Bacillus cereus

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bacillus cereus

Pewarnaan GramGram-positif
Taksonomi
SuperdomainBiota
DomainBacteria
KerajaanBacillati
FilumBacillota
KelasBacilli
OrdoCaryophanales
FamiliBacillaceae
GenusBacillus
SpesiesBacillus cereus

Bacillus cereus merupakan bakteri gram positif, berbentuk batang, aerobik, anaerob fakultatif, motil, serta beta hemolitik. Bakteri ini biasa ditemukan di tanah dan makanan. Beberapa galur bakteri ini berbahaya bagi manusia dan menyebabkan penyakit bawaan makanan, sedangkan jenis lainnya dapat bermanfaat sebagai probiotik untuk hewan.[1][2] Bakteri ini menyebabkan "sindrom nasi goreng", karena bakteri ini mendiami nasi goreng yang telah ditaruh pada suhu kamar selama berjam-jam.[3][4] Bakteri B. cereus merupakan fakultatif anaerob, sama seperti anggota lain dari genus Bacillus, ia dapat menghasilkan pelindung endospora. Faktor virulensinya termasuk cereolysin dan fosfolipase C.

Kelompok Bacillus cereus terdiri dari tujuh spesies yang terkait erat: B. cereus sensu stricto (di sini disebut sebagai B. cereus), B. anthracis, B. thuringiensis, B. mycoides, B. pseudomycoides, B. weihenstephanensis, dan B. cytotoxicus.[5]


Bacillus cereus (B. cereus) termasuk genus Bacillus, merupakan organisme bersel tunggal, motil (flagellated), pembentuk spora, berbentuk batang pendek biasanya dalam bentuk rantai panjang. Umumnya mempunyai ukuran lebar 1,0 mm dan panjang 3–5 mm.[6] Bacillus cereus termasuk bakteri Gram positif,[7] hidup secara aerob fakultatif, suhu pertumbuhan maksimum 37–48 oC dan minimum 5–20 oC serta pH pertumbuhan 5,5–8,5. B. cereus bersifat kosmopolit, suhu pertumbuhan optimum 30 oC. B. cereus merupakan saprofit ringan yang tidak berbahaya yang lazim terdapat dalam tanah, air, udara, dan tumbuh-tumbuhan serta mampu membentuk endospora yang tahan panas.[6]

Sumber Bahaya[sunting | sunting sumber]

B. cereus terdapat di alam (tanah, debu, air) dan dalam pangan. Spora dari Bacillus cereus ditemukan di tanah pada konsentrasi 104 sampai 105 spora per gram tanah. Spora mungkin tidak aktif di tanah dan berkembang di dalam organisme tanah, seperti di saluran pencernaan serangga, artropoda, dan cacing tanah, tetapi spora B. cereus mungkin berkembang biak di usus komensal pada serangga yang hanya berkembang biak ketika inangnya melemah. Spora B. cereus juga ada di saluran pencernaan hewan berdarah panas. B. cereus sering ditemukan dalam makanan dan dapat menyebabkan penyakit. Spora B. cereus hadir di hampir semua kategori makanan. Produk makanan kering atau dehidrasi, seperti rempah-rempah, jamu, sayuran tertentu, sereal, tepung, daging, ikan, dan susu sering terkontaminasi B. cereus pada derajat yang berbeda. Spora B. cereus juga dapat menempel pada permukaan baja tahan karat dengan sangat baik dan dapat terakumulasi dalam peralatan pemrosesan makanan, yang dengan demikian dapat menjadi wadah untuk spora.[8]

Rute Transmisi[sunting | sunting sumber]

Jalur transmisi utama bakteri B. cereus ke manusia adalah melalui makanan. Karena kelimpahannya di tanah dan ketahanan spora-nya, B. cereus dapat mencemari hampir semua makanan, terutama pangan nabati. Beberapa infeksi B. cereus telah dijelaskan yang tidak terkait dengan makanan yaitu melalui pintu masuk infeksi termasuk luka atau kateter yang terkontaminasi, juga jarum suntik yang dilakukan oleh pecandu narkoba.[8]

Reproduksi[sunting | sunting sumber]

Dosis infeksi B. cereus adalah > 105 /g. Jika jumlah B. cereus dalam pangan lebih besar dari 106 koloni/g mengindikasikan perkembangbiakan dan pertumbuhan B. cereus tersebut aktif dan dapat berisiko terhadap kesehatan.

Strain B. cereus sangat bervariasi dalam pertumbuhan dan karakteristik kelangsungan hidupnya. Isolat B. cereus dikategorikan menjadi strain mesofilik atau psikrotrofik. Strain mesofilik tumbuh dengan baik pada suhu 37 °C dan tidak tumbuh di bawah 10 °C, strain psikrotrofik tumbuh baik pada suhu pendinginan dan tumbuh buruk pada 37 °C. Pertumbuhan B. cereus dapat terjadi dalam kondisi aerobik dan anaerobik. Sel B. cereus yang tumbuh dalam kondisi aerobik kurang tahan terhadap panas dan asam dibandingkan sel B. cereus tumbuh secara anaerob atau mikroaerob. Strain Mesofilik dari B. cereus telah terbukti memiliki ketahanan asam yang lebih besar dari strain psikrotrofik.[9] Karakteristik mengenai pertumbuhan dan toksigenesis B. cereus disajikan dalam tabel berikut.[8]

Tabel 1. Karakteristik mengenai pertumbuhan dan toksigenesis B. cereus[8]

Parameters Growth

(vegetative cells)

Toxins
Production Stability
Min Opt Max Min Opt Max Min Max
Temperature (oC) 4 (untuk sebagian besar strain emetik/ muntah, suhu minimum adalah 10) 30-37 55 10 20-25 40 / /
pH 4.3 6-7 9.3 / / / Toksin emetik: 2 Toksin emetik: 9
Aw 0.92 0.99-1 / / / / / /
NaCl (g/L) / / 50 / / 50 (produksi cereulide sangat rendah) / /

Kontaminan Pada Pangan[sunting | sunting sumber]

B. cereus banyak terdapat pada bahan baku yang biasa digunakan pada industri pangan. Batas maksimum cemaran B. cereus pada pangan menurut Badan POM RI 2012 yaitu 1x103 koloni/g.[10] Spora B. cereus hadir di hampir semua kategori makanan. Produk makanan kering atau dehidrasi, seperti rempah-rempah, jamu, sayuran tertentu, sereal, tepung, daging, ikan, dan susu sering terkontaminasi B. cereus pada derajat yang berbeda. Salah satu kasus keracunan pangan karena B. cereus dengan gejala muntah-muntah disebabkan oleh produk pangan berbahan baku beras, pangan yang mengandung pati (pasta), kentang dan juga keju.[11] Kombinasi pangan seperti saus, puding, sup, casserole, pastri, dan selada sering terlibat dalam outbreak keracunan pangan.[8]

Masalah utama yang ditimbulkan oleh kontaminasi B. cereus pada makanan adalah adanya spora tahan panas yang bertahan pada suhu memasak normal untuk nasi, atau bahan mentah atau produk olahan lainnya. Studi menunjukkan bahwa selama pemasakan normal, sekitar 20 menit tergantung pada jenis beras, ada 2-3 pengurangan desimal beban spora awal dan pengurangan beban spora tersebut dipengaruhi juga oleh tindakan higienis selama memproses, penanganan, dan memasak. Spora berkecambah dan tumbuh tergantung pada suhu penyimpanan.[11]

Karena bakteri B. cereus umum dan tersebar luas, pencegahan kontaminasi sporanya pada pangan hampir mustahil. Agar perkecambahan spora terhambat dan perbanyakan sel vegetatif dapat dicegah, salah satu cara kontrol dan pencegahan yang efektif ialah dengan proses pemasakan, namun dalam proses pemasakan juga tidak sembarangan karena spora lebih tahan terhadap panas kering daripada panas lembab, sehingga biasanya lebih tahan terhadap makanan dengan aktivitas air lebih rendah. Spora juga lebih tahan terhadap radiasi daripada sel vegetatif. Nisin adalah pengawet yang digunakan untuk menghambat perkecambahan dan pertumbuhan spora. Antimikroba yang menghambat pertumbuhan B. cereus antara lain benzoat, sorbat dan asam ethylenediaminetetraacetic.[11]

Jenis Toksin[sunting | sunting sumber]

Strain B. cereus yang bersifat patogenik digolongkan ke dalam bakteri penyebab intoksikasi dan dapat dibedakan menjadi strain penyebab diare dan strain penyebab muntah.[12] Strain yang termasuk dalam golongan ini dapat tumbuh pada berbagai makanan, dan mempunyai waktu inkubasi sejak tertelan sampai timbulnya gejala intoksikasi. Toksin-toksin yang menyebabkan muntah atau emetik (disebabkan oleh konsumsi toksin, cereulide, yang diproduksi dalam makanan selama pertumbuhan B. cereus) dan toksin yang menyebabkan diare (disebabkan oleh konsumsi sel dan / atau spora B. cereus, diikuti oleh produksi enterotoksin di usus). Produksi cereulide dimulai selama fase pertumbuhan eksponensial dengan jumlah sel yang sangat tinggi (dari 105 CFU/g) dan berlanjut selama fase pertumbuhan stasioner. Strain emetik dapat tumbuh pada suhu antara 10 °C dan 48 °C. Suhu optimal untuk pembentukan cereulide adalah antara 20 °C dan 40 °C.[13]

Gejala Penyakit[sunting | sunting sumber]

Strain yang dapat menimbulkan gejala muntah disebabkan oleh toksin emetik yang diproduksi oleh bakteri selama fase pertumbuhan dalam makanan dan mempunyai masa inkubasi yang lebih pendek sekitar 1-5 jam. Toksin ini menyebabkan timbulnya gejala muntah biasanya ditandai oleh mual terjadi 0,5 jam - 6 jam setelah mengkonsumsi pangan yang tercemar, dan biasanya berlangsung kurang dari 24 jam, kadang-kadang disertai dengan kejang perut dan diare.[8][12]

Strain yang dapat menimbulkan gejala diare disebabkan oleh toksin diare yang diproduksi selama pertumbuhan bakteri di usus kecil. Gejala penyakit diare yang ditimbulkan yaitu buang air besar encer, perut kejang-kejang dan sakit 6-15 jam setelah mengkonsumsi pangan yang tercemar disertai mual.[12]

Patofisiologi[sunting | sunting sumber]

Terdapat beberapa studi terkait manifestasi klinis dari invasi atau kontaminasi B. cereus antara lain bovine mastitis, infeksi piogen dan sistemik hebat, gangren, septic meningitis, selulit, panoftalmitis, abses paru, kematian bayi, dan endokarditis. Pada penyakit muntah, racun asam, panas dan proteolisis stabil (cereulide) dicerna, yang dibentuk oleh sel-sel vegetatif dalam makanan. Akibat pengikatan cereulide pada reseptor tertentu di saluran pencernaan, muntah dan mual terjadi hanya dalam waktu enam jam setelah dikonsumsi. Gejala biasanya sembuh sendiri dalam 24 jam. Dalam kasus keracunan parah, cereulide juga dapat menyebabkan kerusakan hati dan edema serebral (Dierick et al., 2005; Shiota et al., 2010). Dalam percobaan hewan, kerusakan hati terkait cereulide adalah reversibel pada dosis sub-mematikan, serta diasumsikan bahwa cereulide memiliki efek penghambatan pada sistem kekebalan tubuh. Dalam kasus yang jarang terjadi, keracunan parah juga mengakibatkan kematian (Dierick et al., 2005; Naranjo et al., 2011; Shiota et al., 2010). Keracunan yang disebabkan oleh cereulide sering dikaitkan dengan konsumsi makanan bertepung seperti nasi dan pasta. Namun, kasus penyakit muntah yang terkait dengan produk susu dan daging juga telah dilaporkan (Messelhäu-ßer et al., 2014; Rouzeau- Szynalski et al., 2020).[13]

Pada penyakit diare, spora B. cereus dapat menempel pada enterosit. Kontak dengan enterosit mendorong perkecambahan spora sehingga menghasilkan kepadatan sel yang diperlukan untuk memicu regulasi gen untuk produksi enterotoksin. Kemampuan untuk berinteraksi dengan enterosit berkaitan dengan kualitas permukaan spora yang dapat bervariasi sehingga dapat menunjukan sebagian patogenisitas yang berbeda (Berthold-Pluta et al., 2015; Ceuppens et al., 2012). Diasumsikan juga bahwa interaksi sel vegetatif dengan enterosit mendorong pembentukan enterotoksin yang membentuk pori-pori di membran enterosit, hal ini yang dapat menimbulkan gejala diare.[13][14]

Inaktivasi[sunting | sunting sumber]

Tabel 2. Perlakuan Inaktivasi B. cereus Dalam Makanan[8]

Disinfektan Pengaruh Suhu
  • Sel vegetatif sensitif terhadap semua disinfektan yang diizinkan oleh sektor agro-pangan, dengan syarat mengikuti prosedur penggunaan yang disarankan.
  • Sekitar 4 log pengurangan jumlah spora dapat dicapai dengan disinfektan klorin yang mengandung setidaknya 100 hingga 200 mg / L klorin aktif (pH dan kotoran organik mengurangi kemanjuran desinfeksi).
  • Perkecambahan spora dan perkembangan selanjutnya dihambat oleh nisin (non sporisida).
Memasak makanan tidak menjamin penghapusan spora B. cereus, tetapi dapat menonaktifkan kelompok genetik yang paling sensitif terhadap panas.

Nilai D* dan z** untuk spora B. cereus.

D95oC 2 menit (babi)
D100oC 1.2-7.5 menit (beras)
D120oC 3.4 menit (minyak kedelai)
Z 8-12.5 oC

Racun diare dihancurkan dengan perlakuan pada 56 °C selama 5 menit. Racun emetik dihancurkan dengan perlakuan pada suhu 126 °C selama 90 menit. Selain itu, pada pH netral, perlakuan dengan 121 °C selama 120 menit tidak cukup untuk menonaktifkan cereulide.

Penyinaran Tekanan Tinggi
Untuk spora:

D10*** - 1.6 – 2.6 kGy

Spora dari B. cereus sangat tahan terhadap tekanan. Spora dari B. cereus dapat dinonaktifkan dengan kombinasi perlakuan panas (60-70 °C) dan perlakuan tekanan tinggi (550-600 MPa).

Keterangan:

* D adalah waktu yang dibutuhkan untuk membagi dengan 10 populasi awal bahaya mikrobiologis.

**z adalah variasi suhu (°C) sesuai dengan variasi dengan faktor 10 dari waktu pengurangan decimal

***D10 adalah dosis (kGy) yang dibutuhkan untuk mengurangi populasi hingga 10% dari kekuatan awalnya.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1887, Bacillus cereus diisolasi dari udara di kandang sapi oleh Frankland. Pada tahun 1950, di Eropa terjadi wabah yang disebabkan oleh berbagai makanan diantaranya sup daging, sayuran, daging, unggas, ikan, susu, dan es krim. Pada tahun 1969, telah didokumentasikan pertama wabah B. cereus di Amerika Serikat. Sejak tahun 1971, sejumlah B. cereus menyebabkan keracunan yang dilaporkan pertama adalah jenis muntah. Jenis keracunan ini ditandai dengan serangan mual dan muntah akut 1-5 jam setelah konsumsi makanan yang dicurigai. Kadang-kadang, waktu inkubasi selama 15-30 menit atau selama 6-12 jam. Hampir semua wabah jenis muntah dikaitkan dengan konsumsi nasi. Jenis keracunan ini mirip dengan keracunan makanan Staphylococcus.[15]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ryan KJ; Ray CG, ed. (2004). Sherris Medical Microbiology (edisi ke-4th). McGraw Hill. ISBN 0-8385-8529-9. 
  2. ^ Dimitris Charalampopoulos; Robert A. Rastall (12 August 2009). Prebiotics and Probiotics Science and Technology. Springer Science & Business Media. hlm. 627–. ISBN 978-0-387-79057-2. 
  3. ^ Christopher A. Sanford; Elaine C. Jong (5 August 2008). The Travel and Tropical Medicine Manual. Elsevier Health Sciences. hlm. 469–. ISBN 1-4377-1069-7. 
  4. ^ Asaeda, Glenn; Caicedo, Gilbert; Swanson, Christopher (December 2005). "Fried Rice Syndrome". Journal of Emergency Medical Services. 30 (12): 30–32. doi:10.1016/s0197-2510(05)70258-8. PMID 16373130. 
  5. ^ Guinebretière, Marie-Hélène; Auger, Sandrine; Galleron, Nathalie; Contzen, Matthias; De Sarrau, Benoit; De Buyser, Marie-Laure; Lamberet, Gilles; Fagerlund, Annette; Granum, Per Einar (2013). "Bacillus cytotoxicus sp. nov. is a novel thermotolerant species of the Bacillus cereus Group occasionally associated with food poisoning". International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology. 63 (1): 31–40. doi:10.1099/ijs.0.030627-0. 
  6. ^ a b "Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Indigenous (Bacillus Cereus FRANK.) Sebagai Agensia Pengendali Hayati Hama Kubis". Eugenia. 17 (1): 10–15. 2021. 
  7. ^ Fahmi, Aliyah (2019-12-30). "UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK METANOL DAUN BAWANG BATAK (Allium chinense G. Don) TERHADAP Streptococcus mutans DAN Bacillus cereus SEBAGAI BAKTERI GRAM POSITIF". BIOLINK (Jurnal Biologi Lingkungan Industri Kesehatan). 6 (2): 138–145. doi:10.31289/biolink.v6i2.2814. ISSN 2597-5269. 
  8. ^ a b c d e f g "Bacillus cereus" (PDF). Data sheet on foodborne biological hazards / Bacillus cereus. 2011. 
  9. ^ "Bacillus cereus" (PDF). Food Standards Australia New Zealand. 2013. 
  10. ^ Badan POM RI (2012). Pedoman Kriteria Cemaran Pada Pangan Siap Saji dan Pangan Industri Rumah Tangga (PDF). Jakarta Pusat: Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 
  11. ^ a b c Rodrigo, Dolores; Rosell, Cristina M.; Martinez, Antonio (2021-02-02). "Risk of Bacillus cereus in Relation to Rice and Derivatives". Foods (dalam bahasa Inggris). 10 (2): 302. doi:10.3390/foods10020302. ISSN 2304-8158. PMC 7913059alt=Dapat diakses gratis. PMID 33540849 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  12. ^ a b c Indrawati I., Rizki A. (2017). "Potensi Ekstrak Buah Buni (Antidesma bunius L) Sebagai Antibakteri Dengan Bakteri Uji Salmonella thypimurium dan Bacillus cereus" (PDF). Jurnal Biodjati. 2 (2): 138–148. 
  13. ^ a b c Bundesinstitut Für Risikobewertung (2020-10-30). "Bacillus cereus bacteria in foodstuffs may cause gastrointestinal diseases: BfR Opinion No 048/2020 of 30 October 2020" (dalam bahasa Inggris). doi:10.17590/20191023-085514. 
  14. ^ "Bacillus cereus - BfR". www.bfr.bund.de. Diakses tanggal 2021-06-27. 
  15. ^ Tajkarimi, M (2007). "Bacillus cereus" (PDF). CDC (1998–2002). Diakses tanggal 30-06-2021. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]