Buddhisme di Asia Tengah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suasana Pranidhi, kuil 9 (Gua 20). Gua Seribu Buddha Bezeklik
Saudagar Sogdiana memberikan persembahan dana kepada Buddha. Gua Seribu Buddha Bezeklik
Arca dada bodhisattva dari Kucha, abad ke-6—ke-7. Musée Guimet.
Biarawan Asia Tengah bermata biru sedang mengajr biarawan Asia Timur, Bezeklik, Turfan, Cekungan Tarim timur, Tiongkok, abad ke-9; biarawan yang di sebelah kanan kemungkinan orang Tokharia,[1] meskipun lebih mungkin orang Sogdiana.[2][3]

Buddhisme di Asia Tengah berkembang setelah raja Asoka mengirimkan utusan keagamaan ke barat laut India yaitu Pakistan dan Afganistan pada abad ke-3 Sebelum Masehi. Kawasan Asia Tengah menerima agama Buddha dengan cepat, sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha yang memiliki banyak biksu terkemuka dan sarjana. Penyebaran agama Buddha di Asia Tengah dilakukan oleh para pedagang Asia Tengah yang datang ke India untuk berdagang. Selama berdagang, mereka belajar tentang Buddhisme dan menerimanya sebagai agama mereka. Biara gua banyak didirikan di sepanjang rute perdagangan di seluruh Asia Tengah melalui dukungan para pedagang. Pada abad ke-2 Sebelum Masehi, pusat penyebaran agama Buddha di Asia Tengah berada di Kota Hotan.[4]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Kelompok monastik Buddhis[sunting | sunting sumber]

Sejumlah mazhab-mazhab Buddhis awal secara historis lazim di seluruh Asia Tengah. Sejumlah cendekiawan mengidentifikasi tiga fase utama yang berbeda dari kegiatan misionaris yang terlihat dalam sejarah agama Buddha di Asia Tengah, yang dikaitkan dengan sekte-sekte berikut (secara kronologis):[5]

  1. Dharmaguptaka
  2. Sarvāstivāda
  3. Mūlasarvāstivāda

Dharmaguptaka melakukan lebih banyak upaya daripada sekte lainnya untuk menyebarkan agama Buddha di luar India, ke daerah-daerah seperti Afghanistan, Asia Tengah, dan Tiongkok, dan mereka sangat sukses dalam melaksanakannya.[6] Oleh karena itu, sebagian besar negara yang mengadopsi Buddhisme dari Tiongkok, juga mengadopsi vinaya Dharmaguptaka dan penahbisan silsilah untuk biksu dan biksuni. Menurut A.K. Warder, dalam beberapa hal di negara-negara Asia Timur, sekte Dharmaguptaka dapat dianggap telah bertahan sampai sekarang.[7] Warder lebih lanjut menulis:[8]

Adalah kelompok Dharmaguptaka yang merupakan umat Buddha pertama yang mengukuhkan dirinya di Asia Tengah. Mereka tampaknya telah melakukan suatu perjalanan mengelilingi yang luas di sepanjang rute perdagangan dari Aparānta utara-barat menuju Iran dan pada saat yang sama menuju Oddiyana (lembah Suvastu, di utara Gandhāra, yang menjadi salah satu pusat utama mereka). Setelah mengukuhkan diri mereka jauh ke barat hingga Parthia, mereka mengikuti "jalur sutra", poros timur-barat Asia, ke timur melintasi Asia Tengah dan hingga mencapai Tiongkok, tempat mereka secara efektif membangun agama Buddha pada abad kedua dan ketiga Masehi. Kelompok Mahīśāsaka dan Kāśyapīya tampaknya telah mengikuti mereka melintasi Asia hingga mencapai Tiongkok. [...] Untuk periode awal Buddhisme Tiongkok, adalah kelompok Dharmaguptaka yang merupakan mazhab utama dan paling berpengaruh, dan bahkan kemudian Vinaya mereka tetap menjadi dasar dari aturan kedisiplinan di sana.

Pada abad ke-7 M, Yijing mengelompokkan Mahīśāsaka, Dharmaguptaka, dan Kāśyapīya ketiganya sebagai subsekte dari Sarvāstivāda, dan menyatakan bahwa ketiganya tidak lazim di "lima bagian di India," tetapi terletak di beberapa bagian Oḍḍiyāna, Khotan, dan Kucha.[9]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ von Le Coq, Albert. (1913). Chotscho: Facsimile-Wiedergaben der Wichtigeren Funde der Ersten Königlich Preussischen Expedition nach Turfan in Ost-Turkistan. Berlin: Dietrich Reimer (Ernst Vohsen), im Auftrage der Gernalverwaltung der Königlichen Museen aus Mitteln des Baessler-Institutes, Tafel 19. (Accessed 3 September 2016).
  2. ^ Ethnic Sogdians have been identified as the Caucasian figures seen in the same cave temple (No. 9). See the following source: Gasparini, Mariachiara. "A Mathematic Expression of Art: Sino-Iranian and Uighur Textile Interactions and the Turfan Textile Collection in Berlin," in Rudolf G. Wagner and Monica Juneja (eds), Transcultural Studies, Ruprecht-Karls Universität Heidelberg, No 1 (2014), pp 134-163. ISSN 2191-6411. See also endnote #32. (Accessed 3 September 2016.)
  3. ^ For information on the Sogdians, an Eastern Iranian people, and their inhabitation of Turfan as an ethnic minority community during the phases of Tang Chinese (7th-8th century) and Uyghur rule (9th-13th century), see Hansen, Valerie (2012), The Silk Road: A New History, Oxford University Press, p. 98, ISBN 978-0-19-993921-3.
  4. ^ Khairiah (2018). Agama Budha (PDF). Pekanbaru: Kalimedia. hlm. 23–24. ISBN 978-602-6827-86-9. 
  5. ^ Willemen, Charles. Dessein, Bart. Cox, Collett. Sarvastivada Buddhist Scholasticism. 1997. p. 126
  6. ^ Warder, A.K. Indian Buddhism. 2000. p. 278
  7. ^ Warder, A.K. Indian Buddhism. 2000. p. 489
  8. ^ Warder, A.K. Indian Buddhism. 2000. pp. 280-281
  9. ^ Yijing. Li Rongxi (translator). Buddhist Monastic Traditions of Southern Asia. 2000. p. 19

Bibliografi[sunting | sunting sumber]

  • Klimkeit, Hans-Joachim (1990). Buddhism in Turkish Central Asia, Numen 37, 53 - 69
  • Puri, B. N. (1987). Buddhism in Central Asia, Delhi: Motilal Banarsidass
  • Kudara, Kogi (2002). A Rough Sketch of Central Asian Buddhism, Pacific World 3rd series 4, 93-107
  • Kudara, Kogi (2002). The Buddhist Culture of the Old Uigur Peoples, Pacific World 3rd series 4, 183-195
  • Halkias, Georgios (2014). “When the Greeks Converted the Buddha: Asymmetrical Transfers of Knowledge in Indo-Greek Cultures.” [1], Leiden: Brill, 65-116.