Teknik keamanan pangan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Teknik Keamanan Pangan adalah cabang ilmu teknik yang mengkhususkan pada aplikasi prinsip ilmu teknik untuk menyelesaikan masalah keamanan mikrobial dan kimia pada produk pangan, sedangkan keamanan pangan itu sendiri adalah disiplin ilmu yang melakukan penanganan, penyajian, dan penyimpanan bahan pangan dengan cara sedemikian rupa agar terhindar dari penyakit yang bersumber dari bahan pangan (foodborne illness). Prinsip ini dapat diaplikasikan dalam perkembangan intervensi teknologi untuk dekontaminasi dan pengawetan pangan. Ilmu teknik yang terintegrasi dengan konsep mikrobiologi dan kimia memegang potensi yang cukup besar dalam pengembangan solusi non konvensional terhadap masalah keamanan pangan yang membahayakan. Pelanggaran terhadap keamanan pangan dapat terjadi ketika pemrosesan, penyimpanan, dan distribusi bahan pangan, baik itu berupa prosesnya maupun alat yang digunakan. Teknik keamanan pangan merupakan bagian yang tidak terpisah dari teknik pengolahan pangan dan hasil pertanian, ilmu pangan, dan teknologi pangan karena semuanya bertanggung jawab dalam hal pemrosesan bahan pangan sejak dipanen hingga siap dipasarkan.

Teknik keamanan pangan bukan mengenai investigasi dan pengecekan suatu proses maupun rantai produksi pangan, namun lebih kepada aplikasi teknik untuk menciptakan proses maupun rantai produksi pangan yang aman tanpa mengurangi kriteria yang dibutuhkan masyarakat mengenai produk pangan.

Prinsip ilmu teknik keamanan pangan dapat diaplikasikan di:

  • Pengendalian mikroorganisme pada sumber bahan pangan dan bahan mentah
  • Desain produk dan pengendalian proses
  • Aplikasi Good Hygienic/Manufacturing Practices (GHPs/GMPs)
  • Implementasi sistem Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) sepanjang rantai pengolahan pangan

Penyediaan produk pangan yang aman merupakan proses yang rumit, membutuhkan pengendalian terpadu sepanjang rantai produksi pangan dan konsumsinya.[1][2] Peningkatan kepedulian terhadap keamanan pangan teah memicu pengembangan yang terus berlanjut dalam bidang teknologi pemrosesan. Para pakar di bidang teknik, mikrobiologi, kimia, dan cabang ilmu lainnya telah membawa peningkatan yang cukup berarti dalam kualitas dan keamanan pangan.

Pemrosesan pangan konvensional memanfaatkan proses termal (pemanasan, pendinginan, dsb) untuk membunuh atau menon-aktifkan kontaminan mikrobiologi. Namun, pemrosesan termal memicu perubahan fisik dan kimia pada bahan pangan. Pengawet kimia dan senyawa antimikroba alami juga telah digunakan secara ekstensif pada pengawetan pangan. Dalam dua tahun ini, sejumlah alternatif pengolahan pangan non-termal telah berkembang demi pengendalian kontaminan mikrobial dan pemenuhan kebutuhan konsumen terhadap bahan pangan yang segar dengan proses pengolahan yang minimal.[3]

Penggunaan teknologi dalam mencapai keamanan pangan[sunting | sunting sumber]

Pemrosesan bertekanan tinggi[sunting | sunting sumber]

Pemrosesan bertekanan tinggi adalah metode di mana bahan pangan diberikan tekanan yang tinggi (hingga 700 MPa) dengan atau tanpa penambahan panas, untuk menon-aktifkan mikrob atau untuk mengubah sifat dan penampilan bahan pangan dengan maksud memenuhi keinginan konsumen.[4][5][6][7] Pemrosesan ini dapat mempertahankan kualitas bahan pangan, mempertahankan kesegaran alaminya, dan memperpanjang umur simpan bahan pangan. Pemrosesan ini dapat digunakan baik pada bahan pangan cair maupun padat. Contoh bahan pangan yang sudah beredar yang telah mengalami pemrosesan ini adalah smoothies, guacamole, bahan pangan siap saji, kerang, ham, daging ayam, jus buah, dan salsa yang diproduksi oleh industri pengolahan pangan. Bahan pangan utama yang menjadi subjek pemrosesan ini adalah bahan pangan yang memiliki tingkat keasaman yang tinggi karena bisa dengan mudah menon-aktifkan mikrob di dalamnya. Makanan dengan tingkat keasaman yang rendah memiliki kesulitan terutama dalam mematikan spora atau bakteri yang dorman.

Tekanan bekerja pada semua titik dari produk dalam besaran yang sama, berbeda dengan pemrosesan termal terkait adanya gradien pemanasan yang mengakibatkan adanya perubahan yang dipicu oleh hal tersebut seperti browning, denaturasi, atau pembentukan lapisan.[4]

Mikroorganisme dengan tingkat pertumbuhan yang eksponensial bisa lebih mudah dinon-aktifkan dibandingkan yang stasioner, dan bakteri gram positif lebih resistan dibandingkan [[bakteri gram negatif]]. Laporan penelitian juga menunjukkan bahwa pemrosesan dengan tekanan yang tinggi dapat digunakan untuk melawan hepatitis A pada kerang dan juga norovirus.[8][9] Penelitian mengenai inaktivasi spora bakteri membutuhkan tekanan tinggi dan temperatur yang sedang sekaligus. Hingga saat ini, jumlah strain bakteri Clostridium botulinum yang bisa dinonaktifkan dengan metode ini masih terbatas. Dan hingga saat ini, spora non-proteolitik tipe B adalah spora patogen yang paling tahan terhadap tekanan tinggi.[10][11][12] Dan di antara bakteri pembentuk endospora, Bacillus amyloliquefaciens menghasilkan spora yang paling tahan teradap tekanan tinggi.[13][14]

Mikroorganisme Perlakuan (Tekanan, MPa; Temperatur, oC; Waktu, menit) Log pengurangan Substrat Referensi
Bakteri vegetatif
Campylobacter jejuni 300, 25, 10 6 Daging ayam [15]
C. jejuni 400, 25, 10 6 Daging babi [16]
Escherichia coli 350, 40, 5 >8 Jus [17]
E. coli 475, 40, 8 2 Alfalfa [18]
Listeria innocua 400, 20, 20 5 Daging sapi [19]
Salmonela enterica 250, 40, 5 >8 Jus [17]
Salmonella typhimurium 400, 25, 10 6 Daging babi [16]
Staphylococcus aureus 500, 50, 15 >4 Kaviar [20]
Vibrio parahaemolyticus 170, 23, 10 >5 Keju [15]
Yersinia enterolitica 400, 25, 10 6 Daging babi [16]
Bakteri pembentuk spora
Alicyclobacillus acidoterestris 621, 90, 1 6 Apel [21]
Bacillus cereus 600, 60, 10 7 Susu [22]
B. stearothermophilus 600, 90, 40 >5 Biji coklat [23]
B. stearothermophilus 600, 120, 20 >6 Brokoli [23]
B. stearothermophilus 700, 105, 5 >4 Telur dadar [24]
Clostridium botulinum 600, 80, 16 >4 Wortel [25]
C. botulinum 827, 75, 20 3 Daging kepiting [26]
C. sporogenes 800, 90, 5 >5 Kaldu [15]
Jamur dan ragi
Candida utilis 400, 25, 10 6 Daging babi [16]
Penicillium roqueforti 400, 20, 20 6 Keju [27]
Saccharomyces cerevisiae 100, 47, 5 3 Jus [15]
Virus
Calicivirus 275, 21, 5 7 Kaldu [15]
Hepatitis A 400, 9, 1 3 Kerang [28]
Hepatitis A 375, 30, 5 >4 Strawberry [29]
Hepatitis A 375, 30, 5 >4 Bawang [29]
Poliovirus 450, 21, 5 8 Kaldu [15]

Pemrosesan dengan medan gelombang elektrik[sunting | sunting sumber]

Penghancuran mikroorganisme dengan medan gelombang elektrik dicapai dengan mengaplikasikan gelombang pendek bertegangan tinggi di antara serangkaian elektrode yang menyebabkan gangguan pada membran sel mikrob.[30] Metode ini melibatkan pengolahan pangan dengan menempatkannya di antara rangkaian elektrode dengan gelombang bertegangan tinggi dalam ordo 20-80 kV/cm. Metode seperti ini bahkan bisa diaplikasikan untuk proses pasteurisasi.[31] Hingga saat ini, teknologi yang tersedia hanya untuk bahan pangan yang bisa mengalir.

Banyak sel vegetatif dari bakteri, jamur, dan ragi yang bisa dinon-aktifkan dengan metode ini, namun spora bakteri tidak.[32] Bakteri gram positif lebih resistan terhadap metode ini, dan ragi menunjukkan sensivitas yang lebih tinggi dari bakteri.[30]

Gelombang pendek bertegangan tinggi memecah membran sel dari mikroorganisme vegetatif dalam media cair dengan cara mengembangkan pori-pori yang ada (elektroporasi) atau membuat pori-pori membran yang baru.[33][34] Pembentukan pori tersebut bisa reversibel maupun irreversibel tergantung banyak faktor seperti intensitas medan listrik, durasi gelombang, dan jumlah gelombang. Membran sel yang terelektrifikasi menjadi sangat permeabel bahkan terhadap molekul yang kecil sehingga menyebabkan pembengkakan dan kerusakan pada membran sel.

Sejumlah faktor kritis pemrosesan, kondisi penelitian yang kurang spesifik, dan keragaman alat membuat metode ini sulit untuk didefinisikan secara tepat dalam hal parameter yang esensial untuk inaktivasi mikrob.

Irradiasi[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1990, irradiasi (radiasi ionisasi, ionizing radiation, merujuk pada "pasteurisasi dingin") telah disetujui oleh FDA sebagai metode pengurangan mikrob yang efektif dan aman untuk bahan pangan tertentu, termasuk rempah-rempah, daging ayam, telur, daging merah, makanan laut, kecambah, buah-buahan, dan sayur-mayur.[35][36] Irradiasi mencakup penggunaan sinar gamma (dari Cobalt-60 atau Cesium-137), sinar beta, dan sinar X.[37] Radiasi ini memberikan energi yang diperlukan untuk memindahkan elektron dari atom untuk membentuk ion atau radikal bebas namun tidak cukup tinggi untuk membuat produk pangan terpengaruh. Elektron yang terbebaskan menabrak dan memecah ikatan kimia dari molekul DNA mikrob dan menghancurkannya (Smith and Pillai, 2004). Tingkat pengurangan mikrob tegrantung pada dosis radioaktif (kGy) yang diserap oleh bahan pangan.[38]

Faktor kunci yang mengendalikan ketahanan dari sel-sel mikrob terhadap irradiasi adalah ukuran organisme (semakin kecil organisme, semakin resistan), tipe organisme, jumlah dan usia relatif dari mikrob di dalam bahan pangan, dan keberadaan oksigen. Komposisi dari bahan pangan juga memengaruhi respon mikrob terhadap irradiasi.[39] Perlakuan radiasi pada dosis 2-7 kGy, tergantung kondisi irradiasi dan bahan pangannya, bisa secara efektif mengurangi bakteri patogen yang tidak berspora seperti Salmonella sp, Staphylococcus aureus, Campylobacter jejuni, Listeria monocytogenes, Escherichia coli, tanpa memengaruhi sifat organoleptik (rasa, bau, dsb), nutrisi, dan kuaitasnya.[35]

Disinfeksi ultraviolet[sunting | sunting sumber]

Ilustrasi disinfeksi yang dilakukan ultraviolet dengan merusak DNA mikroorganisme

Cahaya ultra violet gelombang pendek (UV C, 254 nm) dapat digunakan untuk mengurangi keberadaan mikrob di udara maupun di permukaan bahan pangan. UV C juga dapat digunakan untuk mengurangi patogen dalam air. Jangkauan radiasi 250-260 nm mematikan bagi sebagian besar mikroorganisme, termasuk bakteri, virus, jamur bermiselium, ragi, dan alga.[40] Kerusakan akibat UV C ada pada molekul sel yang menjadi target tergantung dosis UV C, misalnya pada dosis antara 0.5 - 20 J/m2 dapat mengakibatkan kerusakan pada DNA mikrob.[41] Begitu DNA rusak, kemampuan reproduksi dan penyebaran penyakit menjadi tidak ada.

Sinar UV gelombang panjang (UV A, >320 nm) memiliki kemampuan terbatas dalam mengeliminasi mikrob, namun UV A mampu menembus air lebih baik dari UV C.[40] Kemampuan UV A dalam mengeliminasi bakteri dapat ditingkatkan dengan penambahan senyawa fotosensitif (misalnya furocoumarin).

Parameter yang menentukan keberhasilan penggunaan sinar UV dalam teknik keamanan pangan adalah desain reaktor UV, dinamika fluida, dan sifat absorptivitas dari bahan pangan. Partikel tersuspensi dapat mengurangi efektivitas penggunaan UV karena menyebabkan meningkatnya jumlah absorban, pemantulan, dan penghalangan sinar UV.[42]

Untuk mensterilkan udara dalam fasilitas manufaktur pangan, kombinasi filter udara dan cahaya UV amat direkomendasikan.[43] Kombinasi UV dan ozon memiliki kekuatan mengoksidasi yang kuat dan dapat mengurangi jumlah material organik di dalam air hingga mendekati nol.[44] Teknik penggunaan radiasi UV C dan panas sekaligus untuk produksi daging mentah berkualitas tinggi telah dipatenkan.[45]

Meski relatif mudah dan tidak mahal, pemaparan sinar UV dapat menjadikan makanan kehilangan rasa.[46]

Ozon[sunting | sunting sumber]

Ozon adalah biosida yang efektif dalam melawan bakteri, virus, jamur, dan telah lama digunakan dalam pembersihan bahan pangan tanpa pencucian. Konsentrasi ozon yang rendah dengan waktu kontak yang sempit cukup untuk mematikan bakteri, jamur, ragi, parasit, dan virus.[47] Sekarang, ozon dalam bentuk gas dan cair dapat digunakan dengan kontak langsung terhadap bahan makanan seperti buah-buahan, sayur-mayur, daging mentah maupun daging siap makan, ikan, dan telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa spora bakteri merupakan yang paling resistan, dan sel vegetatif bakteri adalah yang paling sensitif terhadap ozon.[48] Dalam proses sanitasi, air yang diperkaya dengan ozon diketahui dapat mengurangi populasi Staphylococcus aureus, Salmonella chloraesuis, dan Pseudomonas aeruginosa sebanyak 6 log; Escherichia coli sebanyak 5 log; dan Listeria monocytogens dan Campylobacter jejuni sebanyak 4 log,[9] di mana 1 log adalah 101.

Di antara spora yang dihasilkan berbagai jenis bakteri, spora Bacillus stearothermophilus memiliki resistansi tertinggi, dan spora Bacillus cereus memiliki resistansi terendah, sehingga B. stearothermophilus dapat digunakan sebagai indikator efektivitas suatu alat sanitasi yang menggunakan ozon.[49] Ozon dalam larutan cair dapat digunakan dengan alat-alat yang terbuat dari keramik, gelas, silikon, teflon, dan baja tahan karat, namun tidak cocok digunakan dengan alat yang terbuat dari karet alam, poliuretan, dan plastik berbasis resin.

Perbandingan antara masing tipe aplikasi teknologi dalam teknik keamanan pangan[sunting | sunting sumber]

Sifat Pemrosesan termal Pemrosesan bertekanan tinggi Pemrosesan medan gelombang listrik Irradiasi Disinfeksi ultraviolet Ozon
Cara pengoperasian Curah, kontinu Curah, semi kontinu Kontinu Curah Curah, kontinu Curah, kontinu
Luas cakupan penggunaan Bahan pangan padat dan cair Bahan pangan padat dan cair Bahan pangan cair dan semi cair Bahan pangan padat dan cair Udara, air minum, bahan pangan cair, dan permukaan bahan pangan Permukaan bahan pangan
Inaktivasi mikrob Mikroorganisme vegetatif, spora, alga, virus Mikroorganisme vegesatif, beberapa virus, dan kemungkinan juga spora (ketika dikombinasikan dengan panas) Mikroorganisme vegetatif Mikroorganisme vegetatif, spora, parasit Mikroorganisme vegetatif, alga, virus Mikroorganisme vegetatif, spora, parasit, virus
Kualitas Mempengaruhi komponen yang sensitif terhadap panas (rasa, nutrisi, dsb); menon aktifkan enzim MEmpertahankan kualitas alaminya; berpotensi menghasilkan bentuk tekstur tertentu; efek bervariasi terhadap inaktivasi enzim Menyebabkan efek minimal; efek berariasi terhadap inaktivas enzim Beberapa kehilangan rasa dan vitamin; perubahan pada tekstur Kehilangan rasa pada beberapa bahan pangan Penggunaan berlebih akan memengaruhi warna dan rasa
Pengemasan Pemrosesan setelah pengemasan atau pengemasan aseptik setelah pemrosesan Pemrosesan setelah pengemasan (membutuhkan kemasan yang fleksibel minimal pada satu bidang permukaan) Pengemasan aseptik setelah pemrosesan Pemrosesan setelah pengemasan (dibutuhkan kemasan yang mampu mentransmisikan radiasi) Pengemasan aseptik setelah pemrosesan Pengemasan aseptik setelah pemrosesan

Teknik pengendalian, pemantauan, dan identifikasi[sunting | sunting sumber]

Sebanyak 38% produk makanan yang ditarik oleh FDA pada tahun 2004 terkait dengan kontaminasi mikrob, dan juga 44% produk daging, daging ayam, dan telur oleh USDA Food Safety and Inspection Service.[50] Dan sepanjang 20 tahun terakhir, 5000 produk yang ditarik dari pasar menunjukkan adanya Salmonella typhimurium, Listeria monocytogenes, dan Escherichia coli.[51] Hal ini menjadikan pendeteksian dan identifikasi patogen pada bahan pangan yang cepat, efisien dan dapat diandalkan menjadi suatu kebutuhan.

Pendeteksian patogen dan kontaminan mikrob lainnya penting demi menjamin keamanan pangan. Metode konvensional dalam pendeteksian patogen bahan pangan memakan banyak waktu dan tenaga. Untuk menyelesaikan seluruh fase pemeriksaan dibutuhkan 16-48 jam. Penemuan terbaru di bidang teknologi menjadikan pendeteksian dan identifikasi lebih cepat, nyaman, sensitif, dan lebih spesifik dibandingkan pengujian konvensional.

Ada banyak metode yang dilakukan dalam teknik pengendalian, pemantauan, dan identifikasi dalam teknik keamanan pangan.

Media mikrobiologis kromogenik[sunting | sunting sumber]

Salah satu penemuan yang terkenal dalam bidang mikrobiologi adalah piringan media kromogenik yang mampu membedakan spesies patogen berbahaya dari spesies lainnya. Media ini memanfaatkan substansi kromogenik yang menghasilkan sekumpulan warna yang terkait dengan spesies patogen tertentu ketika substrat ini mengalami hidrolisis oleh enzim patogen tersebut. Piringan kromogenik mudah digunakan dan spesifik terhadap spesies patogen dan strain tertentu tergantung enzim yang dikeluarkan oleh patogen tersebut. Dan pada umumnya, hasilnya bisa terlihat setelah 18-24 jam setelah inkubasi. Hal ini memungkinkan bagi perusahaan makanan untuk meminimalisasi biaya terkait dengan hal yang serupa, dan waktu yang terpakai bisa jauh berkurang.[51]

Metode pengujian molekuler dan imunologik[sunting | sunting sumber]

Pendeteksian berbasis teknologi molekular atau DNA adalah salah satu area yang mengalami perkembangan yang cepat terkait pengembangan sistem pengujian patogen. Pengujian berbasis imunologik seperti pengujian imunologik terkait enzim (Enzyme-Linked Immunological Assay, ELISA), pengujian imunologik berlapis berbasis fluoresensi (fluorence-based sandwich immunological assay), Western blot, dan pengujian aglutinasi juga dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan mikrob di dalam bahan pangan.[52] Secara umum, kelemahan metode ini adalah ketidak mampuan dalam mendeteksi keberadaan patogen yang terdapat dalam jumlah yang kecil, sensitivitas yang bervariasi, dan kemungkinan untuk melakukan isolasi pengkulturan untuk satu organisme

Kuncinya ada pada DNA dari bakteri patogen itu sendiri dan komponen yang ada di sekitarnya. Pada pengujian berbasis DNA, yang menjadi target adalah gen RNA ribosom yang dapat diambil dalam jumlah banyak sehingga memberikan sensitivitas pengujian yang lebih tinggi.[53] Ada juga yang memanfaatkan reaksi berantai polimerase (polymerase chain reaction, PCR) yang memanfaatkan prinsip dasar hibridisasi DNA di mana potongan pendek DNA primer dihibridisasi pada bagian yang spesifik yang diperbanyak secara enzimatis.[54] Secara teori, PCR dapat memperbanyak satu salinan DNA menjadi jutaan dalam waktu kurang dari 2 jam sehingga mengurangi dan bahkan meniadakan kebutuhan terhadap pengkulturan bakteri. Kehadiran inhibitor pada makanan dan pada banyak media kultur dapat mencegah terjadinya pengikatan primer dan mengurangi efisiensi perbanyakan DNA sehingga sensitivitas yang tinggi yang mungkin didapat dari PCR pada kultur murni menjadi berkurang ketika dilakukan pengujian terhadap bahan pangan. PCR juga dibatasi oleh kebutuhan terhadap informasi yang spesifik terhadap patogen yang menjadi target. PCR juga tidak dapat digunakan untuk mendeteksi jumlah jenis organisme yang banyak dalam suatu campuran secara simultan.

ELISA (enzyme-linked immunological assay) adalah teknik biokimia yang digunakan untuk mendeteksi antibodi atau antigen dari sampel.[55][56] Antibodi yang digunakan dipertemukan dengan enzim yang akan menghasilkan efek kromogenik atau fluoresensi yang akan memberikan tanda kehadiran bakteri dan seberapa besar jumlahnya, tergantung waktu yang digunakan untuk melakukan pengayaan kultur.

Biosensor[sunting | sunting sumber]

Biosensor adalah metode yang dikembangkan untuk mendeteksi mikroorganisme dan toksin yang berbahaya. Biosensor menggunakan bioreseptor seperti biokatalis, bioafinitas, dan reseptor hibrida untuk mengenali berbagai tanda khusus yang akan terikat dengan bioreseptor seperti enzim, antibodi, mikrob, protein, hormon, asam nukleat, dan sebagainya; lalu transduser akan mengubah sinyal itu ke dalam informasi analitik kuantitatif.[57] Prinsipnya sederhana, patogen dideteksi berdasarkan karakteristiknya, misalnya enzim yang dikeluarkannya. Enzim itu akan berikatan dengan senyawa pengenal yang ada pada biosensor, misalnya protein yang mampu membuat enzim itu bekerja. Hal itulah yang dideteksi oleh biosensor. Dan seberapa banyak hasil pekerjaan dari enzim yang menjadi target biosensor menunjukkan berbagai nilai kuantitatif seperti seberapa banyak patogen yang terdapat dalam bahan pangan, seberapa berbahaya enzim tersebut (jika enzim itu yang menjadikan bahan pangan beracun), dsb.

Pengukuran jumlah zat yang dihasilkan oleh kerja enzim ataupun reaksinya diukur dengan berbagai tipe transduser seperti peralatan elektrokimia (amperemeter, potensiometer, konduktimeter)[58] yang mengukur mobilitas ion, difusi elektron, muatan kimia, dsb; termal[59] yang mengukur perubahan temperatur; optis[60] yang mengukur absorpsi, reflektansi, atau emisi radiasi elektromagnetik; dan piezoelektrik yang mengukur perubahan massa atau viskositas skala mikro. Metode biosensor menjanjikan durasi pendeteksian antara 0.5-2 jam lamanya

Kelemahan biosensor adalah kemungkinan adanya interaksi antara biosensor dengan bahan pangan, kalibrasi, perawatan, sterilisasi, tingkat reproduksi alat biosensor di pabrik, dan biaya.

Spektrometri inframerah[sunting | sunting sumber]

Spektrum absorpsi inframerah untuk Salmonella enterica[61]

Spektrometri inframerah adalah metode pemanfaatan spektrum yang dihasilkan dari pemancaran inframerah terhadap sampel. Spektrum yang dihasilkan berupa tingkat reflektansi, transmisi, ataupun keduanya yang dapat ditangkap langsung, atau tingkat absorbansi yang didapat dari hasil kalkulasi. Setiap bakteri, ragi, dan mikroorganisme lainnya yang berada di dalam bahan pangan dapat dikarakterisasi menggunakan metode ini.[62] Spektrum yang dihasilkan spesifik terhadap spesies dan strain bakteri tertentu. Spesies yang tidak diketahui pun bisa diketahui keberadaannya dengan menganalisis spektrum yang didapat di mana setiap jenis komponen organik dari bakteri (lipid, protein, hingga DNA) akan mengabsorpsi inframerah pada frekuensi tertentu.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ IFT (Institute of Food Technologists). IFT expert report on emerging microbiological food safety issues. Implications for control in the 21st century. http://members.ift.org/[pranala nonaktif permanen] IFT/Research/IFTExpertReports/ microsfs_report.htm (terakhir diunduh tanggal 12 Maret 2006). 2002.
  2. ^ L-A. Jaykus, G. R. Acuff, F. Busta, et al. Managing food safety: Use of performance standards and other critieria in food inspection systems. An authoritative report of the Institute of Food Technologists, October, 2004.
  3. ^ S. Brul and P. Coote. “Preservative agents in foods-Mode of action and microbial resistance mechanisms.” Int. J. Food Microbiol. 50: 1–17, 1999..
  4. ^ a b J. C. Cheftel and J. Culioli. “Review: High pressure, microbial inactivation and food preservation.” Food Sci. Technol. Int. 1: 7590, 1995.
  5. ^ D. Farkas and D. Hoover. “High pressure processing. Kinetics of microbial inactivation for alternative food processing technologies.” J. Food Sci. Supplement. 47–64, 2000.
  6. ^ R. Ramaswamy, V. M. Balasubramaniam, and G. Kaletunc. High pressure processing: fact sheet for food processors. FST-1-04. Ohio State University Extension, Columbus, OH, 2004. http://ohioline[pranala nonaktif permanen]. osu.edu/fse-fact/0001.html. Diunduh tanggal 12 Maret 2006.
  7. ^ J. P. P. M. Smelt. “Recent advances in the microbiology of high pressure processing.” Trends Food Sci. Technol. 9: 152–158, 1988.
  8. ^ K. R. Calci, G. K. Meade, R .C. Tezloff, and D. H. Kingsley. “High-pressure inactivation of hepatitis A virus within oysters.” Appl. Environ. Microbiol. 71: 339–343, 2005.
  9. ^ a b J. L. Bricher. “Process control: Innovation in microbial interventions.” Food Safety Mag. 11: 29–33, 2005a. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Bricher, 2005a" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  10. ^ V. M. Balasubramaniam. “High pressure food preservation.” In: Encyclopedia of Agricultural, Food and Biological Engineering (Dennis R. Heldman, ed.), Marcel Dekker, Inc. 490–496, 2003.
  11. ^ T. Okazaki, K. Kakugawa, T. Yoneda, and K. Suzuki. “Inactivation behavior of heat-resistant bacterial spores by thermal treatments combined with high hydrostatic pressure.” Food Sci. Technol. Res. 6: 204–207, 2000
  12. ^ N. R. Reddy, H. M. Solomon, R. C. Tetzloff, and E. J. Rhodehamel. “Inactivation of Clostridium botulinum Type A spores by high-pressure processing at elevated temperature.” J. Food Prot. 66: 1402–1407, 2003
  13. ^ D. Margosch, M. G. Gäzle, M. A. Ehrmann, and R. F. Vogel. “Pressure inactivation of Bacillus endospores.” Appl. Env. Microbiol. 70: 7321–7328, 2004a.
  14. ^ S. Rajan, J. Ahn, V. M. Balasubramaniam, and A. E. Yousef.. “Combined pressure-thermal inactivation kinetics of Bacillus amyloliquefaciens spores in egg patty mince.” J. Food Prot. 69: 853–860, 2006a.
  15. ^ a b c d e f M. Patterson. “Under pressure: A novel technology to kill microorganisms in foods.” Culture. 25: 2–5, 2004.
  16. ^ a b c d T. Shigehisa, T. Ohmori, A. Saito, S. Taji, and R. Hayashi. “Effects of high hydrostatic pressure on characteristics pf pork slurries and inactivation of microorganisms associated with meat and meat products.” Int. J. Food Microbiol. 12: 207–216, 1991.
  17. ^ a b A. Bayindirli, H. Alpas, F. Bozoglu, and M. Hizal.. “Efficacy of high pressure treatment on inactivation of pathogen microorganisms and enzymes in apple, orange, apricot and sour juices.” Food Cont. 17: 52–58, 2006.
  18. ^ M. W. Ariefdjohan, P. E. Nelson, R. K. Singh, A. K. Bhunia, V. M. Balasubramaniam, and N. Singh. “Efficacy of high hydrostatic pressure treatment in reducing Escherichia coli O157: H7 and Listeria monocytogenes in alfalfa seeds.” J. Food Sci. 69: M117–M120, 2004.
  19. ^ Carlez, J. P. Rosec, N. Richard, and J. C. Chaftel. “High pressure inactivation of Citrobacter freundii, Pseudomonas fluorescens and Listeria innocua in inoculated minced beef muscle.” Lebensm.-Wiss. u.-Technol. 26: 357–363, 1993.
  20. ^ F. Fioretto, C. Cruz, A. Largeteau, T. A. Sarli, G. Demazeau, and A. El Moueffak. “Inactivation of Staphylococcus aureus and Salmonella enteritidis in tryptic soy broth and caviar samples by high pressure processing.” Braz. J. Med. Biol. Res. 38: 1259–1265, 2005.
  21. ^ S-Y. Lee, R. H. Dougherty, and D.-H. Kang, 2002. “Inhibitory effects of high pressure and heat on Alicyclobacillus acidoterrestris spores in apple juice.” Appl. Env. Microbiol. 68: 4158–4161, 2002.
  22. ^ I. van Opstal, C. F. Bagamboula, S. C. M. Vanmuysen, E. Y. Wuytack, and C. W. Michiels. “Inactivation of Bacillus cereus spores in milk by mild pressure and heat treatments.” Int. J. Food Microbiol. 92: 227–234, 2004.
  23. ^ a b E. Ananta, V. Heinz, O. Schlüter, and D. Knorr. “Kinetic studies on high-pressure inactivation of Bacillus stearothermophilus spores suspended in food matrices.” Inno. Food Sci. Emer. Technol. 2: 261–272, 2001.
  24. ^ S. Rajan, V. M. Balasubramaniam, and A. E. Yousef. “Inactivation of Bacillus stearothermophilus spores in egg patties by pressure-assisted thermal processing.” Lebensm.-Wiss. u.-Technol. 39: 844–851, 2006b.
  25. ^ D. Margosch, M. A. Ehrmann, M. G. Gäzle, and R. F. Vogel. “Comparison of pressure and heat resistance of Clostridium botulinum and other endospores in mashed carrots.” J. Food Prot. 67: 2530–2537, 2004b.
  26. ^ N. R. Reddy, H. M. Solomon, R. C. Tetzloff, and E. J. Rhodehamel. “Inactivation of Clostridium botulinum Type A spores by high-pressure processing at elevated temperature.” J. Food Prot. 66: 1402–1407, 2003.
  27. ^ C. E. O’Reilly, P. M. O’Connor, A. L. Kelly, T. Beresford, and P. M. Murphy. “Use of hydrostatic pressure for inactivation of microbial contamination in cheese.” Appl. Environ. Microbiol. 66: 4890–4896, 2000.
  28. ^ K. R. Calci, G. K. Meade, R .C. Tezloff, and D. H. Kingsley. “High-pressure inactivation of hepatitis A virus within oysters.” Appl. Environ. Microbiol. 71: 339–343, 2005.
  29. ^ a b D. H. Kingsley, D. Guan, and D. G. Hoover. “Pressure inactivation of hepatitis A virus in strawberry puree and sliced green onions.” J. Food Prot. 68: 1748–1751, 2005.
  30. ^ a b F. Devlieghere, L. Vermeiren, and J. Debevere. “New preservation technologies: Possibilities and limitations.” Int. Dairy J. 14: 273–285, 2004.
  31. ^ Q. Zhang, G. V. Barbosa-Canovas, and B. G. Swanson. “Engineering aspects of pulses electric field pasteurization.” J. Food Eng. 25: 261–281, 1995
  32. ^ P. Butz and B. Tauscher. “Emerging technologies: chemical aspects.” Food Res. Int. 35: 279–284, 2002.
  33. ^ V. Heinz, I. Alvarez, A. Angersbach, and D. Knorr. “Preservation of liquid foods by high intensity pulsed electric fields-basic concepts for process design.” Trends Food Sci. Technol. 12: 103–111, 2001.
  34. ^ H. Vega-Mercado, O. Martin-Belloso, B. -L. Qin, et al.. “Non-thermal food preservation: Pulsed electric fields.” Trends in Food Sci. Technol. 8: 151–157, 1997.
  35. ^ a b J. Farkas. “Irradiation as a method for decontaminating food-A review.” Int. J. Food Microbiol. 44: 189–204, 1998.
  36. ^ J. Henkel. “Irradiation: A safe measure for safer food.” FDA Consumer. Publication No. (FDA) 98-2320, 1998.
  37. ^ D. W. Thayer. “Ionizing irradiation, treatment of food.” In: Encyclopedia of Agricultural, Food and Biological Engineering (Dennis R. Heldman, ed.), Marcel Dekker, Inc. 536–539, 2003.
  38. ^ D. G. Olson. “Irradiation of food.” Food Technol. 52: 56–62, 1998.
  39. ^ J. S. Smith and S. Pillai. “Irradiation and food safety.” Food Technol. 58: 48–55, 2004.
  40. ^ a b T. Bintsis, E. Litopoulou-Tzanetaki, and R. K. Robinson. “Existing and potential applications of ultraviolet light in the food industry-a critical review.” J. Sci. Food Agric. 80: 637–645, 2000.
  41. ^ W. L. Ferron, A. Eisenstark, and D. Mackay. “Distinction between far- and near-ultraviolet light killing of recombinationless (recA) Salmonella typhimurium.” Biochem. Biophys. Acta. 277: 651–658, 1972.
  42. ^ H. Liltved and S. J. Cripps. “Removal of particle-associated bacteria by prefiltration and ultraviolet irradiation.” Aquaculture Res. 30: 445–450, 1999.
  43. ^ P. B. Shah, U. S. Shah, and S. C. B. Siripurapu. “Ultraviolet irradiation and laminar air flow systems for clean air in dairy plants.” Indian Dairyman. 46: 757–759, 1994.
  44. ^ WHO (World Health Organization). “Ultraviolet radiation.” Environmental Health Criteria. 160, Vammala. 1994.
  45. ^ Y. Tanaka and K. Kawaguchi. Sterilization of vacuum packaged raw meat. U.S. patent 4983411, 1991.
  46. ^ R. A. Stermer, M. Lasater-Smith, and C. F. Brasington. Ultraviolet radiation-an effective bactericide for fresh meat.” J. Food Prot. 50: 108–111, 1987.
  47. ^ J. G. Kim, A. E. Yousef, and S. Dave. “Application of ozone for enhancing the microbiological safety and quality of foods: A review.” J. Food Prot. 62: 1071–1087, 1999.
  48. ^ [J. G. Kim, A. E. Yousef, and M. A. Khadre. “Ozone and its current and future application in the food industry.” Adv. Food and Nutr. Res. 45: 167–218, 2003.
  49. ^ M. A. Khadre and A. E. Yousef.. “Sporicidal action of ozone and hydrogen peroxide: a comparative study.” Int. J. Food Microbiol. 71: 131–138, 2001.
  50. ^ P. Kennedy, P. Review of U.S. food recall data illuminates safety trends. Silliker’s e-bulletin. 3(2) http://www.silliker.com/html/eResearch/vol3issue2.php#top. Terakhir diunduh 12 Maret 2006. 2005.
  51. ^ a b J. L. Bricher. “Technology round-up: New frontiers in pathogen testing.” Food Safety Mag. 11: 36–77, 2005b.
  52. ^ L. B. Blyn. “Biosensors and food protection.” Food Technol. 60: 36–41, 2006.
  53. ^ D. Y. C. Fung, D. Y. C. “Rapid methods and automation in microbiology.” Comprehen. Rev. Food Sci. Food Saf. 1: 322, 2002.
  54. ^ W. E. Hill. “The polymerase chain reaction: application for the detection of foodborne pathogens.” CRC Crit. Rev. Food Sci. Nutr. 36: 123–173, 1996.
  55. ^ M. R. Adams and M. O. Moss. Food Microbiology, Second Edition, Panima Publishing Corporation, New Delhi, 388–399, 2003.
  56. ^ J. M. Jay. Modern food microbiology, Fourth Edition, Chapman & Hall Inc., New York, p. 147. 2003.
  57. ^ L. D. Mello and L. T. Kubota. “Review of the use of biosensors as analytical tools in the food and drink industries.” Food Chem. 77: 237–256, 2002.
  58. ^ D. Ivnitski, I. Abdel-Hamid, P. Atanasov, E. Wilkins, and S. Stricker. “Application of electrochemical biosensors for detection of food pathogenic bacteria.” Electroanal. 12: 317–325, 2000.
  59. ^ K. Mosbach. “Thermal biosensors.” Biosen. Bioelectron. 6: 179–182, 1995.
  60. ^ A. G. Rand, J. Ye, C. W. Brown, and S. V. Letcher. “Optical biosensors for food pathogen detection.”Food Technol. 56: 32–39, 2002.
  61. ^ N. Baldauf, L. A. Rodriguez-Romo, A. E. Yousef, and L. E. Rodriguez-Saona. “Identification and differentiation of selected Salmonella enterica serovars by Fourier-transform mid-infrared spectroscopy.” Appl. Spectro. 60: 592–598(7), 2006.
  62. ^ L. Mariey, J. P. Signolle, C. Amiel, and J. Travert. 2001. “Discrimination, classification, identification of microorganisms using FTIR spectroscopy and chemometrics.” Vibrational spectroscopy. 26: 151–159, 2001.