Mardoton

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Danau Toba dari Kabupaten Samosir.

Mardoton adalah sebuah tradisi Batak Toba dalam menangkap ikan yang ada di kawasan Danau Toba, provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Tradisi ini sudah dilakukan puluhan tahun lalu oleh nelayan "pandaram" di Danau Toba.[1] "Pandaram" adalah istilah untuk nelayan tradisonal Danau Toba.[2] Danau Toba sendiri dikelilingi oleh 7 kabupaten di Sumatera Utara, yakni kabupaten Humbang Hasundutan, Karo, Samosir, Toba, Simalungun, Tapanuli Utara, dan Dairi.

Etimologi[sunting | sunting sumber]

Kata Mardoton (Batak Toba: ᯔᯒ᯲ᯑᯬᯖᯉᯬ᯲) berasal dari akar kata doton (ᯑᯬᯖᯉᯬ᯲) dalam bahasa Batak Toba yang artinya jaring atau jala. Maka Mardoton diartikan sebagai menjaring atau menjala. Secara luas, Mardoton dapat diartikan sebagai menjaring atau menjala ikan.[3]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Seorang nelayan sedang mencari ikan dekat pelabuhan Muara, Tapanuli Utara.

Tradisi Mardoton sudah dikenal lama oleh para nelayan yang ada di kawasan Danau Toba. Ikan yang umumnya dibudidayakan atau yang ada dan digemari di Danau Toba yakni ikan Mas. Pada awalnya, para nelayan menggunakan bubu dalam menjaring ikan. Bubu adalah alat penangkap ikan yang terbuat dari bambu yang dianyam, lalu dipasang di dalam air untuk menjaring ikan. Dalam perkembangannya, nelayan kemudian menggunakan doton atau jala. Biasanya doton terbuat dari atom maupun berbahan kain yang dirajut menjadi mata jaring dengan beragam ukuran. Saat ini telah diproduksi massal secara pabrikan.[3]

Pelestarian Mardoton[sunting | sunting sumber]

Sebuah keramba ikan di Tongging, Kabupaten Karo.

Perkembangan berbagai bidang dalam kehidupan termasuk dalam menangkap ikan, memengaruhi pola masyarakat Danau Toba dalam mencari ikan. Beberapa diantaranya membuat keramba ikan yang dipasang di sekitar Danau Toba. Pengaruh pangan ikan yang terbuat dari bahan kimia, dapat memengaruhi kebersihan air Danau Toba. Ada juga nelayan yang menggunakan racun, strum, bom ikan atau pukat, dan berbagai cara lainnya, yang secara teknis dapat merusak ekosistem Danau Toba.[2]

Terjadinya kelangkaan ikan dan menurunnya populasi ikan di Danau Toba, menjadi persoalan baru bagi para nelayan. Sebuah tradisi menangkap ikan yang sudah ada sejak masa lampau, yakni Mardoton, dijadikan sebagai momen tepat agar masyarakat kembali kepada cara trasional dalam menangkap ikan.[4]

Beberapa komunitas masyarakat di Danau Toba berinisiasi untuk menggelar Festival Mardoton. Pada 13 Maret 2021, sebuah festival yang diberi nama Festival Edukasi Mardoton telah digelar di Samosir. Festival ini diselenggarakan sebagai upaya menjaga dan melestarikan budaya Mardoton yang sudah ada sejak lama di Danau Toba, dan guna memberi edukasi kepada nelayan agar berhenti menggunakan penangkap ikan yang dapat merusak ekosistem Danau Toba.[2][4]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Yasmine, Fathia (29 Desember 2021). "Menilik Lebih Dalam Tradisi Mardoton Budaya Tangkap Ikan Warisan Leluhur di Danau Toba". www.nationalgeographic.grid.id. Diakses tanggal 6 Desember 2023. 
  2. ^ a b c Bakkara (12 Maret 2021). Bobby Silalahi, ed. "Mardoton Festival Unik di Danau Toba Secara Kearifan Lokal". medan.tribunnews.com. Diakses tanggal 6 Desember 2023. 
  3. ^ a b "Mardoton Tradisi Menangkap Ikan dengan Jaring". www.radiodelfm.co.id. Diakses tanggal 6 Desember 2023. 
  4. ^ a b "Festival Mardoton Ajak Nelayan Tradisional Lestarikan Ekosistem Danau Toba". regional.kompas.com. Diakses tanggal 6 Desember 2023.