 61–62, 63. ISBN 978-0-19-933343-1. 
  38. ^ Gauvain, Richard (2013). Salafi Ritual Purity: In the Presence of God. New York: Routledge. hlm. 8, 293. ISBN 978-0-7103-1356-0. 
  39. ^ Olidort, Jacob (2015). The Politics of "Quietist Salafism" (PDF). Cambridge, Massachusetts, London, England: Harvard University Press. hlm. 7, 8. 
  40. ^ Cooke, B. Lawrence, Miriam, Bruce (2005). "Chapter 10: The Salafi Movement". Muslim Networks from Hajj to Hip Hop. London: The University of North Carolina Press. hlm. 212–213. ISBN 0-8078-2923-4. 
  41. ^ a b "From there he [Albani] learned to oppose taqlid in a madhab." Bennett, The Bloomsbury Companion to Islamic Studies, p. 174. "Al-Albani had denounced Wahhabi attachment to the Hanbali school." Stephane Lacroix, George Holoch, Awakening Islam, p. 85
  42. ^ Meijer, Roel (2014). "Between Revolution and Apoliticism: Nasir al-Din al-Albani and his Impact on the Shaping of Contemporary Salafism". Global Salafism: Islam's New Religious Movement. New York: Oxford University Press. hlm. 62–63. ISBN 978-0-19-933343-1. 
  43. ^ Krawietz, Tamer, Birgit, Georges (2013). Islamic Theology, Philosophy and Law: Debating Ibn Taymiyya and Ibn Qayyim al-Jawziyya. Berlin, Germany: Walter De Gruyter. hlm. 165–166. ISBN 978-3-11-028534-5. 
  44. ^ Meijer, Roel (2014). "Between Revolution and Apoliticism: Nasir al-Din al-Albani and his Impact on the Shaping of Contemporary Salafism". Global Salafism: Islam's New Religious Movement. New York: Oxford University Press. hlm. 43. ISBN 978-0-19-933343-1. 
  45. ^ Lacroix, Stéphane (2011). "Chapter 3: Resistance to Sahwa Ascendancy". Awakening Islam: The Politics of Religious Dissent in Contemporary Saudi Arabia. Cambridge, Massachusetts, London, England: Harvard University Press. hlm. 84–85, 220. ISBN 978-0-674-04964-2. 
  46. ^ Shaham, Ron (2018). Rethinking Islamic Legal Modernism. Koninklijke Brill NV, Leiden, The Netherlands: Brill Publishers. hlm. 37. ISBN 978-90-04-36954-2. In setting forth these premises, Rida appears to prepare the ground to steer a middle course.. Rida did not ignore the rich heritage of Islamic law, as did a number of his strict Salafi contemporaries. Instead, following Ibn Taymiyya and especially his student Ibn al-Qayyim, he viewed the literature of the four Sunni law-schools (without committing himself to the teachings of one school in particular) as a resource from which to draw guidance and inspiration for adapting the law to changing circumstances 
  47. ^ Khan, Rehan (5 February 2020). "Salafi Islam and its Reincarnations- Analysis". Eurasia Review. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 Feb 2020. 
  48. ^ Gauvain, Richard (2013). Salafi Ritual Purity: In the Presence of God. New York: Routledge. hlm. 8 ,11, 229–230, 328, 347. ISBN 978-0-7103-1356-0. the identity of many modern Salafis is dependent upon their departure from the established rulings of the four Sunni law schools (madhahib), including that of Ibn Hanbal. Modern Salafis generally dislike the practice of following the established rulings of any particular law school and view the principle of legal “imitation” (taqlid) as a significant factor in the overall decline of the Muslim Umma... Zahiri influence on modern Salafi legal thought occurs almost entirely through the Muhalla of Ibn Hazm, .... more important than Ibn Hazm’s individual opinions to the Salafi scholars and ritual practitioners mentioned here is the unyielding Zahiri-style logic that underscores them... modern Salafis are endeavouring to shift Zahiri legal from the margins of orthodoxy into its centre  
  49. ^ Halverson, Theology and Creed in Sunni Islam, 2010: 38–48
  50. ^ Michael Cook, On the Origins of Wahhābism, Journal of the Royal Asiatic Society, Third Series, Vol. 2, No. 2 (July, 1992), p. 198
  51. ^ Bin Ali Mohamed Roots Of Religious Extremism, The: Understanding The Salafi Doctrine Of Al-wala Wal Bara World Scientific, 14.09.2015 9781783263943 p. 61
  52. ^ Halverson, Theology and Creed in Sunni Islam, 2010: 36 "For the Atharis, the “clear” (i.e., zahir, apparent, or literal) meaning of the Qur’an and especially the prophetic traditions (ahadith) have sole authority in matters of belief, as well as law, and to engage in rational disputation (jadal), even if one arrives at the truth, is absolutely forbidden. A strictly literal, or perhaps amodal, reading of the Qur’an, as opposed to one engaged in ta’wil (metaphorical interpretation), or an attempt to rationally conceptualize its meanings, cannot be questioned and the “real” meanings should be consigned to God."
  53. ^ Halverson, Theology and Creed in Sunni Islam, 2010: 36–7 "For the Atharis, the “clear” (i.e., zahir, apparent, or literal) meaning of the Qur’an and especially the prophetic traditions (ahadith) have sole authority in matters of belief, as well as law, and to engage in rational disputation (jadal), even if one arrives at the truth, is absolutely forbidden. A strictly literal, or perhaps amodal, reading of the Qur’an, as opposed to one engaged in ta’wil (metaphorical interpretation), or an attempt to rationally conceptualize its meanings, cannot be questioned and the “real” meanings should be consigned to God."
  54. ^ Bin Ali Mohamed Roots Of Religious Extremism, The: Understanding The Salafi Doctrine Of Al-wala Wal Bara World Scientific, 14.09.2015 9781783263943 pp. 62-63
  55. ^ a b G. Rabil, Robert (2014). "1: The Creed, Ideology, and Manhaj (Methodology) of Salafism: A Historical and Contemporaneous Framework". Salafism in Lebanon: From Apoliticism to Transnational Jihadism. Washington, DC, USA: Georgetown University Press. hlm. 26. ISBN 978-1-62616-116-0. 
  56. ^ Rothenberg, Celia E. "Islam on the Internet: the jinn and the objectification of Islam." The Journal of Religion and Popular Culture 23.3 (2011): 358-371.
  57. ^ TY - Jour Au - Østebø, Terje PY - 2014 DA - 2014/01/01 TI - The revenge of the Jinns: spirits, Salafi reform, and the continuity in change in contemporary Ethiopia JO - Contemporary Islam SP - 17 EP - 36 VL - 8 IS - 1 AB - The point of departure for this article is a story about jinns taking revenge upon people who have abandoned earlier religious practices. It is a powerful account of their attempt to free themselves from a past viewed as inhabited by evil forces and about the encounter between contemporary Salafi reformism and a presumed disappearing religious universe. It serves to prove how a novel version of Islam has superseded former practices; delegitimized and categorized as belonging to the past. The story is, however, also an important source and an interesting entry-point to examine the continued relevance of past practices within processes of reform. Analyzing the story about the jinns and the trajectory of Salafi reform in Bale, this contribution demonstrates how the past remains intersected with present reformism, and how both former practices and novel impetuses are reconfigured through this process. The article pays attention to the dialectics of negotiations inherent to processes of reform and points to the manner in which the involvement of a range of different actors produces idiosyncratic results. It challenges notions of contemporary Islamic reform as something linear and fixed and argues that such processes are multifaceted and open-ended. SN - 1872-0226 UR - https://doi.org/10.1007/s11562-013-0282-7 DO - 10.1007/s11562-013-0282-7 ID - Østebø2014 ER -
  58. ^ Stephen Burge Angels in Islam: Jalal al-Din al-Suyuti's al-Haba'ik fi Akhbar al-malik Routledge 2015 ISBN 978-1-136-50473-0 p. 13-14
  59. ^ Hoover, Jon (2019). Ibn Taymiyya (Makers of the Muslim World). 10 Bloomsbury Street, London WC1B 3SR, England: Oneworld Academic. hlm. 11, 19, 46–47, 88, 140. ISBN 978-1-78607-689-2. 
  60. ^ Schmidtke, Sabine (2016). The Oxford Handbook of Islamic Theology. New York: Oxford University Press. hlm. 635. ISBN 978-0-19-969670-3. Ibn Taymiyya also speaks of the priority of worship and ethics over metaphysics in theological terms that later became widespread among Wahhābīs and modern Salafīs. He distinguishes two tawḥīds, or two ways of confessing God’s unity. Ibn Taymiyya’s first tawḥīd is that of God’s divinity (ulūhiyya). Al-tawḥīd al-ulūhiyya signifies God’s sole worthiness to be a god, that is, God’s sole right to be an object of worship (ʿibāda). Al-tawḥīd al-ulūhiyya is exclusive worship of God that refuses to give devotion and love to anything or anyone else. Then flowing out from this is the second tawḥīd, the tawḥīd of God’s lordship (rubūbiyya). God’s lordship refers to His creative power, and al-tawḥīd al-rubūbiyya means confessing that God is the only source of created beings 
  61. ^ Schmidtke, Sabine (2016). The Oxford Handbook of Islamic Theology. New York: Oxford University Press. hlm. 427, 626, 641–642. ISBN 978-0-19-969670-3. 
  62. ^ C. Martin, Richard (2004). Encyclopedia of Islam and the Muslim World. New York: Macmillan Reference USA. hlm. 468. ISBN 0-02-865603-2. 
  63. ^ Bosworth, Donzel, Heinrichs, Lecomte, C. E. , E. Van , W. P. , G. (1997). The Encyclopedia of Islam:New Edition Vol. IX. Leiden, The Netherlands: Brill. hlm. 400. ISBN 90-04-10422-4. 
  64. ^ Leaman, Oliver (2006). The Qur'an: An Encyclopedia. New York: Routledge: Taylor & Francis. hlm. 631–633. ISBN 0-415-32639-7. 
  65. ^ Lauziere, Henri (2010). "The Construction Ofsalafiyya: Reconsidering Salafism from the Perspective of Conceptual History". International Journal of Middle East Studies. 42 (3): 369–389. doi:10.1017/S0020743810000401alt=Dapat diakses gratis. 
  66. ^ Leaman, Oliver (2006). The Qur'an: An Encyclopedia. New York: Routledge: Taylor & Francis. hlm. 282. ISBN 0-415-32639-7. Ibn Taymiyya’s works extend to almost every area of contemporary intellectual life... Nearly all of his works are in the style of a refutation or a critique,... He embodies the theology of the Salafi (Traditionalist) movement and all his works are intense, focused and well-argued. 
  67. ^ "Is it permissible for people to call themselves "Ahl al-Hadeeth"". Islam Helpline. 
  68. ^ Ibn Taymiyya, Ahmad. Majmu al-Fatawa Vol.1. Cairo, Egypt: Dar al-Hadith. hlm. 141. 
  69. ^ "Religion is Not the Enemy". National Review. 2001-10-19. Diakses tanggal 2020-04-09. 
  70. ^ "Federal Office for the Protection of the Constitution (Bundesamt für Verfassungsschutz) 7/18/2012: latest 2011 report on Islamic Salafist extremism in Germany (English)". Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 February 2013. Diakses tanggal 17 July 2012. 
  71. ^ "Salafist extremism spreading in Germany", Deutsche Welle (www.dw.com), 8 May 2012 
  72. ^ "Verfassungsschutzbericht warnt vor Salafisten" [Constitutional protection report warns of Salafists], Pipeline, 17 June 2012, diarsipkan dari versi asli tanggal 20 May 2013 
  73. ^ Thorsten Gerald Schneiders Salafismus in Deutschland: Ursprünge und Gefahren einer islamisch-fundamentalistischen Bewegung transcript Verlag 2014 ISBN 9783839427118 hlm.392
  74. ^ Stevens, O'hara, David, Kieron (2015). The Devil's Long Tail: Religious and Other Radicals in the Internet Marketplace. New York: Oxford University Press. hlm. 76. ISBN 978-0-19-939624-5. They do not represent an Islamic tradition; on the contrary they break with the religion of their parents. When they convert or become born-again, they always adopt some sort of Salafism, which is a scriptualist version of Islam that discards traditional Muslim culture. They do not revert to traditions: for instance when they marry, it is with the sisters of their friends or with converts, and not with a bride from the country of origin chosen by their parents. 
  75. ^ Third public hearing of the National Commission on Terrorist Attacks Upon the United States, Statement of Marc Sageman to the National Commission on Terrorist Attacks Upon the United States, 9 July 2003
  76. ^ Li, Darryl (2015). THE UNIVERSAL ENEMY: Jihad, Empire, and the Challenge of Solidarity. Stanford, California, United States: Stanford University Press. hlm. 105–106. ISBN 9781503610873. 

Bacaan Lanjutan[sunting | sunting sumber]

  • Muhammad in History, Thought, and Culture: An Encyclopedia of the Prophet of God (2 vols.), Edited by C. Fitzpatrick and A. Walker, Santa Barbara, ABC-CLIO, 2014. ISBN 1610691776.
  • Botobekov, Uran (2021). "How Central Asian Salafi-Jihadi Groups are Exploiting the Covid-19 Pandemic: New Opportunities and Challenges". Dalam Käsehage, Nina. Religious Fundamentalism in the Age of Pandemic. Religionswissenschaft. 21. Bielefeld: Transcript Verlag. hlm. 107–148. doi:10.14361/9783839454855-005alt=Dapat diakses gratis. ISBN 978-3-8376-5485-1. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]