Pemrosesan ikan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Pengolahan ikan)
Tuna sedang diproses dengan pisau tuna khusus, Oroshi hocho, di pasar ikan Tsukiji

Pemrosesan ikan atau pengolahan ikan adalah proses yang mengubah ikan menjadi produk ikan yang terjadi antara waktu ketika ikan ditangkap atau dipanen hingga produk diterima oleh konsumen. Meski dalam istilahnya mengacu pada ikan, namun praktik pemrosesan ikan juga meluas ke hasil organisme air lain yang ditangkap atau dipanen dengan tujuan komersial.

Perusahaan besar pemrosesan ikan biasanya mengoperasikan kapal penangkap ikan atau fasilitas pembudidayaan milik sendiri. Produk industri ikan biasanya dijual melalu penjual grosir atau menengah. Ikan adalah hasil tangkapan yang mudah rusak, sehingga pemrosesan bertujuan untuk mencegah ikan dari kondisi rusak. Pemrosesan ikan juga harus berhati-hati agar bahan baku dan produknya sesuai dengan standar keamanan produk pangan.

Pemrosesan ikan bisa dibagi menjadi dua subdivisi utama penanganan ikan yang merupakan pemrosesan ikan awal, dan manufaktur produk ikan. Subdivisi penting lainnya yaitu pemotongan ikan (filleting) dan pembekuan ikan.[1]

Hingga kini, pemrosesan ikan umumnya dilakukan oleh pemancing, diproses langsung di atas kapal penangkap ikan atau di kapal khusus pemrosesan ikan, dan di fasilitas pemrosesan ikan. Telah ditemukan bukti bahwa ikan telah diproses sejak zaman Holocene.[2]

Garis besar[sunting | sunting sumber]

Ikan adalah bahan pangan yang mudah rusak sehingga membutuhkan penanganan dan pengawetan yang sesuai jika ingin usia simpan yang lama dengan mempertahankan kualitas dan kandungan nutrisinya.[3] Cara termudah untuk mempertahankan kualitas ikan adalah membiarkannya hidup hingga siap untuk dimasak dan dimakan (perdagangan ikan hidup). Tiongkok sudah melakukan perdagangan seperti ini selama ribuan tahun dengan komoditas utama ikan mas. Metode lainnya yaitu:[4]

Umumnya metode yang digunakan adalah lebih dari satu. Misal ikan asap yang akan dijual ke masyarakat akan lebih baik jika dikemas secara vakum. Contoh lain yaitu ikan yang telah diasinkan dijual dalam keadaan kering. Kontainer pengapalan dapat dilengkapi dengan fasilitas pembekuan dengan atmosfer terkendali untuk pengiriman jarak jauh.[4]

Pemrosesan ikan juga terkait dengan manajemen limbah dan faktor ekonomi seperti penambahan nilai dari produk ikan. Terdapat permintaan tinggi dari produk ikan siap makan, atau produk ikan yang tidak membutuhkan banyak proses persiapan sebelum dihidangkan.[4]

Penanganan hasil tangkapan[sunting | sunting sumber]

Pembersihan ikan, 1887 oleh John George Brown.

Segera setelah ikan ditangkap atau dipanen untuk tujuan komersia, ikan-ikan tersebut membutuhkan pra-pemrosesan sehingga dapat dikirim ke rantai perdagangan berikutnya dalam kondisi segar dan tidak rusak. Hal ini berarti ikan butuh penanganan dan penyimpanan hingga kapal atau perahi mendarat di pantai atau pelabuhan. Penanganan hasil tangkapan secara umum yaitu:[3]

  • memindahkan ikan dari alat penangkapan ikan ke kapal
  • mengumpulkan ikan hasil tangkapan
  • melakukan sortasi dan grading
  • mengeluarkan darah ikan, mengeluarkan isi perut, lalu mencucinya
  • mendinginkannya
  • menyimpannya dalam kondisi dingin
  • mengeluarkannya ketika kapal sampai di pantai atau pelabuhan

Jumlah dan urutan pemrosesan bervariasi tergantung spesies ikan yang ditangkap, tipe alat penangkap ikan yang digunakan, seberapa besar kapal penangkap ikan, berapa lama kapal berada di laut, dan kebutuhan pasar.[3]

Penanganan ikan hidup[sunting | sunting sumber]

Cara alternatif untuk mempertahankan kesegaran ikan adalah dengan mempertahankan ikan dalam kondisi hidup hingga mereka dikirim ke pembeli atau siap dimasak. Cara ini dilakukan di berbagai tempat di seluruh dunia. Umumnya ikan ditempatkan di dalam wadah berisi air bersih, dan ikan mati atau rusak dipindahkan. Temperatur air dikurangi dan ikan dibuat lapar untuk mengurangi laju metabolismenya. Cara ini menjaga air tetap bersih dari produk metabolit (amonia, nitrit) yang dapat membuat air menjadi beracun bagi ikan.[3]

Pengawetan[sunting | sunting sumber]

Pengawetan makanan adalah metode yang dibutuhkan untuk mencegah ikan membusuk dan memperpanjang usia simpan. Metode ini didesain untuk menghambat aktivitas bakteri pembusuk dan perubahan metabolit yang mampu mengakibatkan penurunan kualitas ikan. Bakteri pembusuk adalah bakteri yang menghasilkan bau dan rasa yang tidak sedap khas ikan busuk. Ikan pada kondisi normal didiami oleh berbagai bakteri yang tidak menyebabkan pembusukan.[5] Pembusukan dilakukan oleh bakteri yang hinggap setelah ikan ditangkap.

Pengendalian temperatur[sunting | sunting sumber]

Es mengawetkan ikan dan memperpanjang usia simpan dengan menurunkan temperaturnya

Jika temperatur diturunkan, aktivitas metabolik dalam ikan oleh mikrob atau proses autolitik dapat dikurangi atau dihentikan. Hal ini dicapai dengan pendinginan di mana temperatur diturunkan hingga mendekati 0 °C, atau membekukannya di mana temperatur diturunkan hingga di bawah -18 °C. Di dalam kapal penangkap ikan, ikan didinginkan secara mekanis dengan mensirkulasikan udara dingin atau dikemas di dalam kotak bersama dengan es. Ikan pemangsa plankton yang sering kali ditangkap dalam jumlah besar umumnya didinginkan dengan air laut, terutama di laut wilayah kutub dan beriklim sedang. Masalah utama dalam desain dan manajemen proses pendinginan adalah seberapa besar dan seberapa efisien energi yang dikeluarkan, dan cara menginsulasinya.[6]

Metode efektif dalam menjaga kesegaran ikan adalah dengan mendinginkannya menggunakan es yang tersebar merata di seluruh permukaan ikan. Pendinginan adalah cara yang paling aman untuk menjaga kelembaban ikan dan memudahkan transportasi. Pendinginan telah digunakan secara luas sejak pengembangan pendinginan mekanis, yang menjadikan es mudah dan murah diproduksi. Es diproduksi dengan berbagai bentuk, umumnya dalam wujud pecahan, flake, piringan, tabung, dan balok yang umum digunakan untuk mendinginkan es.[3] Es bubur, yang semakin banyak digunakan, dibuat dengan kristal mikro es yang dibentuk dan dilarutkan dalam air dan zat penurun titik beku, umumnya garam.[7]

Teknologi pendinginan yang sedang berkembang saat ini adalah teknologi es mampu pompa. Es mampu pompa mengalir seperti air dan karena bersifat homogen, es ini mendinginkan ikan lebih cepat dari es biasa dan mencegah memar beku (freeze burns). Teknologi ini sejalan dengan HACCP dan standar keamanan pangan dan kesehatan masyarakat dari International Organization for Standardization, serta menggunakan energi yang lebih sedikit dari pembekuan es biasa.[8][9]

Pengendalian aktivitas air[sunting | sunting sumber]

Aktivitas air, aw, dalam bahan makanan didefinisikan sebagai rasio tekanan uap air di dalam makanan terhadap tekanan uap air murni pada tekanan dan temperatur yang sama. Nilainya berada di antara 0 dan 1, dan merupakan parameter yang mengukur ketersediaan air di dalam bahan makanan. Air diperlukan bagi mikrob dan aktivitas enzimatis yang terlibat dalam pembusukan. Terdapat berbagai teknik untuk mengurangi aw, seperti pengeringan, penggaraman, dan pengasapan yang merupakan cara tradisional. Cara lain seperti pengeringan beku, pengikat air humektan, dan alat pengendali temperatur dan kelembaban otomatis. Cara kombinasi juga dapat dilakukan.[6]

Pengendalian fisik aktivitas mikrob[sunting | sunting sumber]

Panas atau radiasi ionisasi dapat digunakan untuk membunuh bakteri yang menyebabkan dekomposisi. Panas diaplikasikan dengan pemasakan, blanching, atau dengan microwave yang mempasteurisasi atau mensterilisasi produk ikan. Pemasakan atau pasteurisasi tidak secara lengkap menon-aktifkan mikroorganisme, sehingga mungkin dibutuhkan pendinginan untuk menjaga produk ikan dan memperpanjang usia simpan. Produk yang disterilisasi stabil pada temperatur hingga 40 °C, namun untuk menjamin mereka tetap steril dibutuhkan pengemasan dalam kaleng atau kantong tertutup sebelum pemberian panas.[6]

Pengendalian kimiawi aktivitas mikrob[sunting | sunting sumber]

Pertumbuhan bakteri dan penyebarannya bisa dicegah dengan teknik yang disebut dengan biopreservation.[10] Biopreservation dicapai dengan menambahkan zat antimikroba atau dengan menambahkan asam. Kebanyakan bakteri akan berhenti memperbanyak diri pada tingkat keasaman kurang dari 4.5. Keasaman ditingkatkan dengan melakukan fermentasi, marinasi, atau dengan menambahkan asam (asetat, sitrat, laktat) secara langsung. Bakteri asam laktat memproduksi zat antimikroba nisin yang lalu meningkatkan keawetan bahan pangan. Pengawet lain yaitu nitrit, sulfit, sorbat, benzoat, dan minyak esensial.[6]

Pengendalian kadar oksigen[sunting | sunting sumber]

Bakteri pembusuk dan oksidasi lipid biasanya membutuhkan oksigen, sehingga mengurangi kadar oksigen di sekitar ikan mampu meningkatkan usia simpan. Hal ini bisa dicapai dengan mengendalikan atau memodifikasi atmosfer, atau dengan pengemasan vakum. Atmosfer yang terkendali atau termodifikasi akan memiliki kadar oksigen, karbon dioksida, dan nitrogen yang spesifik. Dan metode ini umumnya dikombinasikan dengan pendinginan agar lebih efektif.[6]

Produk akhir[sunting | sunting sumber]

  • Ikan utuh, yaitu ikan yang tidak mengalami pemrosesan fisik dan bagian-bagian tubuhnya masih lengkap
  • Ikan yang telah dikeluarkan isi perutnya
  • Ikan yang telah dibersihkan sisiknya dan dikeluarkan isi perutnya
  • Ikan yang telah dipotong kepala, ekor, dan siripnya
  • Fillet ikan, yaitu potongan ikan yang terdiri dari dagingnya, dipotong memanjang sepanjang tulang belakangnya. Umumnya tidak bertulang. Kulit dan sisiknya bisa dibersihkan terlebih dhaulu atau dibiarkan bersama fillet sesuai kebutuhan. Butterfly fillet yaitu dua sisi tubuh ikan yang masih menyatu di bagian punggunya juga ada
  • Steak ikan, yaitu ikan yang telah dibersihkan sisiknya, dikeluarkan isi perutnya, dan dipotong dengan ketebalan satu inci. Sebagian tulang belakangnya dapat menyatu maupun tidak.
  • Stick ikan, yaitu ikan yang dibentuk balok memanjang

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Royal Society of Edinburgh (2004) Inquiry into the future of the Scottish fishing industry Diarsipkan 2007-07-01 di Wayback Machine.. 128pp.
  2. ^ Zohar I, Dayan T, Galili E and Spanier E (2001) "Fish processing during the early Holocene: a taphonomic case study from coastal Israel" Journal of Archaeological Science, 28: 1041–1053. DOI:10.1006/jasc.2000.0630
  3. ^ a b c d e FAO: Handling of fish and fish products Fisheries and aquaculture department, Rome. Updated 27 May 2005. Retrieved 14 March 2011.
  4. ^ a b c FAO: Processing fish and fish products Fisheries and aquaculture department, Rome. Updated 31 October 2001. Retrieved 14 March 2011.
  5. ^ Huss HH (1988) Quality and quality changes in fresh fish FAO Fisheries Technical Paper 348, Rome. ISBN 92-5-103507-5.
  6. ^ a b c d e FAO: Preservation Techniques. Fisheries and aquaculture department, Rome. Updated 27 May 2005. Retrieved 14 March 2011.
  7. ^ Kauffeld M, Kawaji M and Egol PW (Eds.) (2005)Handbook on ice slurries: fundamentals and engineering, International Institute of Refrigeration. ISBN 978-2-913149-42-7.
  8. ^ "Deepchill™ Variable-State Ice in a Poultry Processing Plant in Korea". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-02-06. Diakses tanggal December 4, 2010. 
  9. ^ "Results of Liquid Ice Trails aboard Challenge II" (PDF). April 27, 2003. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-01-29. Diakses tanggal December 4, 2010. 
  10. ^ Ananou1 S, Maqueda1 M, Martínez-Bueno1 M and Valdivia1 E (2007) "Biopreservation, an ecological approach to improve the safety and shelf-life of foods" Diarsipkan 2011-07-26 di Wayback Machine. In: A. Méndez-Vilas (Ed.) Communicating Current Research and Educational Topics and Trends in Applied Microbiology, Formatex. ISBN 978-84-611-9423-0.

Bahan bacaan terkait[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]