Lompat ke isi

Bendungan Sutami

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bendungan Sutami
NegaraIndonesia
LokasiMalang, Jawa Timur
KegunaanSerbaguna
StatusBeroperasi
Mulai dibangunMei 1962
Mulai dioperasikanDesember 1973
Biaya konstruksi¥ 25,868 milyar
PemilikKementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Kontraktor
PerancangNippon Koei
Bendungan dan saluran pelimpah
Tipe bendunganUrugan
Tinggi100 m
Panjang750 m
Lebar puncak13,7 m[1]
Volume bendungan6.020.000 m3
Ketinggian di puncak278 mdpl
MembendungSungai Brantas
Jumlah pelimpah1
Tipe pelimpahOgee dengan dan tanpa pintu
Kapasitas pelimpah1.000 m3 / detik
Waduk
NamaWaduk Sutami
Kapasitas normal343.000.000 m3
Kapasitas aktif253.000.000 m3
Kapasitas nonaktif90.000.000 m3
Luas tangkapan2.052 km2
Luas genangan7,9 km2
PLTA Sutami
PengelolaPLN Nusantara Power
Mulai dioperasikanJanuari 1973
JenisKonvensional
Kepala hidraulik91,5 m
Jumlah turbin3
Kapasitas terpasang105 MW
Produksi tahunan289.000 MWh[2]

Bendungan Sutami atau disebut juga Bendungan Karangkates, adalah sebuah bendungan yang dibangun di Sumberpucung, Malang untuk membendung Sungai Brantas. Nama bendungan ini diambil dari nama Menteri Pekerjaan Umum yang menjabat mulai tahun 1966 hingga 1978 dengan nama yang sama.

Bendungan ini dikelola oleh Jasa Tirta I, sementara PLTA yang memanfaatkan air yang terbendung oleh bendungan ini dikelola oleh PLN Nusantara Power Unit Pembangkitan Brantas.

Akibat terjadinya sedimentasi, pada tahun 2014, total kapasitas dari waduk yang terbentuk akibat dibangunnya bendungan ini diperkirakan tinggal 158,5 juta meter kubik, dengan kapasitas aktif sebesar 135,4 juta meter kubik dan kapasitas nonaktif sebesar 23,1 juta meter kubik.[3]

Peta

Perencanaan

[sunting | sunting sumber]

Setelah menyelesaikan pembangunan Terowongan Neyama di Tulungagung untuk mengendalikan banjir di bagian tengah Sungai Brantas, pemerintah Indonesia mulai mengkaji kemungkinan untuk membangun bendungan besar di bagian hulu Sungai Brantas. Awalnya, pemerintah mempertimbangkan untuk membangun bendungan di Pohgajih, Blitar, karena cukup membangun satu bendungan untuk membendung Sungai Brantas dan Sungai Lahor sekaligus. Atas permintaan dari Kepala Jawatan Irigasi saat itu, Ir. Agus Prawiranata, sebuah studi kelayakan kemudian dilakukan oleh empat orang ahli pengairan dan konstruksi yang dipimpin oleh Ir. Sedijatmo. Hasil studi kelayakan tersebut antara lain[4]:

  1. Pohgajih dilintasi oleh jalan raya, sehingga memudahkan transportasi bahan bangunan dan peralatan konstruksi
  2. Kondisi alam Pohgajih memungkinkan untuk dibangun bendungan setinggi 100 meter
  3. Walaupun dasar bendungan berupa tanah kapur berpori, pori-pori tersebut dapat tertutup oleh sedimen yang terbawa oleh Sungai Brantas.
  4. Bendungan lebih cocok untuk dibuat dari urugan tanah, karena beton (yang saat itu masih merupakan teknologi yang cukup baru) dapat memburuk seiring berjalannnya waktu.
  5. Bendungan hanya ditujukan untuk mengendalikan banjir, tidak digunakan juga untuk membangkitkan listrik.

Studi kelayakan lain lalu dilakukan oleh Nippon Koei asal Jepang, dan menyimpulkan bahwa bendungan lebih cocok untuk dibangun di Karangkates, Malang, karena tanah kapur berpori di Pohgajih kurang cocok untuk dijadikan lokasi pembangunan bendungan.[4] Sementara untuk membendung aliran Sungai Lahor, kemudian dibangun Bendungan Lahor yang genangannya dihubungkan dengan genangan Bendungan Karangkates melalui sebuah terowongan.

Pembangunan Bendungan Karangkates meliputi pembangunan terowongan pengelak, bendungan pembantu, bendungan utama, saluran pelimpah, PLTA, terowongan headrace, tangki pendatar air, dan pintu masuk air ke PLTA, serta pintu keluar air darurat, yang dapat mengalirkan air apabila air yang terbendung lebih rendah daripada ketinggian pintu masuk air ke PLTA. Selain itu, juga dilakukan pemindahan sebagian jalur rel kereta api di antara Stasiun Sumberpucung dan Stasiun Pohgajih, karena jika tidak dipindah, jalur rel tersebut dapat terendam oleh air yang terbendung. Semua pembangunan tersebut rencananya dapat diselesaikan pada tahun 1969, namun karena sejumlah kendala, akhirnya baru dapat diselesaikan pada tahun 1973.[5]

Persiapan pembangunan

[sunting | sunting sumber]

Pada akhir tahun 1961, PLN mulai membangun jalan, kantor, rumah dinas, dan gudang untuk mendukung pembangunan bendungan ini. Pembangunan terowongan pengelak lalu dimulai pada tahun 1962. Pada tanggal 30 April 1963, terjadi longsor di terowongan pengelak yang sedang dibangun, akibat penyangga tidak kuat menahan beban, sehingga menyebabkan meninggalnya tiga warga negara Jepang dan dua warga negara Indonesia.[6] Walaupun begitu, terowongan pengelak akhirnya dapat diselesaikan pada bulan Mei 1964. Pembangunan bendungan pembantu kemudian dapat diselesaikan pada bulan November 1964. Semua pembangunan tersebut dikerjakan oleh Kajima Corporation dengan diawasi oleh Nippon Koei.

Sebagaimana yang telah direncanakan oleh pemerintah, pembangunan bendungan utama lalu dikerjakan sendiri (eigen beheer) oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) melalui Proyek Brantas, sementara Kajima dan Nippon Koei hanya bertindak sebagai konsultan. Hal tersebut sengaja dilakukan untuk memberi pengalaman dan pelatihan yang lebih mendalam kepada para pekerja proyek, sehingga setelah menyelesaikan pembangunan bendungan ini, para pekerja proyek diharapkan dapat menyelesaikan pembangunan lain yang serupa di seluruh Indonesia.

Pembangunan bendungan

[sunting | sunting sumber]

Saat pembangunan bendungan utama dimulai pada tahun 1965, muncul kesulitan dalam hal pembiayaan, baik dalam bentuk devisa yang didapat dari pampasan perang Jepang maupun dalam bentuk rupiah murni akibat terjadinya Pemberontakan G30S/PKI. Sehingga pembangunan bendungan utama dapat dikatakan terhenti hingga tahun 1966. Pada tahun 1967, setelah kondisi ekonomi Indonesia membaik, pembangunan bendungan utama dapat dimulai kembali meskipun belum dalam kecepatan penuh, dengan dibiayai oleh pinjaman dari negara lain. Pada tanggal 22 Januari 1968, terjadi banjir bandang yang menyebabkan terowongan pengelak tersumbat dan pintu terowongan pengelak rusak parah, sehingga air dari Sungai Brantas hampir mencapai puncak bendungan pembantu, yakni kurang 35 centimeter lagi. Guna mengantisipasi terjadinya banjir serupa, kemudian diputuskan untuk membangun terowongan pengelak tambahan.[6] Pembangunan bendungan utama akhirnya baru dapat diselesaikan pada tahun 1971 atau dua tahun lebih lambat dari rencana.

Pada tanggal 15 Juni 1972, dilakukan penutupan Sungai Brantas, karena pengerjaan lanjutan hanya dapat dilakukan apabila bagian sungai di belakang bendungan utama dalam keadaan kering. Pengerjaan lanjutan tersebut meliputi pembuatan apron dari saluran pelimpah, penyumbatan terowongan pengelak, perbaikan lantai terowongan pengelak yang akan menjadi bagian dari pintu keluar air darurat, pemasangan hollow jet valve sebagai peredam energi air dari pintu keluar air darurat, penyelesaian terowongan tailrace PLTA, dan pembuatan dinding penahan tanah. Walaupun Sungai Brantas ditutup, hanya bagian sungai di belakang bendungan yang kering, bukan keseluruhan sungai, karena di bagian hilir, masih banyak anak Sungai Brantas yang dapat memasok air. Pekerjaan lanjutan tersebut akhirnya selesai pada awal bulan September 1972, dan bendungan utama pun dibuka kembali.[5]

Pemindahan jalur rel

[sunting | sunting sumber]
Terowongan Karangkates II

Pemindahan harus dilakukan karena selain melintasi calon lokasi bendungan, jalur rel kereta api berada pada ketinggian 240 mdpl, padahal nantinya air yang terbendung dapat mencapai ketinggian 279 mdpl. Karena kondisi alamnya, jalur rel baru sepanjang empat kilometer tersebut pun harus dilengkapi dengan dua buah terowongan dengan total panjang 1,2 kilometer, sebuah jembatan rangka baja dengan empat bentang masing-masing sepanjang 21,2 meter, sebuah viaduk, empat buah akuaduk, enam buah urung-urung, sebuah sifon, dan dinding penahan tanah dari beton bertulang.

Pembangunan jalur rel baru tersebut sebenarnya telah dimulai pada bulan Februari 1965 dengan pembangunan terowongan pertama, namun kemudian terhenti karena kendala biaya. Pada tahun 1967, pembangunan jalur rel baru tersebut dimulai kembali, dan akhirnya dapat diresmikan oleh Menteri PUTL dan Menteri Perhubungan pada tanggal 1 April 1970.[5]

Pembangunan PLTA

[sunting | sunting sumber]

Pembangunan PLTA meliputi pembuatan bangunan PLTA, pemasangan peralatan PLTA, pemasangan pipa pesat, pemasangan tangki pendatar air, pemasangan dua unit turbin yang masing-masing berkapasitas 35 MW, pemasangan kabel transmisi listrik, dan pembuatan gardu listrik. Selama PLTA sedang dibangun, air dikeluarkan dari bendungan utama melalui pintu keluar air darurat. Kecuali pemasangan kabel transmisi listrik dan pembuatan gardu listrik, semua pekerjaan tersebut ditangani sendiri oleh Proyek Brantas dan dapat diselesaikan pada pertengahan tahun 1973.[5] Setelah Bendungan Lahor selesai dibangun, satu unit turbin tambahan berkapasitas 35 MW dipasang di PLTA Sutami, sehingga total kapasitas terpasang PLTA Sutami menjadi 105 MW.[5]

Permasalahan

[sunting | sunting sumber]

Bendungan ini mulai dioperasikan pada tahun 1972. Pada penelitian yang dilakukan mulai tahun 1977 hingga 2002, diperkirakan bahwa terjadi sedimentasi sebanyak 3,86 juta meter kubik per tahun di waduk yang terbentuk akibat dibangunnya bendungan ini. Pada bulan Februari hingga Mei 2002, terjadi ledakan populasi alga, sehingga air yang terbendung oleh bendungan ini berubah warna menjadi hitam kecoklatan. Alga yang telah mati juga menggumpal. Jika telah kering, gumpalan tersebut menimbulkan bau seperti kotoran manusia, sehingga sangat mengganggu masyarakat yang tinggal di sekitar waduk.[6]

Berdasarkan hasil pengukuran Jasa Tirta I dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air pada bulan Juni 2002, tingkat eutrofikasi pada waduk yang terbentuk akibat dibangunnya bendungan ini masuk dalam kategori hipereutrofik atau sangat tercemar. Tingginya eutrofikasi tersebut disebabkan oleh pembuangan limbah secara langsung ke Sungai Brantas, terutama oleh rumah tangga, petani, pabrik kertas, pabrik tepung tapioka, dan rumah pemotongan hewan.[6]

Bendungan Sutami difungsikan untuk[6]:

  • Mengurangi debit banjir 1.000 tahunan dari 4.000 m3/detik menjadi hanya 1.580 m3/detik, debit banjir 200 tahunan dari 3.000 m3/detik menjadi hanya 1.060 m3/detik, dan debit banjir 10 tahunan dari 1.540 m3/detik menjadi hanya 350 m3/detik
  • Membangkitkan listrik melalui sebuah PLTA berkapasitas terpasang 3 x 35 MW
  • Menyediakan air irigasi sebanyak 244 m3/detik pada musim kemarau untuk lahan pertanian seluas 34.000 hektar
  • Obyek pariwisata dan prasarana perikanan darat.

Perikanan di bendungan ini dilakukan oleh warga setempat dengan menggunakan jaring terapung yang biasa disebut keramba. Pemeliharaan ikan dengan memanfaatkan air di bendungan ini baru dimulai pada era Reformasi, karena sebelumnya kegiatan tersebut dilarang.

Selain sebagai obyek pariwisata dan perikanan, Bendungan Sutami yang juga biasa disebut "dam" oleh masyarakat setempat ini juga memiliki manfaat lain, yakni digunakan sebagai jalan akses oleh para pengendara sepeda motor pada siang hari dengan membayar karcis. Pengendara motor yang sering melintas di bendungan ini mayoritas adalah warga yang tinggal di selatan bendungan, seperti warga Kalipare dan Donomulyo.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum (1995). Bendungan Besar Di Indonesia (PDF). Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. hlm. 200. 
  2. ^ Development of the Brantas River Basin (part 10) (PDF) (dalam bahasa Inggris). Tokyo: JICA. 1998. hlm. 191–193. 
  3. ^ "Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Brantas" (PDF). Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 20 Maret 2020. hlm. 145. Diakses tanggal 16 Januari 2023. 
  4. ^ a b Development of the Brantas River Basin (part 4) (PDF) (dalam bahasa Inggris). Tokyo: JICA. 1998. hlm. 41 – 42. 
  5. ^ a b c d e Staf Proyek Brantas (1 April 1972). Uraian Singkat Mengenai Proyek Bendungan Serbaguna Karangkates (PDF) (Laporan). Proyek Induk Serbaguna Kali Brantas. Diakses tanggal 23 Januari 2022. 
  6. ^ a b c d e Sinaro, Radhi (2007). Menyimak Bendungan di Indonesia (1910-2006) (dalam bahasa Indonesia). Tangerang Selatan: Bentara Adhi Cipta. ISBN 978-979-3945-23-1.